• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN FORMULASI NANOEMULSI PEWARNA ALAM EKSTRAK KAYU SECANG (Caesalpinia Sappan Linn) MUHAMMAD RUSDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESAIN FORMULASI NANOEMULSI PEWARNA ALAM EKSTRAK KAYU SECANG (Caesalpinia Sappan Linn) MUHAMMAD RUSDI"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

EKSTRAK KAYU SECANG (Caesalpinia Sappan Linn)

MUHAMMAD RUSDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desain Formulasi Nanoemulsi Pewarna Alam Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Muhammad Rusdi

(3)

Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn). Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan SRI YULIANI.

Ekstrak Secang diformulasikan menjadi nanoemulsi dengan konsentrasi yang tetap 10% dari berat formula, emulsifier yang digunakan adalah Span20, Span80, Tween20, dan Tween80 dengan presentase 2,5%, 5%, dan 10% dari berat formula untuk formulasi tunggal dan 1,25%, 2,5%, dan 5% dari berat formula untuk formulasi ganda, sedangkan zat pelarut yang digunakan adalah akuades dengan presentase 87,50%, 85,00%, dan 80,00% dari berat formula. Tesis ini bertujuan untuk memperoleh desain formulasi nanoemulsi pewarna alam menggunakan ekstrak kayu secang, yang meliputi penentuan kondisi formulasi nanoemulsi yang optimal, pengamatan stabilitas yang terjadi pada formulasi nanoemulsi dalam menghasilkan emulsi pewarna. Hasil penelitian awal dengan pengamatan secara visual/kasat mata, menunjukkan bahwa formulasi yang terbaik adalah formulasi Tween20 (10%), formulasi Tween80 (10%), formulasi Span20-Span80 (1,25%), formulasi Span20-Tween80 (5%), formulasi Span20-Span80-Tween20 (5%), formulasi Span80-Tween80 (5%), dan formulasi Tween20-Tween80 (5%).

Hasil pengukuran viskositas menunjukkan semua formulasi nanoemulsi menghasilkan nilai viskositas yang rendah antara 4,00 sampai 15,00 cP. Hasil pengukuran ukuran partikel, menunjukkan formulasi tunggal menggunakan emulsifier Tween dan formulasi ganda kombinasi Tween-Tween menghasilkan formula nanoemulsi dengan diameter ukuran partikel lebih besar (>100 nm), formulasi ganda kombinasi Span-Span dan Span-Tween menghasilkan formula nanoemulsi dengan diameter ukuran partikel lebih kecil (<100 nm). Hasil pengukuran nilai distribusi ukuran partikel menunjukkan nilai indeks polidispersitas dari ketujuh formulasi nanoemulsi antara 0,187 sampai 0,782, ini menyatakan secara umum semua formulasi nanoemulsi memenuhi standar distribusi ukuran partikel sebagai sistem nanoemulsi. Hasil pengukuran stabilitas emulsi/zeta potensial menunjukkan formulasi tunggal Tween20, formulasi ganda kombinasi Tween20-Tween80 dan Span80-Tween80 menghasilkan nilai zeta potensial lebih positif dari +30 mV, ini menunjukkan formulasi tersebut stabil, formulasi tunggal Tween80, formulasi ganda kombinasi Span80, Span20-Tween80 dan Span80-Tween20 menghasilkan nilai zeta potensial negatif tapi tidak lebih negatif dari -30 mV, ini menunjukkan formulasi tidak cukup stabil dalam jangka waktu tertentu. Hasil pengukuran intensitas warna menunjukkan bahwa formulasi tunggal menggunakan emulsifier Tween dan formulasi ganda kombinasi Tween-Tween menghasilkan nilai yang lebih kecil untuk tingkat kecerahan (L), derajat kemerahan (a) dan derajat kekuningan (b), dibandingkan dengan formulasi ganda kombinasi Span-Span dan Span-Tween

Kata kunci : Ekstrak secang, jenis dan konsentrasi emulsifier, konsentrasi akuades, nanoemulsi, pewarna alam

(4)

Extract Sappan Wood (Caesalpinia Sappan Linn). Under supervision of DWI SETYANINGSIH and SRI YULIANI.

Sappan extract formulated into nanoemulsion with a fixed concentration of 10% of the weight of the formulation, emulsifier used is Span20, Span80, Tween20 and Tween80 with a percentage of 2.5%, 5%, and 10% of the weight of the formula to single formulation and 1.25 %, 2.5%, and 5% of the weight formula for dual formulation, while the solvent used was distilled water with a percentage of 87.50%, 85.00%, and 80.00% of the weight of the formula. This thesis aims to obtain nanoemulsion formulation design natural dyes extract the sappan wood, which involves determining the optimal conditions formulation nanoemulsion, observation of stability that occurs in formulation nanoemulsion to produce emulsion dyes. Preliminari results with visual observation/visible, showing that the best formulation is the formulation of Tween20 (10%), formulation Tween80 (10%), formulation Span20-Span80 (1.25%), formulation Span20-Tween80 (5%), formulation Tween20 (5%), formulation Span80-Tween80 (5%), and the formulation Tween20-Span80-Tween80 (5%).

Results of viscosity measurements showed all formulations nanoemulsion produce a low viscosity values between 4.00 to 15.00 cP. Results of particle size, measurements showed a single formulation using emulsifier Tween and double combination formulation Tween-Tween produces formula nanoemulsion with a larger particle size diameter >100 nm), the double combination formulation Span-Span and Span-Span-Tween produce formula nanoemulsion with a smaller particle size diameter (<100 nm). The measurement results show the value of the particle size distribution polydispersity indeks values of the seven formulations nanoemulsion between 0.187 to 0.782, these states generally formulation nanoemulsion meets all standards as the particle size distribution of system nanoemulsion. Results of emulsion stability measurements/zeta potential indicate single formulation Tween20, double combination formulation Tween20-Tween80 and Span80-Tween80 produce zeta potential values more positive than +30 mV, this indicates that a stable formulation, single formulation Tween80, double combination formulation Span20-Span80, Span20-Tween80 and Span80- Tween20 generating value but not negative than -30 mV, this show is not sufficiently stable formulation within a certain period. Color intensity measurement results show that using a single formulation emulsifier Tween and double combination formulation Tween-Tween produces a smaller value for the brightness (L), degree of redness (a), and degree of yellowness (b), compared with the double combination formulations Span-Span and Span-Tween.

Keywords: Sappan extract, the type and concentration of emulsifier, the

(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(6)

EKSTRAK KAYU SECANG (Caesalpinia Sappan Linn)

MUHAMMAD RUSDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(7)
(8)

N I M : F351090031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. Ir. Sri Yuliani, MT. Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2011 sampai Desember 2012 ini adalah Desain formulasi nanoemulsi pewarna alam ekstrak kayu secang (Caesalpinia Sappan Linn)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si dan Dr. Ir. Sri Yuliani, MT selaku pembimbing atas segala bimbingan, bantuan, dan motivasi baik berupa moril maupun materi yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan tesis. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ketua program studi beserta staf pengajar TIP, staf laboran, staf administrasi Fateta IPB, teman-teman dan staf SBRC, Tim Penelitian dan teman-teman TIP angkatan 2009 yang telah membantu kelancaran studi dan terselesaikannya penelitian serta penyusunan tesis ini. Pimpinan Balai Besar Peneltian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor dan seluruh staf yang bersedia memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini. Ayahanda Abdul Madjid dan Ibunda Halidja, atas segenap doa, semangat, kasih sayangnya. Istriku tercinta Widanarti dan putra-putraku tersayang Aldo Pratama Putra dan Aldi Dwi Putra, atas dukungan, doa dan kesabarannya menanti selama ini. Saudara-saudaraku, Halida Madji dan Muhammad Yusuf, Hasma Madjid dan mas no, Rasma Madjid dan Muhammad Rais; Keponakanku Syifa Aulia, Ical, Rara dan siren. Serta seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan moral dan materinya selama penulis menyelesaikan studi S2.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga adanya karya ilmiah ini dapat menjadi referensi dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Wassalamualaikum wr. wb.

