• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Beberapa kajian tentang konflik antar komunitas etnis yang pernah ada menunjukkan bahwa kegelisahan, pertikaian, konflik, dan perpecahan, bukan dihasilkan oleh pluralisme kultural, etnis dan geografis, melainkan lebih merupakan konsekuensi dari perbedaan-perbedaan dalam kepentingan politik dan ekonomi, serta persaingan yang tidak adil. Setiap komunitas etnis me-miliki tradisi, nilai-nilai serta mekanisme yang spesifik dalam mengatasi berbagai ketidaksepakatan yang timbul diantara mereka. Pluralisme kultural sebagai hasil dari keragaman etnis dan kepercayaan, tidak dengan sendirinya menghasilkan konflik dan pertentangan, serta disintegrasi, akan tetapi juga men-ciptakan integrasi dan menguatkan kerjasama dan kesatuan.

Menurut para analis konflik terdapat enam faktor pemicu dan akar permasalahan yang menghasilkan konflik antar etnis yaitu : perbedaan kultural, persaingan yang tidak adil, krimi-nalitas dan premanisme, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang tidak memperhatikan kepentingan lokal, struktur sosial-ekonomi dan persaingan yang tidak adil, ketidakmampuan dan kelemahan aparat hukum. Dengan demikian maka menjadi sebuah catatan bahwa perbedaan-perbedaan fisik, identitas etnis, nilai-nilai budaya dan orientasi yang muncul, tidak akan serta-merta menciptakan konflik diantara kelompok atau ko-munitas etnis.

Dalam konsep tentang stratifikasi sosial dijelaskan bahwa berbagai ketidaksamaan kesempatan (‘inequality’) dalam masyarakat dapat menimbulkan konflik. Perspektif konflik menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan sangat potensial untuk menciptakan konflik sosial dan politik, dan bahwa intensitas konflik bukan disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kultural, akan tetapi lebih diakibatkan oleh masalah-masalah yang bersifat struktural. Penjabaran fenomena konflik di Bagan Siapiapi sangat mendukung pemahaman ini. Terbukti

dari jawaban yang diperoleh dari semua informan bahwa pertikaian dapat dihindari apabila kesempatan bekerja dan berusaha terdistribusi secara merata pada semua warga mas-yarakat.

Seiring dengan penjelasan ini, tindakan anomi sosial akan muncul apabila sekelompok orang tidak mampu mendapatkan dan menguasai akses atau sarana pemenuhan kebutuhan. Fasilitas dan kesempatan untuk mencapai tujuan dalam semua aspeknya, tidak pernah cukup tersedia untuk seluruh anggota masyarakat. Kondisi ini salah satunya akan menghasilkan perilaku ‘rebellion’ atau memberontak, yang maknanya adalah menggunakan cara-cara yang tidak biasa, termasuk kekerasan, untuk mencapai tujuannya. Perilaku-perilaku seperti ini tentu-nya akan menimbulkan konflik ketika berhadapan dengan kelompok yang lebih menguasai akses ekonomi atau politik. Komunitas etnis yang merasa tidak mendapat kesempatan yang sama dengan komunitas yang dominan, akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dominan, yang kemudian memunculkan kondisi anomi sosial. Pada komunitas yang terdiri dari beragam etnis harus dikembangkan pemahaman yang sama tentang multikultural-isme, yakni sebuah paham yang memandang kelompok-kelompok etnis yang ada sebagai sebuah kesatuan budaya yang utuh dan memiliki kesamaan derajat. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan sosio-kultural dan kesamaan derajat, baik secara individual maupun kultural. Disini tersirat sebuah sikap menghargai setiap ekspresi individu anggota kelompok etnis, baik secara sosial, budaya, maupun politis. Sehingga tidak akan terjadi berbagai tindak peme-rasan dan kekepeme-rasan sosio-kultural, oleh satu kelompok atau komunitas etnis terhadap kelompok atau komunitas etnis yang lain.

