• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN KRITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN SUCTION ENDOTRACHEAL TUBE DI ICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN KRITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN SUCTION ENDOTRACHEAL TUBE DI ICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

TUBE

DI ICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

SKRIPSI

“Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan”

Oleh :

Roni Rohmat Wijaya NIM. S11033

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2015

(2)
(3)
(4)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Anugerah, Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien Kritis yang Dilakukan Tindakan Suction Endotracheal Tube di ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta“. Skripsi

ini di ajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata Satu Keperawatan di STIKes Kusuma Husada Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati, ingin menyampaikan terimakasih dan rasa hormat kepada

1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku Ketua Prodi S-1 Keperawatan serta Pembimbing utama yang telah membimbing dengan penuh sabar dan penuh tanggung jawab sampai tersusunnya skripsi ini. 3. bc. Yeti Nurhayati, M. Kes selaku Pembimbing Pendamping yang telah

membimbing dengan penuh tanggung jawab sampai tersusunnya skripsi ini

4. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu penulis.

(5)
(6)

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi ABSTRAK ... xii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Tinjauan Teori ... 7

2.2 Kerangka Teori ... 38

2.3 Fokus Penelitian ... 39

2.4 Keaslian Penelitian ... 40

(7)

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian... 41

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

3.3 Populasi dan Sampel... 43

3.4 Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data ... 44

3.5 Analisa Data ... 50

3.6 Keabsahan Data ... 52

3.7 Prinsip-prinsip Etika Penelitian ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 55

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian... 55

4.2 Gambaran Karakteristik Partisipan... 57

4.3 Hasil Penelitian... 58

BAB V PEMBAHASAN ... 80

5.1 Saturasi Oksigen pada Pasien Sebelum Dilakukan Tindakan Suction 80 5.2 Saturasi Oksigen pada Pasien Sesudah Dilakukan Tindakan Suction 90 5.3 Perubahan Saturasi Oksigen pada Pasien Kritis Sebelum dan Sesudah Dilakukan Tindakan Suction... 92 5.4 Respon Pasien pada Saat Mengalami Perubahan Saturasi Oksigen 94

(8)

6.2 Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

Nomor tabel Judul Tabel Halaman

2.1 Tekanan Suction 23

2.2 Keaslian Penelitian 40

(10)

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

2.1 Kerangka Teori 38

2.2 Fokus Penelitian 39

(11)

Nomor Lampiran Keterangan

1 Surat Permohonan Studi Pendahuluan 2 Surat Balasan Izin Studi Pendahuluan 3 Surat Izin Penelitian

4 Surat Balasan Penelitian

5 Surat Pengajuan Ethical Clearance

6 Surat Etical Clearance

7 Surat Penjelasan Penelitian

8 Surat Persetujuan Menjadi Partisipan 9 Pedoman Wawancara

10 Transkip Wawancara 11 Analisa Data Tematik 12 Lembar Observasi

13 Foto Wawancara/Penelitian 14 Lembar Konsultasi

15 Jadwal Penelitian

(12)

Roni Rohmat Wijaya

PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN KRITIS YANG DILAKUKAN TINDAKAN SUCTION ENDOTRACHEAL TUBE DI ICU

RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Abstrak

Gagal napas merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif. Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal napas adalah obstruksi jalan napas, termasuk obstruksi pada Endotrakeal

Tube. Penanganan untuk obstruksi jalan napas akibat akumulasi sekresi pada

Endotracheal Tube dengan melakukan tindakan suction. Tindakan suction

endotracheal tube dapat memberikan efek samping antara lain terjadi penurunan

kadar saturasi oksigen >5%. Penelitian ini untuk mengetahui perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube di Ruang Intensive Care Unit RSUD dr.Moewardi Surakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan deskriptif fenomenology, teknik analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan metode Collaizi. Partisipan dalam penelitian ini adalah 4 perawat yang bekerja di ICU, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria partisipan perawat dengan kriteria pendidikan minimal D3 keperawatan, lama bekerja minimal tiga tahun di ICU, berpengalaman melakukan suction.

Hasil penelitian ini setelah dilakukan tindakan suction pada pasien yang terpasang endotracheal tube saturasi oksigen pasien mengalami penurunan antara 4-10%. Respon pasien saat terjadi perubahan saturasi oksigen yaitu sesak napas, HR meningkat, PCO2 meningkat, gelisah, hipoksia dan hiperventilasi.

Kesimpulan dari penelitian ini tindakan suction pada pasien yang terpasang endotracheal tube dapat menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Kata Kunci : Saturasi oksigen, suction, endotracheal tube

Daftar Pustaka : 41 (2000-2013)

(13)

Roni Rohmat Wijaya

Oxygen Saturation Change in Critically Ill Patients Exposed to the Intervention of Endotracheal Tube Suction at the Intensive Care Unit of Dr.

Moewardi General Hospital of Surakarta ABSTRACT

Respiratory failure is the cause of high morbidity and high mortality at the Intensive Care Unit. The condition that leads to respiratory failure is airway obstruction, including obstruction on endotracheal tube. The airway obstruction handling due to the accumulation of secretions in the endotracheal tube is done through suction. The endotracheal tube suction can give effects such as oxygen saturation reduction as much as greater than 5%. The objective of this research is to investigate the oxygen saturation change in the critically ill patients exposed to the intervention of endotracheal tube suction at the Intensive Care Unit of Dr. Moewardi General Hospital of Surakarta.

This research used the descriptive qualitative phenomenological method. The samples of research consisted of 4 nurses who had the length of employment at the Intensive Care Unit of more than 3 years, who held the education background of Diploma III in Nursing Science, and who had experiences to do suction. The samples were taken by using the purposive sampling technique. The data of research were analyzed by using the Colaizzi’s method.

The result of this research shows that following the suction intervention to the patients with the endotracheal tube, the oxygen saturation patient decreased as much as 4-10%. The responses of the patients when the oxygen saturation change took place included asphyxia, increased HR, increased PCO2, anxiety, hypoxia,

and hyperventilation. Thus, the suction intervention to the patients with the endotracheal tube could decrease the oxygen saturation.