Bogor, Juli 2013 Muhammad Rusdi

(10)

DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Zat Warna 4

Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) 5 Sistem Emulsi dan Nanoteknologi (Nanoemulsi) 6

Surfaktan (Emulsifier) 11

3 METODOLOGI PENELITIAN 15

Waktu dan Tempat Penelitian 15

Bahan dan Alat 15

Metode Penelitian 15

Pengolahan Data 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Karakteristik Kayu Secang (Ekstrak Secang) 22 Proses Pembuatan Formulasi Nanoemulsi 22 Karakteristik Pengujian Viskositas 27 Karakteristik Pengujian Ukuran Partikel 29 Karakteristik Pengujian Stabilitas Emulsi/Zetapotensial 32 Karakteristik Pengujian Intensitas Warna 34

5 SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 45

(11)

2 Harga HLB dan kegunaannya 8 3 Harga HLB beberapa surfaktan 8 4 Dispersibilitas emulsifier dalam air berdasarkan HLB 8

5 Formulasi Span20 15 6 Formulasi Span80 16 7 Formulasi Tween20 16 8 Formulasi Tween80 16 9 Formulasi Span20-Span80 16 10 Formulasi Span20-Tween20 17 11 Formulasi Span20-Tween80 17 12 Formulasi Span80-Tween20 17 13 Formulasi Span80-Tween80 17 14 Formulasi Tween20-Tween80 18 15 Pembuatan formulasi nanoemulsi 18

16 Hasil pengamatan 24

17 Formula terpilih 26

18 Hasil pengujian viskositas 27 19 Hasil pengujian particle size analyzer 29 20 Hasil pengujian zetapotensial/stabilitas emulsi 33 21 Hasil pengujian intensitas warna 35

DAFTAR GAMBAR

1 Pohon secang dan irisan secang 5

2 Struktur brazilin 6

3 Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal 7 4 Klasifikasi surfaktan berdasarkan nilai HLB 9 5 Molekul surfaktan membentuk misel 12 6 Diagram alir proses ekstraksi kayu secang 20 7 Diagram alir proses nanoemulsi 21 8 Serutan kayu secang dan hasil ekstrak secang 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data hasil penelitian, analisis dan uji duncan diameter ukuran partikel 45 2 Data hasil penelitian, analisis dan uji duncan indeks polidispersitas 46 3 Data hasil penelitian, analisis dan uji duncan zeta potensial 47 4 Data hasil penelitian, analisis dan uji lanjut duncan nilai L 48 5 Data hasil penelitian, analisis dan uji lanjut duncan nilai a 49 6 Data hasil penelitian, analisis dan uji lanjut duncan nilai b 50 7 Data hasil penelitian, analisis dan uji lanjut duncan nilai C 51 8 Data hasil penelitian, analisis dan uji lanjut duncan nilai b/a 52

(12)

12 Hasil analisis ukuran partikel formulasi Span20-Span80 56 13 Hasil analisis ukuran partikel formulasi Span20-Tween80 57 14 Hasil analisis ukuran partikel formulasi Span80-Tween20 58 15 Hasil analisis ukuran partikel formulasi Span80-Tween80 59 16 Hasil analisis ukuran partikel formulasi Tween20-Tween80 60 17 Hasil analisis zeta potensial formulasi Tween20 61 18 Hasil analisis zeta potensial formulasi Tween80 62 19 Hasil analisis zeta potensial formulasi Span20-Span80 63 20 Hasil analisis zeta potensial formulasi Span20-Tween80 64 21 Hasil analisis zeta potensial formulasi Span80-Tween20 65 22 Hasil analisis zeta potensial formulasi Span80-Tween80 66 23 Hasil analisis zeta potensial formulasi Tween20-Tween80 67

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki potensi besar untuk dapat menghasilkan dan membuat zat warna alam yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang sudah tersedia di alam. Setiap proses dalam pembuatan zat warna alam dapat memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di lingkungan sekitar sebagai pengganti bahan-bahan sintetik sehingga pencemaran lingkungan dapat diminimalkan.

Zat warna dapat digolongkan menjadi dua yaitu zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat warna sintetis dikenal mulai abad 19, ditemukan pada tahun 1856 oleh seorang ahli kimia Inggris William Henry Perkin. Penggunaan zat warna sintetis mempunyai keuntungan antara lain: pilihan warna lebih bervariasi dan kompleks, hasil pewarnaan cerah dan indah, proses mendapatkannya mudah, pengerjaan pewarnaan lebih singkat dan selalu berhasil karena ada standar resep, dan memiliki standar warna. Dibalik kemudahan dan keuntungan tersebut tersimpan beberapa kelemahan yaitu: zat warna sintetis pada umumnya dapat mencemari lingkungan, sisa proses penggunaan zat warna sintetis yaitu berupa senyawa kimia beracun yang sulit dihancurkan.

Zat warna alam mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain: bebas dari bahan kimia pencemar, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna dapat diperoleh sekitar lingkungan sehingga hemat biaya, dan menggunakan zat warna alam secara tidak langsung ikut melestarikan jenis tumbuhan tersebut. Kekurangan zat warna alam antara lain: tidak mempunyai standar warna, proses untuk mendapatkan sulit, proses pewarnaan rumit, dan koleksi warna terbatas.

Upaya memproduksi zat warna alam yang ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan warna-warna yang diperoleh dari hasil ekstrak bagian-bagian tumbuhan yang memiliki kandungan pigmen dengan warna yang menarik. Zat pewarna alam pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan, salah satunya adalah dari kayu s e c a n g (Caesalpinia sappan L), y a n g merupakan jenis tumbuhan yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai zat pewarna alami (Purnama, 2011).

Namun, terdapat beberapa kendala dengan menggunakan zat warna alam antara lain: prosesnya tidak praktis, ketersediaan variasi warnanya agak terbatas hanya untuk warna-warna cerah, dan ketersediaanbahannya yang tidak siap pakai. Hal inilah yang membuat diperlukannya proses-proses dan desain formulasi khusus agar pewarna alami dapat dijadikan sebagai pewarnayang efektif, efisien dan berkualitas. Sebagai upaya mengangkat kembali penggunaan zat warna alam, maka perlu

Nanoemulsi yang berukuran emulsi nanometrik, biasanya menunjukkan diameter hingga 500 nm, dan dapat ditandai dengan stabilitas besar dalam

dilakukan pengembangan teknologi agar kendala-kendala yang terjadi dapat diatasi. Teknologi yang sedang menjadi tren akhir-akhir ini adalah nanoteknologi. Nanoteknologi secara umum dapat didefinisikan sebagai perancangan, pembuatan, dan aplikasi struktur/material yang berdimensi nanometer (Tatang dan Sinta 2008).

(14)

suspensi karena sangat kecil ukurannya, oleh karena itu sistem nanoemulsi dapat dianggap sebagai generasi nanopartikel. Nanoemulsi juga disebut miniemulsi (El-Aasser et al, 1988 dalam Nicolas Anton et el, 2008), nanoemulsi merupakan kinetis stabil. Namun, stabilitas fisik jangka panjang nanoemulsi (Flokulasi atau peleburan) yang membuat nanoemulsi unik dan kadang-kadang disebut sebagai ”mendekati stabilitas termodinamika”(Tadros et al, 2004; Girard et al, 1997 dalam Nicolas Anton et el, 2008

Nanoemulsi adalah suatu sistem dispersi minyak dengan air yang distabilkan oleh lapisan antarmuka dari molekul surfaktan. Surfaktan yang digunakan dapat tunggal, campuran, atau kombinasi dengan zat tambahan lain. Nanoemulsi merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari sediaan emulsi. Tetapi karakteristik sediaan nanoemulsi memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan emulsi biasa. Karakteristik tersebut antara lain bersifat stabil secara termodinamika, jernih, transparan atau translucent, viskositasnya rendah, serta mempunyai tingkat solubilisasi yang tinggi (Bakan, 1995; Ping Li et all 2005; Lawrence & Rees 2000).

).

Berdasarkan dari analisa di atas, maka perlu dikembangkan sebuah penelitian teknologi nanoemulsi untuk membuat zat pewarna alami yang baik untuk menggantikan zat warna sintesis yang selama ini digunakan. Alasan diatas mendorong diadakannya penelitian tentang “Desain Formulasi Nanoemulsi Pewarna Alam Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan Linn)”

Nanoteknologi ini diterapkan pada sistem nanoemulsi yang dibuat dari ekstrak kayu secang yang sudah diekstraksi, nanoemulsi sendiri tidak hanya sebatas bagaimana menghasilkan material atau partikel emulsi yang berukuran nanometer, melainkan bagaimana cara memproduksi serta mengetahui kegunaan dari sifat baru yang muncul dari material nano yang telah dibuat. Untuk mengaplikasikan pewarna alami dengan sistem nanoemulsi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang desain formulasi dan proses yang dibutuhkan agar kegunaan dan sifat baru yang muncul dapat mengatasi kelemahan pada zat pewarna alami.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain formulasi nanoemulsi pewarna alam menggunakan ekstrak kayu secang, yang meliputi penentuan komposisi formulasi nanoemulsi yang optimal, pengamatan stabilitas yang terjadi pada formulasi nanoemulsi dalam menghasilkan emulsi pewarna dan karakterisasi nanoemulsi yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Dalam penelitian desain formulasi nanoemulsi pewarna alam menggunakan bahan baku kayu secang, maka manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan desain formulasi nanoemulsi zat pewarna alam untuk pewarnaan yang efisien, ramah lingkungan dan tepat guna.

(15)

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian desain formulasi nanoemulsi pewarna alam menggunakan bahan baku kayu secang, maka ruang lingkup dari penelitian ini adalah:

1. Komposisi formulasi nanoemulsi berdasarkan jenis dan persentase surfaktan yang digunakan.

2. Mengamati stabilitas nanoemulsi untuk menentukan komposisi yang menghasilkan nanoemulsi.

3. Karakterisasi viskositas, ukuran partikel, stabilitas emulsi dan intensitas warna pada nanoemulsi pewarna.

Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian desain formulasi nanoemulsi pewarna alam menggunakan bahan baku kayu secang, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Komposisi surfaktan, ekstrak secang dan pelarut berpengaruh terhadap pembentukan nanoemulsi.

2. Formulasi nanoemulsi yang stabil memiliki karakteristik tertentu yang sesuai dengan standar teknologi nanoemulsi yang aman.

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Zat Warna

Menurut Isminingsih (1978), zat warna untuk dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) Zat Pewarna Alam, yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan (akar, batang, daun, buah, kulit dan bunga). Keuntungan dari pemakaian zat warna alam ialah bebas dari bahan kimia pencemar, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna dapat diperoleh sekitar lingkungan sehingga hemat biaya, dan menggunakan zat warna alam secara tidak langsung ikut melestarikan jenis tumbuhan tersebut.Adapun kerugian dari zat warna alam yaitu tidak mempunyai standar warna, proses untuk mendapatkan sulit, proses pewarnaan rumit, dan koleksi warna terbatas.(2) Zat Pewarna Sintesis, yaitu zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzen, naftalen dan antrasen. Keuntungan dari pemakaian zat warna sintetis ialah bahan mudah didapat, terdapat variasi warna, dan proses yang dikerjakan singkat. Kerugian dari zat pewarna sintetis adalah limbah dari zat pewarna tersebut tidak ramah lingkungan.

Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999) sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Golongan pigmen tumbuhan dapat berbentuk klorofil, karotenoid, flovonoid dan

kuinon

Tabel 1. Jenis tumbuhan untuk zat warna alami

. Untuk itu pigmen-pigmen alam tersebut perlu dieksplorasi dari jaringan atau organ tumbuhan dan dijadikan larutan zat warna alam. Proses eksplorasi dilakukan dengan teknik ekstraksi dengan pelarut air.Tumbuhan yang bisa digunakan untuk pembuatan zat warna alam dapat dilihat pada Tabel 1

No.

*

Nama Bahan Nama Latin Hasil Warna

1 Kulit akar mengkudu Morinda citrifelia Kecoklatan

2 Buah Kunyit Curcuma domestica Kuning

3 Daun jambu biji Psidium guajava Hijau atau kemerahan

4 Daun kapuk Bombax malabaricum Abu-abu

5 Kayu secang Caesalpia sappan Kemerahan,Orange

6 Biji/kulit batangmangga Mangifera casturi Hijau

7 Biji bunga kesumba Bixa Orelana Merah terang

8 Kulit batang soga jambal Peltophorum ferruginum Merah coklat

9 Kayu nangka Artocarpus heterophyllus Kuning

10 Daun jati Tectona grandis Merah marun

11 Daun nilam Indigofera tictoria Biru dan hitam

12 Teh Tea Coklat

13 Tanah liat - Coklat muda

14 Kayu tegeran Cudraina javanensis Kuning

15 Kulit buah manggis Garcinia mangostana Ungu

16 Kacang merah Vigna umbellate Merah

17 Kayu tingi Ceriops candolleana Cokelat

*

(17)

Kayu secang (Caesalpina sappan L)

Gambar 1. Pohon secang dan irisan kayu secang

Menurut Heyne (1987), taksonomi tanaman secang adalah sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta

Sub division : Angiosperma Class : Dicotyledone Sub class : Aympetalae Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Caesalpinia

Spesies : Caesalpinia sappan Linn

Kayu secang (Caesalpinia sappan L) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat dan merupakan pohon kecil berduri banyak, tingginya 5 sampai 10 meter (Heyne 1987). Tumbuhan ini umumnya tumbuh pada pegunungan yang berbatu tetapi beriklim tidak terlalu dingin. Tanaman secang tidak toleran terhadap kondisi tanah yang basah, lebih menyukai daerah dengan curah hujan tahunan 700-4300 mm dan dengan suhu 24-27.5°C, serta pH tanah 5-7.5. Tanaman ini juga mampu tumbuh di daerah yang sangat kering, oleh karena itu disarankan untuk dikembangkan di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti Nusa Tenggara Timur (Zerrudo 1991). Akar tanaman secang berserabut dan berwarna gelap. Bagian batangnya dapat mencapai diameter 14 cm berwarna coklat keabuan, daunnya bertumpu, dan bersirip ganda. Bunganya berwarna kuning, dan berbuah polong yang merekah setelah matang, berbentuk lonjong sampai bulat telur sungsang, pipih mendatar, permukaannya licin serta ujungnya berparuh, berukuran (7-9) cm x (3-4) cm, masih muda berwarna hijau kekuningan, semakin tua berubah menjadi berwarna coklat kemerahan, berisi 2-5 butir biji yang berbentuk jorong, memipih, berwarna coklat (Heyne 1987).

Kayu secang ditanam sebagai tanaman pagar dan dapat tumbuh pada berbagai macam tanah pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Tanaman ini diperbanyak dengan biji dan tersebar di India, Malaysia dan Indonesia (Departemen Kesehatan 1977).

Kayu secang mengandung pigmen, tanin, brazilin, asam tanat, resin, resorsin, brazielin, sappanin, dan asam galat (Lemmens dan Soetjipto, 1992). Dari komponen tersebut yang paling menarik adalah zat warnanya. Kayu secang jika dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang menarik, dan diketahui bahwa brazilin yang dapat menimbulkan warna tersebut. Menurut (Shafwatunnida 2011), basilin/brazilin adalah golongan senyawa yang memberi warna merah pada kayu secang dengan struktur C6H14O5 dalam bentuk kristal berwarna kuning sulfur, larut air dan berasa manis, akan tetapi jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah kecoklatan.

(18)

Gambar 2. Struktur Brazilin

Kayu secang memiliki rasa sedikit manis dan hampir tidak berbau dan sering juga digunakan sebagai obat untuk berbagai macam penyakit seperti luka, batuk berdarah (muntah darah), berak darah, darah kotor, penawar racun, sipilis, penghenti pendarahan, pengobatan pasca bersalin, demam berdarah, dan katarak mata. Kayu secang mengandung komponen yang memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba (Sundari et al., 1998).