Pemahaman warga masyarakat tentang multikulturalisme, akan memandang kelompok-kelompok etnis yang berbeda itu sebagai bagian atau sub-sub sistem yang aktif , yang memiliki kesamaan hak untuk mengekspresikan diri secara individual, sosial, kultural, maupun politis. Ekspresi kolektif yang ber-dasarkan pada multikulturalisme ini, diharapkan tidak akan tergelincir pada primordialisme yang berlebihan, dan tetap dapat menjadi bagian yang sangat signifikan dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan nasional yang ber-orientasi global.

Dalam sebuah pola interaksi antar etnis, seringkali tanpa disadari terjadi proses penguatan identitas kelompok. Proses-proses yang sering terjadi antara lain adalah purifikasi dan revitalisasi. Purifikasi merupakan proses identifikasi kelompok yang dilakukan oleh suatu kelompok etnis, ras, atau keagamaan tertentu, dengan cara menjaga kemurnian serta keaslian nilai-nilai dan karakteristik yang dimilikinya. Proses ini sangat pen-ting untuk menghindari penyimpangan dan perusakan-pe-rusakan nilai kultural oleh nilai-nilai lain dari luar komunitas etnis, ras, ataupun keagamaan tertentu, dengan mengupayakan sebuah loyalitas tunggal dari anggota komunitas.

Beberapa tindakan purifikasi yaitu antara lain, meyakini prinsip endogami dan menentang kawin campur, pemutusan hubungan dan isolasi kelompok, serta bersikap eksklusif. Tin-dakan purifikasi seperti ini dapat mengakibatkan perpecahan diantara kelompok-kelompok masyarakat, dan bahkan dalam beberapa kasus terjadi pelanggaran hak azazi manusia untuk hidup dalam kesederajatan, sebagaimana yang dialami oleh etnis Yahudi pada masa Nazi, ataupun warga kulit hitam di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya. Loyalitas dan solidaritas tunggal sedemikian (berlawanan dengan cross-cutting loya-lities atau cross-cutting affiliation) akan mudah sekali

mem-bangkitkan konflik dengan komunitas etnis lainnya, terutama ketika aspek-aspek lainnya ikut berperan.

Purifikasi mungkin masih diperlukan, tetapi terutama hanya berkaitan dengan nilai-nilai moral yang mutlak, seperti misalnya agama. Nilai-nilai seperti ini, karena bersifat absolut dengan penganutan dan kepercayaan yang total, maka harus selalu dijaga kemurniaannya. Tindakan-tindakan purifikasi seperti ini, akan mampu menjamin nilai-nilai agama tersebut tidak akan tercemar oleh nilai-nilai luar yang mungkin akan merusaknya. Hal ini juga yang membuat konflik-konflik antar kelompok agama menjadi lebih intens. Selain karena fanatisme dan sentimen keagamaan yang tinggi ketika berhadapan dengan kelompok agama lain, konflik antar kelompok agama juga dapat dipicu oleh tindakan purifikasi yang berlebihan. Sedangkan yang menyangkut kelompok etnis atau ras, purifikasi sebaiknya tidak dilakukan.

Khusus untuk kelompok etnis Melayu yang hidup di beberapa wilayah di Indonesia, purifikasi memang pernah dijalankan pada masa lalu, akan tetapi terbatas pada peme-liharaan tradisi serta purifikasi yang berkaitan dengan agama islam, yang disebut sebagai ‘ethno-religio identification’, yakni identifikasi etnis yang berdampingan dengan identifikasi religius.

Berbeda dengan purifikasi yang membutuhkan banyak diskusi untuk menjelaskannya, revitalisasi bermakna penguatan kembali identitas sebuah kelompok dalam berhadapan dengan kelompok lain, atau munculnya kesadaran etnik atas reaksi logis terhadap realitas sosial, merupakan suatu proses yang lebih mudah diterima. Berdampingan dengan revivalisasi, yakni sebuah kesadaran etnis yang muncul dari penguatan-penguatan internal kelompok oleh proses sosialisasi, revitalisasi menjadi sebuah proses yang sangat diperlukan oleh

kelompok-ke-lompok etnis, ras, dan religi, untuk mendapatkan pengakuan yang layak dari kelompok-kelompok lain.

Bentuk-bentuk kongkrit dari revitalisasi ini antara lain, munculnya lembaga-lembaga adat, sosialisasi hukum-hukum adat, masuknya konsep putera daerah pada sistem politik nasional. Proses revitalisasi sedemikian ini memberikan warna tersendiri pada dinamika sosial dan politik masyarakat multi-kultural. Selain dampak positif yang diharapkan, tentunya muncul pula dampak negatifnya, seperti pemanfaatan hukum-hukum adat oleh oknum-oknum yang mengutamakan kepen-tingan kelompok, serta menimbulkan pertikaian etnis hori-sontal dan vertikal. Fenomena negatif ini diakibatkan timbulnya revitalisasi bersamaan dengan tampilnya kesadaran etnis lainnya, atau ketidakseimbangan kekuatan sistem politik yang berjalan, atau juga karena tidak adanya kemampuan dan kualitas yang mendasari munculnya kesadaran etnis tersebut.

Revitalisasi, yang dalam hal ini berkaitan dengan reaksi kelompok etnis terhadap realitas sosial yang dihadapi, meru-pakan proses yang perlu dijalankan oleh beberapa kelompok etnis tertentu. Hendaknya yang perlu diperhatikan disini adalah, semangat yang melatarbelakangi proses revitalisasi. Semangat yang harus ditumbuhkan bukan hanya semata-mata meng-unggulkan identitas kelompok, tetapi lebih pada pengakuan terhadap kesamaan hak dan kesetaraan derajat antar kelompok etnis yang ada. Untuk mendapatkan pengakuan, sebagaimana konsep ‘achieved status’ dalam sosiologi, maka kualitas diri harus pula memenuhi ekspektasi dari totalitas sistem. Dengan demikian, maka sebuah komunitas etnis yang merasa perlu me-lakukan revitalisasi, haruslah memperhatikan variabel-variabel penting yang akan berpengaruh pada tujuan positif dari proses ini.

masya-rakat, sangat tergantung pada perspektif yang kita gunakan. Ketika perspektif radikal mengedepan, konsep-konsep tentang ketimpangan, ketidaksamaan, dan perbedaan kepentingan akan menjadi pokok bahasan, sementara apabila perspektif fung-sional yang digunakan, maka perbenturan budaya nilai dan peradaban yang mungkin akan lebih diperhatikan. Analisis sebuah fenomena konflik dihadapkan pada tuntutan untuk mengajukan bentuk pemecahan masalah (‘problem solving’). Dengan demikian pertanyaan yang muncul bukanlah perspektif mana yang benar untuk menganalisis masalah, tetapi perspektif manakah yang dapat menghasilkan sebuah bentuk penyelesaian konflik.

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap intensitas (kedalaman) dan frekuensi (kekerapan) konflik yang terjadi. Konflik menjadi lebih intens ketika melibatkan perbedaan nilai-nilai atau orientasi hidup yang mendasar, atau ketika diperkuat oleh berbagai bentuk ketidaksamaan, kesenjangan serta ketimpangan. Sebaliknya, selain adanya kesetaraan hak dan kesempatan, konflik dapat dihindari oleh munculnya loyalitas bersama antar komunitas dibidang sosial, budaya, ekonomi maupun politik, yakni dengan adanya kesamaan organisasi maupun lapangan kerja. Faktor-faktor positif seperti ini me-rupakan salah satu karakteristik sosial masyarakat perkotaan, dimana muncul asosiasi-asosiasi serta komunitas-komunitas yang bersifat lintas budaya.

Konflik yang berkepanjangan memang hanya dapat dipahami dari perspektif radikal. Walaupun perspektif ini tidak pernah secara khusus memperhatikan etnisitas, akan tetapi sebagian besar konflik sosial yang terjadi, baik didalam agama maupun etnis, diakibatkan adanya dominasi suatu kelompok atas kelompok lainnya. Dominasi ini dapat terwujud dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, ataupun budaya. Dari

pemahaman adanya dominasi kelompok ini, bentuk penye-lesaian yang bisa dipertimbangkan adalah dengan menekan sekecil mungkin ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, dan menyediakan wadah atau sarana interaksi antar berbagai komunitas.