Keywords : Oxygen saturation, suction, endotracheal tube References: 41 (2000-2013)

(14)

1.1 Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan staf

dan perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa. Peralatan standar di Intensive

Care Unit (ICU) meliputi ventilasi mekanik untuk membantu usaha bernapas

melalui Endotrakeal Tube (ETT) atau trakheostomi. Salah satu indikasi klinik pemasangan alat ventilasi mekanik adalah gagal napas (Musliha, 2010).

Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif. Gagal napas terjadi bila pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru–paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen (O2) dan pembentukan karbon dioksida (CO2) dalam sel-sel

tubuh. Hal ini mengakibatkan tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbon dioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia). Gagal napas masih menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di ruang perawatan intensif (Brunner& Suddarth, 2002).

Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal napas adalah obstruksi jalan napas, termasuk obstruksi pada Endotrakeal Tube (ETT). Obstruksi jalan napas merupakan kondisi yang tidak normal akibat ketidak mampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental atau berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, statis sekresi, dan batuk tidak efektif (Hidayat, 2005).

(15)

akut pada dewasa 77,6-88,6 kasus/100.000 penduduk/tahun. The American-

European Consensus on ARDS menemukan insidensi Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS) antara 12,6-28,0 kasus/100000 penduduk/tahun serta kematian

akibat gagal napas dilaporkan sekitar 40%. Berdasarkan data peringkat 10 Penyakit Tidak Menular (PTM) yang terfatal menyebabkan kematian berdasarkan

Case Fatality Rate (CFR) pada rawat inap rumah sakit pada tahun 2010, angka

kejadian gagal napas menempati peringkat kedua yaitu sebesar 20,98% (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Data yang diperoleh dari buku registrasi pasien ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado mulai dari bulan Januari- Oktober 2013 total pasien yang dirawat di ICU adalah sebanyak 411 pasien dan yang mengalami kejadian gagal napas sebanyak 132 pasien (32,1 %). Rata-rata pasien yang dirawat di ICU adalah 41-42 pasien/bulan dan rata-rata yang mengalami kejadian gagal napas adalah 13-14 pasien/bulan serta 10-11 pasien/bulan meninggal akibat gagal napas (Berty, 2013).

Penanganan untuk obstruksi jalan napas akibat akumulasi sekresi pada

Endotrakeal Tube pada pasien kritis adalah dengan melakukan tindakan

penghisapan lendir (suction) dengan memasukkan selang kateter suction melalui hidung/mulut/Endotrakeal Tube (ETT) yang bertujuan untuk membebaskan jalan napas, mengurangi retensi sputum dan mencegah infeksi paru. Secara umum pasien yang terpasang ETT memiliki respon tubuh yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing, sehingga sangat diperlukan tindakan penghisapan lendir (suction) (Nurachmah & Sudarsono, 2000).

(16)

pasien dengan gangguan bersihan jalan napas maka pasien tersebut akan mengalami kekurangan suplai O2 (hipoksemia), dan apabila suplai O2 tidak

terpenuhi dalam waktu 4 menit maka dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Cara yang mudah untuk mengetahui hipoksemia adalah dengan pemantauan kadar saturasi oksigen (SpO2) yang dapat mengukur seberapa banyak

prosentase O2 yang mampu dibawa oleh hemoglobin. Pemantauan kadar saturasi

oksigen adalah dengan menggunakan alat oksimetri nadi (pulse oxymetri), dengan pemantauan kadar saturasi oksigen yang benar dan tepat saat pelaksanaan tindakan penghisapan lendir, maka kasus hipoksemia yang dapat menyebabkan gagal napas hingga mengancam nyawa bahkan berujung pada kematian bisa dicegah lebih dini.

Penelitian yang dilakukan Berty, dkk di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2013 pada 16 pasien yang terpasang ETT dan terdapat lendir. Sesudah dilakukan tindakan suction mengalami penurunan saturasi oksigen. Tindakan suction ETT dapat memberikan efek samping antara lain terjadi penurunan kadar saturasi oksigen >5%. Sebagian besar responden yang mengalami penurunan kadar saturasi oksigen secara signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir ETT yaitu terdiagnosis dengan penyakit pada sistem pernapasan. Komplikasi yang mungkin muncul dari tindakan penghisapan lendir salah satunya adalah hipoksemia/hipoksia. Hal ini diperkuat oleh penelitian Maggiore et al, (2013) tentang efek samping dari penghisapan lendir ETT salah satunya adalah dapat terjadi penurunan kadar saturasi oksigen

(17)

akan sangat rentan mengalami penurunan nilai kadar saturasi oksigen yang signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir, hal tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan gagal napas (Berty, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta didapatkan data jumlah tempat tidur di ICU sebanyak 13 tempat tidur, pasien yang dirawat di ICU 80% terpasang ETT. Pada bulan November 2014 jumlah pasien yang terpasang ETT sebanyak 24 pasien.

Mengingat pentingnya pelaksanaan tindakan penghisapan lendir (suction)

agar kasus gagal napas yang dapat menyebabkan kematian dapat dicegah maka sangat diperlukan pemantauan kadar saturasi oksigen yang tepat. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang sejauh mana perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal

tube di Ruang Intensive Care Unit RSUD dr.Moewardi Surakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut, adakah perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis setelah dilakukan tindakan suction

(18)

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui sejauh mana perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube di ICU RSUD dr.Moewardi Surakarta.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui saturasi oksigen pada pasien sebelum dilakukan tindakan

suction.

2. Mengetahui saturasi oksigen pada pasien sesudah dilakukan tindakan

suction.

3. Menganalisis perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis sebelum dan sesudah dilakukan tindakan suction.

4. Mengidentifikasi respon pasien pada saat mengalami perubahan saturasi oksigen.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Perawat ICU

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi perawat dalam melakukan tindakan suction untuk mencegah terjadinya perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang terpasang

(19)

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan sebagai dasar pertimbangan dalam metode melakukan tindakan suction

endotracheal tube pada pasien kritis.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan mengenai perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube.

1.4.4 Manfaat Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan referensi atau acuhan tambahan bila diadakan penelitian lebih lanjut khususnya bagi pihak lain yang ingin mempelajari mengenai perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube.

