• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan

Lahan adalah aset terpenting bagi kegiatan pertanian. Sebagai salah satu faktor produksi pertanian lahan memiliki potensi yang berbeda-beda yang menentukan penggunaannya untuk budidaya. Lahan yang memiliki kesesuaian untuk budidaya pertanian tanaman pangan jumlahnya terbatas dan terus menurun sejalan dengan perkembangan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Fenomena alih fungsi lahan saat ini menunjukan perkembangan yang semakin cepat menyebabkan luas lahan pertanian kian menyusut.

Perubahan penggunaan lahan merupakan tuntutan perkembangan kawasan perkotaan. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah bagian dari proses transformasi struktur ekonomi kawasan perkotaan, yang ditandai dengan berkembangnya sektor sekunder dan tersier menggeser peran sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan (Nugroho & Dahuri 2004). Perkembangan kawasan perkotaan umumnya didominasi oleh sektor sekunder dan tersier yang intensif dalam penggunaan lahan. Hal ini sejalan dengan konsep sewa lahan, di mana sewa lahan semakin menurun dengan makin jauhnya jarak dengan pusat bisnis. Sektor-sektor dengan produktivitas tinggi akan menempati pusat kawasan perkotaan.

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali akan menyebabkan permasalahan ketahanan pangan, lingkungan dan ketenagakerjaan. Selain berfungsi sebagai media budidaya tanaman, lahan pertanian memiliki multifungsi bagi lingkungan, biofisik lahan, dan sosial budaya. Dengan demikian alih fungsi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan, tetapi juga menimbulkan banyak kerugian akibat hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya, juga kerugian ekologis bagi lahan pertanian di sekitarnya. Kerugian tersebut bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor-sektor penunjang lainnya. Secara umum sektor-sektor pertanian merupakan sektor-sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja, dan pada umumnya tenaga kerja tersebut sulit berpindah ke lapangan pekerjaan lainnya (Roosita 2005).

(2)

Ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, banyaknya penduduk miskin, penurunan produktivitas pertanian, serta bencana alam menjadi ancaman bagi ketahanan pangan. Sebagai negara agraris Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menyediakan bahan pangan. Namun kenyataannya kebutuhan bahan pangan Indonesia masih bergantung pasokan dari luar negeri. Kondisi demikian sangat beresiko bagi ketahanan pangan nasional (Liem 2008).

Undang-undang tentang Pangan (UU No. 7 Tahun 1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan, 2) stabilitas ketersediaan pangan 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan, serta 4) kualitas/keamanan pangan. Indonesia dihadapkan dengan dua masalah ketahanan pangan, yaitu ketahanan pangan wilayah dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan wilayah digambarkan dari aspek produksi, sedangkan aspek ketahanan pangan rumah tangga diwujudkan dengan kemampuan penduduk mengakses dan mengonsumsi makanan sesuai syarat gizi untuk mencapai derajat hidup sehat. Dari aspek produksi ketahanan pangan menghadapi tantangan karena berkurangnya lahan pertanian. Sedangkan dari aspek ketahanan pangan rumah tangga banyaknya penduduk miskin meningkatkan ancaman terhadap ketahanan pangan.

Ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat. Upaya mewujudkan ketahanan pangan dilakukan dengan menyediakan pangan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk. Peraturan Pemerintah mengenai Ketahanan Pangan (PP No. 68 Tahun 2002) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk menyediakan pangan adalah dengan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif, di samping upaya-upaya terkait dengan teknologi produksi yang diharapkan semakin efisien. Mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif serta pengembangan teknologi produksi pertanian merupakan bagian dari perlindungan lahan pertanian.

(3)

Perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah irigasi telah mendapat perhatian pemerintah dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Irigasi (PP No. 20 Tahun 2006). Upaya perlindungan lahan pertanian sawah beririgasi merupakan bagian dari perlindungan investasi infrastruktur pertanian. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut pemerintah mengupayakan ketersediaan lahan beririgasi dan/atau mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat jaringan irigasi. Selanjutnya pemerintah berkewajiban menetapkan wilayah potensial irigasi dalam rencana tata ruang wilayah untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan beririgasi tidak dapat dilakukan kecuali dengan perubahan rencana tata ruang, atau bencana alam yang mengakibatkan hilangnya fungsi lahan dan jaringan irigasi. Sebagai konsekuensi alih fungsi lahan yang diakibatkan oleh perubahan rencana tata ruang, pemerintah berkewajiban mengupayakan penggantian lahan beririgasi beserta jaringannya.

Saat ini tengah disusun Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai upaya pemerintah untuk menjamin lapangan kerja dan sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat, menjamin kedaulatan dan ketahanan pangan. Perlindungan lahan pertanian juga dilakukan sejalan dengan pembaruan agraria yaitu berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rancangan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlindungan lahan petanian bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, mempertahankan keseimbangan ekologis, dan mempertahankan multifungsi pertanian.

(4)

Perlindungan lahan pertanian dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lokasi, fisik, produktivitas, investasi infrastruktur pertanian, manfaat konservasi tanah dan air, penyerapan tenaga kerja, serta kecukupan pangan (Liem 2008). Sedangkan dalam rancangan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan beberapa aspek terkait perencanaan penggunaan lahan antara lain penggunaan lahan pertanian, lokasi, sosial ekonomi masyarakat, serta kriteria fisik lahan dan ketersediaan infrastruktur pertanian. Lahan pertanian yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa sawah beririgasi (teknis, semi teknis, sederhana, dan pedesaan), sawah tadah hujan, lahan rawa baik pasang surut maupun lebak, dan/atau lahan kering. Sedangkan lokasinya dapat berada di kawasan perdesaan maupun perkotaan.

Perlindungan lahan pertanian dilakukan melalui perencanaan berdasarkan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan, produktivitas, kebutuhan pangan nasional, kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta musyawarah petani. Perencanaan dilakukan terhadap lahan pertanian yang sudah ada dan yang potensial dikembangkan, dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan, dan luasan kesatuan hamparan lahan. Perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan disusun baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Pentingnya mengintegrasikan penggunaan lahan pertanian dengan penggunaan lahan lainnya dalam perencanaan penggunaan lahan untuk penataan ruang ditunjukan dengan perencanaan dan penetapan yang saling terkait antar wilayah dan penggunaan lahan lainnya. Perencanaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan di tingkat nasional menjadi acuan bagi perencanaan di tingkat provinsi, dan perencanaan di tingkat provinsi menjadi acuan perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian dari penetapan perencanaan tata ruang menjadi dasar peraturan zonasi.

(5)

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Kebijakan tentang ruang terbuka hijau diperkuat dengan Undang-undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007) yang telah memberikan landasan pengaturan untuk ruang terbuka hijau dalam rangka mewujudkan ruang kawasan perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Sebagai tidak lanjut dari ketentuan tersebut telah ditetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Peraturan lain yang memuat ketentuan tentang ruang terbuka hijau adalah Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, Persyaratan, Standar dan Kriteria dalam Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Kasiba dan Lisiba. Ruang terbuka hijau juga diatur dalam rencana tata ruang, baik dalam rencana penggunaan lahan maupun tercakup dalam ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB). Koefisien dasar bangunan yaitu perbandingan antara luas ruang terbangun dengan luas total lahan. Sedangkan ruang terbuka hijau merupakan selisih antara luas total lahan dengan luas ruang terbangun.

Perkembangan kawasan perkotaan telah mengakibatkan penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau. Penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perkotaan dan berdampak terhadap kehidupan perkotaan. Hal tersebut dikarenakan fungsi dan manfaat ruang terbuka hijau yang menentukan kualitas dan keberlanjutan lingkungan kawasan perkotaan (The Bodine Street Community Garden 2009).

(6)

Fungsi ruang terbuka hijau dapat dikelompokan dalam fungsi ekologi, sosial budaya, arsitektural dan fungsi ekonomi. Fungsi dan manfaat ruang terbuka hijau antara lain (Irwan 2008, The Bodine Street Community Garden 2009):

1. Fungsi ekologi

• Sebagai paru-paru kawasan perkotaan yang menghasilkan oksigen untuk pernafasan makhluk hidup.

• Pengatur iklim mikro sehingga kawasan perkotaan menjadi sejuk, nyaman dan segar.

• Menciptakan lingkungan hidup (ruang hidup) bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadi interaksi secara alamiah.

• Penyeimbang alam, merupakan habitat bagi berbagai macam organisme yang hidup di sekitarnya.

• Fungsi oro-hidrologi, menyerap air hujan, mengendalikan persediaan air tanah dan mencegah erosi, sekaligus memperbaiki drainase.