Penutup

7.1. Kesimpulan

1. Secara demografis terdapat beberapa kelompok etnis pen-duduk kota, yang secara kuantitas didominasi oleh warga Cina atau Tionghoa dengan persentasenya sebesar lebih kurang 40 %. Penduduk tempatan atau Etnis Melayu per-sentasenya sebesar 30 % dan sisanya sebanyak 30 % terdiri dari etnis Jawa, Batak, Minang, dan Bugis (Sulawesi). 2. Potendi konflik yang ditemukan di wilayah penelitian adalah

berkaitan dengan :

a. Dimensi sosial ekonomi, termasuk disini aspek historis dan efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenja-ngan ekonomi antar komunitas.

b. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain eklu-sivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (pe-ngelompokan secara spasial dan sosial), primordialisme pada masing-masing komunitas. Potensi konflik ini

me-BAB VII

rupakan benih-benih kebencian antar komunitas, yang berpotensi untuk menggalang sebuah solidaritas ke-lompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir sebuah konflik berskala tindak pidana, lintas-etnis menjadi sebuah tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang tinggi.

3. Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik yang sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasus-kasus lain di Indonesia. Untuk kasus-kasus Bagan Siapi-Api, faktor kesenjangan ekonomi memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap terjadinya konflik antara komunitas Cina dan Melayu pada Tahun 1998. Untuk melihat secara lebih jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelahaan jauh kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan Tahun 1998 itu tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang sudah berlangung sekian lama.

4. Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara anggota kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota ko-munitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota ko-munitas Melayu dengan anggota koko-munitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapi-Api.

5. Salah satu faktor utama yang menimbulkan pertikaian yang memprihatinkan di Kabupaten Rokan Hilir adalah ketidak-sesuaian atau pertikaian pusat-daerah mengenai hak-hak otonomi masyarakat daerah dan hak-hak tradisional mas-yarakat daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka,

konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari perbedaan tersebut adalah jangankan pember-dayaan dan kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hak-hak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh Pemerintah Pusat dan Pe-merintah Daerah.

7.2. Rekomendasi

1. Perluasan lapangan pekerjaan adalah langkah penting yang diharapkan oleh semua tokoh yang diwawancarai. Distribusi kesempatan kerja dan berusaha yang adil dan merata untuk semua kelompok etnis dan komunitas akan memberikan dampak yang sangat positif bagi terwujudnya integrasi sosial. Apabila semua lapisan dari semua kelompok tidak merasa-kan aadanya ketimpangan dan kesenjangan secara ssosial dan ekonomi, maka pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuda juga akan sangat berkurang. Seiring dengan pen-ciptaan lapangan pekerjaan, harapan yang muncul juga adalah pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah kabu-paten, dan tidak hanya terpusat di wilayah perkotaan. Hal ini juga berdampak pada pemerataan distribusi penguasaan akses ekonomi untuk seluruh anggota masyarakat.

2. Mengadakan komunikasi yang rutin antar organisasi adat yang ada, baik komunikasi horizontal diantara mereka, maupun komunikasi dengan pihak pemerintah di dalam jajaran struktural daerah. Tentunya komunikasi seperti ini akan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya integrasi sosial, baik di daerah maupun di tingkat pusat. 3. Berdasarkan analisis ekonomi paling tidak terdapat tiga

pe-luang untuk membangun integrasi sosial antar komunitas yang berada di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama adalah

hubungan ekonomi dalam bentuk hubungan tradisional “buruh-majikan”. Kedua peningkatan kesejahteraan mas-yarakat secara menyeluruh dengan memperluas lapangan kerja. Ketiga percepatan pertumbuhan ekonomi terhadap penduduk lokal (pribumi) secara khusus (diskriminasi po-sitif) yang dalam teori negara lebih dikenal dengan pe-nguatan sektor publik. Faktor pertama bisa terbangun secara kultural dari lapis bawah (dari masyarakat sendiri) meskipun secara umum akan terkait juga secara tidak langsung dengan kebijakan pemerintah, sementara faktor kedua dan ketiga memerlukan intervensi pemerintah secara langsung.