1.4.5 Manfaat Bagi Peneliti

Menambah pengalaman dan wawasan peneliti dalam keperawatan mengenai perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TINJAUAN TEORI 2.1.1. Saturasi Oksigen

2.1.1.1. Oksigen

Oksigen atau zat asam adalah salah satu bahan farmakologi, merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau digunakan untuk proses pembakaran dan oksidasi. Oksigen merupakan unsur golongan kalkogen dan dapat dengan mudah bereaksi dengan hampir semua unsur lainnya (utamanya menjadi oksida). Pada Temperatur dan tekanan standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi dioksigen, yaitu senyawa gas diatomik. (Swidarmoko, 2010 ).

Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan

unsur vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian O2 ke jaringan tubuh

ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler dan keadaan hematologis (Harahap, 2005).

(21)

Indikasi primer terapi oksigen adalah pada kasus hipoksemia yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan analisa gas darah. Indikasi lain adalah trauma berat, infark miokard akut, syok, sesak napas, keracunan CO, pasca anestesi dan keadaan-keadaan akut yang diduga terjadi hipoksemia.

Hipoksemia adalah penurunan tekanan oksigen arteri dalam

darah dapat memunculkan masalah perubahan status mental (mulai dari gangguan penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan koma), dyspnea, peningkatan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia, sianosis, diaforesis dan ekstremitas dingin. Kondisi hipoksemia ini biasanya mengarah kepada hipoksia (Brunner & Suddarth, 2001).

2.1.1.2. Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Oksigen saturasi (SO2) dalam

kedokteran sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh ( Hidayat, 2007).

(22)

Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen >10 kPa. Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu, hal ini dapat diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode dalam media cair.

2.1.1.3. Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tenik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tenik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006). Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain : 1. Saturasi Oksigen Arteri (SaO2)

Nilai dibawah 90% menunjukan keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia). Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Oksimetri nadi

adalah metode pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Meski

oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi

(23)

oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.

2. Saturasi Oksigen Vena (SvO2)

Diukur untuk melihat berapa banyak mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, SvO2 di bawah

60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru

(Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan

gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.

3. Tissue oksigen saturasi (StO2)

Dapat diukur dengan spektroskopi inframerah dekat tissue

oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.

4. Saturasi oksigen perifer (SpO2)

Adalah estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa.

(24)

Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan

menggunakan oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam pemantauan klinis

(Giuliano & Higgins, 2005). Alat ini merupakan metode

langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2

arterial (Astowo, 2005 ).

2.1.1.4. Alat yang Digunakan dan Tempat Pengukuran

Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telinga, menuju fotodetektor pada sisi lain dari probe (Welch, 2005). 2.1.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Bacaan Saturasi

Kozier (2002) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi bacaan saturasi :

1. Hemoglobin (Hb)

Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb rendah

maka akan menunjukkan nilai normalnya, misalnya pada klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas

(25)

2. Sirkulasi

Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi. 3. Aktivitas

Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.

2.1.1.6. Prosedur pengukuran 1. Persiapan Alat

a. Oksimetri nadi b. Sensor probe c. Pembersih cat kuku 2. Persiapan Pasien

a. Pada pasien dan keluarganya b. Bersihkan tempat yang akan diukur c. Tentukan tepat yang akan diukur 2.1.1.7. Pelaksanaan

1. Cuci tangan

2. Cek sirkulasi perifer dengan menggunakan teknik pengisian kapiler

3. Cek fungsi alat oksimetri nadi

4. Bersihkan kuku dari cat kuku atau lepaskan anting-anting bila kita akan mengukur ditelinga

(26)

6. Pasang sensor probe

7. Anjurkan pasien untuk bernafas biasa 8. Tekan tombol on pada oksimetri nadi

9. Dengarkan suara atau tanda dari oksimetri nadi 10. Observasi gelombang yang ada pada oksimetri nadi

11. Yakinkan bahwa batas alarm alat sudah sesuai dengan kondisi yang diperlukan

12. Baca dan catat hasil pengukuran

13. Bila dilakukan pemantauan yang terus menerus maka pindahkan sensor probe tiap 2 jam

14. Bila dilakukan sesaat, lepaskan probe dan matikan oksimetri nadi

15. Cuci tangan (Kozier & Erb, 2009).

2.1.1.8. Analisa Perubahan SaO2 Sebelum dan Sesudah Suction

Penelitian yang dilakukan Berty, dkk di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2013 pada 16 pasien yang terpasang ETT dan terdapat lendir. Sesudah dilakukan tindakan suction mengalami penurunan saturasi oksigen. Tindakan suction tidak hanya menghisap lendir, suplai oksigen yang masuk ke saluran napas juga ikut terhisap, sehingga memungkinkan untuk terjadi hipoksemi sesaat ditandai dengan penurunan saturasi oksigen (SpO2).

(27)

Tindakan suction ETT dapat memberikan efek samping antara lain terjadi penurunan kadar saturasi oksigen >5%. Sebagian besar responden yang mengalami penurunan kadar saturasi oksigen secara signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir ETT yaitu terdiagnosis dengan penyakit pada sistem pernapasan. Komplikasi yang mungkin muncul dari tindakan penghisapan lendir salah satunya adalah hipoksemia/hipoksia, hal ini diperkuat oleh penelitian Maggiore et al, (2013) tentang efek samping dari penghisapan lendir ETT salah satunya adalah dapat terjadi penurunan kadar saturasi oksigen lebih dari 5%. Pasien yang menderita penyakit pada sistem pernapasan akan sangat rentan mengalami penurunan nilai kadar saturasi oksigen yang signifikan pada saat dilakukan tindakan penghisapan lendir, hal tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan gagal napas (Berty, 2013).

Hiperoksigenasi adalah teknik terbaik untuk menghindari hipoksemi akibat penghisapan dan harus digunakan pada semua prosedur penghisapan. Hiperoksigenasi dapat dilakukan dengan menggunakan kantong resusitasi manual atau melalui ventilator dan dilakukan dengan meningkatkan aliran oksigen, biasanya sampai 100% sebelum penghisapan dan ketika jeda antara setiap penghisapan lendir (Kozier & Erb, 2002).

(28)

Prosedur yang ada saat ini juga mempersyaratkan hiperoksigenasi sebelum dilakukan tindakan hisap lendir, namun pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi juga bisa menyebabkan keracunan oksigen.

