• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktikum Pengenalan Ekosistem Enda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Praktikum Pengenalan Ekosistem Enda"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem secara luas merupakan hubungan mahluk hidup dengan lingkungannya (biotik dan abiotik), masing-masing bersifat saling mempengaruhi dan diperlukan keberadaannya untuk memelihara kehidupan yang seimbang, selaras dan harmonis. Dalam hal ini, fungsi-fungsi ekosistem ditekankan pada hubungan saling ketergantungan dan hubungan timbal balik serta sebab-akibat dari seluruh komponen yang membentuk ekosistem tersebut,

berdasarkan habitatnya, ekosistem dibedakan menjadi ekosistem

teresterial (ekosistem darat) dan ekosistem akuatik (ekosistem air), dalam ilmu

ekologi, dikenal beberapa ekosistem teresterial seperti padang rumput, semak

belukar, hutan, gurun pasir dan sebagainya, sedangkan jenis ekosistem akuatik

seperti kolam, sungai, danau, estuaria, laut dan sebagainya. Dalam hal ini ekosistem

pesisir dan ekosisitem intertidal merupakan bagian dari ekosistem di atas.

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan

mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir memilki

sejumlah fungsi ekologis berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan,

penydia kebutuhan pokok hidup dan penerima limbah. Tata ruang sebagai wujud

struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian

permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam

memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam

sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan

(2)

manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan

dan konflik dalam pemanfaatannya. Untuk mengharapkan keberlanjutan fumgsi

dimensi ekologis yang dimiliki oleh kawasan pesisir, selayaknya digiatkan upaya

pelestarian dan pemanfaatan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya secara

berkelanjutan.

Ekosistem pesisir dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet

bumi. Ukuran dan kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya

secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih mudah jika membaginya

menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat

dibicarakan berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan

adaptasi organisme dari suatu komunitas. Tidak ada suatu cara pembagian laut yang

telah diajukan yang dapat diterima secara universal. Cara pembagiannya telah banyak

dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh dunia.

Salah satu bagian dari pembagian ekosistem di kawasan pesisir dan laut

adalah kawasan intertidal (intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah salah

satu sistim lingkungan yang ada, dimana zona intertidal atau lebih dikenal dengan

zona pasang surut adalah merupakan daerah yang terkecil dari semua daerah yang

terdapat di samudera dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali – hanya

beberapa meter luasnya – terletak di antara air tinggi (high water) dan air rendah (low

water). Zona ini merupakan bagian laut yang paling dikenal dan paling dekat dengan

kegiatan kita apalagi dalam melakukan berbagai macam aktivitas, hanya di daerah

(3)

inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara langsung selama perioda air

surut, tanpa memerlukan peralatan khusus.

Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia,

dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini

sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap

segenap kehidupan di dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara

beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan

di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan keberlangsungan

organisme di zona intertidal, Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ekosistem

pesisir dan zona itertidal, maka perlu di adakan Praktikum Ekologi Perairan

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan praktek pengenalan ekosistem ini adalah untuk mengenal jenis-jenis

organisme darat (teresterial) dan ekosistem perairan (akuatik) serta

komponen-komponen penyusun dan kedudukannya di dalam ekosistem tersebut.

Kegunaan dalam praktek pengenalan ekosistem adalah sebagai informasi atau

masukan bagai mahasiwa untuk lebih mengetahui jenis-jenis ekosistem sungai serta

komponen-komponen penyusun dan kedudukannya di dalam ekosistem air tawar.

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-balik antara organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam (Odum 1983), menurut Zoe‟aini (2003) Ekologi dapat dibagi menjadi dua yaitu utekologi membahas sejarah hidup dan pola adaptasi individu-individu organisme terhadap lingkungan, Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama sebagai satu kesatuan. Bila studi dilakukan untuk mengetahui hubungan jenis serangga dengan lingkungannya, kajian ini bersifat autekologi, apabila studi dilakukan untuk mengetahui karakteristik lingkungan dimana serangga itu hidup maka pendekatannya bersifat sinekologi.

Seseorang yang belajar ekologi sebenarnya mempertanyakan berbagai hal antara lain adalah bagaimana alam bekerja, species beradaptasi dalam habitatnya, apa yang diperlukan organisme dari habitatnya untuk melangsungkan kehidupan, organisme mencukupi kebutuhan materi dan energy, interaksi antar species dalam lingkungan, individu-individu dalam pecies diatur dan berfungsi sebagai populasi, dan bagaimana keindahan ekosistem tercipta (Zoe‟ani,2003).

(5)

2.2 Ekosistem Pesisir

Ekosistem pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati

(organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk

hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia. Karakteristik dari

ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah ekosistem yang berada di

daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam wilayah ekosistem pesisir

adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun ( seagrass ), dan ekosistem terumbu

karang. (Aci, 2012).

2.1.1 Manggrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus (Irwanto, 2006).

Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah crustacea

dan moluska, kepiting, Uca sp dan berbagai spesies sesamanya, umumnya

dijumpai di hutan mangrove kepiting-kepiting yang dapat dikonsumsi (Scylla

serrata) termasuk produk mangrove yang bernilai ekonomis dan menjadi sumber

mata pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove (Pramudji, 2010).

(6)

2.1.2 Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat

tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal, semua lamun adalah

tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma),

daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh

di darat. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Azkab, 2010), fungsi

utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada

diperairan sekitarnya, ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai

makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650

gC/m

2

/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer

lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat,

nitrat dan ammonium. Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di

dunia telah mengalami degradasi sebesar 54 % (Purnama,2011).

Sebagaimana terumbu karang, padang lamun menjadi menarik karena

wilayahnya sering menjadi tempat berkumpul berbagai flora dan fauna akuatik lain

dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Di padang lamun juga hidup alga

(rumput laut), kerang-kerangan (molusca), beragam jenis ekinodermata

(teripang-teripangan), udang, dan berbagai jenis ikan. Dari sekian banyak hewan laut, penyu

hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (dugong dugon) adalah dua

hewan „pencinta berat‟ padang lamun. Boleh dikatakan, dua hewan ini amat

bergantung pada lamun. Hal ini tak lain karena tumbuhan tersebut merupakan

(7)

sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis

lamun Cymodoceae, Thalassia, dan Halophila. Sedangkan dugong senang

memakan jenis Poisidonia dan Halophila. Dugong mengkonsumsi lamun terutama

bagian daun dan akar rimpangnya (rhizoma) karena dua bagian ini memiliki

kandungan nitrogen cukup tinggi (Pramanda, 2009).

2.1.3 Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu himpunan integral dari

komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem.

Ekosistem ini merupakan ekosistem perairan dangkal yang sangat produktif

sehingga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia, terumbu karang

mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai gudang keaekaragaman hayati laut,

tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan (feeding ground),

tempat berpijah (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), tempat

berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang berfungsi sebagai biofisik

dimana siklus biologi kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tingkat

produktifitas yang sangat tinggi (Siringoringo, 2010).

2.2 Organisme Intertidal

Ekosistem intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan

gelombang tiap saat mulai dari pasang paling tinggi didaerah pasir sampai surut

paling tinggi di daerah laut. Pembagian wilayah pada daerah intertidal adalah zona

(8)

pasang surut tinggi, zona pasang surut pertengahan, dan zona pasang surut rendah.

Pada zona pasang surut tinggi adalah pada saat hempasan gelombang paling tinggi di

daerah pasir. Pada zona ini memiliki salinitas yang tinggi karena terjadi penguapan

dimana porusitas pada pasir sehingga hewan yang hidup didaerah ini adalah hewan

yang beradaptasi dengan salinitas tinggi. Biasanya ditemukan kepiting tentara yang

bersembunyi dipasir. Zona pasang surut pertengahan memiliki salinitas yang tidak

terlalu tinggi dan zona pasang surut rendah memiliki salinitas yang rendah. Berikut

dapat dilihat gambar pembagian wilayah intertidal (Brotowidjoyo,2004).

Gambar 1. Organisme Intertidal.

Zona intertidal dapat juga disebut dengan zona litoral atau wilayah pasang

surut, hanya pada ekosistem intertidal masih ada zona tambahan yaitu zona

supralitoral yaitu daerah pasang tertinggi bagian pasir yang basah pada saat pasang

tinggi. Banyak organisme mobile, seperti siput dan kepiting, menghindari fluktuasi

suhu dengan merangkak di sekitar dan mencari makanan di pasang tinggi dan

bersembunyi di dingin, lembab tempat perlindungan (celah-celah atau lubang) pada

(9)

saat air surut. Selain itu hanya tinggal diketinggian pasang lebih rendah, organisme

non-motil mungkin lebih tergantung pada mekanisme bertahan. Sebagai contoh,

organisme surut tinggi memiliki respon yang kurang kuat, respon fisiologis membuat

protein yang membantu pemulihan dari stres suhuhanya sebagai alat bantu respon

kekebalan dalam pemulihan dari infeksi (Anonim, 2011).

2.3. Klasifikasi Organisme

Pada gastropoda habitat hidup terdapat di darat, perairan tawar dan terbanyak di laut. Class pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung atau batu (Aslan dkk,2011). Menurut Suwignyo (2005) klasifikasi dari Burungo (Telescopium telescopium) adalah sebagai berikut : Kingdom: Animalia Philum: Mollusca Class: Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Familly: Potamididae Genus: Telescopium

Spesies: Telescopium telescopi

(10)

Cara memperoleh makanan dari kerang umumnya dengan cara menyaring partikel-partikel yang terdapat dalam air laut, kerang mempunyai Insang yang terdiri dari rambut-rambut getar yang menimbulkan arus sehingga makanan akan mengalir masuk ke dalam mantelnya, sekaligus akan menyaring plankton sebagai makanannya dan menghasilkan oksigen untuk respirasnnya. Makanan dan kebiasaan makan pada gastropoda sangat beragam yaitu ada yang bersifat herbivor, karnivor, ciliary feeder, deposit feeder, parasit maupun scavenger. Pada pelecypoda sebagian besar ciliary feeder, karena sebagian besar cilia memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke dalam mulut. Makanan yang tidak dapat dicerna disalurkan oleh minor tyhosole ke usus. Makanannya adalah siput, ikan dan terutama kepiting yang ditangkap dengan tangan-tangannya kemudian dilumpuhkan dengan cara memakai racun pada kelenjar lidahnya (Nontji, 2005). Menurut Brotowijoyo (2000), Kalandue (Polymesoda sp.) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum: Mollusca

Class: Pelecypoda

Ordo: Arcoida

Familly: Arcoidaceae

Genus: Polymesoda

Spesies: Polymesoda sp.

(11)

Pada dasarnya tubuh Pelecypoda pipih secara lateral dan seluruh tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan adanya “hingeligament”, yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk (chonciolin) sama dengan periostrakum dan bersambung dengan periostrakum cangkang. Kedua keping cangkang pada bagian dalamnya juga ditautkan oleh sebuah otot aduktor anterior dan sebuah otot aduktor posterior, yang bekerja secara antagonis dengan hinge ligament. Bila otot aduktor rileks, ligament berkerut, maka keping cangkang akan terbuka, demikian pula sebaliknya. Pada kebanyakan pelecypoda, untuk mempererat sambungan kedua keping cangkang, dibawah hinge ligament terdapat gigi atau tonjolan pada keping yang satu dengan lekukan atau alur pada keping yang lain. (Nontji, 2005).

Klasifikasi Bintang Laut (Protoreaster nodosus), menurut Romimohtarto (2005), adalah sebagai berikut :

Kingdom: Animalia Phylum: Echinodermata Class: Asteroidea Ordo: Valvatida Familly: Presteridae Genus: Protoreaster

Spesies : Protoreaster nodosus

(12)

Semua jenis echinodermata mempunyai habitat di laut, mulai dari daerah litoral sampai pada keadalaman 6000 m. Daerah Indopasifik utamanya sekitar pulau-pulau Filipina, Kalimantan, dan Papua merupakan daerah yang banyak terdapat berbagai jenis lely laut, timun laut, dan bintang ular. Echinodermata merupakan satu-satunya filum yang anggotanya tidak nada yang hidup sebagai parasit. Umumnya echinodermata dijumpai pada daerah pantai utamanya di daerah terumbu karang dan juga di daerah pantai berbatu yang berlumpur. Di Indonesia Echinodermata banyak terdapat pada kawasan Indofasifik barat dan sekitarya yakni teripang sebanyak kurang lebih 141 jenis, bulu babi 84 jenis, dan lely laut sebanyak 92 buah. Echinodermata hidup di pantai termasuk di laut dalam, bahkan di palung laut (Nontji, 2005).

Polychaeta adalah kelompok hewan invertebrata terbesar, yaitu sekitar 8000 spesies, kelompok terbesar ditemukan di laut. Bentuk yang khas dari polychaeta adalah bentuk tubuhnya yang beruas-ruas dan setiap ruasnya terdapat sepasang parapodia. Menurut Bahrun (2006), Cacing laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Annelida Class : Polychaeta Ordo : Nereidae Genus : Nereis Spesies : Nereis Sp.

(13)

Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor (Suwigyono dkk., 2005).

Menurut Brotowijoyo (2004), Klasifikasi dari kepiting bakau (Scylla serata) adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia Phylum: Crustacea Class: Malacostraca Ordo: Decapoda Familly: Portunidae Genus: Scylla

Spesies: Scylla serrata

Gambar 6. Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Crustacea dapat hidup pada berbagai tempat baik di air tawar, air laut, dan daratan. Jenis-jenis yang hidup di darat umumnya membuat lubang dan ada jenis-jenis tertentu yang hidup di puncak pohon. Kehidupan yang dijalani juga sangat beragam seperti plankton, benthos, epizon, dan parasit (Aslan dkk, 2011).

(14)

III. METODE PRAKTEK

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 08.00 - 02.00 WITA bertempat di perairan Bungku Toko Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini dapat dilihat pada tabel 1. Table 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktek pengenalan ekosistem

No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan

1. Alat

־ Patok m Membuat transek/plot

־ Meteran roll m Mengukur panjang

־ Tali m Membuat transek/plot

־ Buku identifikasi Mengidentifikasi biota 2. Bahan

־ Alkohol untuk mengawetkan sampel

־ Kantong plastic Wadah sampel biota

3.3 Prosedur Kerja

1. Menentukan jenis ekosistem teresterial/akuatik yang akan diamati;

2.

Membuat transek yang memotong topografi dari arah laut kea rah darat (tegak lurus dari pantai sepanjang zonasi hutan mangrove) di daerah intertidal sepanjang 50 m;

3.

Membuat transek kuadrat dengan panjang 1x1 m, masing-masing plot 25x25 cm

(15)

4.

Meletakkan petak (plot) atau transek kuandrat di samping line transek pada jarak yang telagh ditentukan;

5.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis dengan empat kali pengambilan.

6.

Mengulangi point ke empat dan lima pada tiap jarak yang ditentiukan (5 m).

7. Melakukan pendataan atau inventarisasi terhadap semua komponen baik

abiotik maupun biotik yang terdapat dalam ekosistem tersebut;

8. Bila ditemukan jenis tumbuhan/hewan yang belum diketahui namanya atau

sukar untuk diidentifikasi di lapangan seperti jenis plankton, maka lakukanlah

koleksi untuk keperluan identifikasi;

9.

Mentukan keadaan ekosistem berdasarkan komponen penyusunnya, serta

peranan masing-masing individu di dalam ekosistem tersebut.

3.4 Analisis Data

3.4.1Kelimpahan Jenis

Kelimpahan jenis menyatakan jumlah individu organisme dalam satuan luas

tertentu. Untuk menghitung kelimpahan jenis organisme digunakan rumus

menurut Pennak (1953):

K

D = --- x 10.000

π

Dimana: K = Kelimpahan individu jenis i (individu/m

2

)

Y = Jumlah individu yang ditemukan

X = Luas dasar petakan yang digunakan dalam mengambil contoh

10.0 = Konversi dari cm

2

ke m

2

(16)

Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah

a. H‟= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan

komunitas rendah

b. H‟=1<H‟<3: Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang,

kestabilan komunitas sedang

c. H‟= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan

komunitas tinggi

.

3.4.1 Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas. Perhitungan

indeks keanekaragaman menggunakan rumus Shannon Index of General Diversity

dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:

ni ni

H„ = ∑--- log ---

N N

Dimana: H‟ = Indeks Keanekaragaman Shannon

ni = Jumlah individu setiap jenis

N = Jumlah individu semua jenis

Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah

d. H‟= < 1: Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan

komunitas rendah

e. H‟=1<H‟<3: Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang,

kestabilan komunitas sedang

f. H‟= > 3: Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan

komunitas tinggi.

3.4.3 Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat kemerataan

individu tiap spesies di dalam suatu komunitas. perhitungan nilai Indeks

(17)

Keseragaman menggunakan Evennes Index dari Shannon Index of General

Diversity dari Shannon Wienner dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:

H’

E = --- ; H

max

= log

2

S

H

max

Dimana: E

= Indeks Keseragaman.

H‟

= Indeks Keanekaragam.

N

= Jumlah individu semua jenis.

H

max

= Keanekaragaman jenis

S = Jumlah spesies pada N yang maksimum.

Nilai Indeks berkisar antara tinggi, dengan kategori sebagai berikut :

0 < E 0.4 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan

0.4 < E: Keseragaman sedang, komunitas labil

0.6< E: Keseragaman tinggi, komunitas stabil

3.4.4 Indeks Dominansi

Indeks Dominansi dihitung berdasarkan rumus Index of Dominant dari

Simpson dalam Odum (1971) dan Smith (1992), yaitu:

C = ∑ (ni / N)

2

Dimana: C = Indeks Dominansi

ni = Jumlah individu setiap jenis

N = Jumlah individu semua jenis.

Kategori: 0 < C < 0.5 = Dominansi rendah

0.5 < C

= Dominansi sedang

0.75 < C

= Dominansi tinggi.

(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi

Gambar 7. Perairan Pulau Bungkutoko

Pulau Bungkutoko sebagai lokasi praktikum lapang ekologi perairan yang merupakan sebuah pulau yang terletak di muara teluk Kendari dan secara administrasi pulau ini masuk dalam wilayah Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kotamadya Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.

letak geografis sebagai berikut:

- Sebelah Utara berhadapan dengan Kelurahan Kasilampe - Sebelah Timur berhadapan dengan Laut Banda

- Sebelah Selatan berhadapan dengan Kelurahan Petoaha - Sebelah Barat berhadapan dengan Teluk Kendari

Pulau Bungkutoko mempunyai daratan yang terdiri dari perbukitan yang membentang dari bagian barat sampai bagian selatan. Sedangkan bagian timur dan utara relatif rata. Luas wilayah 2,25 km2 dengan kemiringan antara 1% - 5% dan memiliki pantai

(19)

yang landai dengan dasar perairan berpasir, berlumpur dan pasir berbatu dimana cacing laut, burungo, kalandue, bintang laut, dan kepiting banyak hidup didaerah substrat tersebut (Kantor Kelurahan Bungkutoko, 2009).

4.1. Hasil Pengamatan

Tabel 2. Data organisme pada perairan bungkutoko

No

Jarak

Organisme

Jumlah

Keterangan

1

5 Meter

lamun

7

Pasir berlumpur

Siput laut

8

2

10 Meter

Kerang laut

2

Pasir berlumpur

Siput laut

3

3

15 Meter

siput laut

7

Pasir berlumpur

Kerang laut

1

4

20 Meter

Siput laut

7

Pasir berlumpur

Kerang laut

1

5

25 Meter

laut

1

Lumpur berpasir

Kepiting

1

Burungo

2

Kerang darah

1

6

30 Meter

Cacing laut

2

Lumpur berpasir

Burungo

2

7

35 Meter

Kalandue

1

Lumpur berpasir

Burungo

1

8

40 Meter

Bintang laut

1

Lumpur berpasir

Cacing laut

3

Burungo

2

9

45 Meter

Kalandue

4

Lumpur berpasir

Burungo

1

10

50 Meter

Kalandue

3

Lumpur berpasir

(20)

Tabel 3. Analisis data kelimpahan organisme

no Organisme jumlah kelimpahan

1 keping bakau (Scylla serrata) 5 8,928571429

2 Burungo (Teloscopium

telescopium) 19 33,92857143

3 Kalandue (Polymesoda sp.) 14 25

4 cacing laut (Nereis sp.) 14 25

5 bintang laut (Protoreaster

nodosus) 2 3,571428571

6 kerang darah 2 3,571428571

N 56 100

Tabel 4. Analisis data keanekaragaman organisme

No Organisme Jumlah Keanekaragaman

1 keping bakau (Scylla serrata) 5 0,002392

2

Burungo (Teloscopium

telescopium) 19 0,034534

3 Kalandue (Polymesoda sp.) 14 0,018750

4 cacing laut (Nereis sp.) 14 0,018750

5

bintang laut (Protoreaster

nodosus) 2 0,000383

6 kerang darah 2 0,000383

N 56 0,075191

Tabel 5. Analisis data keseragaman organisme

No Organisme Jumlah Keseragaman

1 keping bakau (Scylla serrata) 5 0,001329

2 Burungo (Teloscopium

telescopium) 19 0,019186

3 Kalandue (Polymesoda sp.) 14 0,010417

4 cacing laut (Nereis sp.) 14 0,010417

5 bintang laut (Protoreaster

nodosus) 2 0,000213

6 kerang darah 2 0,000213

(21)

Tabel 6. Analisis data dominansi

No Organisme Jumlah Dominansi

1 keping bakau (Scylla serrata) 5 0,007972

2 Burungo (Teloscopium

telescopium) 19 0,115115

3 Kalandue (Polymesoda sp.) 14 0,062500

4 cacing laut (Nereis sp.) 14 0,062500

5 bintang laut (Protoreaster

nodosus) 2 0,001276

6 kerang darah 2 0,001276

N 56 0,250638

Tabel 7. Rata-rata tiap analisis

No Pengukuran Rata-rata 1 Kelimpahan 16,666667 2 Keanekaragaman 0,012532 3 Keseragaman 0,006962 4 Dominansi 0,041773

4.3 Pembahasan

Mempelajari ekosistem tentu bagian dari ekologi, ekologi merupkan ilmu yang mempelajari tentang

sesuatu yang mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu

daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan

energi mengarah kestruktur makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan

yang jelas (pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam

sistem.

ekosistem dapat dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Dalam

ekosistem perairan terdapat komponen-komponen pendukung ekosistem itu sendiri. Komponen-komponen itu yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Hal ini sesuai dengan pernyataan odum (1979) yang menyatakan bahwa Suatu konsep sentral dalam ekologi

(22)

adalah ekosistem (sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Di dalam ekosistem perairan laut atau pesisir terdapat daerah yang di huni oleh beragam organisme intertidal, daerah ini disebut daerah intertidal. Daerah yang merupakan daerah antara terjadinya pasang tertinggi dengan surut terendah. Daerah intertidal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001), bahwa naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut yang periodik maka faktor-faktor lingkungan lain akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini disebabkan adanya kisaran yang luas pada banyak faktor fisik akibat hubungan langsung yang bergantian antara keadaan terkena udara terbuka dan keadaan terendam air.

Makrozoobentos merupakan salah satu dari keanekaragaman jenis organisme yang hidup di daerah intertidal. Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang ekstrem dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu letal atas sehingga mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan suhu yang terlalu tinggi.

Praktikum ekologi yang dilakukan di Perairan Bungkutoko yang menjadi tujuan pengamatan pada praktikum adalah kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi organisme yang berasosiasi di Perairan Bungkutoko. Tekhnik pengamatan organisme dilakukan dengan menggunakan tekhnik acak secara sistematik transek kuadrat dengan ukuran transek 1x1 meter dengan lebar plot masing-masing 25x25 cm, sehingga plot yang terbentuk sebanyak 16 kotak plot. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di

(23)

Perairan Bungkutoko, diperairan tersebut diperoleh 6 jenis organisme yaitu Burungo (Telescopium telescopium), Kalandue (Polymesoda sp.), Cacing laut (Neries sp.), Kepiting bakau (Protoreaster nodosus), Bintang laut (Protoreaster nodosus), dan Kerang dara. Jumlah keseluruhan organisme intertidal yang didapat di Perairan Bungkutoko adalah 56 individu.

Pada jarak 5 meter sebagai awal pengamatan di dapatkan organisme sebanyak 6 organisme dengan hasil pengamatan didapatkan burungo sebanyak satu individu, kepiting bakau dua individu dan cacing laut sebanyak tiga individu yang berasosiasi pada substrat pasir berlumpur. Burungo (Teloscopium telescopium) berasal dari Filum molluska kelas gastropoda yang memiliki kebiasaan hidup pada substrat berpasir ataupun berlumpur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan, dkk.(2011). Pada gastropoda habitat hidup terdapat di darat, perairan tawar dan terbanyak di laut. Kelas pelecypoda umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur atau berpasir, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu.

Kepiting Bakau (Scylla serrata) adalah hewan yang berasal dari Filum Crustacea kelas malacostraca yang memiliki cangkang keras dan hidup merayap di dasar perairan yang berpasir ataupun berlumpur. Menurut Suwignyo (2005) Crustacea berasal dari bahasa yunani, yaitu crusta yang berarti kulit yang keras dan arthros yang berarti sendi. Dengan adanya kulit yang keras sehingga hewan ini tidak disukai oleh predator dan dengan adanya sendi memudahkan hewan ini untuk berjalan dan berenang dengan cepat. Filum crustacea mempunyai ukuran yang beraneka ragam yaitu kurang dari 0,1 mm sampai 60 cm. Umumnya filum crustacea 13 % hidup di Laut , di air tawar 13 %, dan 3 % di darat. Kebanyakan crustacea hidup mendominasi plankton laut maupun air tawar.

(24)

Cacing laut merupakan hewan avertebrata dari Filum Annelida kelas Polychaeta yang hidup di daerah pantai berpasir dan berlumpur. Ada juga hidup menempel di sisi batu ataupun karang. Pada pengamatan jarak 5 meter di temukan cacing laut tiga individu pada substrat lumpur berpasir. Menurut Suwigyono dkk. (2005)Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor, hasil pengamatan organisme yang masuk dalam transek dan menjadi bahan pengamatan untuk identifikasi dari pengamatan jarak 5 sampai 50 meter dapat dilihat pada hasil pengamatan. Keseluruhan hewan yang di dapat merupakan hewan avertebrata air yang telah teridentifikasi sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada “Tinjauan Pustaka” Klasifikasi Organisme, organisme yang berasosiasi pada daerah substrat lumpur berpasir menunjukan bahwa seluruh organisme yang di dapat (Lihat pada Tabel 2. Data organisme pada Perairan Bungkutoko) merupakan jenis organisme makrozoobentos, dimana hewan tersebut hidup di dasar perairan berpasir, berlumpur maupun lumpur berpasir.

(25)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1.

Ekologi adalah sesuatu yang mencakup organisme (komunitas) di dalam suatu

daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus dan

energi mengarah kestruktur makanan, keanekaragaman biotic dan daur-daur bahan

yang jelas (pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup) di dalam

sistem.

2. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat tarik kesimpulkan yaitu

jenis organisme yang ditemukan di perairan Bungkutoko yaitu Burungo

(Telscopium telcopium), Kalandue (Polymesoda sp.), Cacing laut (Neries sp.),

Kepiting bakau (Scylla serrata), dan bintang laut (Protoreaster nodosus), dan

jumlah keseluruhan organisme intertidal yang didapat di perairan bungkutoko

adalah 56 individu.Di perairan tersebut sebagian besar substratnya lumper berpasir

dan keanekaragaman dari semua organisme yang didapat sangat rendah sehingga

ke stabilan komunitas rendah.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan praktikan pada paktikum ekologi perairan ini yaitu

sebaiknya sebelum penulisan laporan dimulai terlebih dahulu diadakan asistensi

tentang penulisan laporan agar tercapai keseragaman metode penulisan laporan untuk

seluruh praktikan sehingga praktikan tidak bingung dalam penulisan laporan

praktikum.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Acy. 2012. Ekosistem Pesisir dan Pengelolaannya Di Indonesia.

www.terangi.or.id

.

Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi).

Aslan, L, M., Wa Iba., Kamri, S., Irawati., Subhan., Purnama, F, M., Jaya, I, M.,

Rahmansyah., Saputra, R., Tiar, S., Mulyani, T., Kasendri, R, A., Zhuhuriani,

Riana, A. .2011. Penuntun praktikum Avertebrata Air. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo.

Azkab, H, M., 2010. Bahan Ajar Tentang Lamun. Lembaga Penelitian Oseanografi

(LIPI). Jakarta.

Brotowidjoyo. 2004. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Dahuri, Rokhmin; Jacob R; Sapta P.G; Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paranita. Jakarta

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Pramudji. 2010. Ekosistem Hutan Manggrove. Pusat Pengembangan Oseanografi

Lembaga Ilm Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 39 Hal.

Purnama, A., A. 2011. Pemetaan dan Kajian Beberapa Aspek Ekologi Komunitas

Lamun Di Perairan Pantai Karang Tirta Padang. Program Studi Biologi.

Program Pascasarjana. Universitas Andalas.

Pramanda, 2009. Persebaran Padang Lamun. http:

Lamun/dta%20lmun/persebaran-padang-lamun.html. Di kses Pada tanggal July 1 , 2012, 1:24:29 AM.

Irwanto.

2006.

Keanekaragaman

Fauna

Pada

Habitat

Mangrove.

www.irwantoshut.com

. Yogyakarta.

Rohmimohtarto, K., dan Juwana, S. 2005. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang

Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

---,2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan.

Jakarta .

Suwignyo Sugiarti, 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siringoringo. 2010. Modul Karang. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta.

Zoer´aini D.I., 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi. PT Bumi Aksara.

Gambar

Gambar 1. Organisme Intertidal.
Gambar 3. Morfologi Kalandue (Polymesoda sp.)
Gambar 4. Morfologi Bintang Laut (Protoreaster nodosus)
Gambar 5. Morfologi Cacing laut (Neries sp.)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Mengembang sistem informasi manajemen logistik lebih rinci atau mengembangkan sistem informasi lain nya seperti pencatatan keuangan dan gaji, sehingga lebih dapat membantu

 Kendala alamiah yakni adanya wilayah rawan bencana di Kabupaten Lamongan, yaitu wilayah yang secara topografis mempunyai ketinggian o-7 m diatas permukaan

Hanya saja, agar penetrasi nilai-nilai akhlak meresap ke dalam jiwa anak, suatu keharusan bagi orang tua atau guru untuk menetapkan strategi metode apa yang pantas

Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak n-heksana,etil aseta, n-butanol dan senyawa murni dengan DPPH free radical scavengging effect menunjukkan bahwa fraksi etil asetat

Tidak adanya perlindungan hukum bagi pemegang polis bancassurance dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tersebut merupakan hambatan yang

“Kami menyediakan delapan orang pengacara negara yang bisa membantu camat untuk mengatasi permasalahan hukum,” kata Kepala Kejari Jakpus, Datas Ginting, saat

Setelah tekan ENTER, maka akan tampil data tagihan pada kolom DATA TAGIHAN (kolom nomor 2) dan tampil juga total biaya yang harus dibayar di kolom TOTAL BAYAR (kolom nomor 3).. Tekan

Manfaat dari pelaksanaan sistem ini antara lain mengurangi gangguan transformator kontak akibat beban overload sehingga lebih efektif dan efisien dan terjaga kontinuitas