• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasikh dan Mansuk dalam Al Qur an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nasikh dan Mansuk dalam Al Qur an"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Nasikh dan Mansuk dalam Al Qur’an

I. Mukadimah

! "

#$

%

&'

()

*+$

(

.

/

0

&1

0)

23$

4

5

67

$89

:2

;

9 /

<,

=>

?

@(

AB

(;

C"

D>

EFG

.

$

H9

Mayoritas ulama, menurut Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya “Nawaasikhul Qur’an” bersepakat bahwa Nasikh-Mansukh diperbolehkan menurut akal dan syariat. Imam Syafi’I dalam kitab “Ar Risalah” berkata :

“Allah menciptakan manusia sesuai kehendak-Nya untuk menciptakan mereka. Ketetapan ini telah ada dalam pengetahuan-Nya. Tidak ada yang menyalahi ketetapan-Nya, dan Dia Maha Cepat perhitungan-Nya. Allah menurunkan kitab kepada mereka sebagai penjelasan terhadap segala sesuatu, petunjuk dan rahmat. Didalam Kitab ini Allah membuat kewajiban-kewajiban. Sebagian kewajiban ini dijadikan-Nya tetap berlaku, dan sebagian lain di-nasakh-Nya (dihapus) sebagai bentuk rahmat bagi manusia dengan memberikan keringanan dan kelonggaran bagi mereka, dan dengan menambahkan nikmat diluar nikmat yang telah ada. Allah membalas kepatuhan mereka terhadap kewajiban yang dijadikan-Nya tetap berlaku itu dengan surga-Nya dan keselamatan dari adzab-Nya. Jadi rahmat Allah tetap meliputi mereka, baik kewajiban itu dijadikan-Nya tetap berlaku maupun dihapus-Nya.

II. Definisi Nasikh dan Mansukh

Syaikh Manna’ Al Qoththon dalam “Mabaahits fii ulumil Qur’an” mendefinisikan Nasikh secara bahasa adalah “Izalah” (menghilangkan) adapun secara istilah adalah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain”. Disebutkan kata “hukum” disini, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh (Al Baro’ah Al Ashliyah)”, tidak termasuk yang dinasakh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan.

III. Dalil adanya Nasikh dan Mansukh

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab diatas menyebutkan dalil secara akal terjadinya nasikh-mansukh, kata beliau rohimahulloh :

(2)

$

%

,<

ID3

J

:

K

(

L$

MN$

:O

M1$

:O

P

G

QR

J

A3S

((

:>

=H

=

T

$

M$H$

U

H(

$8(

EV9

.

W

G

X F

YZ [

>

M1O

=H

T

%H

=

$,

$,

&'(

\

7

L

, <

T

%H

:>

=

M 3$

@1G

@(

\

:>

]7

^ ]7 9

$,

U

L

_=`

? H>

%3(

#$

;

?W

aV

#$

M1

?W

CD

U

L

b>5

c

%

5 3

C

d 1O 9

C

“Adapun dalil diperbolehkannya nasikh secara akal adalah bahwa pembebanan syariat tidak terlepas dari kehendak yang Membebani (dalam hal ini Allah ) atau kepada kemaslahatan yang dibebani (dalam hal ini hamba-Nya). Maka berdasarkan kepada yang pertama yaitu kehendak Allah , maka tidak ada halangan bagi-Nya untuk menetapkan pembebanan pada hukum tertentu kemudian menghapuskannya dan memerintahkan hukum lainnya”.

Adapun berdasarkan kepada yang kedua, maka diperbolehkan nasikh-mansukh sebagai kemaslahatan kepada para hamba-Nya pada perbuatan ibadah pada suatu masa dengan masa lainnya. Jelaslah hal ini bahwa boleh secara akal pembebanan ibadah yang terlarang seperti puasa pada hari tertentu, maka pembebanan ini digantikan seiring pergantian zaman, kemudian telah tetap bahwa Allah terkadang menjadikan seorang yang miskin menjadi kaya dan dari sehat menjadi sakit, menggilirkan musim panas dengan musim dingin dan malam dengan siang. Dialah Yang Maha Mengetahui Kemaslahatan dan Dialah yang memiliki hukum”.