2.1.2. Pasien ICU

2.1.2.1. Pengertian Pasien

Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya "menderita”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasien adalah orang sakit yang dirawat dokter. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter (Menerez, 2012).

Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga mengalami respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang dialami akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis

(29)

nutrisi. Pasien dengan sakit kritis yang dirawat di ruang

Intensive Care Unit (ICU) sebagian besar menghadapi

kematian, mengalami kegagalan multi organ, gagal napas, menggunakan ventilator, dan memerlukan support teknologi (Menerez, 2012).

2.1.2.2. Definisi ICU

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif sehingga memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf khusus dan perlengkapan yang khusus yang di tujukan untuk observasi,

(30)

perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa.

2.1.2.3. Indikasi Pasien Masuk ICU

1. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus-menerus. Contohnya pasien gagal napas berat, pasca bedah jantung terbuka, shock septik.

2. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif atau non invasive sehingga komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi. Contoh pasien pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal atau lainnya.

3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi akut, sekalipun manfaat ICU ini sedikit. Contoh pasien dengan tumor ganas metastasis dengan komplikasi infeksi, tamponade jantung, sumbatan jalan napas (Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik, 2006). 2.1.2.4. Indikasi Pasien Tidak Perlu Masuk ICU

1. Pasien mati batang otak (dipastikan secara klinis dan laboratorium), kecuali keberadaannya diperlukan sebagai donor organ.

(31)

2. Pasien menolak terapi bantuan hidup.

3. Pasien secara medis tidak ada harapan dapat disembuhkan lagi. Contohnya pasien karsinoma stadium akhir, kerusakan susunan saraf pusat dengan keadaan vegetatif (Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik, 2006).

2.1.2.5. Indikasi Pasien yang Boleh Keluar ICU

1. Pasien tidak memerlukan lagi terapi intensif karena keadaan membaik atau terapi telah gagal dan prognosis dalam waktu dekat akan memburuk, serta manfaat terapi intensif sangat kecil. Dalam hal yang kedua perlu persetujuan dokter yang mengirim

2. Bila pada pemantauan intensif ternyata hasilnya tidak memerlukan tindakan atau terapi intensif lebih lama.

3. Terapi intensif tidak memberi manfaat dan tidak perlu diteruskan lagi pada:

a. Pasien usia lanjut dengan gagal 3 organ atau lebih yang tidak memberikan respons terhadap terapi intensif selama 72 jam.

b. Pasien mati otak atau koma (bukan karena trauma) yang menimbulkan keadaan vegetatif dan sangat kecil kemungkinan untuk pulih.

4. Pasien dengan bermacam-macam diagnosis seperti PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun), jantung terminal,

(32)

karsinoma yang menyebar (Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik, 2006).

2.1.2.6. Pembagian ICU Berdasarkan Kelengkapan

Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi atas tiga tingkatan. Pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah sakit kecil yang dilengkapi dengan perawat, ruangan observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka jangka pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU tingkat II yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap, alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi. Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial. ICU ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian ( Rab, 2007).

Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu : kategori pertama, pasien yang di rawat karena penyakit kritis meliputi penyakit jantung koroner, respirasi akut, kegagalan ginjal, infeksi, koma non traumatik dan kegagalan

(33)

multi organ. Kategori kedua, pasien yang di rawat yang memerlukan monitoring karena perubahan patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi mayor. Tanda-tanda klinis penyakit kritis biasanya serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan gangguan pada fungsi pernapasan, kardiovaskular, dan neurologi (Nolan et al. 2005). Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah takipnea, takikardia, hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi/bingung, agitasi atau penurunan tingkat kesadaran (Jevons dan Ewens, 2009).

2.1.2.7. Perawat ICU

Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama yaitu life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat pengobatan dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi sehingga diperlukan satu perawat untuk setiap pasien dengan pipa endotrakeal baik dengan menggunakan ventilator maupun yang tidak. Klasifikasi empat kriteria perawat ICU di Australia yaitu, perawat ICU yang telah mendapat pelatihan lebih dari dua belas bulan ditambah dengan pengalaman, perawat yang telah mendapat latihan sampai dua belas bulan, perawat yang telah mendapat sertifikat pengobatan kritis (critical care certificate), dan perawat sebagai pelatih (trainer) (Rab, 2007).

(34)

Ketenagaan perawat ICU di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit yaitu, untuk ICU level I maka perawatnya adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan hidup dasar dan bantuan lanjut, untuk ICU level II diperlukan minimal 50% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU, dan untuk ICU level III diperlukan minimal 75% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU.

2.1.3. Suction

2.1.3.1. Pengertian Suction

Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan

nafas dengan memakai kateter penghisap melalui nasotrakeal

tube (NTT), orotraceal tube (OTT), traceostomy tube (TT)

pada saluran pernafasa bagian atas. Bertujuan untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi paru. Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan yang dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat penghisapan melalui trakea gangguan perdarahan,

(35)

edema laring, varises esophagus, perdarahan gaster, infark

miokard (Elly, 2000).

2.1.3.2. Jenis Suction

Suction trakhea seringkali dilakukan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan pasien yang terpasang ventilasi mekanik

dilakukan suction hingga 8-17 kali sehari. Sekret trakhea

dibuang untuk memastikan patennya jalan napas dan menghindari obstruksi lumen pernapasan yang mengakibatkan peningkatan kerja napas, infeksi paru, atelektasis dan infeksi

paru. Penggunaan suction terdapat beberapa resiko efek

samping seperti gangguan detak jantung, hipoksemia, dan

pneumonia terkait ventilator/ventilator associated pneumonia

(VAP). Selain itu juga dikarenakan prosedur yang invasif dan tidak nyaman. Terdapat dua sistem suction yang tersedia: Open

Suction System (OSS) dan Closed Suction System (CSS).