Secara tradisional, pemanfaatan tanaman secang oleh masyarakat sudah cukup luas. Bagian tanaman secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau serutan kayu. Tetapi selain itu, bagian lain dari tanaman secang yang dimanfaatkan adalah kayu, daun, buah, dan biji. Sampai abad ke-19, di Kalimantan kayu secang digunakan sebagai pewarna merah coklat untuk makanan. Kayu pewarna tersebut dapat dipanen setelah berumur 6-8 tahun (Lemmens, 1992).

Sistem Emulsi dan Nanoteknologi (Nanoemulsi)

Emulsi adalah suatu sistem yang heterogen dan mengandung dua fase cairan yaitu fase terdispersi dan pendispersi. Molekul-molekul fase tersebut bersifat saling antagonis karena perbedaan sifat kepolarannya. Emulsi merupakan penyatuan dari zat-zat yang mempunyai sifat yang bertolak belakang. Zat-zat tersebut mempunyai sifat kelarutan yang berbeda, yaitu sebagian larut dalam air dan sebagian larut dalam minyak. Penyatuannya dimungkinkan dengan menambahkan suatu zat yang memiliki gugus polar maupun non polar secara bersamaan dalam satu molekulnya. Zat tersebut dinamakan emulsifier.(Suryani et al . 2000).

Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok ”air” dan ”minyak”. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O), dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak dalam air, jenis emulsi air dalam minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas lebih rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut dalam minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara sistimatis, gambar dibawah mengilustrasikan jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal.

Pada pembuatan emulsi akan terjadi kontak antara dua cairan yang tidak bercampur karena berbeda kelarutannya dan pada saat tersebut terdapat kekuatan yang menyebabkan masing-masing cairan menahan pecahnya menjadi

(19)

partikel-partikel yang lebih kecil. Kekuatan ini disebut tegangan antar muka. Zat-zat yang dapat meningkatkan penurunan tahanan tersebut akan merangsang suatu cairan untuk menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Penggunaan zat-zat ini sebagai zat pengemulsi dan zat penstabil menghasilkan penurunan tegangan antarmuka dari kedua cairan yang tidak saling bercampur, mengurangi gaya tolak antara cairan-cairan tersebut dan mengurangi gaya tarik menarik antarmolekul dari masing-masing cairan (Ansel 1989).

Suatu emulsifier memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka dan tegangan permukaan. Menurunnya tegangan antar muka ini akan mengurangi daya kohesi dan meningkatkan daya adhesi. Emulsifier akan membentuk lapisan tipis (film) yang menyelimuti partikel sehingga mencegah partikel tersebut bersatu dengan partikel sejenisnya. Sistem emulsi yang stabil dapat diperoleh melalui pemilihan emulsifier yang larut dalam fase yang dominan (pendispersi) (Suryani et al . 2000).

Ada dua tipe emulsi, yaitu: Emulsi A/M yaitu butiran-butiran air terdispersi dalam minyak dan Emulsi M/A yaitu butiran-butiran minyak terdispersi dalam air. Pada emulsi A/M, maka butiran-butiran air yang diskontinyu terbagi dalam minyak yang merupakan fase kontinyu, Sedangkan untuk emulsi M/A adalah sebaliknya (Hayyan, 2008).

Menurut Supriyo (2007), untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal empat macam teori, yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Teori tersebut ialah :

1). Teori Tegangan Permukaan

Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang disebut daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik menarik antara molekul yang tidak sejenis yang disebut daya adhesi. Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan tegangan permukaan.

(a) (b)

Gambar 3. a. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Prince 1997) b. Gaya tarik-menarik yang tidak sama pada permukaan zat cair

2). Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge)

Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni : kelompok hidrofilik, yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air dan kelompok lipofilik , yaitu bagian yang suka pada minyak. Masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang disenanginya, kelompok hidrofil kedalam air dan kelompok lipofil kedalam minyak. Dengan demikian emulgator seolah-olah menjadi tali pengikat antara air dan minyak. Antara kedua kelompok tersebut akan membuat suatu keseimbangan. Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang

(20)

besarnya tidak sama. Harga keseimbangan itu dikenal dengan istilah H.L.B. (Hydrophyl Lipophyl Balance) yaitu angka yang menunjukkan perbandingan antara kelompok lipofil dengan kelompok hidrofil . Semakin besar harga HLB berarti semakin banyak kelompok yang suka pada air, itu artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian sebaliknya. Dalam tabel 2. dapat dilihat kegunaan suatu emulgator ditinjau dari harga HLB-nya, pada tabel 3. dapat dilihat harga HLB beberapa surfaktan dan tabel 4. Dispersibilitas Emulsifier dalam Air Berdasar HLB

Tabel 2. Harga HLB dan kegunaannya HARGA

HLB K E G U N A A N 1 – 3 Anti foaming agent 4 – 6 Emulgator tipe w/o

7 – 9 Bahan pembasah ( wetting agent) 8 – 18 Emulgator tipe o/w

13 - 15 Detergent

10 – 18 Kelarutan (solubilizing agent) Tabel 3. Harga HLB beberapa surfaktan

Zat HLB Zat HLB Tween 20 Tween 40 Tween 80 Tween 60 Tween 85 Tween 65 16,7 15,6 15,0 14,9 11,0 10,5 Span 20 Span 60 Span 80 Arlacel 83 Gom Trietanolamin 8,6 4,7 4,3 3,7 8,0 12,0

Tabel 4. Dispersibilitas emulsifier dalam air berdasar HLB

Dispersibilitas Kisaran nilai HLB Tidak terdispersi 1 – 4 Sedikit terdispersi 3 – 6 Terdispersi seperti susu dengan pengadukan 6 – 8 Terdispersi seperti susu dengan kondisi yang stabil 8 – 10 Terdispersi menjadi larutan yang tembus cahaya hingga jernih 10 – 13

Terdispersi menjadi larutan jernih 13 +

Umumnya emulsi akan berbantuk tipe M/A bila nilai HLB emulgator diantara 9-12 dan emulsi tipe A/M bila nilai HLB emulgator diantara 3-6. Hidrophilic-Lipophilic Balance yang disingkat dengan HLB menggambarkan rasio berat gugus hidrofilik dan lipofililik didalam molekul emulsifier. Niai HLB suatu emulsifier dapat ditentukan dengan salah satu metode titrasi, membandingkan struktur kimia molekul, mencari korelasi dengan nilai tegangan permukaan struktur kimia molekul, mencari korelasi dengan nilai tegangan permukaan dan tegangan interfasial, koefisien pengolesan, daya larut zat warna, konstanta dielektrika dan dengan teknik kromatografi gas-cairan.

(21)

Gambar 4.Klasifikasi Surfaktan Berdasarkan Nilai HLB.

Nanoteknologi secara umum dapat didefinisikan sebagai perancangan, pembuatan, dan aplikasi struktur/material yang berdimensi nanometer. Nanoteknologi sendiri tidak hanya sebatas bagaimana menghasilkan material atau partikel yang berukuran nanometer, dari material nano yang telah dibuat. Nanoteknologi adalah pembuatan dan penggunaan materi atau alat pada ukuran sangat kecil. Materi atau alat ini berukuran antara (1-100) nanometer. Satu nm sama dengan satu-per-milyar meter (0.000000001 m), yang berarti 50.000 lebih kecil dari ukuran rambut manusia. Ukuran (1-100) nm ini melainkan bagaimana cara memproduksi serta mengetahui kegunaan dari sifat baru yang muncul disebut juga dengan skala nano (Tatang dan Sinta 2008).

Dengan nanoteknologi, material dapat didesain dan disusun dalam orde atom-per-atom atau molekul per-molekul sedemikian rupa. Dengan menyusun ulang atau merekayasa material dilevel nanometer, maka akan diperoleh suatu bahan yang memiliki sifat istimewa jauh mengungguli material yang lain. Salah satu aplikasi nanoteknologi yang sedang berkembang adalah Nanoemulsi.

Nanoemulsi adalah sistem emulsi transfaran atau bening dengan ukuran globul seragam dan sangat kecil (biasanya dalam kisaran 2-500 nm). Nanoemulsi stabil secara kinetik. Namun, karena memiliki stabilitas dalam jangka panjang (tanpa flokulasi atau koalesens), membuat nanoemulsi menjadi unik dan terkadang disebut “mendekati stabilitas termodinamika” (Tadros, 2005; Solans, 2003; Fast & Mecozzi, 2009).