Kemudian dalil secara syara’, Imam Ibnul Jauzi masih dalam kitab yang sama mengatakan :

%

,<

ID3

7

L

_=`

#$

#(

@e

@JD

M;Z )

#$

*

,<

f 7

ghR

gi

@5 j

%H

T

@(

_=D

U

ID7

!i

T

MH(

"$

!\G

@

_7 G

Mk =$

U

_$k

T

#(

"$

P

\

l

ID39

; h

T

m;

aHO

“Adapun dalil bolehnya nasikh secara syara’ adalah telah tetap bahwa termasuk dari agamanya Nabi Adam dan beberapa keturunannya, diperbolehkan untuk menikahi saudara perempuannya yang masih memiliki hubungan mahram, kemudian bekerja pada hari Sabtu, lalu syariat ini dihapuskan pada syariat Nabi Musa , demikian juga lemak pada asalnya mubah, kemudian diharamkan pada agama Nabi Musa . Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa ini bukan nasikh maka sebenarnya perselisihannya adalah pada masalah lafadz (bahasa) bukan secara makna”.

Imam Syafi’I dalam kitab “Risalah” telah menyebutkan dalil dalam Al Qur’an tentang kebolehan terjadinya nasikh-mansukh, Firman-Nya :

nop(

nq

p$

r^ pp(

n_s=tFn(p

n*po3u p

v@w

sx put

(3)

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),

dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d (13) : 39).

Kemudian Imam Syafi’I menafsirkannya : “mengenai maksud firman Allah

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki”,

ada yang berpendapat bahwa Allah

menghapus kewajiban yang dikehendaki-Nya dan menetapkan kewajiban lain yang dikehendaki-Nya”. Kemudian beliau rohimahulloh juga membawakan dalil lain,

p$

oIpDo3p7

o#u$

yMp(ze

o{

p|Do3n7

ugt8p7

}op~s9

po3u$

o{

putFu$

oC{{

oC{oHp>

q{

pq

{p

%wG

€^op

‚(u{L

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami

datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu

mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al Baqoroh

(2) : 106).

Kata Imam Syafi’I : “disini Allah menjelaskan bahwa nasakh Al Qur’an dan penundaan turunnya itu hanya dengan Al Qur’an”.

IV. Jenis-Jenis Nasikh-Mansukh

Imam Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa nasikh-mansukh dalam Al Qur’an ada 3 jenis :

1. Nasikh dalam bacaan dan hukumnya

Jenis pertama, dicontohkan oleh Syaikh Manna dalam kitabnya diatas yaitu riwayat Imam Muslim dan lainnya, dari Aisyah , ia berkata :

“Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah bahwa sepuluh susuan yang diketahui

itu menyebabkan pemahraman, kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui.

Ketika Rasulullah wafat, lima susuan ini termasuk ayat Al Qur’an yang dibaca (berlaku).

Syaikh Manna mengomentari : “Secara zhahir menunjukkan bahwa bacaannya masih tetap (ada). Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika menjelang Nabi wafat. Yang jelas ialah bahwa tilawahnya (bacaannya) telah dinaskh (dihapuskan), tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu, ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya (sebagai bagian dari Al Qur’an).

2. Nasikh dalam bacaan, tetapi hukumnya tetap berlaku

Misalnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Shahihain dan ini adalah lafadz Muslim, Shahabat Anas berkata :

(4)

{QpYo7{

nq

ƒYp

q%p<p

u

p#(u\q

wuwL

stNs=s9

{Mp7nHp$

„7eowL

n* p7tp{L

ƒpk

pI|Dn7

noHp9

t{

nVp9

p3p$o{L

t{

o{L

p3u{

p3ƒ9p5

pu'p{

ƒ3p

p3u'p5p

no3p

“Alllah Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berkaitan dengan orang-orang yang

terbunuh di sumur Maunah sebuah ayat Al Qur’an yang kami baca, sampai kemudian

dihapus (bacaannya dalam Al Qur’an) yaitu : “Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami

bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kita, maka Dia ridho kepada kami dan kami pun

ridho kepada-Nya”.

Ayat ini telah pasti tidak kita temukan dalam Al Qur’an yang dibukukan oleh para sahabat yang menunjukkan dari perkataan Anas tadi bahwa ayat tersebut telah dihapus bacaannya. Adapun hukumnya tetap berlaku, sebagaimana firman Allah :

{ws9 ƒDp

{wƒ{8t

p#u$

p#(ss< pnt

s5 p1o7{8tp

p#(u\qp

oCnnHp=ƒ>

y pDoksPs9

pu'p5

nq

oCno3p

n'p5p

no3p

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan

muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha

kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (QS. At Taubah (9) : 100).

3. Nasikh dalam hukum, tetapi bacaannya masih berlaku

Imam Syafi’I dalam “Risalah” menyebutkan contohnya, kata beliau rohimahulloh :

Diantara hal yang disitir oleh perowi, kudengar riwayatnya dari para ulama adalah bahwa Allah telah menurunkan kewajiban sholat sebelum kewajiban sholat lima waktu. Allah berfirman :

p(

pv({

w%…$ƒYnt

)

1

(

sCwL

{%oq

qsW

‰u{L

)

2

(

n{;o1s7

s{

o‹wo7

no3u$

‰u{L

)

3

(

o{

os,

uo{p

s%…>p5p

{zeowt

‰u>op>

)

4

(

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari,

kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu

sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”

(QS. Al Muzammil (73) : 1-4).

Kemudian Allah menasakh kewajiban ini didalam surat yang sama, firman-nya :

qsW

p!ƒ9p5

nC{oHp(

p!ƒ7{

n@wp>

p7o{

o#u$

s{Fww`

s%oq

n{;o1s7p

n{Fww`p

ŽM{;uZ {)p

p#u$

p#(u\q

p!pHp$

nqp

n5…{n(

{%oq

p5 pƒ3p

pCup

t{

o#{

n*n1on>

px p{

oCwo{p

r^ptL {

p$

pƒDpp>

p#u$

uzeowt

pCup

t{

wwpp"

oCwo3u$

p'op$

{nphzep

(5)

{n9so]p(

u

so5{8t

{nVpo=p(

o#u$

s%o]{

uq

{nphzep

{wu> {n(

u

s%s=p"

uq

r^ptL {

p$

pƒDpp>

no3u$

nuL{p

{ {ƒ1

n>zep

{ {GƒY

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari

dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)

segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam

dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas

waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang

mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu

orang-orang yang sakit dan orang-orang-orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia

Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang

mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat” (QS. Al

Muzammil (73) : 20).

Jadi, jelas didalam Kitab Allah bahwa sholat sepanjang malam, separuhnya, kurang dari separuh atau lebih dihapus dengan firman Allah :

“maka bacalah apa yang mudah

(bagimu) dari Al Quran”.

V. Studi Kasus ayat 214 Surat Asy-Syu’ara

Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan dari Shahabat Ibnu Abbas bahwa beliau berkata :

ƒ{

o_{pYp7

)

o5u\o7{p

p!p>pEup

ps9ptLzR

(

p!{2op5p

nCno3u$

pu1{o~nt

p‘pph

wQn"p5

uq

’

/

C"

’

ƒpk

puHp/

{;ƒ1

“ketika turun ayat : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan

dari kalangan mereka yang ikhlas”, Nabi

pun keluar lalu naik keatas bukit shoafa…”.

Imam Qurthubiy dalam “Tafsirnya” ketika menafsiri ayat 214 surat Asy-Syu’araa berkata :

AL

T

&/

CD$

" :

5\7

!>E

9L

!25

C3$

1~O

."

•

\

7

G

7eL

(

7

ID7

iW

–

_=F(

7

T

:1O

>>

.

@Y(

>=`

Q W

7

G

@Y(

5\3(

W

#$

#$e

#$

>E

P

3$—O

C

#(\

;/(

˜Jh 9

T

#(

@J"

T

bk

™3

/

C"

GO

D

›

#$

!i

63

/

C"

>E

CG

C3$—$

C G

5\7

CHœ

#$

CH$

#$

8(

CH9

/

C"

C

_=F(

!i

J7

aH$

“Terdapat dalam riwayat Muslim :

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang

terdekat, dan dari kalangan mereka yang ikhlas”.

Yang nampak bahwa (tambahan riwayat

(6)

tetap penukilannya dalam mushaf dan tidak mutawatir. (seandainya) kita tetapkan bahwa hal tersebut adalah Al Qur’an yang dihapus, maka ada kerancuan, yakni mengharuskan kepada Nabi untuk tidak memberikan peringatan kecuali kepada orang-orang yang beriman dari kalangan kerabatnya, karena kaum mukminin adalah orang-orang yang disifati dengan keikhlasan didalam agama Islam dan kecintaan kepada Nabi , ini tentunya bukan sifat orang-orang musyrik, karena mereka sifatnya tidak seperti itu. Sedangkan Nabi mendakwahkan kepada kerabatnya baik yang Mukmin maupun yang kafir, Nabi mengingatkan mereka semuanya, kepada orang-orang yang bersama mereka dan orang-orang-orang-orang yang datang belakangan, maka hal ini tidak tetap penukilannya tambahan ini adalah ayat Al Qur’an baik secara riwayat maupun makna”.