Jenis OSS hanya digunakan sekali dan membutuhkan lepasnya ventilator dari pasien. CSS diletakkan di antara tube

trakhea dan sirkuit ventilator mekanik dan bisa berada didalam

pasien lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS di Amerika Serikat telah populer selama dekade terakhir ini dan berdasarkan statistika penggunaannya yang makin meningkat yaitu pada 58% dari kasus-kasus, sementara OSS hanya dipergunakan

(36)

pada 4% dari kasus yang ada. Beberapa penelitian penggunaan OSS memiliki beberapa keuntungan seperti insidensi pneumonia yang lebih rendah, kurangnya perubahan fisiologis selama prosedur, kurangnya kontaminasi bakteria, dan ongkos yang lebih rendah. Penggunaan CSS memberikan sejumlah keuntungan antara lain penggunaannya yang multiple-use, tanpa melepas ventilator dari pasien yang dapat berakibat pada munculnya tekanan negatif sehingga terjadi kehilangan volume paru yang intens sehingga berakibat pada hipoksemia (Debora, 2012).

2.1.3.3. Ukuran dan Tekanan Suction

Ukuran kanul suction yang direkomendasikan (Lynn, 2011) adalah :

1. Anak usia 2-5 tahun : 6-8F 2. Usia sekolah 6-12 tahun : 8-10F 3. Remaja-dewasa : 10-16F

Tekanan yang direkomendasikan Timby (2009) dijelaskan dalam tabel 2.1

Tabe. 2.1 Tekanan Suction

Usia Suction dinding Suction portable Dewasa 100-140 mmHg 10-15 mmHg Anak-anak 95-100 mmHg 5-10 mmHg Bayi 50-95 mmHg 2-5 mmHg

(37)

2.1.3.4. Indikasi Tindakan Suction

Menurut Smeltzer et al, (2002), indikasi penghisapan lendir lewat endotrakeal adalah untuk:

1. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance),

apabila:

a. Pasien tidak mampu batuk efektif. b. Diduga aspirasi

2. Membersihkan jalan napas (bronchial toilet), apabila ditemukan:

a. Pada auskultasi terdengar suara napas yang kasar atauu ada suara napas tambahan.

b. Diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan. c. Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan

beban kerja sistem pernafasan.

3. Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium. 4. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi. 5. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal. 2.1.3.5. Prosedur

Prosedur hisap lendir ini dalam pelaksanaannya diharapkan sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan agar pasien terhindar dari komplikasi dengan selalu menjaga kesterilan dan kebersihan.

(38)

Prosedur hisap lender menurut Kozier & Erb, (2004) adalah:

1. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa perlu, dan bagaimana pasien dapat menerima dan bekerjasama karena biasanya tindakan ini menyebabkan batuk dan hal ini diperlukan untuk membantu dalam mengeluarkan sekret.

2. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. 3. Menjaga privasi pasien.

4. Atur posisi pasien sesuai kebutuhan.

Posisikan pasien semiflower jika tidak ada kontraindikasi agar pasien dapat bernapas dalam, paru dapat berkembang dengan baik sehingga mencegah desaturasi dan dapat mengeluarkan sekret saat batuk. Berikan analgesik sebelum penghisapan, karena penghisapan akan merangsang refleks batuk, hal ini dapat menyebabkan rasa sakit terutama pada pasien yang telah menjalani operasi toraks atau perut atau yang memiliki pengalaman traumatis sehingga dapat meningkatkan kenyamanan pasien selama prosedur penghisapan.

(39)

5. Siapkan peralatan

a. Pasang alat resusitasi ke oksigen dengan aliran oksigen 100 %.

b. Catheter suction steril sesuai ukuran.

c. Pasang pengalas bila perlu.

d. Atur tekanan sesuai penghisap dengan tekanan sekitar 100-120 mm hg untuk orang dewasa, dan 50-95 untuk bayi dan anak.

e. Pakai alat pelindung diri, kaca mata, masker, dan gaun bila perlu.

f. Memakai sarung tangan steril pada tangan dominan dan sarung tangan tidak steril di tangan nondominan untuk melindungi perawat

g. Pegang suction catether di tangan dominan, pasang kateter ke pipa penghisap.

h. Suction catether tersebut diberi pelumas.

1) Menggunakan tangan dominan, basahi ujung catether dengan larutan garam steril.

2) Menggunakan ibu jari dari tangan yang tidak dominan, tutup suction catheter untuk menghisap sejumlah kecil larutan steril melalui catether. Hal ini untuk mengecek bahwa peralatan hisap bekerja dengan benar dan sekaligus melumasi lumen catether

(40)

untuk memudahkan penghisapan dan mengurangi trauma jaringan selama penghisapan, selain itu juga membantu mencegah sekret menempel ke bagian dalam suction catether.

i. Jika klien memiliki sekret yang berlebihan, lakukan pemompaan dengan ambubag sebelum penyedotan. 1) Panggil asisten untuk prosedur ini

2) Menggunakan tangan non dominan, nyalakan oksigen ke 12-15 l/menit.

3) Jika pasien terpasang trakeostomi atau ett, sambungkan ambubag ke tracheascanul atau ett

4) Pompa dengan Ambubag 3 - 5 kali, sebagai inhalasi, hal ini sebaiknya dilakukan oleh orang kedua yang bisa menggunakan kedua tangan untuk memompa, dengan demikian volume udara yang masuk lebih maksimal.

5) Amati respon pasien untuk mengetahui kecukupan ventilasi pasien.

(41)

2.1.3.6. Komplikasi

Tindakan hisap lendir harus memperhatikan komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain yaitu (Kozier & Erb, 2002):

1. Hipoksemia

2. Trauma jalan nafas 3. Infeksi nosokomial 4. Respiratory arrest 5. Bronkospasme 6. Perdarahan pulmonal 7. Disritmia jantung 8. Hipertensi/hipotensi 9. Nyeri 10. Kecemasan 2.1.4. Endotracheal Tube

2.1.4.1. Pengertian Endotracheal Tube

Endotracheal Tube adalah alat yang digunakan untuk

mengamankan jalan napas atas. ETT digunakan atas indikasi kepentingan anestesi umum dan pembedahan atau perawatan pasien sakit kritis di unit rawat intensif untuk kepentingan pengelolaan jalan napas (airway management) (Handayanto, 2013).

(42)

2.1.4.2. Indikasi Pemasangan Endotracheal Tube

1. Hilangnya refleks pernafasan

2. Obstruksi jalan nafas besar (epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara) baik secara anatomis maupun fungsional.