Nanoemulsi terdiri atas globul-globul berukuran nano dari cairan yang terdispersi dalam cairan lain. Nanoemulsi merupakan sistem metastabil dimana strukturnya bergantung pada proses pembuatannya, yaitu emulsifikasi spontan atau menggunakan alat dengan kecepatan tinggi. Nanoemulsi terbentuk sebagai cairan seperti air, losion, atau gel (Korting (a) & Korting (b), 2010).

Nanoemulsi memiliki keuntungan sebagai berikut (Tadros, 2005):

1. Ukuran tetesan sangat kecil menyebabkan penurunan pada gaya gravitasi dan gerak Brown yang mungkin cukup untuk mengatasi gravitasi. Hal ini berarti tidak terjadi creaming atau sedimentasi selama penyimpanan.

2. Ukuran tetesan yang kecil mencegah terjadinya flokulasi dan memungkinkan sistem untuk tetap tersebar tanpa adanya pemisahan, serta dapat mencegah koalesens.

(22)

3. Nanoemulsi cocok untuk penghantaran bahan aktif. Luas permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan penetrasi yang cepat dari bahan aktif.

4. Karena sifatnya yang transparan dan fluiditasnya (pada konsentrasi minyak yang sesuai) dapat memberikan estetika yang menarik dan menyenangkan saat digunakan.

5. Ukuran tetesan yang kecil memudahkan penyebarannya dan penetrasi mungkin dapat ditingkatkan karena tegangan permukaan dan tegangan antarmuka yang rendah.

Sama seperti mikroemulsi, tipe nanoemulsi dibagi menjadi minyak dalam air (m/a), air dalam minyak (a/m) dan bicontinuous yang merupakan bentuk transisi dari tipe m/a dan a/m dengan mengubah volume minyak dan air, dimana ketiga tipe tersebut bergantung pada konsentrasi dan sifat kimia surfaktan, minyak dan bahan yang terlarut didalamnya (Swarbrick, 2007)

Solans et al (2003) mengatakan bahwa dalam pembuatan nanoemulsi memerlukan pemasukan energi. Energi tersebut diperoleh dari peralatan mekanik ataupun potensi kimiawi yang terdapat dalam komponen. Meskipun demikian, jumlah energi yang dibutuhkan bervariasi. Menurut Gupta dan Canon (2000), emulsi akan terbentuk secara spontan pada penembahan minyak dan surfaktan kedalam air karena tegangan antarmuka yang rendah akibat jumlah surfaktan yang besar. Sistem yang terbentuk secara spontan merupakan sistem yang stabil secara termodinamika (Fast & Mecozzi, 2009)

Stabilitas merupakan kemampuan suatu produk nanoemulsi untuk bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk.Sediaan yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu penyimpanan dan penggunaan, dimana memiliki sifat dan karakteristik yang sama dengan yang dimiliki ketika dibuat (Asean Guideline on Stability Study of Drug products, 2005).

Ketidakstabilan fisik sediaan ditandai dengan adanya pemucatan warna atau munculnya warna, timbul bau, perubahan atau pemisahan fase, pecahnya emulsi, pengendapan suspensi atau caking, perubahan konsistensi, pertumbuhan kristal, terbentuknya gas dan perubahan fisik lainnya. Kestabilan suatu emulsi ditandai dengan tidak adanya creaming dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1993). Seperti pada emulsi, nanoemulsi yang stabil ditandai dengan dispersi globul yang seragam dari fase kontinu, namun dapat terjadi penyimpangan pada kondisi tersebut. Disamping itu, kestabilan nanoemulsi dipengaruhi oleh perubahan fisika dan kimia dalam sistem. Gejala-gejala yang menjadi indikator terjadinya ketidakstabilan nanoemulsi antara lain:

1). Creaming

Creaming adalah pemisahan fase emulsi yang didasarkan atas perbedaan

densitas antara fase terdispersi dan medium pendispersi. Creaming merupakan proses yang tidak diinginkan, namun keadaan seperti ini dapat didispersi kembali dengan pengocokan. Untuk mencegah creaming, densitas fase terdispersi dan medium pendispersi harus hampir sama. Kecepatan creaming dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu berdasarkan teori kecepatan pengendapan yang dinyatakan oleh hukum stokes (Abdulkarim et al, 2010)

(23)

Untuk mengurangi laju creaming dapat dilakukan dengan (berdasarkan persamaan stokes):

a. Memproduksi emulsi dalam ukuran droplet yang lebih kecil b. Meningkatkan viskositas medium pendispersi

c. Mereduksi perbedaan densitas antara dua fase.

2). Flokulasi

Flokulasi adalah penggabungan globul-globul bergantung pada gaya tolak-menolak elektrostatis (Zeta potensial). Ketidakstabilan ini masih dapat diperbaiki dengan pengocokan karena film antara permukaan masih ada (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1993)

3). Koalesens dan Ostwald Ripening

Koalesens adalah proses dimana tetesan fase dalam mendekat dan berkombinasi membentuk partikel lebih besar dan menjadi suatu lapisan. Hal ini terjadi bukan hanya karena energi bebas permukaan tetapi juga karena tidak semua globul terlapisi oleh film antarmuka (Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1993). Ketidakstabilan ini merupakan kerusakan yang lebih dari pada creaming. Usaha untuk menstabilkan kembali ketidakstabilan ini tidak dapat dilakukan dengan pengocokan, biasanya diperlukan pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali (Ansel, 1989)

Ostwald Ripening adalah proses dimana tetesan yang kecil berubah

menjadi besar dan membentuk tetesan yang baru. Fenomena ini berhubungan dengan sistem yang memiliki ukuran tetesan yang bervariasi. Fenomena koalesens dan Ostwald Ripening menyebabkan pemisahan sistem menjadi tiga fase, yaitu fase internal, eksternal dan emulgator (Abdulkarim et al, 2010)

4). Inversi

Inversi adalah peristiwa dimana fase eksternal menjadi fase internal, dan sebaliknya (Abdulkarim et al, 2010).

Surfaktan (Emulsifier)

Surfaktan merupakan zat aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintesis kimiawi dan biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrifilik dan hidrofobik dalam satu molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa menurunkan energi antar muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri kimia, industri pertanian dan industri pangan (Suryani et al:2002).

Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya

(24)

tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.

Gambar 5. Molekul Surfaktan Membentuk Misel (a. Gugus hidrofilik dan hidrofobik surfaktan; b. Misel atau agregat surfaktan)

Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara meluas pada hamper semua sektor industri moderen. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004).

1). Surfaktan anionik adalah surfaktan yang memiliki molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrifilik atau aktif permukaan. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam lemak rantai panjang.

2). Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Sifak hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan garam ammonium, seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.

3). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.

4). Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain (Matheson, 1996).

Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat.

Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar permukaan, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan pertikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Benardini, 1983).

(25)

Tween 20 adalah surfaktan hidrofilik nonionik yang mempunyai fungsi sebagai pengemulsi, pelarut, pembasah. Tween 20 digunakan secara luas sebagai pengemulsi dalam penyiapan emulsi farmasetik minyak dalam air. Mereka juga digunakan sebagai pelarut untuk bermacam-macam zat termasuk minyak esensial dan minyak pelarut vitamin. Dan sebagai pembasah dalam formulasi suspensi oral dan parentral. Tween 20 mempunyai bau yang khas dan hangat, rasanya agak pahit, berwarna kuning. Tween 20 larut dalam etanol dan air, dan tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur. Tween 20 harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering (Wade A, 1994).

Polioxyethilen sorbitan monooleat (Tween 80) merupakan ester asam lemak dari sorbitol dan bagian anhidridanya mengalami kopolimerisasi dengan 20 mol etilen oksida. Polioxyethilen sorbitan monooleat merupakan jenis surfaktan non ionik. Surfaktan dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi dengan cara melarutkan senyawa yang bersifat lipofilik dan melarutkan lapisan lipid pada

stratum corneum. Surfaktan non ionik lebih aman untuk digunakan karena tidak

menyebabkan kerusakan pada kulit (Williams dan Barry, 2004).

Sifat fisik tween 80 berupa cairan kuning yang berminyak, memiliki rasa pahit dan bau yang spesifik. Tween 80 memiliki pH antara 6-8. Perubahan warna dan pengenapan tween 80 akan terjadi dengan adanya fenol dan tanin. Efektifitas antimikroba paraben juga akan berkurang dengan adanya tween 80 (Lawrence, 2006).

Tween 80 adalah surfaktan hidrofilik nonionik yang mempunyai fungsi sebagai pengemulsi, pelarut; pembasah. Tween 80 digunakan secara luas sebagai pengemulsi dalam penyiapan emulsi farmasetik minyak dalam air. Mereka juga digunakan sebagai pelarut untuk bermacam-macam zat termasuk minyak esensial dan minyak pelarut vitamin. Dan sebagai pembasah dalam formulasi suspensi oral dan parentral. Tween 80 mempunyai bau yang khas dan hangat, rasanya agak pahit, berwarna kuning. Tween 80 larut dalam etanol dan air, dan tidak larut dalam minyak mineral & minyak sayur. Tween 80 harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering (Wade A, 1994). Nama resmi : Sorbitan monooleat

Nama lain : Sorbitan atau span 80 RM : C3O6H27Cl

Pemerian : Larutan berminyak, tidak berwarna, bau 17

karakteristik dari asam lemak.

Kelaruta :Praktistidaklaruttetapterdispersidalam air dan dapat bercampurdengan alkohol sedikit larut dalam minyak biji kapas.

Kegunaan : Sebagai emulgator dalam fase minyak Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

HLB Butuh : 4,3 Pemerian:

- Warna : krem sampai kecoklatan - Rasa : rasa khas

- Bau : bau khas - Bentuk : cairan kental Kelarutan :

- Larut atau terdispersi dalam minyak - Larut dalam banyak pelarut organik

(26)

- Tidak larut dalam air, tetapi dapat terdispersi secara perlahan Bobot jenis : 1,01 gr/cm3

pH larutan : < 8 Stabilitas :

-Stabil jika dicampurkan dengan asam lemah dan basa lemah

- Pembentukan sabun terjadi saat dilakukan penambahan asam kuat dan basa kuat

(27)

3 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Desember 2012 di dua lokasi berbeda, yaitu di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor dan Laboratorium PUSPIPTEK Serpong Tangerang.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kayu secang yang diekstraksi di laboratorium Balai Besar Pasca panen, bahan pelarut yang digunakan adalah: aquades, metanol, dan jenis surfaktan yang digunakan adalah Tween 20 dan 80, serta Span 20 dan 80.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk ekstraksi, evaporator, termometer, timbangan, peralatan gelas (gelas ukur, gelas pengaduk, dan lain-lain), mikroskop cahaya, viskometer, refraktometer, spektrofotometer, chromameter, partikel analyzer, neraca analitik dan perangkat pendukung lainnya.

Metode penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap/proses yang dilakukan, mulai dari proses ekstraksi bahan baku (kayu secang) sampai pada menganalisis nanoemulsi zat warna yang dihasilkan. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

Tahap pertama: Proses Ekstraksi Kayu Secang

Pada tahap ini dilakukan proses sebagai berikut: kayu secang sebagai bahan baku terlebih dahulu diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol (dengan teknik maserasi). Kayu secang yang sudah dipilih untuk diekstraksi dipotong, kemudian dilakukan penggilingan (menghasilkan bubuk dengan ukuran 40 mesh). Selanjutnya diekstraksi selama 12 jam dengan perbandingan bubuk dan pelarut (metanol) 1:6, lalu dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas dan hasil ekstrak encer, selanjutnya dilakukan penguapan dengan kondisi vakum (50oC) untuk menguapkan pelarut metanol dan menghasilkan ekstrak pekat (20o brix).

Tahap kedua: Proses Pembuatan Nanoemulsi

1. Pembuatan formula Span20, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span20), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 5).

Tabel 5. Formulasi Span20

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span20 2,50 5,00 10,00 Akuades 87,50 85,00 80,00 Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

(28)

2. Pembuatan formula Span80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 6).

Tabel 6. Formulasi Span80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span80 2,50 5,00 10,00 Akuades 87,50 85,00 80,00 Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

3. Pembuatan formula Tween20, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Tween20), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 7).

Tabel 7. Formulasi Tween20

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Tween20 2,50 5,00 10,00 Akuades 87,50 85,00 80,00 Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

4. Pembuatan formula Tween80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Tween80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 8).

Tabel 8. Formulasi Tween80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Tween80 2,50 5,00 10,00 Akuades 87,50 85,00 80,00 Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

5. Pembuatan formula Span20,Span80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span20,Span80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 9).

Tabel 9. Formulasi Span20-Span80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span20 1,25 2,50 5,00 Span80 1,25 2,50 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

6. Pembuatan formula Span20,Tween20, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan

(29)

surfaktan (Span20,Tween20), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 10).

Tabel 10. Formulasi Span20-Tween20

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span20 1,25 2,50 5,00 Tween20 1,25 2,50 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

7. Pembuatan formula Span20,Tween80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span20,Tween80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 11)

Tabel 11. Formulasi Span20,Tween80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span20 1,25 2,50 5,00 Tween80 1,25 2,50 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

8. Pembuatan formula Span80,Tween20, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span80,Tween20), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 12).

Tabel 12. Formulasi Span80,Tween20

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span80 1,25 2,50 5,00 Tween20 1,25 2,50 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

9. Pembuatan formula Span80,Tween80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan dengan surfaktan (Span80,Tween80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 13).

Tabel 13. Formulasi Span80,Tween80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Span80 1,25 2,50 5,00 Tween20 1,25 2,50 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

10. Pembuatan formula Tween20,Tween80, pada tahap ini dilakukan proses pengerjaan sebagai berikut: Ekstrak secang yang dihasilkan dicampurkan

(30)

dengan surfaktan (Tween20,Tween80), kemudian dicampurkan dengan pelarut aquades pada berbagai persentase (Tabel 14).

Tabel 14. Formulasi Tween20,Tween80

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Ekstrak secang 10,00 10,00 10,00

Tween20 1,25 2,5 5,00 Tween80 1,25 2,5 5,00 Akuades 87,50 85,00 80,00

Total 100,00 100,00 100,00 Keterangan: presentase dalam persen (%)

Secara keseluruhan pembuatan formulasi nanoemulsi dapat dilihat pada tabel 15 dibawah ini.

Tabel 15. Pembuatan Formulasi Nanoemulsi No Formulasi Nanoemulsi Formula Ekstrak secang (%) Emulsifier (%) Akuades (%) Total (%) 1 Formulasi Span20 1 10 2,5 87,50 100 2 10 5 85,00 100 3 10 10 80,00 100 2 Formulasi Span80 1 10 2,5 87,50 100 2 10 5 85,00 100 3 10 10 80,00 100 3 Formulasi Tween20 1 10 2,5 87,50 100 2 10 5 85,00 100 3 10 10 80,00 100 4 Formulasi Tween80 1 10 2,5 87,50 100 2 10 5 85,00 100 3 10 10 80,00 100 5 Formulasi Span20.Span80 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 6 Formulasi Span20.Tween20 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 7 Formulasi Span20.Tween80 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 8 Formulasi Span80.Tween20 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 9 Formulasi Span80.Tween80 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 10 Formulasi Tween20.Tween80 1 10 1,25.1,25 87,50 100 2 10 2,5.2,5 85,00 100 3 10 5.5 80,00 100 Keterangan: presentasenya dalam ukuran gram/gram (g/g)

(31)

Tahap ketiga: Proses Karakterisasi

Pada tahap ini hasil yang didapat dilakukan analisis, dengan paremeter yang akan dianalisis antara lain: Ukuran partikel, stabilitas emulsi, intensitas warna dan viskositas.

Pengolahan Data

Dalam pengolahan data yang dihasilkan, maka akan digunakan rancangan percobaan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan model linear:

Yij = µ + τi + εij Dimana :

Yij

µ = rataan tengah populasi

= Hasil parameter yang akan diukur (Ukuran partikel, stabilitas emulsi, intensitas warna dan viskositas)

τi

(32)

Gambar 6. Diagram Alir Proses Ekstraksi Kayu Secang. Kayu secang

Pemotongan

Penggilingan

Metanol Ekstraksi (teknik maserasi) selama 12 jam

Perbandingan 1 : 6 (Bubuk:Pelarut)

Ampas Penyaringan

Penguapan kondisi

vakum50oC Metanol

Ekstrak Pekat (20o Brix) Ekstrak Encer Bubuk (40 mesh)

(33)

Gambar 7. Diagram Alir Proses Nanoemulsi Emulsifikasi 1. Ukuran partikel 2. Stabilitas emulsi 3. Intensitas warna 4. Viskositas Ekstrak secang Pencampuran Emulsifier Akuades Magnetic Stirrer Nanoemulsi Pewarna Formula Terbaik Analisis

(34)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kayu Secang (Ekstrak Secang)

Kayu secang (Caeslpinia Sappan L.) menghasilkan pigmen berwarna merah bernama Brazilein (C16H14O5

Bagian tanaman secang yang sering digunakan adalah potongan-potongan atau serutan kayu. Karakteristik mikroskopik kayu ini berbentuk potongan-potongan atau kepingan dengan ukuran sangat bervariasi atau berupa serutan-serutan keras dan padat yang berwarna merah, merah jingga dan kuning (Maharani, 2003). Ekstrak pigmen kayu secang diperoleh melalui proses ekstraksi. Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen yang terpisah berdasarkan perbedaan kelarutannya, dengan melarutkan bahan dalam pelarut tertentu.

). Pigmen ini memiliki warna merah tajam dan cerah pada pH netral (pH 6-7) dan bergeser kearah merah keunguan dengan semakin meningkatnya pH. Pada pH rendah (pH 2-5) Brazilein memiliki warna kuning (Adawiyah dan Indriati, 2003).

Kayu secang yang digunakan dalam pembutan ekstrak kayu secang yaitu dalam bentuk serutan kayu yang tidak diberi perlakuan apapun. Pada pembuatan ekstrak kayu secang tidak dilakukan penyimpanan akan tetapi dilakukan pembuatan ekstrak kayu secang setiap kali akan digunakan, karena untuk mencegah terjadinya perubahan warna ekstrak kayu secang.

Pada pembuatan ekstrak kayu secang dalam penelitian ini terlebih dahulu memilih kayu secang sebagai bahan baku yang akan dilakukan proses ekstraksi dengan menggunakan methanol sebagai pelarut (teknik maserasi), kayu secang yang sudah dipilih kemudian dipotong-potong lalu dilakukan penggilingan menghasilkan bubuk dengan ukuran 40 mesh, selanjutnya diekstraksi selama 12 jam dengan perbandingan bubuk dan pelarut methanol 1:6, kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas dan hasil ekstrak encer, setelah itu dilakukan penguapan dengan kondisi vakum (50oC) untuk menguapkan metanol dan menghasilkan ekstrak pekat 20o brix. Serutan kayu secang dan hasil ekstrak kayu secang dapat dilihatpada Gambar 9.

Gambar 8. Serutan Kayu Secang dan Hasil Ekstrak Secang

Proses Pembuatan Formulasi Nanoemulsi

Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan formulasi nanoemulsi dengan menambahkan hasil ekstrak secang, emulsifier dan zat pelarut akuades. Untuk tiap formulasi nanoemulsi yang dibuat menggunakan

(35)

ekstrak secang dengan persentase yang tetap yakni 10% dari berat formula, emulsifier yang digunakan adalah Span20, Span80, Tween20 dan Tween80 dengan persentase 2,5%, 5% dan 10% dari berat formula untuk formulasi tunggal dan 1,25%, 2,5% dan 5% dari berat formula untuk formulasi ganda, sedangkan zat pelarut yang digunakan adalah akuades dengan persentase 87,50%, 85,00% dan 80,00% dari berat formula.

Formulasi yang dibuat ada dua yaitu formulasi tunggal dan formulasi ganda. Formulasi tunggal adalah: Formulasi Span20, formulasi Span80, formulasi Tween20 dan formulasi Tween80.Formulasi ganda adalah: Formulasi Span20-Span80, formulasi Span20-Tween20, formulasi Span20-Tween80, formulasi Span80-Tween20, formulasi Span80-Tween80 dan formulasi Tween20-Tween80. Formulasi tunggal dan formulasi ganda, masing-masing akan dibuat tiga formula yaitu: Formula 1, formula 2 dan formula 3, dan dilakukan dua kali pengulangan (Tabel 16).

Secara umum proses pembuatan formulasi nanoemulsi sebagai berikut: Tahap pertama. Ekstrak secang dicampur dengan zat pelarut metanol sampai mencapai ukuran 20o brix, diukur menggunakan alat Refractometer, kemudian diendapkan agar terpisah antara larutan ekstrak secang dan ampasnya, dalam hal ini proses pengendapan dilakukan dua kali. Hasil dari larutan ekstrak secang ditimbang dalam ukuran gram sesuai berat persentase yang diinginkan. Tahap kedua, pelarut akuades ditimbang sesuai berat persentase yang diinginkan dalam ukuran gram, kemudian ditambahkan zat emulsifier juga sesuai berat persentase yang diinginkan dalam ukuran gram. Tahap ketiga, larutan akuades yang sudah ditambahkan zat emulsifier diaduk selama 20 menit dengan putaran 200 rpm, dalam proses pengadukan menggunakan magnetic stirrer tersebut ditambahkan larutan ekstrak secang perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit sampai habis, setelah itu biarkan formula itu bercampur dengan sendirinya sampai batas waktu yang ditentukan.

Proses pembuatan formulasi nanoemulsi sebagai berikut:

Formulasi tunggal (Tween20 atau Tween80). Akuades dengan persentase 87,50%, 85,00% dan 80,00% dalam berat (g/g) ditambahkan emulsifier Tween20 atau Tween80 dengan persentase 2,5%, 5% dan 10% dalam berat (g/g), kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer with heater selama 20 menit dan kecepatan 200 rpm, kemudian ditambahkan ekstrak secang 10% dalam berat (g/g). Dengan perlakuan yang sama juga dilakukan untuk formulasi ganda kombinasi Tween20-Tween80 dengan persentase 1,25%, 2,5% dan 5% dalam berat (g/g)

Formulasi tunggal (Span20 atau Span80). Ekstrak secang dengan persentase 10% dalam berat (g/g) ditambahkan emulsifier Span20 atau Span80 dengan persentase 2,5%, 5% dan 10% dalam berat (g/g), kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer with heater selama 20 menit dan kecepatan 200 rpm, kemudian ditambahkan akuades dengan persentase 87,50%, 85,00% dan 80,00% dalam berat (g/g). Dengan perlakuan yang sama juga dilakukan untuk formulasi ganda kombinasi Span20-Span80 dengan persentase 1,25%, 2,5% dan 5% dalam berat (g/g)

Formulasi ganda kombinasi Span-Tween. Akuades dengan persentase 87,50%, 85,00% dan 80,00% dalam berat (g/g) ditambahkan emulsifier Tween (20 atau 80 dengan persentase 1,25%, 2,5% dan 5% dalam berat (g/g), kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer with heater selama 20 menit dan

(36)

kecepatan 200 rpm, kemudian ditambahkan ekstrak secang 10% dalam berat (g/g) yang sudah ditambahkan emulsifier Span (20 atau 80) dengan persentase 1,25%, 2,5% dan 5% dalam berat (g/g) dengan diteteskan perlahan-lahan selama waktu pengadukan yang telah ditentukan.

Tabel 16. Hasil Pengamatan Ulangan 1.

No Formulasi Nanoemulsi

Formula Keterangan 1 Formulasi Span20 1 Terjadi pengendapan

2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan

Pengendapan F1 < F2 < F3 2 Formulasi Span80 1 Terjadi pengendapan

2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 < F3 3 Formulasi Tween20 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 4 Formulasi

Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 5 Formulasi

Span20.Span80

1 Tidak ada pengendapan 2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F2 < F3 6 Formulasi Span20.Tween20 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 > F3 7 Formulasi Span20.Tween80 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 3 Tidak ada pengendapan 8 Formulasi

Span80.Tween20

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 3 Tidak ada pengendapan 9 Formulasi

Span80.Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 10 Formulasi

Tween20.Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan

(37)

Ulangan 2. No Formulasi

Nanoemulsi

Formula Keterangan 1 Formulasi Span20 1 Terjadi pengendapan

2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan

Pengendapan F1 < F2 < F3 2 Formulasi Span80 1 Terjadi pengendapan

2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 < F3 3 Formulasi Tween20 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 4 Formulasi

Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 5 Formulasi

Span20.Span80

1 Tidak ada pengendapan 2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F2 < F3 6 Formulasi Span20.Tween20 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan 3 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 > F3 7 Formulasi Span20.Tween80 1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 3 Tidak ada pengendapan 8 Formulasi

Span80.Tween20

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 < F2 3 Tidak ada pengendapan 9 Formulasi

Span80.Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan 10 Formulasi

Tween20.Tween80

1 Terjadi pengendapan 2 Terjadi pengendapan Pengendapan F1 > F2 3 Tidak ada pengendapan

Dari hasil pengamatan yang telah dibuat pada penelitian ini Tabel 16 diperoleh:

Formulasi Span20 dan Formulasi Span80 ketiga formula (formula 1, formula 2 dan formula 3) tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi,

(38)

karena terjadi pengendapan. Pengendapan yang terjadi adalah F1<F2<F3 Formulasi Tween20 dan formulasi Tween80 formula 1 dan formula 2 tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi, karena terjadi pengendapan, sedangkan untuk formula 3 memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi karena tidak terjadi pengendapan sampai hari ke 2 untuk formulasi Tween20 dan hari ke 5 untuk formulasi Tween80. Pengendapan yang terjadi adalah F

, pengendapan formula 1 lebih kecil dari formula 2 dan lebih kecil dari formula 3.

1>F2 Formulasi Span20-Span80 formula 2 dan formula 3 tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi karena terjadi pengendapan, sedangkan untuk formula 1 memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi karena tidak terjadi pengendapan sampai hari ke 2. pengendapan yang terjadi adalah F

, pengendapan formula 1 lebih besar dari formula 2.

2<F3 Formulasi Span20-Tween20 ketiga formula (formula 1, formula 2 dan formula 3) tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi, karena pada ketiga formula terjadi pengendapan. Pengendapan yang terjadi adalah F

, pengendapan formula 2 lebih kecil dari formula 3.

1> F2 > F3

Formulasi Span20-Tween80 dan formulasi Span80-Tween20 formula 1 dan formula 2 tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi, karena terjadi pengendapan, sedangkan untuk formula 3 memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi karena tidak terjadi pengendapan sampai hari ke 4. Pengendapan yang terjadi adalah F

, pengendapan formula 1 lebih besar dari formula 2 dan lebih besar dari formula 3.

1 < F2

Formulasi Span80-Tween80 dan formulasi Tween20-Tween80 formula 1 dan formula 2 tidak memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi, karena terjadi pengendapan, sedangkan untuk formula 3 memenuhi karakteristik formulasi nanoemulsi karena tidak terjadi pengendapan sampai hari ke 5. Pengendapan yang terjadi adalah F

, pengendapan formula 1 lebih kecil dari formula 2.

1 > F2

Sehingga dari hasil pengamatan tersebut, maka dapat ditentukan formula yang terpilih dari setiap formulasi, formula tersebut seperti Tabel 17.

, pengendapan formula 1 lebih besar dari formula 2.

Tabel 17.Formula Terpilih

No Formulasi Nanoemulsi Formula 1 2 3 4 5 6 7 Formulasi Tween20 (10%) Formulasi Span20-Span80 (1,25%) Formulasi Tween80 (10%) Formulasi Span20-Tween80 (5%) Formulasi Span80-Tween20 (5%) Formulasi Span80-Tween80 (5%) Formulasi Tween20-Tween80 (5%) 3 3 1 3 3 3 3

Kemudian dilakukan pengujian untuk analisa lanjut, pengujian yang dilakukan adalah: pengujian ukuran partikel, zetapotensial/stabilitas emulsi, intensitas warna dan viskositas. Formula tepilih jika secara visual/kasat mata atau pengamatan secara langsung memenuhi kriteria antara lain: Tidak terjadi pengendapan, tidak terjadi penggumpalan, tidak terjadi pemisahan fase dan campurannya homogen.

(39)

Karakteristik Pengujian Viskositas

Viskositas diartikan sebagai resistensi atau ketidakmauan suatu bahan untuk mengalir yang disebabkan karena adanya gesekan atau perlawanan suatu bahan terhadap deformasi atau perubahan bentuk apabila bahan tersebut dikenai gaya tertentu (Kramer, 1996). Viskositas biasanya berhubungan dengan konsistensi yang keduanya merupakan sifat kenampakanyang berhubungan dengan indera perasa. Konsistensi dapat didefinisikan sebagai ketidakmauan suatu bahan untuk melawan perubahan bentuk (deformasi) bila suatu bahan mendapat gaya gesekan. Gesekan yang timbul sebagai hasil perubahan bentuk cairan yang disebabkan karena adanya resistensi yang berlawanan yang diberikan oleh cairan tersebut dinamakan gaya irisan (sheering stress). Jika tenaga diberikan pada suatu cairan, tenaga ini akan menyebabkan suatu bentuk atau deformasi. Perubahan bentuk ini disebut sebagai aliran (Lewis, 1987). Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas makin tinggi tahanannya (Martin, 1993)

Secara umum viskositas nanoemulsi rendah hal ini disebabkan karena nanoemulsi mempunyai ukuran droplet yang sangat kecil seperti suatu larutan tunggal, viskositas rendah umumnya mempunyai laju alir yang baik sehingga sediaan mudah untuk dituang. Viskositas dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan konsentrasi tinggi akan memiliki viskositas yang tinggi pula, karena konsentrasi larutan menyatakan banyaknya partikel zat yang terlarut tiap satuan volume. Semakin banyak partikel yang terlarut, gesekan antar partikel semakin tinggi dan viskositasnya semakin tinggi pula (Jufri, 2004).

Viskositasformulasi nanoemulsi relatif rendah, hal itu disebabkan karena nanoemulsi mempunyai ukuran droplet yang sangat kecil seperti suatu larutan tunggal.Adanya variasi presentase konsentrasi zat pengemulsi berpengaruh pada peningkatan viskositas, konsentrasi yang tinggi sehingga viskositas juga meningkat begitu pula sebaliknya konsentrasi yang rendah maka viskositas juga akan menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan teorinya, untuk sistem apa saja makin tinggi konsentrasi dari zat pengemulsi maka akan semakin tinggi pula viskositasnya (Lachman, 1986).

Pada penelitian ini, alat yang digunakan untuk mengukur besarnya viskositas/kekentalan adalah menggunakan alat viscometer dengan kecepatan 100 rpm dan ukuran spindel 03.Hasil pengukuran viskositas disajikan padaTabel 18.

Tabel 18. Hasil Pengujian Viskositas

No Formulasi Nanoemulsi Viskositas (cP) 1 2 3 4 5 6 7 Formulasi Tween20 (10%) Formulasi Span20-Span80 (1,25%) Formulasi Tween80 (10%) Formulasi Span20-Tween80 (5%) Formulasi Span80-Tween20 (5%) Formulasi Span80-Tween80 (5%) Formulasi Tween20-Tween80 (5%) 7.00 6.00 4.00 15.00 9.00 13.00 8.00

Dari hasil pengukuran viskositas Tabel 18, menunjukkan semua formulasi nanoemulsi menghasilkan nilaiviskositas yang rendah antara 4.00-15,00 cP.

Gambar

Tabel 1. Jenis tumbuhan untuk zat warna alami
Gambar 4.Klasifikasi Surfaktan Berdasarkan Nilai HLB.
Tabel 6. Formulasi Span80
Tabel 14. Formulasi Tween20,Tween80
+5

Referensi

Dokumen terkait