Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
KAJIAN TINGKAT KEBERHASILAN SAMBUNGAN
PADA PENERAPAN TEKNOLOGI SAMBUNG SAMPING
TANAMAN KAKAO DI SULAWESI SELATAN
ABSTRAK
Rehabilitasi dan perbaikan mutu tanaman kakao merupakan salah satu program pembangunan perkebunan di daerah ini yang dapat dilakukan untuk mengatasi rendahnya produkstivitas tanaman kakao. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung program tersebut adalah pengkajian peningkatan produksi dan kualitas tanaman kakao melalui kegiatan pengujian penggunaan bahan tanaman berupa entres baik yang berasal dari klon lokal maupun klon introduksi. Pengkajian ini dilaksanakan di . kabupaten Soppeng pada lahan petani kakao dengan super impose seluas 2,5 ha,melibatkan 5 orang petani sebagai ulangan. Bahan tanaman(entres) yang digunakan sebagai perlakuan berasal dari kakao unggul lokal dan introduksi. Perlakuan disusun menurut Rancangan Acak Kelompok. Kegiatan pengkajian dilaksanakan mulai Januari 2010 dan berakhir pada bulan Desember 2010, bertujuan untuk mengkaji tingkat keberhasilan sambungan dari beberapa jenis entres lokal maupun introduksi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaaan nyata pada kemampuan petani melakukan sambung samping. Demikian juga keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh jenis klon dimana entres berasal. Tingkat keberhaslan sambungan tertinggi dihasilkan dari klon Sulawesi 1 yakni 74,5%, sedangkan terendah dari klon TSH 858 yakni 53,2%. Pola tersebut
juga sejalan dengan pola pertumbuhan tanaman dimana tinggi tunas, jumlah cabang, dan jumlah daun klon TSH 858 lebih sedikit dibandingkan dengan klon lainnya.
Kata Kunci : Kakao, Entres, Vegetatif, Klon unggul
ABSTRACT
Rehabilitation and improvement of the quality of the cocoa plant is one of the plantation development program in this area that can be done to overcome the low productivity of cocoa. One activity that can be done to support these programs is the assessment and quality improvement of cocoa production through the use of testing the plant material in the form of good entres clones derived from local and introduced clones. The research was conducted in Soppeng district on cocoa farmers' fields with super impose covers 2.5 ha, involving 5 people farmers as replications. The plant material (entres) used as a treatment derived from local and introduced cocoa superior. The treatments arranged according to randomized block design. Assessment of activities carried out from January 2010 and ended in December 2010, aims to examine the grafting success rate of some types of local and introduced entres. The results showed the real difference in the ability of farmers doing the graft. Likewise, the grafting success is influenced by the type of clone which originated entres. The highest level of grafting success
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
generated from Sulawesi 1 clone that is 74.5%, while the lowest is TSH 858 namely 53.2%. The pattern is also consistent with the pattern of plant growth where the height of plant, number of branches, and leaves number of TSH 858 clones, fewer than the other clones.
Keywords: Cocoa, Entres, Vegetative, superior clones
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Tanaman kakao (Theobroma
cacao L.) sebagai komoditi ekspor
dapat meningkatkan pendapatan
petani bahkan mendatangkan devisa negara yang cukup besar. Hasil dileniasi, arahan penggunaan lahan
dan alternatif pengembangan
komoditas utama berdasarkan AEz Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan di daerah ini. Menurut Dinas Perkebunan Propinsi Sulsel pada tahun 2009 luas areal kakao mencapai 256.348 ha yang terdapat pada 21 kabupaten. Produksi yang dicapai diproyeksikan sebesar 163.727 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 4,093 triliun
Pada tahun 2009 melalui program Gernas Kakao dikucurkan dana sebesar Rp. 302 miliar. (Harian Fajar 2009) dan dialokasikan pada 11 kabupaten mulai dari Luwu Utara,
Luwu Timur, Luwu, Enrekang,
Soppeng, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Bantaeng, dan Bulukumba. Program ini akan melakukan kegiatan
peremajaan, rehabilitasi, dan
intensifikasi pada areal
pengembangan kakao seluas 48.200 ha yang terdiri dari 4.300 ha untuk
kegiatan peremajaan, 20.900 ha untuk kegiatan rehabilitasi kebun dan 23.700 ha untuk kegiatan intensifikasi (Harian Fajar 2008),
. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan terutama di daerah pengembangan Luwu Utara, Luwu Timur, Luwu, Enrekang, Soppeng,
Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone,
Bantaeng,, dan Bulukumba ialah produktivitas yang rendah (kurang dari 500 kg per ha per tahun) Hal ini disebabkan oleh kegiatan para petani kakao yang mendatangkan benih yang tidak jelas asal keturunannya antara lain dari Jawa, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan. Akibatnya tanaman kakao yang telah ditanam selama bertahun-tahun tidak menghasilkan buah Selain itu sebagian besar tanaman kakao sudah berumur lebih dari 10 tahun sehingga tidak produktif lagi.
Tanaman kakao yang tidak produktif tersebut dapat direhabilitasi
menggunakan teknologi sambung
samping. Teknologi ini merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman
kakao secara vegetatif, dimana
tanaman kakao tua dan tidak produktif
digunakan sebagai batang bawah (root
stock) disambung dengan entres yang diperoleh dari klon unggul kakao
sebagai batang atas (scion). Dengan
teknologi ini pekebun tidak mengalami
kehilangan hasil dari batang
bawahnya. Tanaman hasil sambung samping telah mulai dapat dipetik buahnya pada umur 18 bulan setelah disambung, dan setelah berumur 3 tahun hasil buah sebanyak 15-22 buah per pohon (Limbongan et al. 1999).
Beberapa klon kakao lindak yang telah dilepas diantaranya klon GC 7 dengan SK Menteri Pertanian
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
No. 736/Kpts/ TP.240/7/97, dan klon ICS 13 dengan SK Menteri Pertanian No. 736/Kpts/TP.240/ 7/97. Klon GC 7 memiliki produktivitas 2.035 kg/ha /th , lebih tinggi dibandingkan klon kontrol DR 1, mutu hasil sesuai permintaan konsumen dan klon ICS 13 dengan daya produktivitas 1.827 kg per ha per
tahun, Klon ICS juga banyak
digunakan sebagai sumber bahan tanaman untuk program klonalisasi di
Caribia, Costa Rica (Johnson, E.S. et
al. 2007). Klon-klon tersebut sudah
ditanam cukup luas di beberapa perkebunan negara dan swasta nasional, serta dijadikan bahan untuk program klonalisasi.
Hasil kajian teknik sambung samping yang dilaksanakan oleh
Limbongan, et al., (2007) di Propinsi
Papua menyimpulkan bahwa
prosentase sambungan jadi yang
dicapai melalui teknik sambung
samping mencapai 5-65%.
Dibandingkan dengan di Jember (Kalisepanjang berkisar 84,5% pada klon ICS60 dan 93,5% pada klon ICS13). Penelitian sambung samping
yang dilakukan Limbongan et al.
(2000) di Sulteng menunjukkan persentase sambung jadi berkisar antara 69% pada klon GC7 dan 75% pada klon ICS 60 dengan tingkat produktivitas kakao mencapai 1,9 ton biji kering per ha per tahun untuk klon
GC 7. Tingkat keberhasilan
sambungan merupakan salah satu indikator keberhasilan teknik sambung samping selain produktivitas yang tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut diatas ternyata ada
perbedaan persentase sambung jadi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga ada variasi
faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya perbedaan persentase
sambung jadi tersebut. Sehingga pertanyaan yang harus dijawab ialah
berapa tingkat keberhasilan
sambungan dan faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan sambung samping kakao di Sulawesi Selatan.
Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan
sambungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan tersebut pada kegiatan penerapan teknologi sambung samping tanaman kakao di Sulawesi Selatan.
2. Metodologi Pengkajian
Pengkajian Tingkat Keberhasilan
Sambungan pada Penerapan
Teknologi Sambung Samping
Tanaman Kakao dilaksanakan di kabupaten Soppeng, yang merupakan salah satu sentra pengembangan kakao di Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan di lahan petani kakao dengan super impose seluas 2,5 ha dengan memilih 5 orang petani
sebagai ulangan. Kegiatan
dilaksanakan mulai Januari 2010 dan berakhir pada bulan Desember 2010.
Bahan tanaman(entres) yang digunakan sebagai perlakuan berasal dari empat jenis kakao unggul lokal yaitu : Klon Sulawesi 1, klon Sulawesi 2 , klon Muhtar 01, klon Empat Lima, dan satu klon Intoduksi yaitu TSH 858.
Perlakuan disusun menurut
Rancangan Acak Kelompok dan diulangi lima kali, dengan susunan perlakuan sebagai berikut : A = Klon Sulawesi 1; B = Klon Sulawesi 2; C = Klon Muhtar 01; D = Klon Empat Lima; dan E = Klon TSH 858.
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, entres kakao, pisau okulasi, gunting pangkas, tali rafiah, polibag, plastik
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
transparan, parafin, pupuk, pestisida, hand sprayer, papan plot, label tanaman, tali, meteran, ATK serta alat bantu lainnya.
Data yang dikumpulkan terdiri dari : Persentase sambung jadi yaitu jumlah sambungan yang tunasnya tumbuh dengan baik, pertumbuhan tunas (tinggi tunas, jumlah daun pada tunas, jumlah cabang yang tumbuh dari tunas), waktu yang diperlukan untuk penyambungan, data produksi kakao hasil sambung samping yang sudah berumur 3-4 tahun dan data produksi kakao hasil penanaman baru diperoleh di lokasi pengkajian, jumlah
input yang digunakan (pupuk,
pestisida, bahan pembantu lainnya, jumlah tenaga kerja (HOK), data sosial ekonomi lainnya, data curah hujan di lokasi kegiatan.
Dari hasil pengamatan, data yang telah terkumpul dari setiap kegiatan dilakukan analisis secara deskriptif dan dengan menggunakan analisis sidik ragam (Anova) sedangkan dari aspek ekonomi dianalisa dengan analisis efisiensi usahatani B/C.
3. Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum Petani Kooperator
Hasil pengamatan Luas Garapan, Umur Tanaman, Jumlah Tanaman,
Jenis Kakao, dan Pengalaman
Sambung Samping Petani Kooperator di kabupaten Soppeng dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Hasil Pengamatan Luas Garapan, Umur Tanaman, Jumlah Tanaman,
Jenis Kakao (batang bawah), dan Pengalaman Sambung Samping Petani Sampel pada Pengkajian Tingkat Keberhasilan Sambung Samping Tanaman Kakao
di Sulawesi Selatan .
No. Nam Petani
Luas Garapan (Ha) Umur Tanaman Kakao Jumlah Tanaman Jenis Kakao (batang bawah) Pengalaman Sambung Samping
1. Dalle 0,5 20 450 Lokal Belajar
2. A. Aris 0,5 20 460 Lokal 1 tahun
3. H.Congkeng 0,5 20 460 Lokal 2 tahun
4. Muliadi 0,5 26 450 Lokal Belajar
5. Pantong 0,5 9 500 Lokal Belajar
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa petani memiliki luas garapan rata-rata 0,5 ha, umur tanaman sebagian besar 20 tahun atau lebih kecuali satu petani yang bernama Pantong umur tanamannya 9 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman
kakao sebagian besar sudah tidak
produktif lagi karena hanya
menghasilkan kurang dari 200 kg biji kering per ha. Menurut Suryani et al.(2007), tanaman kakao produktif hanya sampai umur 13-19 tahun dan
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
setelah itu produktivitasnya terus menurun. Dilihat dari kondisi tanaman di lapangan : jenis kakao lokal, populasi tanaman yaitu 720 – 1000 tanaman per ha dengan jarak tanam 3 x 3 meter, baris tanaman lurus, pemeliharaan misalnya pemangkasan,
pemupukan, penyiangan tidak
dilaksanakan sesuai standar karena mereka kekurangan tenaga dan modal kerja. Kemampuan petani melakukan penyambungan bervariasi karena ada yang baru belajar, ada yang sudah satu tahun melakukan sambung samping, ada yang dua tahun bahkan ada yang sudah lebih 5 tahun dan
sudah berpengalaman melakukan
penyambungan tanaman kakao di Negara Malaysia.
Persentase Sambung Jadi setiap Klon
Hasil pengamatan persentase sambung jadi pada Pengkajian Tingkat
Keberhasilan Sambungan pada
Penerapan Teknologi Sambung Samping Tanaman Kakao di Sulawesi
Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa angka persentase sambung jadi yang tertinggi dihasilkan dari klon Sulawesi 1 yaitu 74,2%, namun angka
tersebut tidak berbeda dengan
persentase sambung jadi yang
dihasilkan dari klon Sulawesi 2, klon M 01 dan klon 45. Persentase sambung jadi terkecil dihasilkan dari klon TSH 858 (Medan) yaitu sebesar 53,2% dimana angka tersebut berbeda nyata dengan angka persentase sambung
jadi yang dihasilkan dari klon
Sulawesi 1, klon Sulawesi 2, klon M 01, dan klon 45.
Tabel 2.
Rata-rata Persentase Sambung Jadi dari setiap klon Pengkajian
Tingkat Keberhasilan Sambungan pada Penerapan Teknologi Sambung Samping Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan 2010.
Nama Klon Jumlah Sambungan Persentase Sambung jadi
Sulawesi 1 406 74,2a
Sulawesi 2 416 68,2ab
Muhtar 01 407 58,2ab
Empat Lima 407 72,4a
TSH 858 381 53,2b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 0,05
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa setiap klon memiliki
kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan sambungan jadi. Selain itu kecilnya persentase sambung jadi dipengaruhi jumlah curah hujan yang sangat ekstrim yaitu sebesar 1492 mm selama bulan Mei-Nopember 2010 (Lampiran 1), sedangkan pada bulan
yang sama tahun 2009 hanya sebesar 532 mm. Hasil penelitian yang dilaksanakan di Sulawesi Tengah
(Limbongan, 2007), diperoleh angka persentase sambung jadi bervariasi antar klon yaitu 69,9% sampai 75,4%.
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Kemampuan Petani Koperator Menyambung Tanaman Kakao
Kemampuan Petani untuk
Menyambung Tanaman Kakao di
kabupaten Soppeng dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Kemampuan Petani Menyambung Tanaman Kakao (Lama waktu penyambungan dan Persentase sambung jadi) pada Pengkajian Tingkat Keberhasilan Sambungan
pada Penerapan Teknologi Sambung Samping Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan 2010.
Nama Klon Sambungan Jumlah
Rataan Waktu Penyambungan (menit/sambungan) Rataan Persentase Sambung Jadi Dalle 334 4.4 c 72,8ab A. Aris 386 4.1 d 69,2ab H.Congkeng 373 3.7 e 74,4a Muliadi 430 6.6 b 53,8c Pantong 494 7.5 a 56,0bc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 0,05
Kemampuan petani melakukan penyambungan dapat dilihat dari angka lama waktu penyambungan dan persentase sambung jadi (Tabel 3). Ternyata waktu yang diperlukan untuk melakukan penyambungan berbeda nyata antara petani yang satu dengan petani lainnya. H. Congkeng menggunakan waktu paling sedikit yaitu hanya 3,7 menit per sambungan, sedangkan Pantong paling lama yaitu 7,5 menit per sambungan.
Sejalan dengan waktu
penyambungan ternyata H.Congkeng
yang paling cepat melakukan
penyambungan menghasilkan
persentase sambung jadi tertinggi yaitu 74,4%. Angka tersebut berbeda dengan angka persentase yang dicapai oleh Muliadi dan Pantong yaitu 53,8% dan 56,0%. Perbedaan ini terjadi karena memang H. Congkeng
sudah berpengalaman 2 tahun
melakukan penyambungan kakao, sedangkan Muliadi dan Pantong baru mulai belajar tahun 2010. Di Sulawesi Tenggara (BPTP Sultra, 2008), petani
hanya membutuhkan waktu 2 tahun untuk terampil melakukan sambung samping bahkan ada beberapa petani
yang mampu menjadi agen
pengembangan rehabilitasi kebun
kakao.
Lain halnya dengan Dalle yang walaupun baru mulai belajar tahun 2010 namun sudah bisa mencapai angka persentase sambung jadi
sebesar 72,8% lebih tinggi
dibandingkan dengan angka
persentase yang dicapai oleh Muliadi.
Hasil penelitian Prawoto et al (2005)
diperoleh angka sambung jadi sebesar 62% dengan metode sambung pucuk pada klon DR2 di KP. Kaliwining.
Dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan sambung samping selain ditentukan oleh pengalaman, juga
dipengaruhi oleh ketekunan
melakukan sambungan. Jumlah
tanaman yang disambung pada
penelitian ini bervariasi mulai dari 381 sampai 416 tanaman dengan total
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Penyambungan pada satu pohon sebagian besar dilakukan pada satu sisi saja, namun ada beberapa yang dilakukan pada dua sisi.
Pertumbuhan Entres
Hasil Pengamatan Pertumbuhan
Entres Kakao di Soppeng dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Rata-rata Hasil Pengamatan Pertumbuhan Tunas Tanaman Kakao umur 50 hari setelah sambung pada Pengkajian Tingkat Keberhasilan Sambungan dengan Teknologi Sambung
Samping Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan 2010.
Nama Klon Tinggi Tanaman (cm) Cabang Jumlah Jumlah Daun
Sulawesi 1 31,22a 1,72a 8,98a
Sulawesi 2 33,60a 1,64a 8,80a
Muhtar 01 30,82a 1,70a 7,34ab
Empat Lima 30,14a 1,52a 7,28ab
TSH 858 25,16b 1,18b 5,56b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 0,05
Yang dimaksud dengan tinggi tanaman adalah tinggi tunas hasil sambung samping yang diukur mulai dari tempat penyambungan hingga pucuk tunasnya. Hasil pengukuran tinggi tanaman pada umur 50 hari
setelah sambung (Tabel 4)
menunjukkan tunas yang paling rendah dihasilkan dari klon TSH 858 yaitu 25,16 cm, berbeda nyata dengan tinggi tunas yang dihasilkan dari klon Sulawesi 2 yaitu 33,60 cm. Namun tinggi tanaman antar klon Sulawesi 1, klon Sulawesi 2, klon Muhtar 01 dan klon Empat Lima tidak berbeda nyata satu dengan lainnya.
Hasil pengamatan jumlah cabang juga sejalan dengan tinggi tanaman dimana klon TSH 858 adalah klon dengan jumlah cabang paling sedikit yaitu 1,18 cabang, berbeda nyata dengan jumlah cabang terbanyak yang dihasilkan dari klon Sulawesi 1. Namun jumlah cabang yang dihasilkan dari klon Sulawesi 1 tidak berbeda nyata dengan jumlah cabang yang dihasilkan dari klon Sulawesi 2, klon Muhtar 01, dan klon Empat Lima.
Jumlah daun terbanyak pada umur 50 hari setelah sambung yaitu 8,98 lembar dihasilkan dari klon Sulawesi 1, namun angka tersebut tidak berbeda nyata dengan jumlah daun yang dihasilkan dari klon klon Sulawesi 2, klon M01, dan klon Empat Lima. Jumlah daun paling sedikit dihasilkan dari klon TSH 858 yaitu hanya 5,56 lembar.
Sejalan dengan kurangnya hasil sambungan jadi pada klon TSH 858 ternyata diikuti juga dengan lambatnya pertumbuhan tunas hasil sambungan, baik tinggi tanaman, jumlah cabang, maupun jumlah daun.
Analisis Input/Output
Jumlah input/output tahun 2010 dan perkiraan Input/Output tahun 2011 – 2013 pada Sistem Penanaman Biasa dan Sistem Sambung Samping di Soppeng dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari Tabel 5 (berdasarkan
Lampiran 2) dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 baik sistem sambung samping maupun sistem penanaman biasa masih terjadi defisit keuangan,
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dan selanjutnya pada tahun 2011 sistem penanaman biasa modalnya masih negatif Rp 9.265.000,- per ha , sedangkan sistem sambung samping
sudah memiliki modal + Rp.
7.290.000,- per ha. Selanjutnya pada
tahun 2012 penanaman biasa baru memiliki modal sebesar Rp. 245.000,-, sedangkan sambung samping memiliki modal sebesar Rp.21.975.000,-
Tabel 5.
Perkiraan Input/Output selama 4 tahun ke depan pada Sistem Penanaman Biasa dan Sistem Sambung Samping di Soppeng, tahun 2010.
Uraian Tahun I (2010) Tahun II (2011) Tahun III (2012) Tahun IV (2013) Penanaman Biasa Pengeluaran (Rp) 3.176.000 6.089.000 3.090.000 5.045.000 Penerimaan (Rp) - - 12.600.000 18.000.000 Keuntungan (Rp) -3.176.000 -6.089000 9.510.000 12.955.000 Analisis Ekonomi -3.176.000 - 9.265.000 245.000 12.710.000 Sambung Samping Pengeluaran (Rp) 2.125.000 3.185.000 3.315.000 5.020.000 Penerimaan (Rp) - 12.600.000 18.000.000 27.000.000 Keuntungan (Rp) -2.125.000 9.415.000 14.685.000 21.980.000 Analisis Ekonomi -2.125.000 7.290.000 21.975.000 43.955.000
Keterangan : Harga Kakao Rp. 18.000.000,- per kg
Pada tahun 2013 modal yang diperoleh dari sambung samping sebesar Rp. 43.955.000,- atau 3,5 kali modal yang diperoleh dari penanaman biasa. Bahkan penerapan teknologi
sambung samping di Sulawesi
Tenggara melalui kegiatan primatani, penerimaan petani mencapai Rp. 50 juta per ha pada tahun 2008 (BPTP Sultra, 2008).
Kesimpulan dan Saran
a. Tingkat keberhasilan sambungan pada tanaman kakao sangat tergantung kepada jenis klon yang digunakan sebagai sumber entres, oleh karena itu perlu dicari jenis klon yang cocok dijadikan sebagai sumber entres. Klon S1, S2,
Muhtar 01, Empat Lima
menghasilkan persentase
sambungan yang lebih baik dari klon TSH 858 yaitu berkisar antara
58-74%. Demikian juga
pengalaman petani melakukan
sambung samping sangat
mempengaruhi tingkat
keberhasilan sambungan. Bagi
petani pemula perlu diberi
pelatihan mengenai teknik
penyambungan dan pemeliharaan hasil sambungan.
b. Pertumbuhan tunas hasil
sambung samping yang terdiri dari tinggi tunas, jumlah cabang, dan jumlah daun, juga dipengaruhi oleh jenis klon yang digunakan sebagai sumber entres. Oleh karena itu untuk mendapatkan pertumbuhan tunas yang baik perlu pemilihan jenis klon yang sesuai.
c. Disarankan untuk melakukan
kajian-kajian lanjutan berupa
pengaruh jarak pengangkutan
entres terhadap tingkat
keberhasilan sambungan.
Demikian juga perlu dilakukan penelitian terhadap pohon induk kakao yang cocok digunakan sebagai sumber entres.
Buletin Inovasi dan Informasi Pertanian Page www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Daftar Pustaka
Anshary Alam. 2002. Potensi Klon Kakao Tahan Penggerek Buah Conopomorpha cramerella dalam Pengendalian Hama Terpadu.
Risalah Simposium Nasional
Penelitian PHT Perkebunan
Rakyak, Bogor 17-18 September 2002. Halaman 179-186.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sultra, 2008. Teknologi Sambung Samping Tanaman Kakao.Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30 No.5. Halaman 8-10.
Harian Fajar 2008. Panggar Setujui Anggaran Revitalisasi Kakao Rp. 1 T. Harian Fajar, Jumat 24 Oktober 2009 halaman 2.
Harian Fajar 2009. Proyek Besar
Yang Tersembunyi.. Harian
Fajar, Senin 24 Agustus 2009 halaman 8.
Johnson E.S., Antonio Mora, dan Raymond J. Schnell. 2007. Field
Guide Efficacy in the
Identification of Reallocated
Clonally Propagated Accessions of Cacao (Theobroma cacao L.). Genet Resour Crop Evol (2007) 54 : 1301-1313
Limbongan, J., 2007. Kemungkinan Penerapan Teknik Perbanyakan
Tanaman Kakao Secara
Vegetatif. Prosiding Seminar
Nasional BPTP Papua 2007., halaman 377-384.
Limbongan, J. , Marthina S.Lestari,
Nicolas M., Frans Palobo,
Edison A., Rosita K., 2006. Uji Beberapa Klon Kakao sebagai
Entres untuk Perbanyakan
Vegetatif di Provinsi
Papua.Prosiding Seminar
Nasional BPTP Papua 2006. Halaman 237-242.
Limbongan, J., M. Dirwan, Yakob L. Chatijah. 1999. Kemungkinan
Penerapan Teknik Sambung
Samping (Side- Cleft- Grafting)
Tanaman Kakao (Theobroma
cacao L.) di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Pengkajian dan Penelitian
Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah. Palu, 3-4 Nopember 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. hlm 591-597.
Prawoto A.A., Nurul Qomariyah, Sri
Rahayu, dan Bambang
Kusmanadhi. 2005. Kajian
Agronomis dan Anatomis Hasil Sambung Dini Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Pelita Perkebunan 21 (1), halaman 12-30.
Suhendi D., 1997. Kompoisis Klon dan Tata Tanam pada Rehabilitasi
Tanaman Kakao dengan
Teknologi Sambung Samping. Warta Puslit Kopi dan kakao Jember, Nomor 13 (1) halaman 28 - 34.
Suryani D. dan Zulfebriansyah, 2008. Komoditas Kakao, Potret dan Peluang Pembiayaan. Economic Riview No. 210 tahun 2008. Taufik M., Gustian, Auzar Syarif, dan
Irfan Suliansyah. 2007.
Karakterisasi Penampilan Bibibt Kakao Berproduksi Tinggi. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No. 1. Halaman 67-70.
Jermia Limbongan, Syafruddin Kadir, Paulus Sanggola