3. Perdarahan faring (luka tusuk, luka tembak pada leher) 4. Tindakan profilaksis (pasien yang tidak sadar untuk

pemindahan ke rumah sakit lain atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses transportasi pasien) (dr. Catharina, 2015).

2.1.4.3. Alat dan bahan

1. Laryngoscope lengkap dengan handle dan blade-nya

2. Pipa endotrakeal (orotracheal) dengan ukuran : perempuan no. 7; 7,5 ; 8 . Laki-laki : 8 ; 8,5. Keadaan emergency : 7,5

3. Forceps (cunam) magill (untuk mengambil benda asing di

mulut)

4. Benzokain atau tetrakain anestesi lokal semprot 5. Spuit 10 cc atau 20 cc

6. Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen 7. Alat penghisap lendir

8. Plester, gunting, jelli 9. Stilet

(43)

2.1.4.4. Teknik Pemasangan Endotracheal Tube

1. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga (informed consent).

2. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal (ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml, jika fungsi baik kempeskan balon kemudian beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.

3. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. 4. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan

faring dan berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam. 5. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag

masker dengan Fi O2 100 %.

6. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop.

(44)

7. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.

8. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.

9. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan/posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm.

10. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.

11. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi (asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus

(45)

diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. 12. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon

cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.

13. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut.

14. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar.

15. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 sampai 12 liter per menit).

2.1.4.5. Komplikasi

1. Pipa ET masuk ke dalam esofagus dapat menyebabkan hipoksia.

2. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.

3. Gigi patah.

4. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa.

5. Kerusakan pita suara.

6. Perforasi pada faring dan esofagus. 7. Muntah dan aspirasi.

(46)

8. Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi hipertensi, takikardi, dan aritmia. 9. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke

bronkus kanan. Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan auskultasi bilateral.

2.1.5. Hemodinamika

Hemodinamika dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan aspek fisik dari sirkulasi darah, termasuk fungsi jantung dan karakteristik fisiologis vaskular perifer. Pemantauan hemodinamika merupakan pusat dari perawatan pasien kritis. Pengukuran hemodinamika penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, memantau respon terhadap terapi yang diberikan, dan mendapatkan informasi keseimbangan homeostatik tubuh. Pengukuran hemodinamik ini terutama dapat membantu untuk mengenali syok sedini mungkin dimana pemberian dengan segera bantuan sirkulasi adalah yang paling penting.

Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang adekuat seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan jatuh ke dalam gagal fungsi

(47)

organ multipel. Pemantauan hemodinamik bertujuan untuk mengenali dan mengevaluasi perubahan-perubahan fisiologis hemodinamik pada saat yang tepat, agar segera dilakukan terapi. Parameter yang digunakan untuk menilai pemantauan hemodinamik yang ada di bed site monitor

dan berlangsung secara continus diantaranya adalah pengukuran tanda- tanda vital yaitu:

2.1.5.1. Monitoring Suhu Tubuh

Pemantauan suhu pada pasien kritis merupakan hal yang vital walaupun sering diabaikan dalam penatalaksanaan pasien kritis. Suhu tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara produksi panas oleh kontraksi otot dan pembebasan panas karena evaporasi tubuh. Produksi panas yang dihasilkan tubuh antara lain berasal dari: Metabolisme dari makanan (Basal

Metabolic Rate), olahraga, shivering atau kontraksi otot skelet,

peningkatan produksi hormone tiroksin (meningkatkan metabolisme seluler), proses penyakit infeksi, termogenesis kimiawi (rangsangan langsung dari norepinefrin dan efinefrin atau dari rangsangan langsung simpatetik. Pengukuran suhu tubuh oleh otak hipotalamus, permukaan kulit, dan medula spinalis. Rangsangan panas akan menyebabkan vasodilatasi yang menyebabkan keringat, sebaliknya bila terjadi perangsangan dingin akan terjadi vasokontriksi dan menggigil agar suhu tubuh dapat kembali mencapai bantuan normal

(48)

yakni. Suhu normal berkisar antara 36,5°C –37.5°C. Lokasi pengukuran suhu adalah oral (dibawah lidah), aksila, dan rektal.

2.1.5.2. Monitoring Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan tekanan dari jantung. Tekanan sistemik atau arteri darah dalam sistem arteri tubuh adalah indikator yang baik tentang kesehatan kardiovaskuler. Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan tekanan. Darah mengalir dari daerah yang tekanannya tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Kontraksi jantung mendorong darah dengan tekanan tinggi ke aorta. Puncak dari tekanan maksimum saat ejeksi terjadi adalah tekanan darah sistolik. Pada saat ventrikel relaks darah yang tetap dalam arteri menimbulkan tekanan diastolik atau minimum.

Tekanan diastolik adalah tekanan minimal yang mendesak dinding arteri setiap waktu. Unit standar untuk pengukuran tekanan darah adalah milimeter air raksa (mmhg). Tekanan darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan vaskuler perifer, volume darah, viskositas darah dan elastisitas arteri. Menurut WHO batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan sebagai

(49)

hipertensi, dan dinyatakan hipotensi dimana tekanan darah seseorang turun dibawah angka normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60 mmHg.

2.1.5.3. Monitoring Respirasi

Monitoring respirasi di ICU untuk mengidentifikasi penyakit dan menilai beratnya penyakit. Monitoring ini juga bersamaan dengan riwayat penyakit, pemeriksaaan radiografi, analisa gas darah dan spirometer. Beberapa parameter yang diperlukan kecepatan pernafasan per menit, volume tidal, oksigenasi dan karbondioksida. ICU biasanya digunakan

impedance monitor yang dapat mengukur kecepatan

pernafasan, volume tidal dan alarm apnea. Pernapasan normal dimana kecepatan 16 - 24 x/menit, klien tenang, diam dan tidak butuh tenaga untuk melakukannya, tachipnea yaitu pernapasan yang cepat, frekuensinya lebih dari 24 x/menit,

bradipnea yaitu pernapasan yang lambat, frekuensinya kurang

dari 16 x/menit, dan apnea yaitu keadaan terhentinya pernapasan.

2.1.5.4. Monitoring SaO2

Pengukuran oksigen pada memberikan informasi yang penting pada perawatan dan merupakan hal yang vital dalam pengukuran kondisi fisiologis. Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin

(50)

terhadap kemampuan total Hb darah mengikat O2. Saturasi

oksigen (SaO2) merupakan persentase hemoglobin (Hb) yang

mengalami saturasi oleh oksigen yang mencerminkan tekanan oksigen arteri darah (PaO2) yang digunakan untuk

mengevaluasi status pernafasan. Dari beberapa pengertian tadi, maka dapat disimpulkan bahwa saturasi oksigen adalah perbandingan kemampuan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin dan dibandingkan dengan jumlah total keseluruhan jumlah darah. Pengukuran SaO2 dilakukan dengan

mengunakan Oksimeter denyut (pulse oximetry) yaitu alat dengan prosedur non invasif yang dapat dipasang pada cuping telinga, jari tangan, ataupun hidung. Pada alat ini akan terdeteksi secara kontinue status SaO2. Alat ini sangat

sederhana, akurat, tidak mempunyai efek samping dan tidak membutuhkan kalibrasi. Pulse oximetry bekerja dengan cara mengukur saturasi oksigen (SaO2) melalui transmisi cahaya

infrared melalui aliran darah arteri pada lokasi dimana alat ini diletakkan. Oksimeter dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul, seperti warna kehitaman pada kulit atau dasar kuku. Kisaran SaO2 normal adalah 95-100%

dan SaO2 dibawah 70% dapat mengancam kehidupan (Zakkiyah, 2014).

(51)

2.2. Kerangka Teori

Pasien kritis

Dirawat di ICU

Gagal napas

Pemasangan ETT

Obstruksi jalan napas

Sekresi berlebihan

Tindakan suction

Perubahan saturasi O2

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber: (Musliha, 2010), (Hidayat, 2005), (Menerez, 2012), (Maggiore, et al, 2013)

(52)

2.3. Fokus Penelitian

Tindakan

Suction

Perubahan saturasi O2

Gambar 2.2 Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini untuk mengetahui perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis yang terpasang endotracheal tube saat dilakukan tindakan suction.

(53)

2.4. Keaslian Penelitian

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Berty Irwin Kitong (2013) Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir Endotrakeal Tube (ETT) Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien yang Dirawat di Ruang ICU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado. Metode Pre Eksperimen dengan menggunakan rancangan penelitian One- Group Pretest- Posttest Design. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 16 pasien mengalami penurunan saturasi oksigen setelah dilakukan tindakan suction. Sri Paryanti (2007) Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Ketrampilan Melaksanakan Prosedur Tetap Isap Lendir / Suction di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Deskriptif analitik, dengan metode cross sectional. Keterampilan perawat dalam melaksanakan prosedur suction di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar dalam kategori baik. Maggiore et al (2013) Decreasing the Adverse Effects of Endotracheal Suctioning During Mechanical Ventilation by Changing Practice Kuantitatif 46,8% responden mengalami penurunan saturasi oksigen dan 6,5% disebabkan karena tindakan suction.

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis (Saryono & Anggraini, 2010). Menurut Ircham (2013) penelitian kualitatif menempatkan perhatian pada pembuktian pemahaman yang komprehensif/pemahaman secara holistik dari suatu keadaan sosial dimana penelitian dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan dengan alasan karena peneliti akan berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku, dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasi yang khusus (Sutopo, 2006).

Menurut Sutopo (2006) rancangan fenomenologis ini dilaksanakan dengan melakukan beberapa tahapan. Melakukan studi awal, memantapkan proposal penelitian, melaksanakan penelitian. Pelaksanakan penelitian ada beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya mempersiapkan pengumpulan data, melakukan pengumpulan data, dan melakukan refleksi,

(55)

mengatur data, melakukan analisis data dan menyusun reduksi data, dan yang terakhir menyiapkan sajian data.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi karena peneliti akan melihat tindakan dari perawat yang melakukan suction pada pasien yang terpasang endotracheal tube. Peneliti akan menggali secara mendalam dan melakukan observasi terhadap tindakan suction yang dilakukan oleh perawat yang dapat mempengaruhi perubahan saturasi oksigen di ruang ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat

Tempat dan waktu penelitian sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat yang ditentukan benar-benar menggambarkan kondisi informan sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraini, 2010).

Penelitian ini dilakukan di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD dr. Moewardi Surakarta terhadap pasien yang terpasang

(56)

3.2.2. Waktu

Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan yaitu tanggal 9 Februari sampai 8 Maret 2015.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini yaitu semua perawat di ruang ICU RSUD dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 28 orang dengan kriteria yang sudah ditentukan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informannya berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya sebagai sumber data yang mantap. Pelaksanaan pengumpulan data sesuai dengan sifat peneliti yang lentur dan terbuka, pilihan informan dan jumlahnya dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Sutopo, 2006). Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang melakukan tindakan

suction kepada pasien yang terpasang endotracheal tube dengan jumlah 4

partisipan. Pengambilan partisipan dalam penelitian ini menggunakan kriteria inklusi:

1. Menyetujui informed consent

2. Pendidikan minimal D3 Keperawatan 3. Lama bekerja minimal tiga tahun di ICU 4. Melakukan tindakan suction

(57)

Pengambilan sampel dihentikan apabila peneliti sudah mencapai titik saturasi data yaitu jika dari informan yang dipilih sudah tidak memberikan data baru lagi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kepada perawat dan observasi terhadap perubahan saturasi oksigen pada pasien yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube. Observasi dilakukan pada 3 pasien di ruang ICU dengan kriteria :

1. Terpasang endotracheal tube

2. Terdapat sekret

3. Dilakukan tindakan suction

Data yang diperoleh saat observasi kemudian divalidasi dengan wawancara terhadap perawat yang melakukan tindakan suction.

3.4. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data 3.4.1. Instrumen

Instrument dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu : 1. Instrument inti

Peneliti dalam penelitian ini merupakan instrument/alat dalam penelitian, karena peneliti sebagai perencana, penafsir data pengevaluasi hasil penelitian. Peneliti harus paham metode penelitian, penguasaan teori wawancara terhadap bidang yang akan diteliti, dan peneliti siap untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya.

