• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia, didapatkan sekitar 12,5% dari populasi sudah mengalami penurunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia, didapatkan sekitar 12,5% dari populasi sudah mengalami penurunan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Urolitiasis adalah batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral paling umum oksalat Ca+ dan fosfat Ca+, namun asam urat dan kristal lain juga membentuk batu. Meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan dalam pelvis dan kalik ginjal (Marilyn, 2002). Berdasarkan survei berbasis komunitas yang dilakukan PERNEFRI tahun 2005, di mana penelitian dilakukan terhadap 9.412 subjek di Indonesia, didapatkan sekitar 12,5% dari populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan hampir 25-30 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal. Sementara menurut Dr. dr. Parlindungan Siregar SpPD-KGH, salah satu penyebab kerusakan ginjal adalah ketidak seimbangan cairan tubuh. Asupan air cukup bisa mencegah infeksi saluran kemih dan pembentukan batu ginjal. Batu ginjal dan infeksi merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik (Anonim, 2013). Ginjal termasuk organ penting yang memiliki fungsi menyaring dan mengeluarkan racun maupun kelebihan mineral dari dalam tubuh melalui urin. Jika fungsi ginjal terganggu akibat peradangan atau karena penyakit batu ginjal maka dengan sendirinya tubuh akan mengalami keracunan. Karena itu, gangguan apapun atau penyakit pada ginjal harus segera diobati.

Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala, penyumbatan atau infeksi, biasanya tidak perlu diobati. Minum banyak cairan akan meningkatkan pembentukan air

(2)

kemih dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera. Kolik renalis bisa dikurangi dengan obat pereda nyeri golongan narkotik. Batu di dalam pelvis renalis atau bagian ureter paling atas yang berukuran 1 sentimeter atau kurang seringkali bisa dipecahkan oleh gelombang ultrasonik (extracorporeal shock wave lithotripsy, ESWL). Pecahan batu selanjutnya akan dibuang dalam air kemih. Kadang sebuah batu diangkat melalui suatu sayatan kecil di kulit (percutaneous nephrolithotomy, nefrolitotomi perkutaneus), yang diikuti dengan terapi ultrasonik. Batu kecil di dalam ureter bagian bawah bisa diangkat dengan endoskopi yang dimasukkan melalui uretra dan masuk ke dalam kandung kemih. Batu asam urat kadang akan larut secara bertahap pada suasana air kemih yang basa (misalnya dengan memberikan kalium sitrat), tetapi batu lainnya tidak dapat diatasi dengan cara ini. Batu asam urat yang lebih besar, yang menyebabkan penyumbatan, perlu diangkat melalui pembedahan. Adanya batu struvit menunjukkan terjadinya infeksi saluran kemih, karena itu diberikan antibiotik.

Namun demikian, untuk mereka yang takut terhadap operasi pengambilan batu ginjal, atau batu ginjal masih berukuran kecil sampai sedang, masih dimungkinkan untuk dilarutkan dengan suatu senyawa tertentu. Universitas Gadjah Mada melalui Gama Herbal memformulasikan sediaan yang dapat membantu melarutkan batu ginjal sehingga dapat memperkecil ukuran batu ginjal dan membuangnya melalui air kemih. Herbal tersebut antara lain adalah tempuyung (Sonchus arvensis), kejibeling (Strobilanthes crispus), dan kumis

(3)

kucing (Orthosiphon aristatus). Ketiga macam herbal ini secara sinergistik akan memberikan efek peluruhan batu ginjal dan melancarkan buang air kecil.

Telah diteliti sebelumnya bahwa efek peluruh batu ginjal kombinasi herbal Kalkugama lebih baik dibandingkan dengan Kalkusol® yang hanya berisi tempuyung. Hal ini ditunjukkan dengan pengukuran pH urin yang diberi Kalkugama lebih basa dibanding konrol normal dan Kalkusol®. Analisis kadar kalsium dan fosfat juga menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, serta kadar kreatinin dan asam urat serum yang lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol positif (Wijaya, unpublish)

Dalam penggunaanya sebagai obat herbal, formula tersebut perlu diketahui keamananya agar tidak menimbulkan efek berbahaya yang tidak diinginkan. Namun, saat ini belum ada data yang mendukung informasi keamanan mengenai formula herbal yang dihasilkan Gama Herbal tersebut. Secara tunggal, ketiga tanaman aman, tidak menimbulkkan efek toksik dan kematian hewan uji. Namun belum ada penelitian mengenai profil ketoksikan ketiga tanaman tersebut apabila dikombinasikan.Sehingga perlu dilakukan uji toksisitas akut untuk memperoleh informasi yang lengkap dan mendukung keamanan produk herbal tersebut dalam penggunaanya sebagai anti kalkuli.