• Perlindungan terhadap kondisi fisik alami seperti angin kencang, panas matahari, gas atau debu. Ruang terbuka hijau mengurangi efek pulau panas di kawasan perkotaan. Efek pulau panas adalah gejala peningkatan suhu pada kawasan perkotaan dibandingkan suhu lingkungan sekitarnya. Efek pulau panas terjadi pada kawasan perkotaan yang padat dengan ruang terbangun yang masif, dikarenakan bangunan, aspal jalan, dan konstruksi beton menyerap panas, sehingga temperatur di sekitarnya menjadi meningkat. Tanaman mampu mengurangi efek pulau panas tersebut dengan naungan kanopinya dan evapotranspirasi.

• Mengurangi polusi, tanaman dalam ruang terbuka hijau mampu menyerap polutan dari kendaraan, menyaring debu dengan dengan tajuk dan kerimbunan daunnya, meredam kebisingan, dan berperan membersihkan air limbah.

• Akhirnya ruang terbuka hijau dapat menjadi indikator bagi kondisi ekologi dalam ekosistem, sebagai ukuran keberlanjutan ekologi kawasan.

(7)

2. Fungsi sosial budaya

• Sebagai tempat rekreasi, tempat bersosialisasi, menciptakan interaksi positif antar masyarakat, serta mengembangkan nilai-nilai sosial yang bisa menjadi modal sosial bagi pembangunan.

• Ruang terbuka hijau menjadi sarana pendidikan untuk mengenalkan alam, menghubungkan masyarakat dengan lingkungannya sehingga memunculkan kesadaran untuk menciptakan lingkungan hidup yang nyaman. Hal ini penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang berkelanjutan.

3. Fungsi arsitektural

Fungsi arsitektural ruang terbuka hijau terkait vegetasi di dalamnya yang akan meningkatkan fungsi ruang dan berperan membentuk ruang kawasan perkotaan. Penanaman vegetasi dengan mempertimbangkan aspek arsitektural serta direncanakan dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kawasan perkotaan

4. Fungsi ekonomi

• Lahan pertanian merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang menghasilkan produk yang bernilai ekonomi.

• Ruang terbuka hijau yang berupa lahan pertanian dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan berperan bagi pemberdayaan masyarakat.

• Sedangkan ruang terbuka hijau privat berupa taman dapat meningkatkan nilai properti.

Sesuai arahan Inmendagri No. 14 Tahun 1988, perencanaan ruang terbuka hijau dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

1. Konsep struktur fungsional kota

Ruang terbuka hijau dikelompokan berdasarkan struktur fungsional ruang meliputi kawasan hijau pertamanan kota, hutan kota, kawasan rekreasi kota, lapangan olah raga, permakaman, pertanian, jalur hijau/koridor jalan dan pekarangan.

(8)

2. Konsep koridor kota

Ruang terbuka hijau terbagi dalam kawasan dengan fungsi tertentu terkait aktivitas dominan, yaitu ruang terbuka hijau kawasan permukiman, perdagangan, perkantoran dan fasilitas pelayanan umum, industri, kawasan rekreasi dan hiburan, pertanian dan perkebunan, dan kawasan pendidikan.

Kebijakan yang memuat ketentuan tentang ruang terbuka hijau menentukan standar luas ruang terbuka hijau yang berbeda-beda. Luas ruang terbuka hijau sebagaimana diatur dalam Undang-undang Penataan Ruang adalah minimal sebesar 30% luas wilayah. Persyaratan dan stándar fasilitas ruang terbuka hijau pada Kasiba sebagaimana Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/Permen/M/2006 adalah 15 m2 per jiwa dengan lokasi menyebar. Selanjutnya dalam rencana tata ruang luasan ruang terbuka hijau ditentukan berdasarkan KDB. Penetapan KDB dibedakan dalam tingkatan KDB tinggi (lebih besar dari 60% sampai dengan 100%), sedang (30% sampai dengan 60%), dan rendah (lebih kecil dari 30%). Untuk daerah/kawasan padat dan/atau pusat kota dapat ditetapkan KDB tinggi dan/atau sedang, sedangkan untuk daerah/kawasan renggang dan/atau fungsi resapan ditetapkan KDB rendah (PP No. 36 Tahun 2005). Koefisien dasar bangunan 60% berarti area yang boleh tertutup oleh bangunan dan perkerasan adalah maksimum 60% dari luas kawasan, sedangkan sisanya adalah ruang terbuka hijau.

Berbagai fungsi dan manfaat ruang terbuka hijau menentukan keberlanjutan kawasan perkotaan. Perkembangan kawasan perkotaan secara berkelanjutan merupakan tantangan dalam pembangunan kawasan. Dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan ekploitasi sumber daya, investasi, dan perubahan institusional dikembangkan dengan mempertimbangkan kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan pengelolaan sumber daya alam yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat dengan daya dukung lingkungan. Semakin banyak kehilangan ruang terbuka hijau tidak hanya berarti kehilangan sumber daya alam dan menurunnya kualitas lingkungan kawasan perkotaan tapi juga sumber daya manusia dengan nilai-nilai sosialnya.

(9)

Penataan Ruang Kawasan Perkotaan

Undang-undang Penataan Ruang mengklasifikasikan penataan ruang berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan ruang kawasan perkotaan merupakan penataan ruang yang didasarkan pada kegiatan kawasan. Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dan kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi. Rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah.

Gambar 2 Tipologi pendekatan penataan ruang

Perencanaan tata ruang secara konvensional menggunakan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002) dalam penyusunannya. Rencana tata ruang kawasan perkotaan disusun melalui tahapan proses perencanaan sebagai berikut:

1. Penentuan kawasan perencanaan berdasarkan tingkat urgensi/prioritas/ keterdesakan penanganan kawasan dalam konstelasi wilayah

2. Identifikasi permasalahan pembangunan dan perwujudan ruang kawasan 3. Perkiraan kebutuhan pelaksanaan pembangunan kawasan didasarkan atas

(10)

kebutuhan prasarana dan sarana lingkungan, sasaran pembangunan kawasan, dan pertimbangan efisiensi pelayanan, mencakup:

a. Perkiraan kebutuhan pengembangan kependudukan; b. Perkiraan kebutuhan pengembangan ekonomi perkotaan; c. Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial dan ekonomi perkotaan;

d. Perkiraan kebutuhan pengembangan lahan perkotaan (ekstensifikasi, intensifikasi, perkiraan ketersediaan lahan bagi pengembangan);

e. Perkiraan kebutuhan prasarana dan sarana perkotaan.

4. Perumusan rencana berdasarkan pada perkiraan kebutuhan pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan ruang.

5. Penetapan rencana (legalisasi) untuk mengoperasionalkan rencana.

Gambar 3 Penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perkotaan

Muatan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, meliputi: 1) tujuan pengembangan kawasan fungsional perkotaan; 2) rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan, 3) pedoman pelaksanaan pembangunan kawasan fungsional perkotaan, dan 4)

(11)

pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kawasan fungsional perkotaan. Perencanaan penggunaan lahan merupakan bagian dari rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan. Namun demikian pola spasial penggunaan lahan yang terbentuk tidak terlepas dari muatan lainya dalam rencana tata ruang.

Produk rencana tata ruang pada umumnya memiliki kelemahan dari aspek keterukurannya. Sehingga strategi pemanfaatan ruang seringkali kurang dapat dioperasionalkan sebagai acuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi wilayah secara optimal. Rencana tata ruang seringkali tidak mengemukakan tujuan perencanaan tata ruang secara spesifik. Dengan pengertian bahwa tujuan-tujuan tersebut bisa juga menjadi tujuan penataan ruang untuk wilayah lain dengan kondisi dan potensi wilayah yang berbeda, tidak berbeda jika arahan digunakan pada suatu wilayah atau di wilayah lain. Hal ini dapat mengarahkan pada strategi pemanfaatan ruang yang terlalu umum, tidak spesifik sesuai potensi wilayah.

Perencanaan tata ruang secara konvensional belum dapat mendukung fungsi kawasan perkotaan dan pemanfaatan sumber daya secara optimal. Berbagai permasalahan kawasan perkotaan menunjukan bahwa penataan ruang secara konvensional belum dapat mewujudkan efisiensi penggunaan lahan yang dapat mendukung kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang ada di dalam kawasan. Lahan sebagai sumber daya kawasan tempat berlangsungnya berbagai kegiatan dan fungsi kawasan perlu dikelola dengan baik sehingga dapat digunakan secara berkesinambungan, menciptakan interaksi positif antara berbagai kegiatan, fungsi dan komponen kawasan perkotaan, serta meminimasi dampak negatif yang tidak diinginkan.

