• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN PERBURUAN RUSA DI KEBUN BURU PERUM PERHUTANI (BKPH JONGGOL) DAN TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN PERBURUAN RUSA DI KEBUN BURU PERUM PERHUTANI (BKPH JONGGOL) DAN TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PROSPEK PENGEMBANGAN KEGIATAN

PERBURUAN RUSA DI KEBUN BURU PERUM PERHUTANI

(BKPH JONGGOL) DAN TAMAN WISATA ALAM

PANANJUNG PANGANDARAN

Rizki Kurnia Tohir E351160106

Dosen

Dr Ir Agus Priyono Kartono MS

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2017

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang

Kegiatan berburu telah berlangsung sejak jaman pra-aksara (Gazalba 1996), yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan). Tetapi pada saat ini kegiatan berburu tidak hanya dikaitkan dengan pemenuhan konsumsi harian melainkan untuk pemenuhan ekonomi dan juga hobi. Dalam perkembangannya, kegiatan perburuan ternyata telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian beberapa spesies satwaliar karena dilakukan secara ilegal (Thohari dkk 2011).

Satwa liar merupakan salah satu sumberdaya alam yang termasuk ke dalam

renewable resources, yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Di Indonesia aspek pengelolaan satwa liar mencakup aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan (Alikodra 2010). Salah satu bentuk pemanfaatan secara lestari satwaliar yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi untuk mendatangkan devisa negara serta meningkatkan pendapatan masyarakat adalah kegiatan wisata perburuan. Dalam rangka pemanfaatan hutan secara optimum dengan prinsip sustainable dan mendorong sektor pariwisata, khususnya wisatawan buru baik domestik maupun asing, perburuan perlu dikembangkan.

Kegiata berburu yang ilegal ternyata telah menimbulkan kerugian yang bagi Indonesia, salah satunya telah menyebabkan penurunan dan kepunahan lokal banyak spesies flora maupun fauna, termasuk spesies yang ada di dalam area yang dilindungi (USAID 2015). Peningkatan kegiatan perburuan ilegal harus diikuti dengan adanya sarana kegiatan perburuan untuk memenuhi kebutuhan/ hobi masyarakat untuk berburu. Perencanaan-perencanaan kawasan untuk kegiatan berburu diperlukan demi mendukung pemenuhan kebutuhan akan kegiatan wisata. Kebun buru Perum Perhutanu BKPH Jonggol dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran merupakan dua status kawasan yang berbeda, dimana dengan memenuhi persyaratan pada kedua kawasan tersebut dapat dilaksanakan kegiatan perburuan. Sehingga pada makalah ini akan dilihat bagaimana prospek pengembangan kegiatan perburuan satwa liar pada kedua lokasi berbeda.

(3)

Tujuan

Mengkaji dan membandingkan prospek pengembangan kegiatan perburuan rusa di Kebun Buru Perum Perhutani BKPH-Jonggol dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran.

BAB II METODE

Tempat dan waktu pengumpulan data

Data mengenai kajian prospek pengembangan kegiatan perburuan rusa di Kebun Buru Perum Perhutani BKPH-Jonggol dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran, dikumpulkan di Kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga. pada tanggal 28 Desember 2016 - 01 Januari 2017.

Metode pengumpulan dan analisis data

Data didapatkan dengan mengumpulkan literature yang membahas mengenai prospek pengembangan kegiatan perburuan rusa di Kebun Buru Perum Perhutani BKPH-Jonggol dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran. Kemudian data dianalisis dengan mengkomparasi literature yang ditemukan sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang dapat menjelaskan prospek pengembangan kegiatan perburuan rusa.

(4)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSPEK PERBURUAN RUSA DI PERUM PERHUTANI BKPH-JONGGOL

Pakan dan Daya Dukung Habitat

Kawasan Kebun Buru Perum Perhutani BKPH Jonggol memiliki luas areal padang rumput yang berfungsi sebagai sumber kebutuhan pakan bagi rusa di dalam kawasan sekitar 53,5 ha dengan topografi yang bergelombang dan berbukit, maka nilai proper use yang digunakan adalah 45%. Kawasan ini umumnya bertipe hutan tanaman dengan diselingi pohon - pohon alam, semak belukar dan padang rumput, dengan struktur vegetasi tingkat semai atau tumbuhan bawah dan tingkat pohon.

Jenis vegetasi dominan dalam kawasan dengan kelimpahan yang cukup untuk mendukung perkembangan kebun buru adalah rumput gajah, alang-alang, nangka, pinus, nampong, petai, sengon, mangga, waru laut, mahoni, dan akasia. Rata-rata produksi bobot basah hijauan pakan di dalam kawasan sebesar 62,64 kg berat segar/ha/hari, dan produktivitas hijauan dalam satu tahun adalah sebesar 37.584 kg berat segar/ha/tahun, jika luas total padang rumput adalah 53,5 ha maka produksi hijauan pakan untuk seluruh kawasan petak 9 adalah 5.083.356 kg berat segar/tahun (Santosa dan Firmansyah 2012). Produktivitas hijauan pakan dalam satu tahun merupakan jumlah antara produktivitas pada musim penghujan dengan produktivitas musim kemarau. Jika produktivitas hiijauan pada musim kemarau adalah ½ dari produktivitas hijauan pada musim penghujan (Syarief 1974 dalam Santosa dan Firmansyah 2012). Atas dasar hal tersebut maka Santosa dan Firmansyah (2012) menyatakan bahwa Kebun Buru Perum Perhutani BKPH Jonggol mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai kebun buru hal tersebut dapat dilihat dari segi pakan bagi satwa buru yang cukup melimpah.

Rata-rata konsumsi rumput oleh rusa adalah 4,42 kg bobot segar/ekor/hari atau 1.591,2 kg bobot segar/ekor/tahun (Mukhtar 1996). Berdasarkan data tersebut, jika produktivitas total hijauan pakan di dalam Penangkaran Rusa Jonggol adalah

(5)

187.920 kg bobot segar/tahun, dan karena penangkaran rusa Jonggol memiliki topografi datar dan bergelombang, maka diasumsikan proper usenya adalah 70% sehingga diperoleh daya dukung di dalam penangkaran untuk rusa adalah 83 ekor maka apabila total produktivitas hijauan pakan adalah 5.083.356 kg berat segar/tahun dan proper usenya adalah 45%, maka daya dukung areal untuk rusa adalah 1.438 ekor. Berdasarkan hal tersebut, maka dari segi daya dukung habitat jelas terlihat bahwa Kebun Rusa Perum Perhutani BKPH Jonggol memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai kebun buru (Santosa dan Firmansyah 2012).

Satwa Buru

Jenis satwa buru yang ada di dalam kawasan kebun buru adalah jenis rusa jawa, rusa bawean, dan rusa totol. Nilai natalitas untuk rusa jawa, bawean dan totol berturut-turut adalah 0,59, 0,4 dan 0,5. Nilai natalitas tertinggi yaitu pada jenis rusa jawa. Untuk nilai mortalitas untuk ketiga jenis rusa adalah nol dikarena populasinya yang tetap dan tidak ada yang mengalami kematian. Menurut Yunitasari (2005), tingkat kematian rusa di Penangkaran Rusa Jonggol sangat rendah yaitu rata-rata sebesar 1-3%. Jadi dengan demikian diketahui bahwa, nilai natalitas semua jenis rusa di penangkaran adalah sama dengan laju pertumbuhan populasinya. Hal ini karena laju pertumbuhan populasi ditentukan melalui pendekatan selisih kelahiran dan kematian rata-rata, sehingga diketahui bahwa rusa jawa memiliki laju pertumbuhan populasi yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis rusa bawean dan totol (Santosa dan Firmansyah 2012). Berdasarkan hal itu, maka diperoleh penilaian bahwa jenis rusa yang paling tepat dan sesuai untuk pengembangan usaha kebun buru adalah rusa jawa yang memiliki nilai natalitas tertinggi.

Struktur umur untuk semua jenis rusa termasuk dalam keadaan populasi yang menurun (regressive population) hal tersebut dikarenakan presentase terbesar adalah kelas umur dewasa, sedangkan yang terkecil adalah kelas umur anak. Apabila ditinjau dari prospek kelestariannya maka kondisi tersebut tergolong sangat rawan karena kelas anak memiliki jumlah populasi yang lebih rendah. seks ratio pada rusa jawa yang adalah 1; 1,3 dan pada rusa bawean yang seks nisbahnya adalah 1 : 0,7, sedangkan rusa totol adalah 1 : 0,5. Perbandingan kelamin rusa jantan dan

(6)

betina pada kelas umur dewasa menunjukan adanya ketidak-normalan. Perbandingan kelamin pada rusa dewasa seharusnya adalah 1 : (3-5) hal tersebut dibandingkan dengan pendekatan seks rasio di habitat alami yaitu 1 : 4 (Santosa dan Firmansyah 2012). Berdasarkan perhitungan tersebut kompetisi rusa jantan dewasa untuk mendapatkan pasangan di kawasan ini menjadi tinggi karena tidak terpenuhinya seks rasio yang sesuai, maka perlu adanya introduksi satwa betina agar potensi satwa buru dapat ditingkatkan dan berjalan dengan optimal.

Kuota Buru

Perkembangan populasi satwa buru ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya ukuran populasi awal, komposisi umur dan jenis kelamin, natalitas dan mortalitas, serta kapasitas daya dukung habitat. Kapasitas daya dukung habitat ditentukan oleh produktivitas hijauan pakan dan luas kawasan yang dimanfaatkan sebagai habitat, tipe penutupan lahan, kondisi topografi serta kebutuhan konsumsi setiap individu satwa buru. Kapasitas daya dukung habitat yang tinggi diduga dapat mendukung kehidupan populasi satwa secara lebih baik sehingga populasi berkembang dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Kartono et al 2008).

Maka kelestarian populasi satwa buru dapat terjamin bila jumlah individu yang diburu setiap tahun tidak melebihi pertambahan populasinya. Pertumbuhan populasi ditentukan oleh ukuran populasi awal sehingga pada kawasan buru yang memiliki populasi kurang perlu dilakukan introduksi.

Untuk pengembangan wisata buru diperlukan suatu kuota pemanenan perburuan agar usaha berburu terus berjalan secara berkelanjutan. Menurut penelitian Kartono et al 2008 terdapat dua alternatif penentuan kuota, yakni: a) kuota buru ditentukan sebelum pengusahaan diselenggarakan sehingga dapat menjamin kelestarian ekologi dan memberikan manfaat finansial yang berkesinambungan, dan b) kuota buru ditentukan berdasarkan laju pertumbuhan populasi yang terdapat di dalam kawasan buru. Alternatif pertama terjadi bila di kawasan buru bersangkutan belum terdapat satwa buru sehingga perlu dilakukan introduksi satwa buru, sedangkan alternatif kedua telah terdapat satwa buru. Pada alternatif kedua, satwa buru yang ada dapat berada pada kondisi yang mencukupi atau kurang cukup untuk dilakukan perburuan. Hasil penelitian menunjukkan

(7)

adanya Hubungan antara waktu awal perburuan dengan jumlah individu introduksi pada kuota buru, yaitu Semakin lama waktu awal dimulainya perburuan maka semakin sedikit jumlah individu yang harus diintroduksikan untuk memenuhi kebutuhan perburuan. Demikian pula, semakin sedikit kuota buru yang ditetapkan maka semakin sedikit jumlah individu yang harus diintroduksikan.

Hasil analisis produktivitas hijauan di kawasan menunjukan bahwa kawasan ini memiliki daya dukung bagi rusa sebanyak 1.438 ekor. Untuk pertumbuhan populasi rusa jawa diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan di penangkaran yaitu 0,59. Menurut van Lavieren (1982) dalam Ratag (2006), besarnya panen maksimum yang lestari dengan menggunakan rumus ¼ r.K. Oleh karena itu, apabila diasumsikan populasi rusa dapat berkembang secara normal maka berdasarkan daya dukung habitat dan laju pertumbuhan populasinya dapat dilakukan pemanenan populasi maksimum yang lestari sebanyak 212 ekor per tahun.

Setiap pemburu hanya diizinkan membunuh sebanyak 1 ekor untuk setiap periode perburuan kecuali pada saat over populasi maka pemburu dapat membunuh 3 ekor (Yapto 2006 dalam Ratag 2006). Apabila diasumsikan keberhasilan buru adalah 100%, maka jumlah individu rusa jawa sebagai target individu buru adalah 108 individu. Hasil perhitungan kuota buru lestari berdasarkan daya dukung pemburu lebih menjamin pada kelestarian populasi karena memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan hasil perhitungan berdasarkan daya dukung habitat. Oleh karena itu, angka 108 individu/tahun ini digunakan sebagai dasar dalam penentuan jumlah populasi untuk kepentingan kegiatan perburuan (Santosa dan Firmansyah 2012).