(58)

2. Instrumen penunjang

Alat bantu dalam pengumpulan data yang digunakan yaitu :

a. Rekam medik pasien untuk mengetahui dignosa dan riwayat penyakit pasien.

b. Lembar alat pengumpul data (meliputi nama, umur, alamat, pendidikan) untuk mencatat identitas informan.

c. Alat tulis (buku dan bolpoin) untuk menulis hasil wawancara antara peneliti dan informan.

d. Lembar pedoman wawancara sebagai pedoman dalam mengajukan pertanyaan kepada partisipan. Wawancara yang digunakan adalah semi terstruktur dimana saat melakukan wawancara pertanyaan yang sudah dibuat dikembangkan lagi oleh peneliti saat wawancara. Pertanyaan yang diajukan pada partisipan diantaranya tentang pemahaman SOP suction, ETT dan perawatannya, saturasi oksigen, penyebab perubahan saturasi oksigen, akibat perubahan saturasi oksigen.

e. Alat perekam suara untuk merekam wawancara antara peneliti dan informan.

f. Lembar catatan lapangan untuk menulis hasil observasi pada pasien yang dilakukan tindakan suction endotracheal tube.

g. Kamera untuk mendokumentasikan wawancara dengan informan dan observasi yang dilakukan peneliti pada pasien yang terpasang endotracheal tube.

(59)

3.4.2. Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain (Creswell, 2013) :

Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain: 1. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah tehnik pengumpulan data melalui proses tanya jawab yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang di wawancarai (Fatoni 2006).

Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Mengumpulkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik wawancara, yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam. Teknik wawancara ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006).

Teknik pengambilan data kepada partisipan dengan cara wawancara mendalam yaitu dengan memberi pertanyaan kepada partisipan kemudian jawaban partisipan digali lebih mendalam sampai tidak ada pendapat atau ide-ide baru dari partispan.

(60)

2. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan- pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran (Fatoni 2006). Menurut Sutopo (2006) observasi dibagi menjadi dua yaitu tak berperan dan observasi berperan. Observasi berperan meliputi observasi berperan aktif, dan observasi berperan penuh (Sutopo 2006).

Pada penelitian ini pengolahan data termasuk kedalam observasi tak berperan, kehadiran peneliti dalam melakukan observasi tidak diketahui oleh subjek yang diamati. Peneliti benar-benar tidak melakukan peran sama sekali sehingga apapun yang dilakukan peneliti sebagai pengamat tidak akan mempengaruhi segalanya yang terjadi pada sasaran yang diamati (Sutopo 2006).

Observasi pada penelitian ini langsung dilakukan selama 7 kali untuk mengamati tindakan perawat saat melakukan tindakan suction pada pasien yang terpasang endotracheal tube

dan untuk mengetahui perubahan saturasi oksigen pada pasien yang dilakukan tindakan suction di Ruang ICU RSUD Moewardi. Pada hal ini yang perlu diamati adalah tindakan

(61)

rumah sakit dan seberapa besar perubahan saturasi oksigen pada pasien setelah dilakukan tindakan suction.

3. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2011).

Studi dokumentasi penelitian ini dengan menyalin SOP tindakan suction di ICU RSUD Moewardi dan dokumentasi partisipan berupa foto pada setiap wawancara kepada partisipan. Dokumentasi ini dengan cara memfoto partisipan dari belakang ketika wawancara sedang berlangsung sesuai etika penelitian. Dengan tahapan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Setelah peneliti mendapat surat izin penelitiaan dari STIKes Kusuma Husada Surakarta, peneliti akan minta izin kepada RSUD dr. Moewardi Surakarta untuk meneliti di tempat tersebut, setelah mendapat izin peneliti akan meminta izin kepada calon partisipan sesuai kriteria inklusi yang ada pada rencana penelitian. Sebelum peneliti melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada partisipan, menjelaskan tujuan yang akan dilakukannya, mengecek instrumen penunjang seperti alat perekam, lembar pedoman wawancara dan pertanyaan, lembar catatan lapangan, peneliti harus menguasai

(62)

konsep, latihan wawancara terlebih dahulu dan menguji coba wawancara terlebih dahulu.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah itu wawancara secara mendalam dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data dan untuk memperkuat penelitiannya. Wawancara semi terstruktur, tujuan wawancara ini adalah menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Wawancara ini termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas. Dalam melakukan wawancara peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Urutan pertanyaan tergantung pada proses wawancara dan jawaban tiap individu, wawancara ini menggunakan pertanyaan terbuka (Open-ended questions) dan menggunakan bantuan pertanyaan wawancara yang telah disiapkan sebelumnya (Stars H, 2007).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan selama 7 kali terhadap 4 partisipan yang sesuai dengan kriteria kriteria yang sudah ditetapkan. Wawancara terhadap partisipan dilakukan secara mendalam, pertanyaan dalam pedoman wawancara dikembangan lagi oleh peneliti sehingga bisa menggali informasi lebih banyak dari partisipan. Pengambilan data dihentikan apabila data yang diperoleh sudah mancapai saturasi data. Observasi dilakukan

(63)

terhadap perawat yang melakukan tindakan suction untuk mengetahui apakah tindakan suction yang perawat lakukan sudah sesuai dengan SOP yang ada di rumah sakit, selain itu juga untuk mengetahui perubahan saturasi oksigen sebelum dan sesudah tindakan suction.

3. Tahap Terminasi

Penulis menulis laporan dan mendokumentasikan hasilnya, dalam penulisan laporan peneliti harus mampu menuliskan setiap frasa kata dan kalimat serta pengertian secara tepat sehingga dapat mendeskripsikan data dan hasil analisa yang telah diambil. Penulis mencatat kembali jika ada data tambahan, peneliti menyatakan bahwa penelitiannya sudah selesai kepada partisipan.

3.5. Analisa Data

Analisa Data merupakan proses pengumpulan data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Teknik analisa yang dapat digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode collaizi (Polit, 2006).

Adapun langkah-langkah analisa sebagai berikut :

3.5.1. Membuat transkip wawancara tentang tentang perubahan saturasi oksigen pada pasien yang terpasang endotracheal tube saat dilakukan tindakan suction dari partisipan dalam bentuk narasi yang bersumber dari wawancara mendalam.

Gambar

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait