• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 1 Maret 2017 E-ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 1 Maret 2017 E-ISSN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT MELALUI

TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PEMANFAATAN BAMBU OLAHAN

DI KECAMATAN TANRALILI KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN

The Community Revenue Improvement Efforts By The Cultivation Technology

And Utilization Of Processed Bamboo In Tanralili Districts

Of Maros In South Sulawesi

Muthmainnah

Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Makassar

ABSTRACT. The general purpose of this study was to build the management and utilization of the bamboo

economically. The specific purpose of this research (1) was to know the techniques of cultivation and utilization

of the bamboo in the community, (2), the incomes from the utilization of the bamboo, and (3) the marketing of the bamboo. The population that used in this research was the whole area of the bamboo utilization in Tanralili districts that consists 16 villages. The sample that used was the community who lives in Toddopulia and Lekopancing, Tanralili. Results of the research showed that the bamboo cultivation techniques by the

community consist of some activities; preparation,planting, maintenance, fertilization, pest and disease control, and logging (harvesting). The revenue of the bamboo are; the bamboo merchants are Rp. 53.658 million/year, the meatball skewer makers/skewers are Rp. 39.0391 million/year and the manufacturer of bale-bale are Rp. 15.6666 million/year. The trade channel for the bamboo traders are from the owner to traders then to consumers. The trade channel for the meatball skewer makers/skewers and bale-bale are from the owner of the bamboo to the skewermeatball makers and the bale-bale then to consumers.

Keywords: Revenue; Cultivation; Bamboo

ABSTRAK. Tujuan umum penelitian, adalah membangun pengelolaan dan pemanfaatan bambu secara ekonomi. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini (1) mengetahui teknik budidaya dan pemanfaatan bambu dimasyarakat, (2) pendapatan masyarakat dari pemanfaatan bambu, (3) saluran tataniaga (pemasaran) bambu.Populasi penelitan adalah seluruh areal pemanfaatan bambu yang berada di Kecamatan Tanralili. Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di Kecamatan Tanralili yang terdiri dari 16 desa yang diambil untuk sampel sebanyak 2 desa yaitu Desa Toddopulia dan Desa Lekopancing. Hasil penelitian Teknik budidaya bambu yang dilakukan masyarakat terdiri dari kegiatan persiapan penanaman, penanaman, pemeliharaan,pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan penebangan (pemanenan). Pendapatan yang diperoleha dari bambu adalah pedangang bambu sebesar Rp. 53.658.000/tahun, pembuat tusuk bakso/tusuk sate sebesar Rp. 39.039.100/tahun dan pembuat bale’-bale sebesar Rp. 15.666.600/tahun Jalur tata niaga untuk pedagang bambu adalah dari pemilik bambu ke pedagang pengumpul kemudian ke konsumen. Jalur tata niaga untuk pembuat tusuk bakso/tusuk sate dan bale’-bale’ adalah dari pemilik bambu ke pembuat tusuk bakso dan bale’-bale kemudian ke konsumen.

Kata kunci: Pendapatan; Budidaya; Bambu

(2)

Penelitian ini akan memberikan informasi tentang budidaya, pemanfaatan bambu secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat dari pemanfaatan bambu dan mempelajari tataniaga bambu oleh masyarakat Kabupaten Maros yang pekerjaanya sebagai pengumpul yang menampung dari masyarakat serta pemasar (penjual) hasil produksi bambu.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui teknik budidaya dan pemanfaatan bambu dimasyarakat,(2) mengetahui pendapatan masyarakat dari pemanfaatan bambu,(3) mengetahui saluran tataniaga (pemasaran) bambu.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanralili. Penelitian ini dilaksanakan selama enam (6) bulan, mulai bulan Juli sampai Desember 2016..

Populasi penelitan adalah seluruh areal pemanfaatan bambu yang berada di Kecamatan Tanralili. Sampel penelitian adalah masyarakat yang berada di Kecamatan Tanralili yang terdiri dari 16 desa yang diambil untuk sampel sebanyak 2 desa yaitu Desa Toddopulia dan Desa Lekopancing dengan jumlah responden 30 orang. Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai budidaya tanaman bambu, bentuk pemanfaatan bambu, pendapatan masyarakat dan pemasaran di lokasi tempat dilaksanakan penelitian. Rahim dan Diah (2007) menyatakan bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam sekali periode. Pendapatan dan biaya usahatani ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Supratman (1998) dan Prayitno H (1997) untuk menghitung besarnya pendapatan masyarakat pada saat penelitian, baik dari hasil pengelolaan maupun pendapatan di luar pengelolaan dihitung dengan menggunakan rumus :

PENDAHULUAN

Pemanfaatan hasil hutan non-kayu di Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh penduduk di sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan pemungutan dan pengusahaan hasil hutan non-kayu mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengurangi pengangguran dan sebagai sumber mata pencaharian. Salah satu hasil hutan non-kayu yang dikenal oleh masyarakat di sekitar hutan adalah bamboo (Agus I dkk, 2006).

Indonesia merupakan negara penghasil bambu yang cukup besar. Banyak manfaat yang diambil dari pohon bambu, terlihat dari produk-produk yang dihasilkan. Setiap propinsi di Indonesia mempunyai tanaman bambu, baik tumbuh secara liar, ataupun sengaja ditanam di lahan perkebunan. Bambu merupakan kekayaan hutan bukan kayu yang merupakan bagian dari kekayaan sumber daya hutan Indonesia. Bambu dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengurangan penggunaan kayu di hutan yang semakin terbatas keberadaannya (Otjo dan Atmaja,2006).

Bambu merupakan kelompok hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial dapat mensubstitusi penggunaan kayu. Keberhasilan bambu mensubstitusi kayu untuk bahan baku industri berbasis bahan baku kayu dapat dilihat dari beberapa produk yang beredar di pasaran seperti sumpit, tusuk gigi, particleboard, dan gagang korek api (Berlian,1995).

Bambu yang termasuk tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun) merupakan salah satu sumber daya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu (Krisdianto et al. 2000).

Kabupaten Maros merupakan salah satu daerah yang berpotensi menghasilkan bambu. Daerah penghasil bambu terdapat di Kecamatan Tanralili. Meskipun tanaman ini cukup dikenal masyarakat dan merupakan tanaman serba guna serta dapat menambah pendapatan masyarakat yang digarap secara maksimal, namun hingga saat ini bambu kurang mendapat perhatian (kurang ditonjolkan).

(3)

I = TR – TC

Keterangan : I = Pendapatan TR = Total penerimaan TC = Total biaya

Selanjutnya dihitung pendapatan total petani dengan menggunakan rumus:

I Total = I

Bambu

+ I

Bukan Bambu

HASIL PENELITIAN

Budidaya Tanaman Bambu

Berdasarkan wawancara terhadap 30 petani bambu di Desa Toddopulia dan Desa Lekopancing, tehnik budidaya bambu yang dilakukan meliputi persiapan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan penebangan (pemanenan). Menurut Sutiyono dkk (1996), persiapan tanam terdiri dari pembukaan lahan, pembersihan dari semak belukar, pemasangan ajir, pembuatan lobang tanam dan pemberian pupuk yang dilakukan menjelang musim hujan. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengolahan tanah. Setelah tanah diolah, dilanjutkan penentuan jarak tanam dimana titik-titik yang ditentukan dipasangi ajir.

Pemanfaatan bambu yang dilakukan dengan mengunakan teknologi paling sederhana hingga teknologi tinggi diantaranya adalah:bambu lapis, bambu lamina, papan semen, arang bambu, pulp, kerajinan dan handicraft, sumpit, furniture dan perkakas rumah tangga, komponen bangunan dan rumah, sayuran dan bahan alat musik tradisional (Batubara, 2002).

Pendapatan Masyarakat dari Tanaman Bambu

Pedagang Bambu

Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan sudah menyebar di kawasan Nusantara. Tanaman ini dapat tumbuh di

daerah iklim basah sampai iklim kering (Departemen Kehutanan & Perkebunan, 1999).

Rahim dan Diah (2007) menyatakan bahwa pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Sedangkan menurut Sukirno (2002) Pendapatan total usahatani (pendapatan bersih) adalah selisih penerimaan total dengan biaya total yang dikeluarkan dalam proses produksi

Masyarakat yang menanam bambu memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp. 3.156.352/ tahun. Banyaknya produksi bambu tiap responden berbeda-beda tergatung banyaknya rumpun bambu yang dimiliki. Semakin banyak rumpun bambu maka bambu yang dipanen juga semakin Responden yang mendapatkan pendapatan yang paling tinggi adalah Dg. Janji sebesar Rp. 9.900.000. Hal ini disebakan karena Dg. Janji memiliki rumpun bambu yang banyak dibandingkan dengan petani bambu yang lainnya. Harga bambu yang terdapat lokasi penelitian relative rendah dibandingkan dengan harga jual bambu bulat di desa lain. Petani bambu di Desa Toddopulia dan Desa Lekopancing menjual bambu dseharga Rp. 7000/ batang. Untuk biaya produksi yang dikeluarkan petani relative rendah karena petani bambu tidak menggunakan alat transportasi untuk mengangkut bambunya. Petani bambu tersebut hanya mengeluarkan biaya penebangan sebesar Rp. 1.500/batang.

Pendapatan dari Tusuk Bakso/Sate

Masyarakat dari kedua desa tersebut mendapatkan pendapatan dari pembuatan tusuk bakso/sate. Di Desa Toddopulia lebih banyak petani yang membuat tusuk bakso/sate dibandingkan dengan Desa Lekopancing. Hal ini disebabkan karena di Desa Toddopulia masyarakatnya memiliki banyak lahan bambu dibandingkan dengan Desa Lekopancing. Pendapatan yang dipeoleh kedua desa tersebut dari pembuatan tusuk bakso/ tusuk sate sebesar Rp. 39.039.100/tahun dengan rata-rata pendapatan Rp. 4.337.677/tahun. Ini

(4)

membuktikan bahwa masyarakat mendapatkan pendapatan yang tergolong tinggi dari pembuatan tusuk sate. Masyarakat di Desa Lekopancing dan Desa Toddopulia lebih menekuni pembuatan tusuk bakso/tusuk sate karena tidak membutuhkan banyak modal dan tenaga.

Masyarakat dari kedua desa tersebut mendapatkan pendapatan dari pembuatan tusuk bakso/sate. Di Desa Toddopulia lebih banyak petani yang membuat tusuk bakso/sate dibandingkan dengan Desa Lekopancing. Hal ini disebabkan karena di Desa Toddopulia masyarakatnya memiliki banyak lahan bambu dibandingkan dengan Desa Lekopancing. Pendapatan yang dipeoleh kedua desa tersebut dari pembuatan tusuk bakso/ tusuk sate sebesar Rp. 39.039.100/tahun dengan rata-rata pendapatan Rp. 4.337.677/tahun. Ini membuktikan bahwa masyarakat mendapatkan pendapatan yang tergolong tinggi dari pembuatan tusuk sate. Masyarakat di Desa Lekopancing dan Desa Toddopulia lebih menekuni pembuatan tusuk bakso/tusuk sate karena tidak membutuhkan banyak modal dan tenaga.

Pendapatan Masyarakat dari Bale’-bale’ Masyarakat mendapatkan pendapatan dari pembuatan bale’bale.Dari 4 responden di lokasi penelitian terdapat dua pengrajin bale-bale dari Desa Toddopulia dan dua pengrajin dari Desa Lekopancing dengan pendapatan sebesar Rp. 15.666.500/tahun dengan rata-rata Rp. 3.916.625/ tahun/responden. Responden yang memiliki pendapatan paling tinggi adalah Dg. Sanne pengrajin dari Desa Toddopulia dengan pendapatan sebesar Rp. 6.806.500/tahun. Hal ini disebabkan karena Dg. Sanne mampu menghasilkan bale-bale lebih banyak dibandingkan dengan responden yang lain sehingga pendapatannya pun lebih besar. Faktor umur juga membuat Dg, Sanne mampu menghasilkan bale-bale lebih banyak dibanding dengan yang lain. Umur Dg. Sanne adalah 45 tahun. Sedangkan yang paling rendah adalah dg.Te’ne dengan pendapatan sebesar Rp. 1.761.000. dg. Te’ne memperoleh pendapatan yang paling rendah

karena Dg.Te’ne hanya mampu menghasilkan satu bale-bale perbulan karena sudah tidak mampu membuat dalam jumlah banyak disebabkan umur yang sudah tua.

Total Pendapatan Petani Bambu

Ada banyak pendapatan yang diperoleh masyarakat dari Tanaman Bambu di Desa Toddoupulia dan Desa Lekopancing. Jenis pendapatan dari bambu yaitu dari penjualan bambu, pembuatan tusuk sate/tusuk bakso dan pembuatan bale’-bale. Total pendapatan petani bambu dapat dlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pendapatan Total dari Tanaman Bambu di Desa Toddopulia dan Desa Toddopulia

No. Jenis Pendapatan

dari Bambu Total Pendapatan (Rp/Tahun) (%) 1. 2. 3. Pedagang Bambu Pembuatan Tusuk Bakso/Tusuk Sate Pembuatan Bale’-bale 53.658.000 39.039.100 15.666.500 49,5 36 14,5 108.363.600 100 Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pendapatan masyarakat dari tanaman bambu paling tinggi adalah pedagang bambu dengan persentase sebesar 49,5 %. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih menginginkan menjadi pedagang bambu saja dibandingkan menjadi pembuat tusuk bakso/tusuk sate dan pembuat bale-bale. Yang paling rendah adalah dari pembuatan bale-bale dengan persentase 14,5%.

Tata Niaga Pemasaran Bambu

Jalur tataniaga (saluran pemasaran) bambu tergantung pada produk yang dipasarkan. Pasar merupakan tujuan akhir dari semua usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat(Sudiyono,2001)

Petani bambu memasarkan produk berupa bambu bulat (buluh). Harga buluh tergantung

(5)

pada besar-kecilnya diameter buluh dengan panjang tujuh meter. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses tataniaga ini adalah pedagang pengumpul, pangkalan bambu, dan konsumen. Jalur tataniaganya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jalur Tata Niaga Bambu

Gambar 1 menunjukkan bahwa pemilik bambu menjual bambunya ke padagang pengumpul, kemudian pedagang menjual ke pangkalan bambu, dan selanjutnya dijual ke konsumen. Pemilik bambu adalah masyarakat yang memiliki rumpun bambu. Pedagang pengumpul merupakan pedagang yang membeli dan mengumpulkan bambu dari masyarakat dan kemudian akan dijual ke pangkalan bambu.

Untuk tusuk baso petani bambu biasa menjual dalam bentuk ikat. Kedua usaha kerajinan ini dibuat sesuai dengan pesanan konsumen. Jika tidak ada yang memesan maka petani bambu tidak akan membuatnya. Adapun jalur tata niaga dari tusuk bakso/tusuk sate dan Bale’bale dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jalur Tata Niaga Tusuk bakso

Gambar 2 menunjukkan bahwa jalur tata niaga pembuat tusuk bakso dan bale’-bale berbeda dengan jalur tata niaga untuk pedagang bambu. Untuk pembuat bakso dan bale-bale tidak terdapat pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena mereka membuat sesuai dengan pesanan. Jika ada yang memesan barulah petani tersebut akan membuatnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulanya adalah teknik budidaya bambu yang dilakukan masyarakat terdiri dari

kegiatan persiapan penanaman, penanaman, pemeliharaan,pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan penebangan (pemanenan). Pendapatan yang diperoleha dari bambu adalah pedangang bambu sebesar Rp. 53.658.000/ tahun, pembuat tusuk bakso/tusuk sate sebesar Rp. 39.039.100/tahun dan pembuat bale’-bale sebesar Rp. 15.666.600/tahun Jalur tata niaga untuk pedagang bambu adalah dari pemilik bambu ke pedagang pengumpul kemudian ke konsumen. Jalur tata niaga untuk pembuat tusuk bakso/tusuk sate dan bale’-bale’ adalah dari pemilik bambu ke pembuat tusuk bakso dan bale’-bale kemudian ke konsumen.

Saran

Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, perlu adanya perhatian khususnya dari pemerintah dan perlu adanya peninjauan terhadap masalah-masalah apa saja yang menghambat proses pemasaran bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, I., Krisdianto, Sumarni G. 2006. Sari Hasil Penelitian Bambu. http://www.dephut. go.id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.html. (Diakses tanggal 20 Maret 2015)

Batubara, R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. Digitized by USU Digital Library. Berlian, N. dan Rahayu, E. 1995. Jenis Dan Prospek

Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta.

Krisdianto, Sumarni G, Ismanto A. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan Dan Bambu. Bogor: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Dan Perkebunan Bogor.

Muhdi. 2008. Prospek, Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu Rotan. http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/996/1/0

(6)

8E00709.pdf (diakses tanggal 20 Maret 2015)

Otjo dan Atmadja, 2006. Bambu, Tanaman Tradisional Yang Terlupakan.http:// www.freelists.org/archives/ppi/09-2006/ msg00010.html diakses tanggal 20 Maret 2015)

Prayitno, H dan L. Arsyad. 1997. Petani desa dan kemiskinan, Yogjakarta: BPFE.

Rahim, Abd dan Hastuti, Diah Retno. 2007. Pengantar teori dan kasus. Ekonomika Pertanian, Jakarta: Penebar Swadaya Suratiyah, Ken 2006. Ilmu Usahatani. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya

Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press). Malang.

Supratman. 1998. Pengkajian Nilai Hutan: Studi Kasus Alih Fungsi Areal HTI Menjadi Fungsi Lindung pada PT. Inhutani I Gowa-Maros. Tesis Program Pascasarjana Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Sutiyono, Hendromono, Marfu’ah, Ihak. 1996.

Teknik Budidaya Tanaman Bambu. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan.

Gambar

Gambar 1. Jalur Tata Niaga Bambu

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pusat Pelelangan Ikan dengan Pendekatan Arsitektur Ekologi di Kabupaten Bone merupakan suatu wadah

Maka selanjutnya dapatlah dijelaskan: tentang anasir-anasir lingkungan apa saja yang mempengaruhi besarnya debit aliran sungai tersebut, sehingga dapat dinyatakan

Preferensi Pegawai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai produk perencanaan biaya pendidikan anak adalah produk perencanaan baiaya pendidikan anak yang dikeluarkan oleh

Masyarakat petani di pedesaan pada dasarnya berada pada posisi yang lemah baik secara ekonomi maupun dari aspek yuridis , apalagi didaerah lahan kritis yaitu

Pemupukan SP-36 WIKA Agro dosis 40 kg P ha -1 nyata meningkatkan bobot brangkasan kering tanaman jagung dibandingkan dengan kontrol, dan sama dengan perlakuan SP-36

Perubahan tata ruang terkait dengan konteks mikro (riwayat keluarga, struktur keluarga, hobi/selera/kebiasaan, pergaulan, kognisi) dan makro (kondisi ekonomi, sosial, dan

Model Sirkuler di atas, jika dihubungkan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu Customer Service Representative di Plasa Telkom Sudirman Pekanbaru pada waktu

Perlakuan terbaik velva adalah NU3 dengan total padatan 31,67%, overrun 4,23%, kadar serat kasar 1,93%, waktu leleh 7,25 menit, derajat keasaman 5,07, dan penilaian sensori warna