Perkataan Imam Qurthubi bahwa tambahan ini terdapat dalam shohih Muslim, kemungkinan karena mengikuti informasi yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam “Syarhul Muslim” yang mana Imam Nawawi berkata :

u {ž{

u*u\p

p5 p=uHt

q{

o{L

) :

!2op5p

oCno3u$

pu1{o~nt

(

{ {G

„7eowL

{QsYo7w

ƒCw`

o_p~|Dn7

>p {u>

oC{p

A{p>

u*u\p

p p(…Y

u

g p(ps5

Ÿ s5 p~n=t

“Dhohirnya ucapan ini:

“dan dari kalangan mereka yang ikhlas”.

Adalah Al Qur’an yang diturunkan, kemudian dihapus bacaannya dan tambahan ini tidak terdapat dalam riwayat Bukhori”.

Namun sebagaimana yang kita dapati dalam shahih Bukhori tambahan ini terdapat dalam kitab shahihnya pada tafsir surat “Tabbat”. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” menyanggah perkataan Imam Qurthubi yang merasa terdapat kerancuan dengan adanya tambahan tersebut, kata Beliau rohimahulloh :

xpp[tp

o#p

p!u{i

nƒ7{

{

As3pop(

:t2p

Ÿ˜ p~t

{p

Ÿ@ pHt

o{{

) :

o5u\o7{p

!>pEup

(

Ÿ@ p

o#pu

p#p$e

oCno3u$

o#p$p

oC{

#u$o—n(

¡

ƒCw`

p:{2p

uo{p

¢oƒ

pu1{o~nt

„(so3p>

oCss9

„uGt8p>p

qQppo"p

£oHp9

Mƒuu pt

uuo{s9

u

{\p

¤(upt

"

p(

Mpu) {

_o3s9

ƒpn$

s3up"

o#u$

u p$

p$

_tNu

{

s3t¥w

!o3p

o#u$

q

‰Nop

"

“Jawabannya adalah hal ini tidak menghalangi untuk athof (menyambungkan) yang khusus kepada yang umun, maka ucapan-Nya :

“Dan berilah peringatan kepada

kerabat-kerabatmu yang terdekat”

. Itu umum mencakup orang yang beriman dan tidak beriman

dari kalangan kerabat Nabi , kemudian athof

“Kerabat yang ikhlas”

ini sebagai pengarahan dan penguat, sebagian Malikiyyah berdalil dengan sabda Nabi :

“Wahai

Fatimah binti Muhammad, mintalah kepada harta yang engkau inginkan, aku tidak bisa

mencukupimu disisi Allah

sedikitpun”.

(7)

Sehingga seandainya ada syubhat bahwa terdapat dalam Al Qur’an ayat, yaitu dalam hal ini contohnya adalah tambahan ayat 214 surat Asy-Syu’araa yang belum dicantumkan oleh sahabat ustman dalam Mushafnya, maka kita dapat membantahnya bahwa :

1. Ayat ini termasuk kategori ayat yang dimansukh dan kita dapat mengelompokkannya dalam jenis kedua, yaitu ayat yang dihapus bacaannya, namun tetap hukumnya. Karena Nabi senantiasa diperintahkan untuk berdakwah dan memberi peringatan kepada umatnya, khususnya kepada sanak familinya, tidak asing bagi kita riwayat bahwa Nabi mengajarkan kepada pamannya Abu Tholib ketika menjelang ajalnya, agar mau mengucapkan kalimat tauhid, namun ternyata pamannya enggan mengucapkannya, sehingga mati diatas kesyirikan, padahal semasa hidupnya Abu Tholib adalah pembela Rasulullah . Begitu juga Nabi tetap berdakwah kepada kerabatnya yang telah beriman, seperti kepada Ali bin Abi Tholib , kepada pamannya Abbas , sehingga akhirnya beliu pun memeluk Islam.

2. Seandainya ditanyakan darimana diketahui bahwa tambahan tersebut mansukh hukumnya, maka kita jawab : memang benar tidak terdapat riwayat yang sharih atau tegas yang menunjukkan bahwa tambahan ini telah mansukh, namun yang perlu diingat bahwa penentuan sesuatu itu termasuk Al Qur’an adalah dengan cara mutawatir yakni diriwayatkan dari zaman ke zaman oleh para perowi yang sangat banyak yang mustahil secara adat mereka bersepakat atau tidak bersepakat untuk berdusta, sehingga apabila dipaksakan bahwa tambahan ini adalah ayat Al Qur’an, maka tidak memenuhi persyaratan ini, karena tambahan tersebut adalah khobar Ahad yang walaupun shahih namun tidak mencapai derajat mutawatir, sehingga tidak masuk kriteria untuk dijadikan ayat dalam Al Qur’an, hanya saja melalui khobar ini, kita dapat mengambil faedah bahwa tambahan tersebut telah dihapus bacannya, karena tidak terdapat lagi dalam mushaf Utsmani yang beredar luas dari zaman sahabat sampai sekarang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Qurthubi dan Imam Nawawi yang telah memastikan bahwa tambahan tersebut telah dihapus bacaannya yang kemudian juga disetujui oleh Al Hafidz Ibnu Hajar.

3. Kalau ada yang mengatakan bahwa nasakh semacam ini tidak bisa diterima, karena khobarnya adalah Ahad, padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah Al Qur’an atau menasakh Al Qur’an dengan khabar Ahad. Khabar Ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena ia

(8)

tidak menunjukkan kepatian (qoth’i), tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan (zhan). Maka Syaikh Manna dalam kitab yang telah disebutkan berkata : “Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan nasakh adalah suatu hal, sedang penetapan sesuatu sebagian Al Qur’an adalah hal lain. Penetapan adanya nasakh cukup dengan khobar Ahad yang zhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai Al Qur’an harus dengan dalil qoth’I yakni khobar Mutawatir. Sementara pembahasan kita disini adalah terkait dengan penetapan adanya nasakh atau tidak, bukan penetapan sesuatu sebagai bagian dari ayat Al Qur’an, karena itu cukup dengan khobar Ahad. Maka jika dikatakan bahwa qiroah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar”.

4. Telah diriwayatkan dari beberapa Shahabat seperti dari Abu Huroiroh , Zuhair bin ‘Amr , Qobishon bin Muhariq , Aisyah , Abu Umamah , Ali bin Abi Tholib , Al Asy’ari , Zubair bin Awwam dan bahkan Ibnu Abbas sendiri asbabun Nuzul ayat 214 surat Asy-Syu’araa tanpa adanya tambahan tersebut, yang meriwayatkan tambahan ini hanyalah dari riwayat Shahabat Ibnu Abbas dan dalam salah satu riwayat bahwa ini adalah qiroahnya Abdullah (bin Mas’ud), sehingga ini adalah yang diistilahkan oleh para ulama dengan qiroah Syadz, karena tidak mutawatir.

Imam Nawawi dalam Syarah Al Muhadzab berkata : “Qiraat syadz tidak boleh dibaca baik didalam maupun diluar sholat, karena ia bukan Al Qur’an. Al Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiroat syadz, maka tidak boleh dibenarkan baik didalam maupun diluar sholat. Para fuqoha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca Al Qur’an dengan qiroah yang syadz diperintahkan untuk bertaubat. Ibnu Abdil Bar menukilkan ijma kaum muslimin tentang Al Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qiroah yang syadz dan tidak sah sholat dibelakang orang yang membaca Al Qur’an dengan qiroat-qiroat syadz itu” (dinukil dari Al Mabahits karya Syaikh Manna Al Qoththon).

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penelitian ini dengan yang akan peneliti lakukan adalah fokus penelitian yang akan dilakukan yaitu berupa pengelolaan/ manajemen boarding school khusus dalam

Ditinjau dari segi materi, hasil penelitian menyatakan bahwa materi modul S1 PGPAUD sangat berkualitas dibuktikan dengan hasil angket yang menyatakan setuju dan sangat

kasvu edellisvuoteen verrattuna. Tähän on varmasti vaikuttanut myös se, että sosiaalista mediaa käytetään eniten naisten keskuudessa myös älypuhelimella. Älypuhelimien osuus

All Rights Reserved... All

Melihat dari besarnya pengaruh curah hujan terhadap kelongsoran, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bulan-bulan basah yang dapat menyebabkan peningkatan potensi longsor

Hasil sebaran sedimen mineral non- magnetik yang terdapat pada Gambar 11, Gambar 13, Gambar 15 menunjukan kandungan mineral non- magnetik dominan terdapat pada daerah

Awal mula serangga mengalami mati kaku (Tambar 7.A) dengan bagian tubuh megalami kekeringan, setelah lima hari dapat terlihat adanya miselium yang masih muda berwarna

Pada tugas akhir ini dilakukan pengujian terhadap unjuk kerja kendali Gain Scheduling dalam mengendalikan sistem kontrol valve untuk mengatur tinggi muka cairan