Musim Buru

Menurut Priyono (2006) lamanya masa berburu untuk setiap periode buru ditentukan berdasarkan masa berlakunya surat izin perburuan (SIB) yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah yang didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 543/Kpts-II/1997, yakni 10 hari. Berdasarkan pertimbangan data iklim yang diperoleh, bahwa daerah Kecamatan Tanjungsari memiliki 8 bulan Basah, 2 bulan lembab, serta 2 bulan kering, maka disarankan bahwa lamanya waktu buru yang tepat di kawasan ini adalah dua bulan. Untuk

(8)

bulannya, maka bulan yang tepat untuk diadakan untuk kegiatan berburu adalah bulan Juli dan Oktober, sehingga dalam satu tahun ada 6 periode buru (Santosa dan Firmansyah 2012).

Senjata Buru dan Jumlah Pemburu

Senjata yang digunakan untuk berburu satwa terbagi atas senjata tradisonal dan senjata modern. Madhusudan dan Karanlh (2000) menjelaskan bahwa pergeseran penggunaan alat buru dari tradisional ke modern bertujuan untuk mendapatkan hasil buruan secara lebih efisien.

Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1988), senjata yang diperbolehkan untuk membunuh satwa buru hanyalah senjata api. Persenjataan lainnya seperti senapan locok atau cuplis, tombak, parang, jebakan, racun, bronjang, jaring dan obat-obatan yang mematikan tidak diizinkan pemakiannya dalam perburuan legal. Senjata api yang dimaksud adalah senjata api bahu atau laras panjang yang diproduksi khusus untuk berburu dan senapan genggam atau pistol, sedangkan senjata api organik tidak diperbolehkan untuk dipergunakan berburu.

Luas areal seluruhnya adalah 535 ha, tetapi berdasarkan bentuk hamparan wilayah dan topografi yang sebagian termasuk kategori curam dan sangat curam, maka luasan yang efektif dan aman bagi pemburu untuk melakukan kegiatan perburuan hanya 449,39 ha. Berdasarkan penelitian Evans et al (1999) dalam Priyono (2006), luas areal yang dibutuhkan untuk setiap pemburu yang aman dan nyaman adalah 25 ha, maka kawasan dapat menampung maksimum 18 orang pemburu untuk satu periode berburu. Berdasarkan hal itu, jumlah pemburu maksimum di kawasan adalah 108 pemburu setiap tahunnya.

PROSPEK PERBURUAN RUSA DI TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN

Pakan dan Daya Dukung Habitat

Kawasan taman Wisata Alam (TWA) Pananjuangan Pangandaran memiliki kawasan yang bersatu atau berdekatan dengan Cagar Alam (CA) Pangandaran.

(9)

Kawasan berbentuk semenanjung terletak di pantai selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit dua teluk (BKSA Jawa Barat 2006). Secara keseluruhan kawasan konservasi memiliki luasan sebesar ± 539 ha, dengan rincian CA Pananjuangan Pangandaran seluas ± 492,3 ha dan TWA Pananjung Pangandaran seluas ± 37.7 ha (SBKSDA Jawa Barat II 2006). Adapun secara administrasi pemerintahan kawasan ini berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Kawasan

Lebih dari 642 jenis tumbuhan hidup di dalam kawasan TWA Pangandaran dari berbagai tingkatan pohon, herba, perdu, tumbuhan bawah, liana, epipit, dan 80 jenis diantaranya merupakan jenis tumbuhan obat. Jenis Flora yang ada di Kawasan TWA Pangandaran diantaranya kelompok pohon 249 species, perdu 71 species, liana 65 species, semak 193 species, rumput 53 species, Epyphyt 26 species, parasit 10 species. Tumbuhan yang paling mendominasi di dalam kawasan Taman Wisata Alam Pangandaran dan merupakan hutan tanaman yaitu jenis jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) mencapai ± 20 ha (BKSDA Jawa Barat 2006). Berdasarkan penghitungan produktivitas pakan rusa yang dilakukan, keenam padang rumput yang berada di TWA dan CA Pananjung Pangandaran menghasilkan rumput sebanyak 308.345,5 kg pertahunnya (Yuliati 2011). Angka produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari produktivitas rumput musim hujan dan musim kemarau. Penelitian dilakukan pada saat musim kemarau. Data produktivitas pada musim hujan didapatkan dari penggandaan angka produktivitas pada musim kemarau, karena produktivitas pada musim hujan adalah dua kali lipat dari produktivitas pakan di musim kemarau (Susetyo 1980). Kemudian Susetyo (1980) menambahkan, kawasan terbagi proper use menjadi tiga yakni, proper use

untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30%. Padang Penggembalaan Cikamal, Nanggorak dan Badeto memiliki kelerengan 11%-51 % sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 40%-45%. Sedangkan padang rumput di kawasan TWA memiliki

(10)

kelerengan yang cukup datar sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 60%-70%.

Berdasarkan hasil produktivitas pakan rusa di kawasan maka didapatkan daya dukung pada tiap lokasi dengan cara membaginya dengan kebutuhan pakan rusa selama satu tahun. TWA/ CA Pananjung Pangandaran hanya memiliki 73 ekor rusa dengan daya dukung sekitar 276 ekor/tahun. Berdasarkan data tersebut, daya dukung bukanlah faktor penghambat pertumbuhan populasi.

Kawasan

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru yang memberi penguatan secara hukum bagi pengusahaan wisata buru di Indonesia. Berdasarkan PP No. 13 Tahun 1994 tentang perburuan satwa buru, dijelaskan bahwa kegiatan perburuan dapat dilakukan di taman buru, kebun buru dan areal buru. Areal buru adalah Perburuan merupakan kegiatan yang kompleks yang mencakup aspek ketersediaan satwa buru, permintaan perburuan dan pemburu, dan pengelola perburuan.

Taman Wisata Alam merupakan kawasan konservasi pelestarian alam, dimana ditujukkan sebagai kawasan pelestarian yang terdiri atas kegiatan pariwisata, rekreasi, penelitian dan pendidikan, serta pelestarian. Menurut Uundang-Undang No 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan pelestarian alam, jika terjadinya gangguan habitat yang mampu memengaruhi keseimbangan ekosistem, terutama diakibatkan oleh satwa, maka perlu adanya pembinaan satwa. Berdasarkan Undang-Undang No 86 Tahun 1998 pasal 17 no 2 (d) pembinaan satwa yang dilakukan adalah dengan melakukan penjarangan populasi satwa. Kegiatan penjarangan satwa yang disebutkan di dalam pasal tersebut tidak jelas disebutkan, baik secara langsung dari undang-undang maupun penjelasan dari undang-undang tersebut. Penjarangan secara definisi diartikan sebagai pengurangan populasi satwa agar kepadatan populasi satwa dapat mencapai tingkat populasi yang paling optimal. Salah satu upaya kegiatan penjarangan atau pengurangan populasi dengan kegiatan perburuan di Taman Wisata Alam. Adapun kegitan pebruruan yang dapat dilakukan di taman wisata alam pananjung

(11)

pangandaran adalah kegiatan perburuan dengan tujuan untuk pengendalian populasi satwa dengan memerhatikan daya dukung lingkungan.

Perburuan merupakan kegiatan yang menyangkut dalam menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru (PP 13/1994). Kegiatan perburuan memiliki 4 tujuan yaitu meat hunting, trophy hunting, sports, dan konservasi. Adapun kegiatan perburuan dalam rangka mengendalikan populasi satwa adalah salah satu tujuan dari konservasi. Hal yang perlu ditekankan, bahwa kegiatan perburuan di TWA harus disesuaikan dengan objek-objek wisata yang ada di TWA, agar terhindari dari konflik, baik dengan masyarakat maupun pihak-pihak yang terkait, termasuk pengunjung wisata.

Dilihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat tergantung pada kegiatan pariwisata, maka hendaknya dipertimbangkan. Kegiatan perburuan di TWA dengan sengaja dialokasikan dan ditentukan pada waktu tertentu, bahkan dapat sampai dilakukan penutupan TWA untuk sementara dalam kegiatan perburuan. Hal ini dikarenakan, fungsi utama kawasan adalah untuk ekowisata, pendidikan dan pelestarian alam. Sedangkan untuk alternatif diberlakukannya kegiatan perburuan sebagai salah satu kegiatan yang ada di TWA sulit untuk dilakukan. Hal ini karena untuk program perburuan tidak dapat dilakukan dengan program lain (kegiatan pariwisata) karena luasan yang tidak cukup untuk beberapa program, sehingga kegiatan perburuan hanya dilakukan satu bulan dalam satu tahun. Akan tetapi, masyarakat dengan mata pencaharian seperti penyewaan hotel, ojeg, angkutan umum, dan lain-lain, dapat memanfaatkan waktu kegiatan perburuan karena adanya para pemburu yang datang ke TWA.

Adapun pembagian kawasan dijadikan tempat perburuan ditentukan berdasarkan titik persebaran rusa di TWA. Titik persebaran rusa berada di sekitar pinggir kawasan dengan dataran relatif landai. Ekosistem di sekitar kawasan tempat rusa berkumpul adalah area berumput. Karena kegiatan perburuan dilakukan untuk tujuan konservasi (pengendaliah populasi), maka wilayah dibagikan hanya terbatas pada zona buru, zona penyangga, dan perlindungan.

(12)

Satwa dan Kuota Buru

Satwa yang dijadikan satwa buru ditentukan secara spesifik. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan dari kawasan adalah untuk rekreasi. Adapun perburuan dilakukan untuk mengendalikan satwa yang ada di TWA agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga.

Karingas (2009) mengidentifikasi bahwa jumlah populasi rusa di TWA Pananjung Pangandaran tahun 2009 adalah 73 individu. Untuk menentukan pertumbuhan populasi di masa mendatang dilakukan perhitungan dengan pendekatan model logistik dengan sejang waktu (time lag) 21 tahun. Diasumsikan bahwan laju pertumbuhan (r) sebesar 0.8 dan daya dukung lingkungan sebesar 276 individu per tahun, serta tidak ada kegiatan migrasi, serta angka kelahiran dan kematian sama dengan tahun 2009. Melalui perhitungan model logistik didapatkan pertumbuhan populasi menaik dan kemudian stabil (Gambar 1).

Gambar 1 Pertumbuhan populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran

Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan populasi selama beberapa tahun mendatang. Akan tetapi peningkatan yang terjadi tidak sesuai dengan populasi yang diharapkan. Peningkatan populasi yang tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan dan rusa dapat hidup lestari di TWA Pananjuang Pangandaran, perlu adanya pengendalian populasi.

Pengendalian populasi dapat dilakukan dengan perburuan satwa. Untuk menentukan jumlah satwa yang diburu, maka perlu diperhitungkan pemanenan

0 50 100 150 200 250 300 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 jumlah populasi

(13)

lestari. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rusa yang diburu berjumlah 152 individu. Menurut penelitian Karingas (2009), perbandingan kelas umur populasi rusa antara anak, muda dan dewasa adalah 1 : 1 : 7, maka jumlah populasi berdasarkan kelas umur pada tahun 2018 dengan total 276 individu yakni anak dan muda berjumlah 31, sedangkan dewasa berjumlah 215. Karingas (2009) menambahkan bahwa terdapatnya rusa yang memiliki cacat secara fisik dan rusa dewasa yang jumlah populasinya harus dikurangi.

Penentuan satwa buru dewasa dipertimbangkan dari perbandingan nisbah kelamin. Menurut Karingas (2009), nisbah kelamin rusa di TWA Pananjung Pangandaran adalah 1: 2 untuk semua kelas umur. Namun menurut beberapa penelitian nisbah kelamin rusa, Murwanto et al (2000) di ulau Rumberon nisbah kelamin rusa jantan dan betina adalah 1 : 3. Hasil penelitian Andoy (2002) di Taman Nasional Wasur merauke menunjukkan nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 0,56. Sedangkan Semiadi dan Nugraha (2004) menjelaskan nisbah kemain kelomok rusa tropis adalah dua pejantan untuk 12-20 individu betina. Kemudian di Kaledonia baru, nisbah kelamin jantan dan betina adalah 3 jantan untuk 37 betina, 1 : 20 hingga 1 : 30 untuk rusa di daerah dingin. Perbedaan nisbah kelamin di beberapa daerah dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan dan jumlah populasi. Oleh karenanya, nisbah kelamin yang diterapkan dalam penentuan satwa buru adalah 1 : 2.

Rusa yang dijadikan satwa buru adalah rusa yang memiliki cacat fisik dan rusa dewasa baik jantan dan betina yang sudah tidak produktif dengan memperhatikan nisbah kelamin ataupun yang produktif. Diasumsikan sekitar 20 % dari rusa dewasa yang sudah tidak produktif dan 20 dari semua kelas umur yang cacat, maka satwa buru secara rinci terdiri atas jantan dewasa berjumlah 66 individu, betina dewasa berjumlah 63 individu, 20 individu cacat dari semua kelas umur dan 2 individu dari jantan muda dengan total keseluruhan 152 individu. Penentuan rusa betina dewasa sebagai satwa buru dilakukan dengan banyak pertimbangan, karena betina dewasa memunyai fekunditi dan dalam periode pencarian pasangan, jantan dewasa akan melakukan seleksi, sehingga jumlah betina dewasa umumnya lebih sedikit dijadikan satwa buru.

(14)

Adapun cara membedakan rusa adalah dengan melihat morfologi rusa. Rusa termasuk satwa ruminansia yang memiliki ukuran tubuh. Rusa Timor memiliki ukuran tubuh sekitar 50 – 60 % lebih kecil dibandingkan dengan rusa sambar (Semiadi 2006). Menurut Schhroder (1976) yang diacu dalam Mukhtar (1996) Rusa Jantan memiliki tanduk yang bercabang yang disebut rangga, dengan panjang dua kali panjang kepalanya. Rangga rusa jantan dewasa biasanya memiliki tiga buah cabang runcing dan warna bulu coklat keabu-abuan sampai warna yang lebih gelap (Semiadi 2006). Ekor relatif panjang dengan bulu yang tidak terlalu panjang (Anderson 1984 dalam Semiadi 2006). Perut berwarna lebih terang daripada punggung. Ketiak, pangkal paha, dan bagian dalam dari telinga berwarna putih kekuningan.

Musim Buru

Waktu perburuan dapat dilakukan pada tahun 2015 yakni selain bulan juli dan September. Menurut Phys et al (2008) menyatakan puncak perkembangbiakan rusa di Jawa terjadi antara bulan Juli dan September. Sedangkan kegiatan perburuan dapat dilakukan pada waktu aktif satwa yakni pukul 10.00 – 11.00 saat rusa beristirahat untuk berjemur dan siang hari ada pukul 13.00, namun akan lebih efektif jika perburuan rusa dilakukan pada malam hari. Perlu diketahui rusa merupakan satwa yang hidu berkelomok, sehingga memerlukan waktu yang tepat dengan penembakan yang tepat sasaran sesuai dengan target yang dijelaskan sebelumnya. Oleh karenanya, kegiatan perburuan tidak dilakukan oleh sembarang orang atau yang masih pemula dan perlu adanya pendampingan dari guide yang paham tentang karakteristik rusa yang dijadikan sasaran target, sehingga tidak salah tembak. Untuk kegiatan perburuan di kawasan dengan tujuan pengedalian populasi memerlukan studi pendahuluan serta inventarisasi dalam menentukan lokasi yang tepat dan menentukan sasaran target yang benar.

Senjata Buru

Adapun senjata yang dapat digunakan dalam kegiatan perburuan adalah senjata dengan jarak yang pendek. Sebagai contoh panahan yang memiliki jarak tembak 9,1 m. Pemburu dilarang menggunakan senjata dengan jarak tembak yang

(15)

panjang (misal melebihi 1 km). Hal ini dikarenakan, luasan dari TWA sendiri hanya sekitar 37,7 ha. Oleh karenanya perlu adanya pelatihan dan simulasi sebelum dilakukan perburuan. Pemburu yang dapat melakukan perburuan di TWA adalah pemburu profesional.

KESIMPULAN

Perburuan merupakan suatu bentuk pemanfaatan satwa liar secara lestari. Berdasarkan analisis daya dukung habitat kawasan Kebun Buru Perum Perhutani BKPH Jonggol memiliki potensi yang cukup baik namun perlu dilakukan pembinaan habitat, kondisi vegetasi yang cukup baik yang dapat memenuhi kebutuhan satwa buru terutama untuk sumber pakan dengan produktivitas hijauan pakan yang cukup melimpah, dan kawasan kebun buru dapat menampung jumlah pemburu maksimum sebanyak 108 pemburu setiap tahunnya dengan kuota buru sebanyak 212 ekor per tahun.

Pengelolaan populasi rusa di TWA dapat dilakukan dengan dilaksanakaannya perburuan. Perencanaan pengelolaan kegiatan perburuan di TWA meliputi aspek kawasan dan satwa buru dengan mempertimbangkan kondisi umum dari TWA. Pengelolaan kegiatan perburuan dalam perencanaan kawasan dibagi menjadi 3 zona yaitu zona berburu, zona penyangga dan zona perlindungan. Populasi rusa yang melebih daya dukung lingkungan dikendalikan populasinya melalui perburuan dengan jumlah 152 individu.

Prospek pengembangan kegiatan perburuan rusa pada kedua lokasi bisa dilakukan, hal ini dengan memepertimbangkan beberapa aspek yang telah dikaji. Oleh karena itu integrase antara pengelola (pemegang izin usaha perburuan), pemerintah, serta masyarakat mutlak diperlukan untuk menjamin pelaksanaan kegiatan perburuan yang lestari.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

[USAID] United States Agency for International Development. 2015. Perdagangan Satwa Liar, Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan Hukum Change for Justice Project. Jakarta (ID): USAID.

Gazalba, Sidi. 1996. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara

Thohari AM, Masyud B, Takanjanji M. 2011. Teknik Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan. Bogor (ID): Seminar Sehari Prospek Penangkaran Rusa Timor Sebagai Stok Perburuan, Fakultas Kehutanan IPB.

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar. Bogor (ID) : IPB Press.

[Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1988. Perkembangan Perburuan di Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan.

Kartono AP, Santosa Y, Darusman D, Thohari AM. 2008. Penentuan kuota buru dan introduksi populasi tusa sambar untuk menjamin perburuan lestari. Media Konservasi.13 (2). Hal 53-58.

Madhusudan MD, Karanth KU. 2002. Local Hunting and The Conservation of Large Mammals in India. Ambio. 3:49-54.

Mukhtar AS. 1996. Studi dinamika populasi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dalam menunjang manajemen Taman Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa Tenggara Barat [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Ratag ESA. 2006. Kajian Ekologi Populasi Rusa Sambar (Cervus unicolor) dalam Pengusahaan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Kabupaten

Sumedang, Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Santosa Y, Firmansyah. 2012. Prospek pengembangan kebun buru rusa perum perhutani BKPH Jonggol Jawa Barat berdasarkan tinjauan ekologi. Jurnal Pertanian Indonesia. 17 (1).

(17)

Yunitasari V. 2005. Peluang bisnis penangkaran rusa milik Perum Perhutani BKPH Jonggol, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Andoy EFS. 2002. Studi populasi rusa timor (Cervus timorensis) dan perburuan

Biologi LIPI. Bogor.

[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II 2006. Rencana Pengelolaan TWA Pangandaran, Balai KSDA Jawa Barat II.

Karingas GE. 2009. Pendugaan daya dukung dan model ertumbuhan populas rusa timor di Cagar Alam/Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Semiadi G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan pemennuhan gizi masyarakat. Puslit Biologi LIPI

Semiadi G. dan Nugraha RTP. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Puslit Susetyo B. 1980. Padang Penggembalaan. Bogor: Fakultas Peternakan IPB. Yuliati A. 2011. Penentuan ukuran populasi minimum dan optimum rusa timor

(Rusa timorensis) berdasarkan parameter demografi studi kasus di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman nasional Alas Purwo. [skripsi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Gambar

Gambar 1 Pertumbuhan populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung  Pangandaran

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian yang dilakukan Saleh (2003), tentang pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah, perlakuan ekstraksi 30 hari menunjukkan

Bagaiaman hubungan korelasi hasil pengukuran suction menggunakan metode kertas filter whatman No.42 dengan hasil tes kuat tekan, tes porositas dan tes upv untuk

Secara singkat penjelasan urutan tahapan pelaksaan pekerjaan pelapisan ulang diawali dengan pekerjaan cold milling pada landasan pacu, kemudian dilaksanakan penyemprotan tack

Pada penelitian ini dilakukan p erancangan sistem yang akan dibuat adalah Sistem Informasi Reservasi Lapangan Futsal dengan menggunakan metode waterfall serta tool

Banten West Java Tourism Development Corporation sebagai badan usaha pengusul dan telah memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39

Berlawanan dengan kondisi superkritis dimana reaksi radikal bebas mendominasi sehingga dihasilkan metanol sebagai produk utama dan produk-produk yang terbentuk

Peserta wajib mengikuti format kertas Penyajian karya yang sudah ditetapkan oleh panitia :.. b) Mengirim Via Pos Cap Tertanggal 11 Desember 2016 Atau Menyetor

Dari kerangka penelitian ini, penulis dapat mengambil arti dan perkiraan bahwa strategi penetapan harga harus sesuai dengan harapan dan kinerja produk yang diharapkan