B. Rumusan Masalah

1. Berapa besar potensi ketoksikan akut (LD50) per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar?

(4)

2. Apa saja gejala toksisitas akut yang timbul setelah pemberian per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar?

3. Seberapa luas spektrum efek toksisitas akut yang timbul setelah pemberian per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui besar potensi ketoksikan akut (LD50) per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar.

2. Mengetahui gejala toksisitas akut yang timbul setelah pemberian per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar.

3. Mengetahui seberapa luas spektrum efek toksisitas akut yang timbul setelah pemberian per oral formula herbal Kalkugama pada tikus betina wistar.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat

Masyarakat mendapatkan solusi yang praktis dan efisien dalam mengatasi problema batu ginjal yang relatif tinggi jumlah penderitanya, secara aman dan nyaman digunakan.

2. Bagi Industri Obat Tradisional

Industri dapat memiliki produk baru yang dapat diunggulkan dan aman digunakan dengan jangkauan pemasaran yang lebih luas.

(5)

3. Bagi Akademisi

Adanya tulisan ini dapat menjadi sebuah referensi dan ide untuk terus mengembangkan penelitian mengenai toksisitas akut tempuyung (Sonchus arvensis), kejibeling (Strobilanthes crispus), dan kumis kucing (Orthosiphon aristatus) sebagai anti kalkuli sehingga dapat dimanfaatkan secara lebih baik, aman dan efisien dengan berbagai kemungkinan alternatif.

E. Tinjauan Pustaka 1. Tempuyung (Sonchus arvensis L.)

a. Klasifikasi

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Dicotyledonae Classis : Dicotyledonae Sub Classis : Sympetalae Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae (Compositae) Genus : Sonchus

Spesies : Sonchus arvensis L. (Pulle,1952)

Nama daerah :

Sunda : jombang, galibud, lampenas, lempung Jawa : tempuyung (Steenis, 1975)

(6)

b. Deskripsi

Ekologi dan penyebarannya, tumbuh liar di Jawa, di daerah yang banyak hujan pada ketinggian 50 m sampai 1.650 m di atas permukaan laut. Tumbuh di tempat terbuka atau sedikit kenaungan, di tempat yang bertebing, di pematang, di pinggir saluran air yang baik tata airnya.Pemerian : bau lemah; rasa agak kelat.

Uraian makroskopik : daun tunggal, tidak bertangkai; helai daun berbentuk lonjong atau berbentuk lanset, berlekuk menjari atau berlekuk tidak teratur; pangkal daun menyempit atau berbentuk panah sampai berbentuk jantung; pinggir daun bergerigi tidak teratur; panjang daun 6 cm sampai 48 cm, lebar daun 2 cm sampai 10 cm; permukaan daun sebelah atas agak kasar dan berwarna lebih pucat (Anonim, 1977).

Sonchus arvensis L. atau tempuyung merupakan tanaman yang termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae). Suku Asteraceae merupakan salah satu suku yang terbesar anggotanya, yaitu 15.000 jenis yang terbagi dalam 12 suku (Steenis, 1975).

Tumbuhan ini merupakan herba menahun, mengandung getah, seiring dengan akar tunggang, kuat, tingginya 0,6-2 m. Batang bulat, berongga, gundul, rapuh, daun gundul, sering keunguan, bergigi tak teratur, sedikit banyak menyirip dalam, yang rendah dalam roset duduk dengan pangkal memeluk batang, menyempit sekali, lanset atau bentuk solet, 15-50 kali 3-12 cm, yang lebih atas lebih kecil, dengan pangkal bentuk jantung, bentuk

(7)

panah, memeluk batang. Bongkol dalam jumlah yang tidak banyak berkumpul dalam karangan bunga bentuk malai rata, bertangkai, 2,5-6 cm, garis tegaknya tangkai dengan kenjar bertangkai tidak sama. Bunga banyak, kuning cerah. Buah keras, bentuk memanjang, pipih, berusuk, coklat kekuningan, lebih kurang 4 mm panjangnya. Rambut buah putih terang. Dari eurasia, tumbuh-tumbuhan rumputan dari ladang yang cerah matahari, tebing teras, dan sepanjang saluran air, 50-1.850 m (Steenis, 1975).

Sonchi Folium (daun tempuyung) merupakan daun yang telah dikeringkan dari tanaman Sonchus arvensis L., familia Asteraceae. Bau lemah, rasa agak kelat. Daun tunggal, tidak bertangkai; helai daun berbentuk lonjong atau berbentuk lanset, bertekuk menjari atau berlekuk tidak teratur; pangkal daun menyempit atau berbentuk panah sampai berbentuk jantung; pinggir daun bergerigi tidak teratur; panjang daun 6 cm - 48 cm, lebar daun 2 cm – 10 cm; permukaan daun sebelah atas agak kasar dan berwarna lebih pucat (Anonim, 2000).

c. Kandungan

Kandungan dari tanaman tempuyung adalah silika, kalium, α-lactucerol, β-lactucerol, manitol, inositol, taraksasterol (Anonim, 1977; Wijayakusuma dkk., 1994), kalsium (Liestyaningsih, 1991) dan kandungan utama ialah flavonoid, turunan flavon, yaitu berupa luteolin glukosida, luteolin (7)-glukuronida, flavon, dan auron (Soegihardjo dan Sudarto, 1983), di samping apigenin dalam jumlah sedikit, dan skopoletin senyawa turunan kumarin (Liestyaningsih, 1991). Flavonoid total dalam daun tempuyung adalah 0,10%

(8)

(Kurnia, 1986). Kalsium, natrium, magnesium (Handy dan Resmianto, 1978), asam fenolat (Pramono, 1985), taraksasterol, inositol (Perry, 1980). Di samping itu juga mengandung ester asam sinamat dan asam sinamat bebas (Soegihardjo dan Sudarto, 1983). Mansour (1983) melaporkan adanya turunan flavon, yaitu apigenin 7-glukuronida, luteolin (7)-glukosida, luteolin (7)-glukuronida, serta suatu turunan kumarin yaitu eskuletin.

d. Kegunaan

Tempuyung digunakan sebagai obat penurun tekanan darah tinggi (daunnya), infeksi usus buntu, wasir, disentri, mastitis, bisul, luka bakar, dan sakit empedu, batu ginjal, kolesterol, dan asam urat (Wijayakusuma dkk., 1994; Ediati, 1997), lepotripik (Anonim, 1977), dan diuretik (Anonim, 1995). Daun tempuyung digunakan untuk melancarkan air seni sehingga dari kegunaan ini, daun tempuyung sering digunakan sebagai ramuan untuk mengobati penyakit kencing batu dan ramuan pengurus badan, selain itu daun tempuyung juga telah diketahui mempunyai khasiat dalam pengobatan penyakit kulit karena virus (Exham dan Sastrodiprojo, 1980 cit Soegihardjo dan Sudarto, 1983). Kemudian dapat juga menentramkan urat saraf sensibel, simpatik dan parasimpatik (Sardjito, 1969), untuk obat peradangan (Heyne, 1950), di Cina digunakan untuk pengobatan dan insektisida (Perry, 1980).

Sonchi Folium dikenal sebagai obat pelarut batu ginjal. Pada percobaan diuretika pada tikus, Sonchi Folium menunjukkan efek lemah sehingga kemungkinan efeknya diduga melalui gabungan antara diuretik lemah dan pelarut kalsium batu ginjal. Pada percobaan in vivo, infus Sonchi Folium juga

(9)

menunjukkan efek menghambat pembentukan batu kandung kemih buatan pada tikus. Infus Sonchi Folium juga mempunyai efek melarutkan kalsium oksalat, kolesterol dan asam urat batu ginjal secara in vitro. Apigenin 7-glukosida dan luteolin 7-7-glukosida, keduanya merupakan senyawa flavonoid yang merupakan kandungan aktif Sonchi Folium, pada percobaan in vitro telah dibuktikan mampu melarutkan batu ginjal berkalsium dan telah ditunjukkan terbentuknya senyawa hasil reaksinya dengan batu ginjal sehingga diduga mekanisme pelarutan batu ginjal disebabkan oleh pembentukan komplek antara flavonoid dengan kalsium yang menyusun batu ginjal (Anonim, 2000).

e. Toksisitas Akut

Diketahui nilai LD50>5000 mg/Kg berat badan (akut dan uji toksisitas subkronik pada tikus), peningkatan nilai SGOT, SGPT, kreatinin, dan ureum, tetapi tidak signifikan. 90 hari berturut-turut dosis ganda pada tikus dikategorikan aman (Anonim, 2013).

2. Kejibeling (Strobilanthes crispus (L.) Bremek) a. Klasifikasi tanaman:

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Solanales

(10)

Genus : Strobilanthes

Species : Strobilanthes crispus BL.

Nama lain dari tumbuhan ini adalah Hemigraphis colorata, Keci beling, sambang geteh (Jawa), Remek daging, reundeu beureum (Sunda), Lire (Ternate) (Tampubolon, 1995). Ki beling (Sunda), Enyoh kelo (Jawa), Nama latin : Sericocalyx crispus (L.) Bremek, sinonim Strobilanthes crispus L (Santoso, 1998).

b. Deskripsi :

Tumbuhan keji beling ini berbatang basah, berbaring di tanah, dan tingginya dapat mencapai sampai seperempat (1/4) meter. Daunnya berwarna hijau, dan bawahnya berwarna ungu (termasuk tulang-tulangnya), sedangkan tangkainya panjang, berbulu, dan saling berhadapan. Bentuk daunnya seperti jantung, tepi daun bergerigi kasar. Bunganya kecil, tunggal atau berdua di ketiak daun pelindung (Tampubolon, 1995).

Daerah tempat tumbuh keji beling di dataran rendah sampai ketinggian seribu (1000) meter di atas permukaan laut di hutan-hutan atau banyak juga yang sengaja ditanam orang sebagai tanaman hias. Tumbuhan ini juga tumbuh liar di ladang-ladang, semak-semak ataupun di tempat-tempat terbuka lainnya. Tumbuhan ini termasuk familia atau suku Acanthaceae (Tampubolon, 1995).

(11)

c. Kandungan

Tumbuhan ini terutama mengandung banyak mineral seperti kalium, sedikit natrium, kalsium, dan unsur lainnya. Di samping itu, juga terdapat asam silikat, tannin, dan glikosida (Tampubolon, 1995).

d. Kegunaan

Daun keji beling berguna untuk obat kulit gatal yang memiliki khasiat mengurangi rasa gatal (adstringen). Selain itu daun keji beling berguna untuk obat batu ginjal yang memiliki khasiat meluruhkan air seni dan untuk obat wasir yang memiliki khasiat untuk mengurangi pendarahan (Santoso, 1998). Daun keji beling yang direbus dapat digunakan untuk disentri, diare, dan sakit batu ginjal (Tampubolon, 1995).

e. Toksisitas Akut

Pada studi toksisitas akut yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan empat dosis berbeda dari jus Strobilanthes crispa (700, 2100, 3500, dan 4900 mg/Kg berat badan) yang diberikan secara oral kepada tikus wistar betina maupun jantan terdapat kemungkinan perubahan berbagai macam fisikal, tingkah laku, morfologi, dan paramater biokimia. Tikus yang diberi perlakuan dengan dosis tunggal jus dan diamati selama 14 hari tidak menunjukkan toksisitas yang signifikan terhadap paramater klinis dan morfologi organ. Selain itu, tidak ada perubahan signifikan yang diamati pada level aspartat aminotransferase, alanin aminotransferase, alkali fosfatase, kreatinin, dan albumin. Jus Strobilanthes crispa didapati aman pada dosis

(12)

maksimum yang digunakan dalam studi ini (4900 mg/Kg berat badan). (Hanoon., et al, 2012).

Penelitian lain menyebutkan bahwa pemenjanan selama 14 hari ekstrak etanol daun Stobilanthes crispus tidak menyebabkan kematian maupun efek berbahaya pada tikus betina Spargue dawley. Tidak ada perubahan signifikan pada paramater biokimia, bobot relatif organ, bobot tubuh, asupan makanan, dan konsumsi air yang damati pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan (Lim., et al, 2012).

3. Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus) a. Klasifikasi tanaman

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Familia : Labitae Genus : Orthosiphon

Species : Orthosiphon aristus Miq. (Pulle, 1952) Sinonim : Orthosiphon spicatus B.B.S

Orthosiphon stamineus Benth.

Orthosiphon grandiflorus Bld. (Steenis, 1975) b. Deskripsi

(13)

Orthosiphon stamineus biasa dikenal sebagai Misai Kucing dan Kumis Kucing. Orthosiphon stamineus tumbuh secara luas di Asia tenggara dan negara-negara tropis. Daun dari tanaman ini biasa digunakan di Asia Tenggara dan negara-negara Eropa sebagai Teh herbal, dikenal dengan nama “Java Tea” (Indubala, 2000).

Tumbuhan ini merupakan herba berkayu, naik perlahan-lahan pada pangkal sering bercabang, disana berakar kuat, tinggi 0,4-1,5 m. Batang berambut pendek. Karangan semu banyak, berbunga 6 terkumpul menjadi tandann ujung. Daun pelindung kecil. Tangkai bunga pendek. Kelopak berambut pendek, panjang 5,5-7,5 mm; taju atau hampir sampai pangkal tabung berakhir dengan 2 rusuk, bulat telur berbalik dan lebih besar daripada taju lainnya; taju samping dengan ujung runcing, ungu; kedua taju bawah terpanjang, runcing; pada pangkal berlekatan pendek. Mahkota berbibir 2; tabung lurus dan sempit; bibir atas bertaju 3, lebar dengan taju tengah yang bergigi 2, berbalik ke belakang; bibir bawah lurus menjulang ke depan. kepala sari ungu. Bakal buah gundul. Kelopak buah lebih kurang 1 cm panjangnya; buah keras memanjang, berkerut halus. Pada daerah yang teduh; tidak terlalu kering; 1-700 m (Steenis, 1975).

Orthosiphinis Folium terdiri atas daun pucuk serta kumpulan tangkai yang pendek, kering dari tanaman Orthosiphon stamineus, familia Labitae; dikumpulkan pada waktu berbunga. Bau agak aromatik, rasa agak asin, agak pahit dan kelat. Daun tunggal bertangkai letak berseling berhadapan, warna hijau, rapuh; bentuk bundar telur, lonjong, belah ketupat. Tangkai daun

(14)

persegi, warna agak ungu, helai daun bergerigi tidak beraturan (Anonim, 2000).

c. Kandungan

Konstituen yang terkandung di dalamnya adalah benzochromenes, diterpen, minyak esensial 0,02-0,7%, flavonoid seperti sinensetin, dan konstituen lain seperti asam Caffeic dan derivatnya, inositol, phytosterols, dan garam Kalium (Barnes et.al, 1996)

d. Kegunaan

Tanaman ini sudah dimanfaatkan secara tradisional untuk mengobati beberapa penyakit ringan. Daun dari tanaman ini sudah digunakan sebagai diuretika, dan mengobati rematik, abdominal pain, inflamasi ginjal dan kandung kemih, edema, gout, dan hipertensi. Biasanya, daun dan stem tips dari tanaman digunakan sebagai obat. Studi ilmiah menemukan bahwa daun memperlihatkan efek farmakologi seperti antioksidan, antibakteri, hepatoprotektif, anti-inflamasi, sitotoksik, diuretik, antihipertensi, dan vasodilatasi (Basheer et al., 2010).

e. Toksisitas Akut

Dari pengujian toksisitas akut yang telah dilakukan sebelumnya, tidak ada kematian atau tanda-tanda toksik yang merugikan terlihat selama periode eksperimen. Penurunan signifikan terjadi pada beberapa paramater serum biokimia seperti AST dan ALT dan peningkatan bobot hati teramati pada tikus betina Spargue dawley muda setelah dipejankan ekstrak metanol Orthosiphon stamineus selama 14 hari. Tidak ada efek toksik tertunda dan

(15)

kematian yang teramati pada semua tikus selama 14 hari periode recovery. Dapat ditarik kesimpulan, ekstrak metanol dari Orthosiphon stamineus dengan rentang uji 0,5 g/Kg sampai 5 g/Kg tidak menyebabkan efek toksik dan kerusakan organ pada tikus (Han., et al, 2008).

4. Batu Ginjal/Kalkuli/Nefrolithiasis

Organ ginjal memiliki fungsi mengatur jumlah air dalam urin dan mengeliminasi produk yang tidak diperlukan tubuh. Kandungan tinggi dari substansi yang tidak dapat larut (seperti kalsium, oksalat, asam urat) dapat membentuk kristal yang perlahan akan membentuk batu ginjal. Batu ginjal dapat berupa butiran seperti pasir bahkan sampai sebesar bola golf. Kandungan mayor dari batu ginjal adalah kalsium. Rasa nyeri atau kolik renal terutama disebabkan oleh dilatasi, stretching, dan spasme yang disebabkan oleh obstruksi akut ureteral (Wolf Jr, 2013).

Batu ginjal adalah suatu batu yang terdapat dalam saluran kencing, yang dapat menghalangi keluarnya air kencing, sehingga dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan dapat menyebabkan gangguan fisiologis (Smith, 1963). Batu ginjal merupakan kumpulan padat zat-zat kimia, biasanya garam-garam mineral yang terbentuk di dalam tubuh (Brunzel, 1994).

Terdapatnya batu diginjal merupakan salah satu penyakit yang umum terdapat di saluran kemih (Smith, 1981). Fakta menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 5 orang tiap 1000 orang yang menderita batu ginjal, dan pria lebih banyak terkena batu ginjal dibanding wanita dengan perbandingan 3:1 (Brown,

(16)

1991). Batu tersebut menyebabkan banyak gangguan pada penderitanya terutama yang berupa nyeri-nyeri, sehingga sangat mengurangi efektivitas dan efisiensi kerja sehari-hari (Ismadi, 1979).

Tanda dan Gejala

Pasien dengan kolik renal akut menunjukkan serangan nyeri hebat yang tiba-tiba bermula dari panggul kemudian menyebar sampai ke bagian atas dan bawah tubuh; paling tidak 50% pasien juga mengalami nausea dan vomiting. Pasien dengan urinary kalkuli dilaporkan nyeri, infeksi, dan hematuria. Pasien dengan batu ginjal kecil yang tidak menyumbat atau dengan staghorn kalkuli bisa jadi asimptomatik atau dengan gejala yang mudah diatasi (Wolf Jr, 2013). Patofisiologi

Pembentukan batu ginjal dapat terjadi karena dua fenomena:

a. Supersaturasi urin dengan konstituen pembentuk batu ginjal, termasuk kalsium, oksalat, dan asam urat. Kalkuli yang dihasilkan memberikan gejala saat mereka terjepit ketika melewati ureter menuju kandung kemih.

b. Kalsium pospat mengendap pada bagian bawah membran tipis lengkung henle, mengikis masuk ke intersitium, dan terkaumulasi di ruang subepitelial dari papila renal. Lapisan subepitelial, yang telah lama dikenal sebagai Randall plaques, akhirnya mengikis melalui papillary urothelium. Matriks batu, kalsium pospat, dan kalsium oksalat akhirnya terdeposit dan menimbulkan urinary kalkulus (Wolf Jr, 2013).

Pembentukan batu ginjal pada dasarnya terjadi karena terbentuknya kristal yang disebabkan beberapa keadaan fisika dan kimiawi, yaitu :

(17)

a. Kristalisasi

Terjadi apabila konsentrasi zat yang relatif tak larut dalam urin (kalsium, oksalat, fosfat) tinggi atau apabila volume urin berkurang (Trihono, 1993). b. Tidak adanya inhibitor kristal

Inhibitor kristal menghambat pembentukan kristal atau pertumbuhan kristal. Bila seseorang mengalami penurunan kadar inhibitor, maka pembentukan kristal menjadi lebih mudah karena tidak ada yang menghambat. Contoh inhibitor kristal adalah sitrat, pirofosfat, magnesium, alanin, sulfat, seng, dan asam nukleat.

c. Perubahan pH urin

Apabila urin bersifat asam dalam jangka lama, maka beberapa zat seperti asam urat akan mengkristal, sebaliknya bila urin bersifat basa, maka beberapa zat seperti kalsium fosfat akan mengkristal.

d. Pertumbuhan sekunder kristal

Terjadi pembentukan kristal baru yang terikat pada sesuatu kristal jenis lain yang sudah ada terlebih dahulu (Lumento, 1992).

Jenis-jenis batu ginjal : a. Batu kalsium

Garam-garam kalsium, asam urat, sistin, dan struvit (MgNH4PO4) sebenarnya adalah dasar dari semua batu ginjal yang terbentuk pada penderita penyakit batu ginjal. Batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat merupakan 75-85% dari seluruhnya. Kalsium fosfat dalam batu-batu ini biasanya adalah hidroksiapatit (Ca5(PO4)3OH) atau, lebih jarang, brushit (CaHPO4).

(18)

Batu jenis ini banyak ditemukan, yaitu 80-85% dari jumlah pasien. Kalsium ialah ion terbanyak yang menggambarkan kristal saluran urin. Batu ini ada dua macam yaitu kalsium oksalat dan kalsium fosfat (apatit). Batu kalsium oksalat ada dua jenis, yaitu batu whewellite yang merupakan batu yang keras, berwarna coklat tua, bentuk seperti murbei, dan tersusun atas kalsium oksalat dihidrat dengan ciri batu yang keras tetapi mudah pecah, berwarna kuning muda, dan permukaannya tajam.

Batu kalsium lainnya yaitu batu kalsium fosfat, berciri lunak, berwarna agak keputihan, permukaannya licin, dan sering bercampur dengan komponen lain. Kedua macam batu tersebut, yaitu batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, bisa terlihat dengan foto rontgen (Scholtmeijer dan Schroiden, 1994).

b. Batu struvite

Batu struvite terdapat sekitar 25% dari jumlah pasien batu dan potensial berbahaya. Komposisi batu ini adalah magnesium, ammonium, dan phosphate. Batu ini, terutama dibentuk pada wanita, diakibatkan oleh infeksi saluran kemih oleh bakteri-bakteri yang memiliki urease, biasanya dari spesies proteus. Batu struvite ialah batu infeksi gabungan urea dan belahan organisme yang meliputi proteus, pseudomonas, providencia, klebsiella, staphylococci, dan mycoplasma. Batu ini dapat tumbuh menjadi besar dan mengisi sebagian besar ginjal sehingga batu berbentuk tanduk (staghorn). Dalam keadaan murni, tidak terlihat dalam foto rontgen, tetapi biasanya batu ini bercampur dengan kalsium fosfat, sehingga bisa terlihat dengan foto rontgen.

(19)

Batu dapat tumbuh menjadi besar dan mengisi pelvis ginjal dan kalises untuk menimbulkan suatu penampilan seperti tanduk rusa betina. Batu ini tidak tembus cahaya. Dalam urin, berbentuk prisma bersegiempat yang menyerupai tutup peti mati.

c. Batu asam urat

Batu asam urat terdapat tak lebih dari 5-8% batu saluran urin. Setengah dari pasien jenis batu asam urat ini, menderita gout yaitu suatu penyakit yang berhubungan dengan meningkatnya atau menumpuknya asam urat. Gejala penyakit jenis batu asam urat sudah dapat timbul dini karena endapan atau kristal asam urat dapat menyebabkan keluhan berupa nyeri hebat karena endapan itu menyumbat saluran kencing (Lumento, 1992). Batu asam urat merupakan batu yang keras, berwarna kuning coklat, permukaannya licin, dan biasanya tidak tampak dalam foto rontgen.

Dalam urin, kristal asam urat berwarna merah jingga karena mereka menyerap pigmen urisin. Anhidrida asam urat menghasilkan kristal apatit. Dihidrat asam urat cenderung membentuk kristal yang berbentuk tetesan air mata serta sebagai piringan-piringan pipih segiempat; kedua-duanya adalah sangat bias. Pasir asam urat pada beberapa keadaan tampak seperti debu merah, dan batunya juga jingga atau merah.

d. Batu sistin

Batu jenis sistin sangat jarang ditemukan, sekitar 1-3% pasien batu. Penyakit batu jenis ini merupakan penyakit yang diturunkan. Batu ini mempunyai warna kuning muda, dengan permukaan licin tetapi teraba agak

(20)

berlemak. Batu sistin terlihat dalam foto rontgen tetapi tidak tampak jelas jika masih sangat kecil (Scholtmeijer & Schroden, 1994).

Batu sistin berwarna kuning lemon, dan bercahaya; batu ini tidak tertembus cahaya karena mereka mengandung belerang. Kristal sistin dalam urin tampak sebagai piringan-piringan pipih, heksagonal.

e. Batu ksantin

Batu ksantin merupakan efek samping kekurangan ksantin oksidase sejak lahir. Sekitar 25% pasien dengan kekurangan ksantin oksidase menjadi menderita batu saluran urin (Tanagho&Mc Aninch, 1995).

Epidemologi

Data internasional menunjukkan bahwa nephrolithiasis terjadi di seluruh bagian dunia. Insidensi penyakit batu ginjal di negara berkembang mirip dengan yang terjadi di USA; setiap tahun insiden batu ginjal di negara industri diperkirakan 0,2%. Penyakit batu ginjal jarang terjadi di sebagian kecil area, seperti Greendland dan pesisir Jepang. Risiko penyakit dilaporkan 2-5% untuk Asia, 8-15% untuk negara barat, dan 20% untuk Saudi Arabia. Di negara berkembang, kalkuli kandung kemih lebih sering terjadi daripada kalkuli saluran kemih bagian atas; sebaliknya terjadi di negara maju. Perbedaan ini mungkin terjadi karena faktor diet.

Distribusi usia untuk nephrolithiasis menunjukkan bahwa kalkuli berkembang pada orang dengan usia 20-49 tahun. Puncak insidensi terjadi pada orang dengan usia 35-45 tahun. Tetapi penyakit dapat menyerang siapapun di usia berapapun. Batu ginjal pada usia diatas 50 tahun biasanya jarang.

(21)

Nephrolithiasis pada anak jarang. Pada umumnya urolithiasis lebih sering menyerang laki-laki dengan rasio laki-laki banding perempuan adalah 3:1 (Wolf Jr, 2013).

5. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang dilakukan pada hewan uji. Hewan uji yang biasa digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmut, hamster atau anjing (Sukandar, 2004). Penelitian toksisitas suatu senyawa yang dilakukan pada hewan uji merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksisitas. Hal ini dikarenakan penelitian toksisitas menjelaskan berbagai efek akibat pemejanan zat toksik pada peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi, serta menunjukkan organ sasaran, sistem yang berpengaruh atau toksisitas yang muncul (Lu, 1995).

Menurut Donatus(2001) uji toksisitas dapat dibagi 2 yaitu uji ketoksikan khas dan tak khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksisitas yang dimaksudkan untuk mengevaluasi secara keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada hewan uji. Priyanti, 2009, menjelaskan bahwa yang termasuk uji ketoksikan khas adalah:

a. Uji ketoksikan akut, yaitu uji yang dirancang untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh hewan uji, yang hasilnya akan diekstrapolasi pada manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.

(22)

b. Uji ketoksikan subkronis atau disebut juga subakut, yaitu uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu. Umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 dosis selama 4 minggu sampai 3 bulan dengan menggunakan dua spesies yang berbeda. c. Uji ketoksikan kronis, pada dasarnya sama dengan uji ketoksikan subkronis,

menggunakan hewan rodent dan non-rodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaanya hanya terletak pada lamanya pemejanan senyawa uji, masa pengamatan dan pemeriksaan, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat ini akan diguunakan dalam waktu yang cukup panjang.

Mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada hewan uji. Termasuk uji ketoksikan khas adalah uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji pra natal, dan pasca natal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku (Donatus, 2001).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengamati efek toksik yg diakibatkan pemejanan dosis tunggal suatu zat. Uji toksisitas akut penting untuk tetap dilakukan karena:

a. Pengamatan atas jumlah kematian hewan uji dapat digunakan untuk mendapatkan dosis atau konsentrasi letal median (LD50 atau LC50). LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat membunuh 50% hewan uji (Lu, 1995).

b. Pengamatan dapat diperluas meliputi berbagai efek akut seperti penyebab kematian, waktu kematian, simptom, organ sasaran, dan efek akut nonletal.

(23)

c. Uji toksiaitas akut dapat menampakan efek yang tidak terdeteksi pada uji dengan dosis berulang karena dosis yang lebih rendah diberikan belakangan atau karena toleransi (Balazs, 1970).

d. Hasil uji digunakan untuk mendesain uji sub kronik dan kronik, mengklasifikasikan ketoksikan relatif suatu zat, dan acuan dalam manajemen resiko terpapar suatu zat pada manusia atau lingkungan (Hodgoson dan Levy, 2000).

Secara konvensional, pengujian toksisitas akut dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode grafik Lithfield dan Wilcoxon, metode kertas grafik probit logaritma Tainter-Miller, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil yang berdasarkan pada hubungan antara peringkat dosis dan persen respon. End point ketiga metode konvensional adalah kematian hewan uji (Barile, 2008). Metode konvensional cenderung dihindari karenda dianggap kurang memperhatikan animal welfare. Oleh karena itu muncul metode nonkonvensional untuk uji ketoksikan akut, yaitu OECD Guideline for Testing of Chemicals. Terdapat tiga metode uji ketoksikan akut OECD Guideline for Testing of Chemicals, yaitu OECD 420, OECD 423, dan OECD 425.

Metode OECD 423 dan 425 menggunakan kematian hewan uji sebagai endpoint, sedangkan OECD 420 menggunakan adanya gejala toksisitas untuk mengklasifikasikan ketoksikan senyawa uji. Dalam metode OECD 420 digunakan 5 hewan uji untuk setiap kelompok dosis, sementara OECD 423 menggunakan 3 hewan uji untuk setiap kelompok dosis. Sedangkan OECD 425 menggunakan 1 hewan uji untuk tiap pemberian dosis. Metode OECD 420

(24)

dan 423 menggunakan peringkat dosis tetap yaitu 5; 50; 300; dan 2000 mg/Kg BB, sedangkan OECD 425 menggunakan faktor perkalian 3,2 dengan dosis maksimal 2000 mg/Kg BB atau 5000 mg/Kg BB.

F. Landasan Teori

Pengujian potensi ketoksikan tempuyung, kejibeling, dan kumis kucing secara terpisah sudah banyak dilakukan. Tempuyung secara tunggal meningkatkan nilai SGOT, SGPT, kreatinin, dan ureum secara tidak signifikan dan dikategorikan aman. Sementara kejibeling dapat dikatakan aman dan tidak menunjukkan toksisitas yang signifikan terhadap paramater klinis dan morfologi organ. Kumis kucing sendiri tidak menunjukkan adanya kematian atau tanda-tanda toksik yang merugikan selama periode eksperimen.

Informasi ketoksikan tunggal tersebut menunjukkan bahwa ketiga tanaman diketahui aman apabila digunakan secara tunggal, namun penggunaan tempuyung, kejibeling, dan kumis kucing secara kombinasi belum diketahui potensi ketoksikannya. Sehingga perlu dilakukan uji ketoksikan dari kombinasi tempuyung, kejibeling, dan kumis kucing.

G. Hipotesis

Pemberian per oral formula herbal Kalkugama tidak menimbulkan kematian dan efek toksik yang berarti, sehingga ketoksikan akut formula herbal Kalkugama termasuk dalam kategori V yaitu >2000-5000 mg/Kg BB (OECD, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang diberikan adalah (1) Pembelajaran fisika hendaknya menggunakan model yang dapat membawa siswa ikut

Kondisi kelapa sawit yang ditanam pada lahan akan memberikan perubahan pada tanah itu sendiri mulai dari bertambahnya ruang pori, terjadi perubahan tekstuPenyebaran perkebunan

Bait al-Ḥikmah memiliki daya dorong, baik langsung maupun tidak langsung, yang cukup besar dan luas terhadap kemajuan kebudayaan dan peradaban pada masa Abbasiyah

Penelitian ini bertujuan mengkaji tingkat pencemaran limbah cair Pabrik Minyak Kayu Putih Gelaran terhadap badan air permukaan, memperoleh rancangan pengolahan

Sementara itu media lain yang digunakan adalah media internet (search engine web browser seperti: google.com, yahoo.com dll) sebanyak 17%, langsung menuju website

Dalam upaya mencapai keberhasilan melalui kebijakan Boyolali Pro Investasi, Pemkab Boyolali terus melakukan kajian-kajian mengenai beberapa aturan yang dapat menarik

jasa perhitungan neraca penyediaan dan kebutuhan energi, harga energi dan keekonomiannya serta jasa perhitungan pembangkitan sistem kelistrikan dan pengaruhnya

)2. Semua taksi dilengkapi dengan radio panggil. Sebagian taksi tidak berarna mera# dan tidak dilengkapi radio panggil. Sebagian taksi berarna mera# dan tidak