Penataan ruang kawasan perkotaan harus dapat mendukung dinamika perkembangan dan berusaha mengefisienkan penggunaan lahan sebelum melakukan perluasan kota ke daerah pinggiran (fringe area). Sebagai pusat pengembangan wilayah kawasan perkotaan cenderung berkembang menjadi besar, melebar ke daerah pinggirannya. Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara konvensional tidak mampu mencegah terjadinya perkembangan kawasan yang tidak terencana. Rencana tata ruang yang tidak terukur belum dapat

(12)

memberikan informasi yang memadai mengenai manfaat pelaksanaan rencana, dampak perubahan penggunaan lahan dan sebagainya. Akibatnya kawasan cenderung berkembang tidak terarah menjadi besar, melebar ke daerah pinggirannya, serta timbulnya berbagai permasalahan kawasan perkotaan.

Optimasi Penggunaan Lahan

Optimasi adalah suatu teknik analisis untuk menentukan keputusan optimal (maksimal atau minimal) untuk mencapai tujuan tertentu dengan dibatasi berbagai kendala (Widodo 2006). Linear programming merupakan model dasar dalam optimasi. Langkah pemodelan optimasi meliputi tahapan perumusan variabel tujuan, merumuskan variabel keputusan, menyusun fungsi tujuan, menentukan fungsi kendala, menentukan konfigurasi optimal, dan analisis sensistivitas (Saefulhakim 2008).

Model optimasi telah berkembang luas, dan telah banyak digunakan dalam sistem manajemen secara umum, akan tetapi terdapat perbedaan penggunaan model tersebut untuk optimasi penggunaan lahan. Kajian penggunaan lahan dengan model optimasi telah banyak digunakan terkait produktivitas lahan dan pemanfaatan sumber daya, seperti memaksimalkan produksi, penentuan pola tanam optimal, analisis target produksi dengan kendala fisik, biologi, ekonomi dan lingkungan, menentukan pola penggunaan lahan yang optimal berdasarkan berbagai kriteria (ekonomi, lingkungan dan sosial), optimasi suplai air untuk lahan pertanian, menentukan alokasi terbaik berbagai tipe penggunaan lahan, dan sebagainya. Namun demikian model optimasi belum banyak digunakan untuk perencanaan tata ruang atau penggunaan lahan kawasan perkotaan.

Struktur umum model optimasi terdiri atas variabel keputusan, fungsi tujuan, dan fungsi kendala. Variabel keputusan dalam optimasi penggunaan lahan adalah pola spasial penggunaan lahan, yang mencakup tipe, luas dan lokasi penggunaan lahan. Variabel keputusan dapat didasarkan pada pola penggunaan lahan aktual dengan tipe penggunaan lahan yang ada, atau dikembangkan lebih lanjut sesuai tujuan optimasi.

(13)

Fungsi tujuan disusun berdasarkan hubungan fungsional antar variabel keputusan atau yang terkait dengan variabel keputusan sesuai dengan konteks optimasi yang dilakukan. Selanjutnya fungsi kendala dalam optimasi penggunaan lahan ditentukan berdasarkan kondisi aktual dalam wilayah penelitian, dengan pemahaman terhadap kendala-kendala yang dapat menghambat pencapaian tujuan. Kendala optimasi penggunaan lahan dapat mencakup antara lain kendala ketersedian sumber daya (luas lahan, kesesuaian lahan, penggunaan lahan aktual), dan kendala aspek legal (peraturan perundangan terkait pola penggunaan lahan).

Sadeghi et al. (2008) dalam kajian optimasi penggunaan lahan daerah aliran sungai (Land use optimization in watershed scale) menentukan variabel keputusan optimasi sebagai pola penggunaan lahan, yaitu tipe, lokasi dan luasan penggunaan lahan yang didasarkan pada pola dan tipe penggunaan lahan aktual. Fungsi tujuan disusun berdasarkan sasaran-sasaran optimasi untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan erosi. Untuk tujuan ganda tersebut model optimasi yang digunakan adalah multiobjectives goal programming.

Sementara itu Arifin (2004) dalam pemodelan optimasi pola penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, variabel keputusan (pola penggunaan lahan) dikembangkan menjadi pola penggunaan lahan untuk komoditas dan musim tanam tertentu. Fungsi tujuan dalam kajian ini dirumuskan dengan mengkaitkan variabel keputusan dengan tujuan optimasi, untuk memaksimalkan land rent. Model optimasi yang digunakan dalam kajian ini adalah linear programming.

Dalam operasional perencanaan penggunaan lahan kawasan perkotaan tujuan perencanaan lebih kompleks. Optimasi penggunaan lahan kawasan perkotaan juga akan memiliki tujuan yang lebih kompleks. Oleh sebab itu metode goals programming/multiobjectives goal programming akan lebih tepat digunakan dalam optimasi penggunaan lahan kawasan perkotaan. Goals programming merupakan salah satu metode dalam pemodelan optimasi untuk mendapatkan alternatif pemecahan optimum dengan banyak tujuan terhadap suatu persoalan. Goals programming akan mampu menampung tujuan-tujuan optimasi penggunaan lahan kawasan perkotaan.

(14)

Bentuk umum model goals programming (Saefulhakim 2008) adalah sebagai berikut: Fungsi tujuan: Fungsi-fungsi kendala: • Kendala sasaran • Kendala riil

• Kendala non negativitas

Keterangan:

j = {1...J}set variabel keputusan i = {1...I}set fungsi kendala riil k = {1...K}set fungsi kendala sasaran

z = variabel tujuan yang dicari nilai optimalnya xj = variabel keputusan ke-j

= variabel sasaran ke-k

= variabel angka kekurangan dari angka sasaran ke-k = variabel angka kelebihan dari angka sasaran ke-k

= koefisien fungsi sasaran ke-k untuk variabel keputusan ke-j = nilai sasaran ke-k

= skala prioritas penurunan angka kekurangan dari nilai sasaran ke-k

(15)

= skala prioritas penurunan angka kelebihan dari nilai sasaran ke-k

= koefisien fungsi kendala riil ke-i untuk variabel keputusan ke-j = konstanta fungsi kendala riil ke-i

Dengan kompleksitas kawasan perkotaan, perencanaan penggunaan lahan kawasan perkotaan yang terbatas dan rentan terhadap konflik karena persaingan penggunaan lahan yang tinggi akan sangat relevan jika dilakukan secara terukur dengan model optimasi. Keunggulan analisis kuantitatif dengan model optimasi untuk perencanaan penggunaan lahan adalah bahwa pendekatan ini memberikan basis pengetahuan dan informasi yang lebih baik tentang alokasi, luasan dan tipe penggunaan lahan apa yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan tertentu. Model optimasi dapat memberikan produk rencana yang lebih terukur dengan hasil sesuai kondisi aktual dan lebih dapat dilaksanakan. Dengan demikian dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan dapat dihindarkan. Di samping itu dengan pendekatan model optimasi berbagai kepentingan yang saling bertentangan dapat diintegrasikan dan dianalisis secara komprehensif. Sehingga memungkinkan efisiensi dalam pengalokasian sumber daya yang terbatas dan efektivitas program pembangunan. Dalam prakteknya solusi optimal tetap menghadapi ketidakpastian (uncertainty) karena dinamika penggunaan lahan dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Gambar

Gambar 2 Tipologi pendekatan penataan ruang
Gambar 3 Penyusunan rencana detail tata ruang kawasan perkotaan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil review dimaksudkan untuk melihat apakah Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik, terutama yang menyangkut unsur supervisi dan konsultasi serta

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

RANTJANGAN DASAR UNDANG² PEMBANGUNAN NASIONAL SEMESTA BERENTJANA.

Dari ketidakseimbangan tuntutan pekerjaan dengan aset pekerjaan yang dimiliki oleh pegawai Bangi Kopitiam berdasarkan pada hasi preeliminari yang didapatkan peneliti,

Secara umum jaringan FTTX yaitu jaringan local berbasis fiber optic dimana dalam sistem ini terdapat 2 buah atau lebih perangkat aktif, dimana 1 perangkat aktif yang dipasang

 Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak

a) Menguasai bahan atau materi. b) Mampu menyesuaikan tujuan khusus pembelajaran dengan materi yang akan disampaikan. c) Mampu menciptakan kondisi kelas yang kondusif.

Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang perlu dilakukan oleh perusahaan baik itu perusahaan barang atau jasa dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan