• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Pengasuhan

2.1.1. Definisi Pola Pengasuhan

Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut kamus Bahasa Indonesia asuh adalah menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago, 1995 dalam Septiani, 2012).

Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk memepertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani, 2012)

(2)

2.1.2. Bentuk Pola Pengasuhan

Menurut Strewart dan Koch ( 1983 ) dalam Tarmudji ( 2011 ) ada tiga bentuk pola asuh orang tua, yaitu :

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah - perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri - ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak - anak untuk patuh terhadap nilai - nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu ( Hurlock, 1999 dalam Septiani, 2012). Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak - anak lain. Adapun dampak dari perkembangan motorik terhadap pola asuh otoriter adalah anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.

2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak - anak, tetapi mereka juga bersikap responsif (Desmita, 2005 dalam Septiani, 2012). Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap

(3)

orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak - anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Lebih lanjut Suherman (2000) dalam Septiani,(2012) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat - tingkat perkembangan motorik anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Dampak perkembangan motorik terhadap pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.

Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah:

 Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diterima.

 Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan.

 Memberikan bimbingan dengan penuh perhatian.

 Dapat menciptakan keharmonisan keluarga.

 Dapat menciptakan suasana komunikatif antar orang tua dan anak serta sesama keluarga.

Dampak pola asuh demokratis terhadap perilaku belajar anak :

Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh demokratis, adalah:

 Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan introspeksi serta pengendalian diri.

(4)

 Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadap aturan.

 Lebih percaya diri akan kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas.

 Merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tigas belajar.

 Memiliki keterampilan sosial yang baik dan terampil menyelesaikan permasalahan.

 Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.

3. Pola asuh permisif

Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) menyatakan bahwa pola asuh permisif anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya dituruti (Desmita, 2005 dalam Septiani, (2012 ). Lebih lanjut menurut Hurlock (1976) dalam Tarmudji (2011) bahwa dalam pola asuh permisif bimbingan terhadap anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak dari pada orang tuanya.Dalam pola asuh ini sikap acceptance orang tua tinggi namun tingkat kontrolnya rendah (Yusuf, 2001 dalam Teviana, 2012). Dampak dari perkembangan motorik terhadap pola asuh permisif yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah. Pola asuh dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan serta

(5)

kepribadian orang tua. Selain itu dipengaruhi pola asuh yang dirasakan orang tua saat kecil (Markum, 1998 dalam Teviana, 2012). Erikson menyebutkan bahwa pola pengasuhan diawal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang akan terus berkembang pada fase - fase berikutnya. Proses pengasuhan dimasa bayi, akan mendasari kepibadian dimasa remaja, dan seterusnya. Proses tersebut akan berlanjut seumur hidupnya. Dengan demikian tampaklah bahwa kepribadian seseorang tidak dapat lepas begitu saja dari proses pengasuhan pada fase - fase sebelumnya (Yusuf, 2004 dalam Teviana, 2012).

Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh permissive adalah

 Adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya.

 Anak terkadang egois.

Dampak pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak :

Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh permisive, adalah:

 Anak menjadi tampak responsive dalam belajar, namun kurang matang, impulsive dan mementingkan diri sendri, kurang percaya diri maupun cengeng

 Anak mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan dalam tugas-tugasnya.

(6)

Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Septiani (2012), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu :

1. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH), meliputi : a. Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting b. Papan/ tempat tinggal

c. Sandang/ pakaian yang memadai 2. Kebutuhan emosi/ kasih sayang (ASIH)

Merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental, psikologi.

3. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)

Adalah mengembangkan perkembangan moral etika, kepribadian, perilaku.

2.1.3. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir mempunyai persamaan. Dr.Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam empat macam pola, yaitu : (Hauck, 1993:47 dalam Teviana, 2012):

a. Kasar dan tegas

Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan anak-anak mereka.

(7)

b. Baik hati dan tidak tegas

Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-kanakan secara emosional.

c. Kasar dan tidak tegas

Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.

d. Baik hati dan tegas

Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak pernah si anak atau pribadinya.

Menurut Drs. H. Abu Ahmadi (Ahmadi,1991:80) dalam Septiani (2012), mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :

1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.

2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.

(8)

3. Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisifasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisifasi dalam keputusan keputusan keluarga.

2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Menurut Supartini (2002) dalam Septiani (2012), faktor - faktor yang mempengaruhi pola asuh :

1. Usia orang tua

Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

2. Keterlibatan orang tua

Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak seperi menggantikan popok ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu upaya dalam melakukan interaksi.

(9)

3. Pendidikan orang tua

Wong et (2001) dalam Teviana (2012) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk lebih siap menjalankan peran pengasuhan diantaranya adalah pendidikan.

4. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak

Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.

5. Stres orang tua

Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki oleh anak.

6. Hubungan suami istri

Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan dalam menjalankan perannya ssebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif.

2.1.5. Hubungan Pola Asuh dengan Kemampuan Motorik

Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya.

(10)

Menurut Anwar ( 2002 ) dalam Listroyorini (2016) agar keluarga atau orang tua mampu melakukan fungsinya dengan baik maka orang tua perlu memahami tingkat perkembangan anak, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempunyai motivasi yang kuat untuk memajukan tumbuh kembang anaknya dengan cara memberi pola pengasuhan yang baik terhadap anak.

Gerakan motorik terdiri dari tiga komponen besar yaitu reseptor sensorik, otak dan alat gerak. Tiap rangsangan yang diterima oleh reseptor diteruskan ke otak melalui saraf sensorik setelah itu otak mengambil suatu keputusan untuk melakukan tindakan melalui saraf motorik (Tandyo, 2002 dalam Listroyorini, 2016).

Kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh, rangsangan dan dorongan kepada anak mempercepat tercapainya kemampuan motorik. Perkembangan motorik yang abnormal dapat disebabkan karena kurangnya kesempatan untuk berlatih menggunakan anggota tubuhnya, adanya perlindungan yang berlebihan (Hurlock, 1999 dalam Teviana, 2012). Adapun pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa peraturan - peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Setiap orang tua mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung pada waktu anak bertingkah laku (Djiwardono, 2002 dalam Teviana, 2012 ).

Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik adalah : 1. Stimulasi

Pemberian stimulasi pada tiga tahun pertama kehidupan anak merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan anak karena tiga tahun pertama otak merupakan

(11)

organ yang sangat pesat pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Teviana (2012 ), stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan anak, karena anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah akan berkembang lebih cepat dan baik dibanding dengan anak yang kurang atau sama sekali tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai penguat yang brmanfaat bagi perkembangan anak, termasuk perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Peran orang tua mempengaruhi perkembangan motorik anak. Orang tua yang memberikan stimulasi dini maka kemampuan motorik anak berkembang dengan baik. Sedangkan orang tua yang sibuk bekerja mempunyai waktu yang sedikit untuk menstimulasi anak berkembang secara optimal.

Menurut Anwar (2002) dalam Teviana (2012) peran keluarga atau orang tua dalam mengasuh anak berpengaruh terhadap perkembangan anak seperti keluarga yang berantakan atau orang tua yang bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi terhambat. Orang tua disini adalah orang tua kandung maupun pengasuh pengganti orang tua, yakni orang - orang yang mendapat tugas untuk menggantikan orang tua kandung, dalam perannya mengasuh anak diwaktu mereka sedang sibuk.

2. Gizi

Tandyo, J (2002) dalam Listroyorini (2016) menyatakan bahwa gizi sangat penting untuk anak terutama pada usia 3 - 4 tahun. Pada masa ini pertumbuhan berlangsung sangat cepat sehingga memerlukan konsumsi protein dan zat pengatur seperti vitamin dan mineral. Perkembangan mental juga memerlukan lebih banyak protein, terutama untuk pertumbuhan sel otaknya. Pertumbuhan

(12)

sel otak sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf sempurna pada usia 4 - 5 tahun. Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa, kekurangan makanan yang bergizi akan menyababkan retardasi pertumbuhan anak.

2. Kecerdasan

Kecerdasan dimiliki anak sejak dilahirkan, anak yang kecerdasannya tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibanding anak yang kecerdasannya normal atau dibawah normal (Hurlock,1999 dalam Listroyorini, 2016).

2.2 Kemampuan Sosialisasi Anak Usia Prasekolah 2.2.1 Pengertiaan sosialisasi

Sosialisasi menurut Child ( dalam Sylva dan Lunt, 1998 dalam Teviana, 2012 ) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang dilahirkan dengan perilaku aktual yang jauh lebih sempit jangkauan – jangkauan mengenai yang biasa dan diterima menurut norma kelompoknya. Sosialisasi adalah “ proses yang digunakan anak untuk mempelajari standar, nilai, perilaku yang diharapkan kebudayaan, atau lingkungan masyarakat mereka” ( Musen dkk, 1994 ) dalam Chaplin ( 2002 ) dalam Teviana, 2012 mengemukakan bahwa sosialisasi adalah proses mempelajari kebiasaan, cara hidup adat istiadat masyarakat tertentu. Perkembangan sosialisasi anak dipengaruhi oleh keluarga, teman bermain dan sekolah. Lingkungan pertama serta utama yang dikenal sejak saat lahir yaitu keluarga. Ayah, ibu dan anggota

(13)

keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang berasal dari keluarga, besar perannya bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian individu. Kebiasaan yang ditanamkan keluarga baik itu positif maupun negatif secara tidak langsung akan terbentuk dalam kepribadian anak.

Kemampuan sosialisasi menjadi aspek penting dalam perkembangan anak, karena masa anak prasekolah merupakan masa peralihan dari lingkungan keluarga kedalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Didalam lingkungan sekolah anak tidak hanya memasuki dunia sosialisasi yang lebih luas melainkan anak juga menemukan suasana lingkungan yang berbeda, teman, guru, atau aturan – aturan yang berbeda dengan lingkungan keluarga ( Chaplin, 2002 dalam Teviana, 2012).

Dari defenisi – defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sosialisasi adalah proses dimana anak – anak belajar mengenai standar, nilai dan sikap yang diharapkan kebudayaan atau lingkungan masyarakat mereka.

2.2.2. Proses Sosialisasi

Proses sosial pada hakekatnya adalah proses belajar sosial mengenai tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakatnya. Proses sosialisasi berawal dari keluarga, memlalui keluargalah anak belajar beradaptasi di tengah kehidupan bermasyarakat ( Satiadarma, 2001 ). Hurlock ( 1997 )dalam Teviana (2012), proses sosialisasi diperoleh dari kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sosialisasi ini memerlukan beberapa proses, yaitu :

(14)

1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya untuk dapat diterima, dan harus mampu menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima pula.

2. Memaikan peran sosial yang dapat diterima

Setiap kelompok mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan para anggotanya dan dituntut untuk dipenuhi.

3. Perkembangan sikap sosial

Untuk bermasyarakat dan bergaul dengan baik diperlukan minat untuk melihat anak yang lain dan berusaha mengadakan kontak dengan mereka, mencoba untuk bergabung dan bekerjasama dengan mereka dalam bermain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi ialah proses belajar sosial untuk mempelajari tingkah laku yang diharapkan masyarakat.

2.2.3 Klasifikasi Macam-Macam Jenis Sosialisasi

Menurut George Herbert Mead (2009) dalam Amin ( 2017 ). Berdasarkan Jenis, sosialisasi dibagi menjadi dua kelompok :

a. Sosialisasi Primer

Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama kali dialami seorang individu sejak ia lahir. Sosialisasi primer biasanya berlangsung saat anak berusia 1 – 5 tahun. Keluarga merupakan media atau agen yang memiliki peran pokok dalam sosialisasi primer. Dalam jenis ini, seorang anak mulai mengenal anggota keluarga dan mampu membedakan perannya dengan orang lain dalam keluarga tersebut.

(15)

Menurut Horton Coley (2015) berpendapat bahwa kelompok primer memiliki ciri-ciri antara lain: setiap anggota kelompok primer memiliki keterikatan, sehingga mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, sosialisasi pada kelompok primer dilakukan dengan cara bertatap muka, anggota kelompok primer memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga terjadi sosialisasi yang intim dan kekeluargaan. Hommans (2015) berperdapat bahwa sosialisasi primer adalah sosialisasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berkomunikasi dengan intensitas yang tinggi dan langsung. Barger dan Luckman (2015) berpendapat bahwa sosialisasi primer merupakan sosialisasi yang pertama kali dijalankan oleh seseorang dimulai sejai ia kecil dengan mempelajari nilai-nilai serta kebiasaan yang ada di dalam keluarga secara bertahap. Sosialisasi primer berlangsung saat anak berumur 0-5 tahun, yaitu ketika anak belum memasuki dunia sekolah, sehingga anak hanya mengenal anggota keluarga dan orang terdekatnya saja. Pada sosialisasi primer anak mulai belajar membedakan dirinya dengan anggota keluarga lain dan menempatkan dirinya menjadi bagian anggtota keluarga tersebut. Pada tahap ini keberadaan serta partisipasi anggota keluarga lainya serta orang terdekatnya memiliki peranan yang penting sekali, sehingga dapat membantu perkembangan dan pembentukan kepribadian anak. b. Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi Sekunder merupakan proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer. Dalam sosialisasi sekunder, seseorang mulai mengenal kelompok atau individu lain selain keluarga dalam masyarakat. Terdapat dua bentuk umum saat seseorang mulai memasuki masa sosialisasi sekunder yaitu Resosialisasi (pemberian identitas baru) dan Desosialisasi (Pencabutan identitas diri yang lama).

(16)

Horton Cooley (2015) berpendapat bahwa kelompok sekunder memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Melibatkan orang banyak, tidak memiliki hubungan yang erat, dapat di lakukan dengan orang asing, serta sosialisasi sekunder memiliki sifat yang hanya sementara.

Yang membedakan kelompok sosialisasi sekunder kedalam beberapa karakteristik :

a. Sosialisasi kekunder memiliki komunikasi yang sangat luas dan tak terbatas. Komunikasi yang dilakukan bersifat dangkal, artinya hanya menampilkan kepribadian luar yang memiliki oleh seseorang,berbeda dengan sosialisasi primer yang memiliki sifat komunikasi yang dalam , artinya komunukasi ini bersifat intim dan dapat melibatkan kepribadian seseorang yang sebenarnya.

b. Kelompok sekunder menekankan komunikasi yang berkualitas pada aspek isi komunikasi sedangkan kelompok primer menekan pada komunikasi yang berkualitas pada aspek hubungan artinya, komunikasi dilakukan hanya untuk mempererat hubungan.

c. Sosialisasi sekunder pada umumnya merupakan komunikasi yang dilakukan secara formal, berbeda dengan sosialisasi primer, yang bersifat informal.

d. Sosialisasi sekunder memiliki sifat nonpersonal, sedangkan komunikasi pada sosialisasi primer bersifat personal.

(17)

e. Komunikasi pada sosialisasi sekunder cenderung instrumental dan logis lain halnya dengan komunikasi pada sosialisasi primer, komunikasinya cenderung ekspresif.

2.2.4. Dampak- dampak sosialisasi

Dampak positif Menjadi agen sosialisai paling berpengaruh dalam menentukan kepribadian seorang individu. Dampak negatif Sosialisasi keluarga akan membawa pengaruh terburuk ketika dalam kekuarga tersebut terjadi konflik. Sehingga menimbulkan trauma dan depresi pada anak, yang bekelanjutan dengan dengan perilaku menyimpang dari anak broken home tersebut. Sosialisai kelompok bermain Dampak positif :

a. Adanya rasa aman dan dianggap penting b. Tumbuhnya rasa kemandirian dalam diri anak

c. Anak mendapat tempat penyaluran berbagai perasaannya, seperti rasa senang dan sedih.

d. Dapat mengembangkan berbagai keterampilan sosial yang dimiliki. e. Memiliki banyak teman dan mendapat banyak pengetahuan.

f. Dapat terhindar dari lingkungan pergaulan yang negatif g. Ilmunya bermanfaat dan memiliki masa depan yang cerah h. Mampu bersosialisasi dengan baik

i. Belajar untuk membentuk organisasi yang baik j. Terbentuknya sifat disiplin dalam penggunaan waktu

(18)

Dampak negatif :

a. Penyalahgunaan narkoba b. Pelacuran

c. Sosialisasi tidak sempurna 2.2.5. Tahap – Tahap Sosialisasi

Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar bersosialisasi. “ Melalui keluargalah anak belajar merespon terhadap masayarakat dan beradaptasi di tengah kehidupan masyarakatnya yang lebih luas nantinya. Melalui proses sosialisasi didalam keluarga, seorang anak secara bertahap belajar menegmbangkan kemampuan nalar serta iamajinasinya “ ( Satiadarma, 2011 ). Perhatian terhadap hal – hal disekelilingnya banyak dipengaruhi oleh nilai – nilai yang mereka anut, keluargalah yang menanamkan nilai – nilai tersebut.

Setelah anak belajar bersosialisasi dalam keluarga, kemudian anak akan belajar bersosialisasi di luar rumah yang diperoleh dari teman sebaya, sekolah, guru, dan lingkungan di luar yang lebih luas ( Mussen dkk, 1994 dalam Listroyorini, 2016). Yusuf ( 2008 ) mengemukakan bahwa tahap perkembangan sosial pada usia prasekolah yaitu, anak mulai mengetahui aturan – aturan baik didalam lingkungan keluarga maupun didalam lingkungan bermain, sedikit demi sedikit anak mulai tunduk pada aturan, anak mulai menyadari hak dan kewajiban orang lain, anak mulai bermain bersama dengan anak – anak yang lain atau teman sebayanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap – tahap sosialisasi berawal dari lingkungan didalam keluarga dan selanjutnya anak akan belajar bersosialisasi di luar lingkungan keluarga seperti sekolah maupun masyarakat

(19)

2.2.6. Faktor – Faktor 2 Yang Mempengaruhi Sosialisasi

Hurlock ( 1997 ) dalam Listroyorini (2016) mengemukakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi sosialisasi terutama anak yakni sikap anak – anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial serta seberapa baik meraka dapat bergaul dengan orang lain. Anak – anak akan tergantung pada pengalaman belajar selama bertahun – tahun awal kehidupan yang merupakan masa pembentukan kepribadian, tetapi kelompok sosial juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial pada anak. Namun pada akhirnya, kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat, tergantung pada 4 faktor menurut Sujiono ( 2005 ) dalam Satiadarma (2011) yaitu : kesempatan yang penuh untuk belajar bersosialisasi / bermasyarakat, mampu berkomunikasi pembicaraan yang bersifat sosial merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, anak hanya akan belajar bersosialisasi apabila mereka memiliki motivasi untuk melakukannya, metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Empat faktor akan menjadi daya dorong tersendiri bagi anak untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi sosialisasi pada anak adalah adanya sikap anak – anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial yang seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain.

(20)

2.2.7 Anak Prasekolah

Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah. Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun ( Riyanto dkk, 2004 dalam Suharsono, 2009). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam potensi. Potensi – potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal, anak dapat berkembang kepribadiaanya lewat sosialisasi di sekolah. Taman Kanak – Kanak ( TK ) adalah salah bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 – 6 tahun atau memasuki pendidikan dasar. Hal ini sesuai dengan Undang – Undang nomer 20 Tahun 2003 tentang pendidikan prasekolah. Patmonodewi dalam Listiyorini, 2016 ) mengemukakan bahwa program prasekolah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa kelompok, diantaranya program tempat penitipan anak ( 3 bulan – 5 tahun ), kelompok bermain ( 3 tahun ), sedangkan pada usia 4 – 6 tahun biasanya mengikuti program Taman Kanak – Kanak ( TK ). Usia prasekolah diantara usia 4 – 6 tahun bertujuan untuk meletakkan arah dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

Langeveld dalam Riyanto ( 2014 ) mengemukakan tentang kemampuan – kemampuan yang harusnya dicapai anak prasekolah antara lain, berbahasa lisan dan bercerita, mengenal pola kehidupan sosial , ( aku, keluarga, dan sekolah ), mengerti dan menguasai keterampilan untuk kehidupan sehari – hari, mulai mengkhayal, dan belum dapat membedakan antara kenyataan dan imajinasi belaka. Anak Taman Kanak – Kanak termasuk dalam kelompok umur prasekolah. Pada umur 2 - 4 tahun,

(21)

anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan dan mencipta sesuatu. Masa ini mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial ( sosialisasi ) anak usia prasekolah :

1. Kondisi kesehatan anak

Kesehatan anak memepengaruhi kemampuan anak mengenal lingkungan di luar lingkungan keluarga. Anak dengan kondisi sehat akan cepat bisa menyesuaikan dengan lingkungan di luar lingkungan keluarga ( Effendy, 1998 dalam Riyanto, 2014 ).

2. Umur anak

Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki, serta bertambah kemampuan menyesuiakan diri dengan lingkunagan di luar lingkungan keluarga ( Notoadmojo, 2009 ).

3. Memiliki motivasi untuk sosialisasi

Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka karena mendapat pengalaman baru ketika bergabung dengan kelompok dibandingkan jika mereka bermain sendiri ( Sujiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).

4. Adanya kesempatan untuk bersosialisasi

Sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan anak untuk bergabung dengan teman seusianya ( Suiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).

(22)

Riyanto ( 2014 ) mengemukakan ciri – ciri anak prasekolah atau TK diantaranya : a. Ciri – ciri fisik

Anak prasekolah mempergunakan keterampilan gerak dasar ( berlari, berjalan, memanjat, melompat ) sebagai bagian dari permainan mereka. Mereka aktif, tetapi lebih bertujuan dan tidak terlalu mementingkan bisa beraktivitas sendiri. b. Ciri sosial

Pada umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi dua sahabat ini cepat berganti. Perasaan simpati dan empati pada teman juga berkembang, mampu berbagi dengan inisiatif mereka sendiri, anak menjadi sosialis.

c. Ciri emosional

Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas. Sikap marah sering diperlihatkan dan iri hati pada anak prasekolah sering terjadi. Mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.

d. Ciri kognitif

Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa, sebagian besar mereka senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar yang baik. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi minat, kesempatan mengagumi dan kasih sayang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia prasekolah adalah anak – anak yang berusia antara 3 – 6 tahun serta pada masa prasekolah anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain.

(23)

2.2.8. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan ( Listiyorini, 2016 ).

1. Umur 3 tahun

Anak bisa berpakaian sendiri hampir lengkap bila dibantu dengan kancing belakang dan mencocokkan sepatu kanan dan kiri. Mereka mengalami peningkatan rentang perhatian dapat menyiapkan makan sederhana, seperti sereal dan susu dingin, dapat membantu mengatur meja, dapat mengeringkan piring tanpa pecah. Dapat mengetahui jenis kelamin sendiri dan jenis kelamin orang lain. 2. Umur 4 tahun

Anak sangat mandiri cenderung untuk keras kepala dan tidak sabar. Mereka cenderung agresif secara fisik serta verbal, mendapat kebanggaan dalam pencapaian. Mereka mengalami perpindahan alam perasaan, memamerkan secara dramatis, menikmati pertunjukkan orang lain. Anak menceritakan cerita keluarga kapada orang lain.

3. Anak umur 5 tahun

Anak kurang memberontak dibandingkan dengan sewaktu berusia 4 tahun, lebih tenang dan berhasrat untuk menyelesaikan urusan.Mereka tidak seterbuka dan terjangkau dalam hal pikiran dan perilaku seperti pada tahun - tahun sebelumnya, dapat lebih bertanggung jawab dan mandiri.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa adsorpsi optimum adsorben dami nangka tanpa aktivasi (A) dan teraktivasi NaOH (B) pada pH 4 dengan waktu

Terapi pneumonia di rawat inap biasanya dimulai dengan memberikan antibiotik intravena empiris, namun rute pemberian antibiotik bisa dirubah selama perawatan dari

Himpunan semua polinom atas aljabar max- plus yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan polinomial merupakan semi grup komutatif dengan elemen netral, sedangkan dengan operasi

Pada soal nomor 4, siswa diminta untuk menentukan anggota dari ruang sampel dan titik sampel pada pengambilan 2 kupon dengan kupon tidak dikembalikan, pada soal nomor 3 ini siswa

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McCullough, dkk (1998), Hall, dkk (2006), Allemand, dkk (2007), Gunderson, dkk (2008), dan Sari, (2012)

Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), dalam hal ini pimpinan BNKP periode 2007-2012 dan 2012-2017, atas rekomendasi yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi di