• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DEKONTAMINASI BAKTERI ESCHERICHIA COLI DAN

STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA SARANG BURUNG

WALET DENGAN PERLAKUAN PEMANASAN

SAIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SAIMAH. Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan HADRI LATIF.

Sarang burung walet adalah produk asal hewan yang mempunyai nilai eksport yang tinggi, berkhasiat untuk pengobatan dan merupakan komoditas unggulan yang di ekspor ke Cina. Hasil uji proksimat membuktikan bahwa sarang burung walet mengandung zat-zat makanan berkualitas tinggi. Sarang burung walet mengandung protein tinggi, lemak rendah, mineral, dan asam lemak omega-6 yang tinggi.

Sarang burung walet merupakan produk pangan asal hewan yang mempunyai resiko terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Karantina hewan dalam menjamin kesehatan produk hewan sarang burung walet tertuang dalam pedoman persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap pengeluaran sarang burung walet dari wilayah Negara Republik Indonesia ke Republik Rakyat Cina. Salah satu persyaratannya adalah pemanasan sarang burung walet dengan alat pemanas pada suhu 70 °C selama 3.5 detik untuk membunuh virus Avian influenza (H5N1). Pengaruh metode pemanasan tersebut terhadap kualitas mikrobiologis sarang burung walet belum diteliti, sehingga diperlukan pengujian mengenai pengaruh pemanasan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perlakuan pemanasan terhadap dekontaminasi bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada sarang burung walet. Manfaat yang diharapkan yaitu dapat mengetahui pengaruh pemanasan terhadap kualitas mikrobiologis pada sarang burung walet dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terhadap kegiatan lalu lintas sarang burung walet.

Penelitian ini menggunakan metode pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik. Jumlah sampel yang digunakan 40 sarang burung walet yang sudah bersih. Sampel dibagi menjadi dua kelompok pengujian. Pengujian dilakukan dengan cara sarang burung walet dikontaminasi dengan bakteri uji E. coli dan S. aureus. Masing-masing kelompok dibagi menjadi dua perlakuan, perlakuan pertama langsung dilakukan pemeriksaan mikrobiologik dan perlakuan kedua dipanaskan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik, dilanjutkan dengan pemeriksaan mikrobiologik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh bakteri E. coli dan S. aureus mati setelah perlakuan pemanasan dan terjadi penurunan jumlah total bakteri (Total Plate Count/TPC) rata-rata sebesar 3.90 log cfu/g. Pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik terhadap sarang burung walet efektif untuk dekontaminasi E. coli dan S. aureus.

(5)

SUMMARY

SAIMAH. Decontamination of Escherichia coli and Staphylococcus aureus in Edible Bird´s Nest with Heat Treatment. Supervised by MIRNAWATI B. SUDARWANTO and HADRI LATIF.

Edible bird´s nest is a kind of food from animal with high export commodities, medical value, and leading commodities exports to China. Proximate analysis research showed that edible bird´s nest contain of high protein and low fat, high minerals and high levels of Omega-6 fatty acids.

This commodities are known having a potential microbial contamination that is harmful for human health. To ensure the health of edible bird’s nest, Animal Quarantin has release the requirements guidelines and the animal quarantine proceeding to export edible bird’s nest to the Republic of China. One of the requirements is heating of edible bird’s nest at 70 °C for 3.5 seconds to kill the avian influenza virus (H5N1). The influence of this method on the microbiological quality of edible bird’s nest has not been studied, therefore this research need to be done.

This research aimed to examine the heating effect on Escherichia coli and Staphylococcus aureus decontamination in edible bird´s nest. The expected benefits were to observe the heating effect on edible bird’s nest microbiological quality and as material consideration in determining the policy of the traffic activities of edible bird’s nest.

The study used the heating method at 70 °C for 3.5 seconds. This study used 40 clean edible bird´s nest samples. Sampel were divided into two groups. Each group was contaminated with E. coli and S. aureus and divided into two treatments. The first treatment was directly for microbiological examination and the second one for heating at 70 °C for 3.5 seconds, than followed by microbiological examination.

The results showed that both of bacteria E. coli and S. aureus had been killed by heating treatment and decreased total bacteria number (total plate count/ TPC) in average of 3.90 log cfu/g. Heating process at 70 °C for 3.5 seconds was effective for decontamination of bacteria E. coli and S. aureus.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

DEKONTAMINASI BAKTERI ESCHERICHIA COLI DAN

STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA SARANG BURUNG

WALET DENGAN PERLAKUAN PEMANASAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan

Nama : Saimah NIM : B251130134

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr med vet drh Hj Mirnawati B. Sudarwanto Ketua

Dr med vet drh Hadri Latif, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Dekontaminasi Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada Sarang Burung Walet dengan Perlakuan Pemanasan” berhasil diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di program studi Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada:

1. Ibu Prof Dr med vet drh Hj Mirnawati B. Sudarwanto dan Dr med vet drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan disiplin dalam memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dorongan semangat serta rela mengorbankan waktunya bagi penulis sampai selesainya tesis ini. 2. Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi, selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner dan penguji luar komisi yang telah meluangkan waktunya untuk menelaah tesis ini, memberikan bimbingan, dan dorongan semangat penulis.

3. Seluruh staf pengajar Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing dan memberikan semangat penulis

4. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (Pak Hendra, Pak Muadzin, Bu Yayah) yang telah menyediakan waktu dan semua media yang diperlukan sampai selesainya tesis ini.

5. Badan Karantina Pertanian atas bantuan dananya kepada penulis.

6. Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Palangkaraya (Ir Eka Darnida Yanto, MSi) yang memberikan ijin dalam tugas belajar dan senantiasa memberikan semangat penulis.

7. Seluruh staf Balai Karantina Pertanian Kelas II Palangkaraya dan rekan kerja semua yang memberikan semangat penulis.

8. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Parto Utomo, Ibu Kamisih, Kakak dan adik-adiku tercinta yang tak henti memberikan dukungan dan doanya. 9. Mahasiswa KMV angkatan 2013 (Mbak Citra, Mbak Ambar, Mbak Winda,

Mbak Anind, Mbak Tinoy, Mbak Isti, Mbak Intar, Mbak Yasmine, Mas Heru, Mas Anes, Mas Zul, Mas Syahdu, Mas Mitro, Mas Rifky, Mas Santo, Mas Hanif, Mas Adit, Mas Leo, Mas Kamil) dan drh Novi serta drh Ika yang selalu siap membantu.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai keterbatasan. Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan, dan semoga tesis ini dapat berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Februari 2015

(11)

DAFTAR ISI

Proses Produksi Sarang Burung Walet 3

Kontaminasi Bakteri pada Sarang Burung Walet 4

Pemanasan 5

Escherichia coli 6

Staphylococcus aureus 6

3 METODE PENELITIAN 7

Kerangka Konsep Penelitian 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 8

Metode 8

Besaran dan Kriteria Sampel 8

Persiapan dan Pengujian Awal Sampel 8

Kontaminasi Bakteri dan Perlakuan Pemanasan 8

Pengujian Mikrobiologis 9

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah Total Bakteri (TPC) pada

Sarang Burung Walet 10

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah E. coli pada Sarang Burung

Walet 13

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah S. aureus pada Sarang Burung

(12)

DAFTAR TABEL

1 Ambang batas maksimal cemaran biologi, kimia dan fisik sarang

burung walet 5

2 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli (log cfu/g) 11 3 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung

walet yang dikontaminasi S. aureus (log cfu/g) 12

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka kosep penelitian 7

2 Jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan 80 °C selama 15

detik pada sarang burung walet kontrol 11

3 Jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli 12 4 Jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5

detik pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus 13 5 Jumlah E. coli sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5 detik

pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli 14 6 Jumlah S. aureus sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5

detik pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisia statistik jumlah total bakteri sebelum dan sesudah

pemanasan 19

2 Hasil penghitungan bakteri E. coli dan S. aureus 20

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sarang burung walet merupakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi (Nugroho dan Budiman 2009). Kebutuhan akan sarang burung walet di pasar internasional sangat besar dan merupakan salah satu komoditas unggulan yang di ekspor ke Cina. Permintaan yang tinggi terhadap sarang burung walet di pasar internasional disebabkan oleh keyakinan khasiat yang terkandung di dalamnya. Masyarakat Cina pada umumnya mempercayai bahwa sarang burung walet mempunyai khasiat untuk pengobatan (Jong et al. 2013). Sarang burung walet dikonsumsi sebagai makanan kesehatan (Marcone 2005). Sarang burung walet dipercaya oleh sebagian orang dapat menjaga kesegaran tubuh, menyembuhkan penyakit pernafasan, meningkatkan vitalitas, obat awet muda, dan memelihara kecantikan, menghambat pertumbuhan kanker (Mardiastuti et al. 1998). Sarang burung walet dipercaya dapat melarutkan dahak, membantu fungsi ginjal, meningkatkan libido, mengurangi asma, menyembuhkan tuberkulosis, mempercepat pemulihan penyakit dan operasi, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan energi dan metabolisme serta meningkatkan konsentrasi (Hobbs, 2004), menghambat infeksi influenza (Guo et al. 2006; Yagi et al. 2008) dan mencegah tulang keropos (Matsukawa et al. 2011). Hasil uji proksimat membuktikan bahwa sarang burung walet mengandung zat-zat makanan berkualitas tinggi. Sarang burung walet mengandung protein tinggi, lemak rendah, mineral, dan asam lemak omega-6 tinggi untuk kesehatan tubuh (Huda et al. 2008).

Pada era perdagangan bebas, tantangan bagi Indonesia adalah kemampuan menghasilkan produk pangan yang berkualitas baik dan aman bagi kesehatan konsumen, antara lain terhadap cemaran mikroba, residu obat, residu hormon, maupun residu logam berat. Cemaran mikroba pada pangan asal hewan yang dapat membahayakan kesehatan manusia antara lain Escherichia coli, Enterococcus, Staphylcoccus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., dan Listeria sp. (Syukur 2006).

Karantina hewan sebagai salah satu institusi yang menjadi bagian dari sistem kesehatan hewan nasional, mempunyai kewajiban dalam mendukung akselerasi ekspor sarang burung walet ke berbagai negara mitra dagang. Dukungan tersebut dilakukan dengan cara menjamin kesehatan produk hewan sarang burung walet yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia bebas dari hama penyakit hewan karantina (HPHK), bebas dari kontaminasi lainnya sebagai bahan makanan yang aman dikonsumsi untuk manusia (Barantan 2013).

(14)

2

dipersyaratkan dalam keputusan tersebut adalah pemanasan sarang burung walet dengan alat pemanas pada suhu internal 70 °C selama 3.5 detik untuk membunuh virus Avian influenza (H5N1) (Barantan 2013). Pengaruh metode pemanasan tersebut terhadap kualitas mikrobiologis sarang burung walet belum diteliti, sehingga diperlukan pengujian mengenai pengaruh pemanasan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan pangan yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Pengujian mikrobiologi pada bahan pangan, baik pada bahan baku, selama proses, dan produk akhir dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu bahan pangan (Soejoedono 2004).

Perumusan Masalah

Pada era perdagangan bebas, Indonesia dituntut untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas baik dan aman bagi kesehatan konsumen. Sarang burung walet merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai ekspor tinggi. Bahan pangan ini dapat menjadi sumber penyakit apabila terkontaminasi oleh mikroba patogen. Kontaminasi mikroba pada sarang burung walet dapat terjadi pada saat sarang tersebut masih di habitatnya, dipanen, dibersihkan, dicuci, dan dikemas. Berdasarkan latar belakang dan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan pengujian terhadap perlakuan pemanasan sarang burung walet ini, apakah dengan perlakuan pemanasan mampu untuk dekontaminasi bakteri E. coli dan S. aureus, sehingga aman dan layak untuk dikonsumsi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perlakuan pemanasan pada suhu internal 70 °C selama 3.5 detik terhadap dekontaminasi bakteri E. coli dan S. aureus pada sarang burung walet.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh pemanasan terhadap kualitas mikrobiologis sarang burung walet dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terhadap kegiatan lalu lintas sarang burung walet.

Hipotesis

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sarang Burung Walet

Sarang burung walet dibangun dari saliva burung walet yang kemudian mengeras. Bila direndam dalam air akan berubah bentuknya, menjadi bubur atau jelly (Winarno dan Koswara 2002). Sarang tersebut pada umumnya berwarna kecoklatan atau putih kotor, bagian luar padat dan keras, serta bagian dalam memiliki tekstur yang porous. Sarang ini rapuh, mudah patah dan sebagian besar seperti lem perekat. Ujung-ujung sarang dan bagian sarang yang menempel pada dinding (kaki sarang) memiliki tekstur yang lebih keras dan kurang kenyal seperti pada bagian lainnya. Sarang tersebut memiliki bau amis yang khas (Mardiastuti et al. 1998). Menurut Chantler dan Driessens (1995) taksonomi burung walet dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan yang lezat dan obat. Komposisi sarang burung walet dari dua tipe yaitu sarang burung walet putih dan merah (blood nest) dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut lemak (0.14-1.28%), abu (2.1%), karbohidrat (25.62-27.26%) dan protein (62-63%) (Marcone 2005). Sarang burung walet dibentuk sekitar 35 hari dengan berat 7-20 g. Bahan sarang seluruhnya dari bahan gelatin yang ditemukan pada air liur yang disekresikan oleh glandula saliva sublingual walet (Goh et al. 2001).

Proses Produksi Sarang Burung Walet

Menurut Jong et al. (2013) secara umum produksi sarang burung walet dapat dibagi menjadi lima sub proses diantaranya adalah tempat budidaya/rumah walet, pemanenan, pembersihan sarang burung walet, proses pengeringan, pembentukan kembali sarang burung walet, penyimpanan, dan pengepakan.

(16)

4

dijaga kondisinya seperti kualitas udara, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban yang menarik burung walet untuk bermigrasi masuk kedalam rumah walet (Jong et al. 2013).

Pemanenan adalah proses mengumpulkan sarang burung walet dari rumah walet. Memanen sarang burung walet harus memperhatikan waktu dan cara memanen yang tepat agar walet tidak stres. Cara memanen sarang burung walet antara lain panen tetasan, panen rampasan, panen buang telur, dan panen pilihan (Nugroho dan Budiman 2011). Pemeriksaan sarang burung walet, untuk memastikan bahwa tidak ada telur atau anak walet dalam sarang. Pisau yang tajam sangat diperlukan dalam proses panen ini, sehingga memudahkan mengambil sarang burung walet yang akan dipanen (Jong et al. 2013). Pada beberapa tempat memanen sarang burung walet dilakukan dengan menggunakan tangan (Ma dan Liu 2012).

Pembersihan sarang burung walet harus dilakukan sebelum dikonsumsi. Proses pembersihan sarang burung walet yaitu dicuci menggunakan sikat, dilunakkan dengan direndam ke dalam air, setelah lunak kemudian bulu-bulu walet dihilangkan dengan cara menjepit menggunakan pinset secara manual, sprayer digunakan untuk mempercepat proses pembersihan. Proses pembersihan dilakukan berulang sampai sarang burung walet bersih (Jong et al. 2013).

Proses pengeringan dan pembentukan kembali sarang burung walet merupakan proses yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Sarang burung walet (basah dan lembut) dikeringkan untuk dilakukan proses pembentukkan kembali. Proses selanjutnya adalah sarang burung walet dikemas dan ditimbang sesuai dengan pesanan dan disimpan dalam suhu ruangan. Sarang burung walet kering dan rapuh sehingga dalam proses pengiriman menggunakan spons atau bubble wrap (Jong et al. 2013).

Kontaminasi Bakteri pada Sarang Burung Walet

Kontaminasi mikroba pada sarang burung walet dapat terjadi pada saat sarang masih berada dihabitatnya, pada saat dipanen, dibersihkan, dicuci, ditimbang, dikemas, dipasarkan dan sampai sarang burung walet siap untuk diekspor. Hasil pengujian bakteri pada sarang burung walet yang siap diekspor melalui karantina hewan Juanda menunjukkan adanya kontaminasi bakteri. Hasil identifikasi bakteri menggunakan manitol salt agar medium (MSA) menunjukkan bahwa semua sampel yang diuji positif bakteri S. aureus. Seluruh sampel menunjukkan hasil negatif terhadap Salmonella sp., identifikasi menggunakan Bishmut sulfite agar (BSA). E. coli hanya ditemukan pada sampel WL-5, identifikasi menggunakan Levine eosin methylene blue agar medium (LEMBA) (Oktarina 2004).

(17)

5 Tabel 1 Ambang batas maksimal cemaran biologi, kimia, dan fisik sarang burung

walet

No Jenis Pengujian Metode Batas

Maksimal

Salmonella sp. Kultur Negatif/25 g

Avian influenza (AI) RT-PCR Negatif

Listeria sp. Kultur Negatif/25 g

Total yeast and mold Plate count method 1 × 101 cfu/g

Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan bahan makanan yang dilakukan dalam rangka pengendalian mikroorganisme. Dibandingkan dengan mahluk tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat lebar. Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan berhenti, sedangkan pada suhu tinggi mikroorganisme ini akan mati (Yudhabuntara 2003). Sesuai pernyataan Ray dan Bhunia (2008), sel mikroba akan mati cepat pada suhu yang lebih tinggi dan relatif lambat pada suhu yang lebih rendah. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme merupakan pertimbangan penting dalam mengurangi pembusukan makanan dan meningkatkan keamanan terhadap mikroorganisme patogen dalam pengolahan makanan. Efektifitas pemanasan untuk membunuh mikroba dan spora tergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain berkaitan dengan karakteristik bahan pangan dan karakteristik mikroorganisme serta proses pengolahan.

Karakteristik bahan pangan yang mempengaruhi ketahanan panas mikroorganisme antara lain, nutrisi (karbohidrat, protein, lemak, dan zat terlarut), aw, pH, dan zat antimikroba (alami atau ditambahkan). Mikroorganisme dalam makanan cair lebih sensitif terhadap panas dibandingkan dengan mikroorganisme dalam makanan padat. Mikroorganisme lebih sensitif terhadap panas dalam makanan yang memiliki aw tinggi dan pH rendah (Ray dan Bhunia 2008).

(18)

6

pendahuluan mempengaruhi sensitifitas panas mikroba. Sel yang mendapat paparan panas pendahuluan pada suhu rendah menjadikan sel lebih tahan panas pada pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi. Sebagai contoh, pemanasan 45-50 °C selama waktu yang singkat dimana volume makanan sangat banyak dapat menginduksi sintesis heat shock protein. Keberadaan protein ini mengakibatkan sel mikroba dapat berkembang menjadi lebih resisten terhadap pemanasan selanjutnya pada suhu yang lebih tinggi. Jumlah mikroorganisme yang besar membutuhkan pemanasan lebih lama untuk menghancurkannya. Mekanisme perlindungan panas pada populasi mikroorganisme yang besar disebabkan adanya produksi zat pelindung yang diekskresikan oleh sel (Jay 2000).

Proses pengolahan makanan merupakan faktor dalam membunuh mikroorganisme. Penghancuran mikroorganisme dalam makanan menggunakan panas dilakukan dengan pemaparan panas pada suhu dan jangka waktu tertentu (Ray dan Bhunia 2008).

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, bersifat anaerob fakultatif. E. coli tumbuh pada suhu antara 10-50 °C, dengan suhu pertumbuhan optimum pada 30-37 °C. Beberapa strain dapat tumbuh di bawah 10 °C. Pertumbuhan yang cepat terjadi pada kondisi optimum. Bakteri ini tumbuh pada pH (di bawah 5.0) dan aw (di bawah 0.93) serta sensitif terhadap perlakuan suhu pasteurisasi (Ray dan Bhunia 2008).

Escherichia coli termasuk kelompok koliform dan fekal koliform. E. coli digunakan sebagai bakteri indikator kontaminasi fekal dan secara normal terdapat pada saluran pencernaan manusia, hewan dan burung dalam jumlah yang banyak. Kontaminasi makanan oleh bakteri E. coli dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kontaminasi secara langsung terjadi selama proses pengolahan makanan dan higiene personal. Kontaminasi secara tidak langsung terjadi karena limbah dan air yang tercemar. Beberapa strain E. coli bersifat patogen (Ray dan Bhunia 2008). Menurut Brooks et al. (2005), beberapa galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohaemorrhagi E. coli (EHEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan enteroaggregative E. coli (EAEC).

Staphylococcus aureus

(19)

7 dan hewan (Minor et al. 1976). Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan, sehingga, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66 °C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100 °C selama 30 menit (Gaman dan Sherington 1992).

Staphylococcus aureus hidup di kulit dan ditemukan di hidung pada 10-40% manusia dewasa dan membran mukosa dari hewan berdarah panas (Meggitt 2003). Manusia adalah salah satu sumber utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah (Soriano et al. 2002). S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun. Bakteri ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah itu dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh dalam jumlah yang sedikit. S. aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi. Bakteri ini memiliki sifat katalase positif dan mampu memecah sebagian besar karbohidrat (Harvey dan Gilmour 2000).

3

METODE PENELITIAN

Kerangka Konsep Penelitian

Berikut kerangka konsep penelitian tentang teknik pemanasan untuk dekontaminasi bakteri E. coli dan S. aureus pada sarang burung walet.

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

Waktu dan Tempat

(20)

8

Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan berupa caso bouillon/tryptic soy broth (Merck 1.05458.0500), buffered peptone water (BPW) 0.1% (Oxoid CM 1049), plate count agar (PCA) (Oxoid CM 0463), vogel johnson agar (VJA) (Oxoid CM 0641), violet red bile agar (VRB) (Oxoid CM 0107), nutrient agar (NA) (Oxoid CM 0003), aquabides steril. Isolat bakteri E. coli ATCC 25922 dan S. aureus ATCC 25923 koleksi Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH-IPB Bogor.

Alat yang digunakan yaitu cawan petri, tabung reaksi, ose, botol gelas, Erlenmeyer, porselen, bunsen, pipet, stomacher, timbangan, gunting, pinset, pengocok tabung (vortex), mikroskop, autoklaf, inkubator, pemanas air, panci steamer, thermocouple type K, dan alat gelas lainnya.

Metode

Besaran dan Kriteria Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarang burung walet yang sudah melalui proses pencucian. Besaran sampel sebanyak 40 sampel, memiliki kriteria warna dan berat yang relatif seragam yaitu ± 6-7 g per sarang. Persiapan dan Pengujian Awal Sampel

Sampel dipanaskan pada suhu 80 °C selama 15 detik dengan tujuan untuk membunuh bakteri yang ada pada sarang burung walet. Kontrol hasil pemanasan dilakukan pengujian dengan ditumbuhkan pada media PCA.

Kontaminasi Bakteri dan Perlakuan Pemanasan

Bakteri uji yang digunakan sebagai bakteri pencemar pada penelitian ini adalah E. coli ATCC 25922 dan S. aureus ATCC 25923. Larutan stok dibuat mendapatkan pengenceran 10-1, dilanjutkan hingga pengenceran sampai 10-8. Setiap 1 ml pengenceran ditanam dalam media PCA kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Berdasarkan penghitungan jumlah bakteri dalam PCA maka dapat diketahui pengenceran yang akan diinokulasikan.

(21)

9 dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan, yaitu dengan cara menentukan titik suhu terendah baik dari alat maupun sampel. Titik suhu terendah tersebut dijadikan standar dalam proses pemanasan. Penghitungan dilakukan setelah suhu internal mencapai angka 70 °C.

Pengujian Mikrobiologis

a. Pengujian Jumlah Total Mikroba (TPC)

Metode yang digunakan untuk pengujian jumlah total bakteri yaitu metode tuang (pour plate method). Sarang burung walet yang belum dan yang telah dipanaskan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik ditimbang sebanyak 3 g, ditambahkan 27 ml larutan BPW 0.1%, dimasukkan dalam kantong plastik steril dan di stomacher selama 2 menit. Sebanyak 1 ml suspensi dipindahkan dengan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW 0.1% untuk mendapatkan pengenceran 10-2, kemudian dibuat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, 10-6. Sebanyak 1 ml suspensi diambil dengan pipet steril dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 pada sarang burung walet sebelum pemanasan dan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3 pada sarang burung walet sesudah pemanasan, selanjutnya dimasukkan dalam cawan petri steril dan ditambahkan media agar PCA, dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Biakan dalam media diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan menunjukkan jumlah mikroba yang ada pada sarang burung walet.

b. Pengujian E. coli telah dipanaskan) untuk mendapatkan pengenceran 10-2, kemudian dibuat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, 10-6. Sebanyak 1 ml suspensi diambil dengan pipet steril dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 pada sarang burung walet sebelum pemanasan dan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3 pada sarang burung walet sesudah pemanasan, selanjutnya dimasukkan dalam cawan petri steril dan ditambahkan media agar VRB, dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Biakan dalam media, diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan menunjukkan jumlah mikroba yang ada pada sarang burung walet tersebut.

(22)

10

dengan S. aureus baik yang tidak maupun yang telah dipanaskan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik ditimbang sebanyak 3 gram, ditambahkan 27 ml larutan BPW 0.1%, dimasukkan dalam kantong plastik steril dan di stomacher selama 2 menit. Sebanyak 1 ml suspensi dipindahkan dengan pipet steril ke dalam 9 ml larutan BPW 0.1% dan media TSB (sarang burung walet yang telah dipanaskan) untuk mendapatkan pengenceran 10-2, kemudian dibuat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, 10-6. Sebanyak 1 ml suspensi diambil dengan pipet steril dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 pada sarang burung walet sebelum pemanasan dan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3 pada sarang burung walet sesudah pemanasan, kemudian dimasukkan dalam cawan petri steril dan ditambahkan media agar VJA, dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Biakan dalam media, diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan menunjukkan jumlah mikroba yang ada pada sarang burung walet tersebut.

Koloni S. aureus pada VJA mempunyai ciri bundar, licin/halus, cembung diameter 2-3 mm, warna abu-abu sampai kehitaman, tepi koloni putih dan dikelilingi daerah yang terang.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan hasil uji dalam bentuk tabel dan gambar. Kualitas mikrobiologi sarang burung walet sebelum dan sesudah pemanasan di analisa dengan paired t test (Dahlan 2011).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan mikroba menentukan kualitas mikrobiologis sarang burung walet. Kontaminasi mikroba dapat terjadi pada saat sarang masih menempel di habitatnya, selama proses pencucian, dan pada saat penyimpanan. Pemanasan sarang burung walet merupakan salah satu metode yang dapat mengurangi dan menghilangkan mikroorganisme, terutama mikroorganisme patogen dalam sarang burung walet.

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah Total Bakteri (TPC) pada Sarang Burung Walet

(23)

11 bakteri termodurik dan termofilik) serta virus mengalami kerusakan pada suhu 65 °C selama 10 menit. Bakteri termodurik dan termofilik merupakan bakteri yang penting dalam makanan dan bakteri tersebut mengalami kerusakan pada suhu 75-80 °C selama 5 sampai 10 menit.

Jumlah total bakteri yang tumbuh sebelum pemanasan pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli berkisar pada 105 dan 106 cfu/g. Jumlah total bakteri sesudah dan sebelum pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet yang sudah dilakukan kontaminasi E. coli ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Data hasil analisa menggunakan paired t test menunjukan bahwa penurunan jumlah total bakteri dengan media PCA sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik mempunyai nilai yang signifikan (p<0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu internal 70 °C selama 3.5 detik. Bakteri yang masih mampu bertahan hidup setelah pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik adalah bakteri yang bertahan hidup setelah pemanasan pada suhu 80 °C selama 15 detik pada awal perlakuan.

Tabel 2 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli (log cfu/g)

N Rerata±s.b. Perbedaan

(24)

12

Gambar 3 Jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet yang dikontaminasi E. coli

Jumlah total bakteri yang tumbuh sebelum pemanasan pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus berkisar pada 105 dan 106 cfu/g. Jumlah total bakteri sesudah dan sebelum pemanasan pada suhu internal 70 °C pada sarang burung walet yang sudah dilakukan kontaminasi S. aureus ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 4. Data hasil analisa menggunakan paired t test menunjukan bahwa jumlah total bakteri pada media PCA sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu internal 70 °C mempunyai nilai yang signifikan (p<0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah total bakteri sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu internal 70 °C pada sarang burung walet yang diberi S. aureus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet mampu menurunkan jumlah total kuman bakteri sebesar 3.91 log cfu/g pada sarang burung walet yang dikontaminasi dengan E. coli dan 3.89 log cfu/g pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus. Bakteri yang masih mampu bertahan hidup setelah pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik adalah bakteri yang bertahan hidup setelah pemanasan pada suhu 80 °C selama 15 detik pada awal perlakuan.

Tabel 3 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus (log cfu/g)

N Rerata±s.b. Perbedaan

(25)

13

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah E. coli pada Sarang Burung Walet

Escherichia coli terkenal sebagai bakteri indikator sanitasi. Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia dan atau hewan, karena bakteri-bakteri tersebut lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Adanya bakteri tersebut pada pangan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan pangan tersebut pernah mengalami kontak dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan hewan. Sampai saat ini ada tiga jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi yaitu E. coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fekal dan C. perfringens (Dewanti dan Hariyadi 2005).

Jumlah bakteri E. coli sebelum pemanasan adalah berkisar pada 105 dan 106 cfu/g, setelah pemanasan pada suhu internal 70 °C selama 3.5 detik dari sepuluh sarang burung walet yang dicobakan menunjukan jumlah nol seperti terlihat pada Gambar 5. Hal ini berarti bahwa pemanasan tersebut efektif untuk dekontaminasi bakteri E. coli. Menurut Fardiaz (1992), E. coli merupakan bakteri yang rentan terhadap suhu tinggi. E. coli mempunyai suhu maksimum pertumbuhan 50 °C, di atas suhu tersebut bakteri E. coli mengalami inaktivasi (Ray dan Bhunia 2008).

Perlakuan pemanasan yang tinggi (lethal heat) menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen pada komponen sel antara lain membran luar, sitoplasma, ribosom, asam nukleat dan protein (Mackey et al. 1991). Pemanasan secara cepat pada makanan akan mengurangi kemampuan terhadap ketahanan panas selama perlakuan pemanasan (Juneja et al. 1998). Pemanasan yang tidak tepat dapat menyebabkan toleransi terhadap panas dan menyebabkan heat shock (Jones 2012). Respon heat shock tersebut merupakan karakteristik dari bakteri E. coli yang disebut dengan heat shock protein (Guisbert 2008). Tumbuhnya kembali E. coli setelah proses pemanasan pada proses pengolahan makanan

(26)

14

mengindikasikan prosesnya tidak tepat atau adanya kontaminasi lanjutan (Kornacki dan Johnson 2001).

Hasil pengamatan pada media VRB yang menggunakan larutan pengenceran tryptic soy broth (TSB) tidak menunjukan pertumbuhan bakteri. Hal ini berarti bakteri E. coli setelah pemanasan pada suhu internal 70 °C selama 3.5 detik mengalami inaktivasi atau kematian. Ray dan Bhunia (2008) menyatakan bahwa mikroorganisme yang mengalami perlakuan pemanasan pada suhu dan waktu pemanasan tertentu dapat mengalami heat-shock, sublethally injured, atau kematian. TSB adalah media untuk pemulihan bakteri yang mengalami cedera (injured) akibat proses pemanasan. Pemulihan bakteri E. coli yang mengalami cedera dilakukan dalam media TSB di dalam suhu ruang selama 1 jam (Jay 1986). Sel yang mengalami heat-shock, sublethally injured dapat bertahan dan memperbaiki diri serta berkembang biak (Ray dan Bhunia 2008). Mikroorganisme yang rusak mempunyai kemampuan untuk kembali ke normal selama proses resusitasi dimana komponen penting yang rusak diperbaiki. Selain akibat pemanasan mikroorganisme dapat mengalami injured akibat pembekuan, beku kering, pengeringan, radiasi, tekanan hidrostatik tinggi, pewarna, natrium azida, garam, logam berat, antibiotik, minyak esensial, dan bahan kimia lainnya atau antimikroba alami. Mikroorganisme yang rusak merupakan ancaman potensial dalam keamanan pangan karena mereka dapat memperbaiki diri dalam kondisi yang sesuai (Wu 2008).

Pengaruh Pemanasan terhadap Jumlah S. aureus pada Sarang Burung Walet

Staphylococcus aureus umumnya ditemukan dalam udara, debu, air, dan lingkungan disekitar manusia (Viviane et al. 2007). Sumber utama kontaminasi pangan oleh S. aureus adalah manusia. Kebanyakan S. aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora endogen, dan terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley 1992). Keberadaan S. aureus dalam pangan mengindikasikan higiene personal yang buruk. S. aureus menghasilkan

(27)

15 enterotoksin, yang merupakan penyebab utama kasus keracunan pangan (foodborne illness) di dunia (Do Carno et al. 2004; Le Loir et al. 2003).

Hasil pengamatan jumlah S. aureus sebelum pemanasan berkisar pada 104 dan 105 cfu/g. Pemanasan 70 °C selama 3.5 detik efektif untuk dekontaminasi bakteri S. aureus. Hal ini terlihat pada hasil percobaan yang menunjukkan bahwa jumlah bakteri sesudah pemanasan tersebut turun sampai nol seperti halnya pada percobaan bakteri E. coli. Menurut Thomas (1966) bakteri S. aureus dapat direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63 °C selama 15 menit dan suhu 66 °C selama 12 menit (Ray dan Bhunia 2008). Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Resusitasi bakteri S. aureus setelah pemanasan dilakukan dalam media TSB di dalam suhu ruang selama 4 jam (Jay 1986). Hasil pengamatan pada media VJA setelah proses resusitasi pada media TSB tidak menunjukan pertumbuhan bakteri. Hal ini berarti bakteri S. aureus setelah pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik mengalami inaktivasi atau kematian. Menurut Iandolo dan Ordal (1966), perlakuan pemanasan sublethal terhadap S. aureus menyebabkan perubahan toleransi terhadap garam secara temporer. Proses pemulihan toleransi terhadap garam di media TSB secara keseluruhan dilaporkan setelah inkubasi selama 4 jam.

Mekanisme kematian bakteri akibat proses pemanasan yaitu sel-sel bakteri setelah mengalami injured akan memperlihatkan hilangnya permeabilitas dan meningkatkan kepekaan terhadap beberapa senyawa yang bakteri biasanya tahan. Sel-sel yang cedera secara sublethal mengalami kerusakan pada membran sel, dinding sel, DNA, RNA ribosom (degradasi), dan beberapa enzim penting (denaturasi). Kematian terjadi karena adanya kerusakan pada beberapa komponen fungsional dan struktural penting dari sel (Wu 2008). Sesuai dengan pernyataan Mackey (1991), bahwa perlakuan pemanasan yang tinggi (lethal heat) menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen pada komponen sel antara lain membran luar, sitoplasma, ribosom, asam nukleat dan protein.

Gambar 6 Jumlah S. aureus sebelum dan sesudah pemanasan 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet yang dikontaminasi S. aureus

(28)

16

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik efektif untuk dekontaminasi E. coli dan S. aureus pada sarang burung walet. Perlakuan pemanasan pada suhu 70 °C selama 3.5 detik pada sarang burung walet menyebabkan terjadi penurunan jumlah total bakteri (TPC) rata-rata sebesar 3.90 log cfu/g.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dekontaminasi bakteri pada sarang burung walet menggunakan metode selain pemanasan, seperti iradiasi dan sinar ultraviolet.

DAFTAR PUSTAKA

[Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2013. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 832/Kpts/OT.140/L/3/2013 tentang Pedoman persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap pengeluaran sarang walet dari wilayah Negara Republik Indonesia ke Republik Rakyat China. Jakarta (ID): Badan Karantina Pertanian.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2005. Medical Mycrobiology. New York (US): McGraw-Hills.

Chantler P, Driessens G. 1995. Swift: A Guide to The Swifts and Treeswifts of The World. London (GB): Pica Pr.

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Jakarta (ID): Salemba Medika.

Dewanti R, Hariyadi. 2005. Bakteri indikator sanitasi dan keamanan air minum. [internet]. [diacu 2014 Februari 24]. Tersedia dari: http://web.ipb.ac.id/~tpg/ de/ pubde_fdsf_bctrindktr.php.

Do Carmo LS, Cummings C, Linardi VR, Dias RS, De Suoza JM, De Sena MJ, Dos Santos DA, Shupp JW, Pereira RK, Jett M. 2004. A cause of massive staphylococcal food poisoning incident. Foodborne Pathog Dis. 1:241-246. Eley AR. 1992. Toxic bakterial of food poisoning. Di dalam: Eley AR editor.

Microbial Food Poisoning. London (GB): Chapman and Hall.

Fardiaz D. 1992. Proses thermal makanan kaleng berasam rendah. Makalah pada kursus singkat keamanan pangan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr. Goh DLM, Chua KY, Chew FT, Seow TK, Ou KL, Yi FC, Lee BW. 2001.

(29)

17 Guo CT, Takahashi T, Bukawa W, Takahashi N, Yagi H, Kato K, Jwa Hidari

KI-P, Miyamoto D, Suzuki T, Suzuki Y. 2006. Edible bird’s nest extract inhibits influenza virus infection. Antiviral Res. 70:140-146.

Guisbert E, Yura T, Rhodius VA, Gross CA. 2008. Convergence of molecular, modeling, and systems approaches for an understanding of the Eschericia coli heat shock response. Microbiol Mol Biol Rev. 72: 545-554.

Harvey J, Gilmour A. 2000. Staphylococcus aureus. Dalam Robinson RK. Editor. Encyclopedia of Food Microbiology. San Diego (US): Academic Pr.

Hobbs JJ. 2004. Problems in the harvest of edible bird’s nests in Sarawak and Sabah, Malaysian Borneo. Biodivers Conserv. 77: 21-27.

Huda NMZ, Zuki AB, Azhar K, Goh Y, Shuhaimi. 2008. Proximate, elemental and fatty acid analysis of pre-processed edible bird’s nest (Aerodramus fuchiphagus): a comparison between regions and type of nest. J Food Technol. 6(1): 39- 44.

Iandolo JJ, Ordal ZD. 1966. Repair of thermal injury of Staphylococcus aureus. J Bacteriol. 91(1):134-142.

Jay JM. 1986. Modern Food Microbiology. 3th ed. New York (US): Van Nostrand Reinhold.

Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 5th ed. New York (US): Aspen.

Jong CH, Tay KM, Lim CP. 2013. Application of the fuzzy failure mode and effect methodology to edible bird nest processing. Comp Elect Agre. 96: 90-08.

Jones TH. 2012. Response of Escherichia coli to environmental stress. Di dalam: Hin-Chung W, editor. Stress response of foodborne microorganisms. Canada (US): Agriculture and Agri-Food Canada. hlm 293-330.

Juneja VK, Klein PG, Marmer BS. 1998. Heat shock and thermotolerance of Eschericia coli O157:H7 in a model beef gravy system and ground beef. J Appl Microbiol.84:677-684.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/Permentan/OT.140/3/2013 tentang Tindakan karantina hewan terhadap pemasukan dan pengeluaran sarang walet ke dan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.

Kornacki JL, Johnson JL. 2001. Enterobacteriaceae, coliforms, and Escherichia coli as quality and safety indicators. Compendium of methods for the microbiological examination of foods. 4th ed. Washington (US): American Public Health Association.

Le Loir Y, Baron F, Gautier M. 2003. Staphylococcus aureus and food poisoning. Genet Mol Res. 2:63-76.

Ma F, Liu D. 2012. Sketch of the edible bird’nest and its important bioactivities. Food Res Int. 4:559-567.

Mackey BM, Miles CA, Parsons SE, Seymour DA. 1991. Thermal denaturation of whole cells and cell component of Escherichia coli examined by differential scanning calorimetry. J Gen Microbiol.137:2361-2374.

Marcone MF. 2005. Characterization of the edible bird’s nest the caviar of the east. Food Res Int. 38:1125-1134. doi.10.1016/j.foodres-2005-02-008.

(30)

18

dan penanganan pasca panen. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Matsukwa N, Matsumoyo M, Bukawa W, Chihi H, Nakayama K, Hara H, Tsukahara T. 2011. Improvement of bone strength and dermal thickness due to dietary edible bird’s nest extract in ovariectomized rats. Biosci Biotech Bioch. 75:590-592.

Meggitt C. 2003. Food Hygiene and Safety. Oxford (GB): Heinemann Educational.

Minor TE, Marth EH.1976. Staphylococci and Their Significance in Foods. New York (US): Elsevier Scientific.

Nugroho HK, Budiman A. 2009. Panduan Lengkap Walet. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Oktorina R, Indarjulianto S, Soejartiningsih, Isnaeni, Wasito. 2004. Kontrol kualitas mikrobiologis sarang burung walet (Collocalia sp.) melalui Karantina Hewan Juanda Surabaya. J Saint Vet. 22(2):53-56.

Ray B, Bhunia A. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. New York (US): CRC Pr.

Soejoedono R. 2004. Penyakit yang ditularkan oleh makanan. Bahan kuliah program studi kesehatan masyarakat veteriner. [Tidak diterbitkan]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Soriano JM, Font G, Molto JC, Manes J. 2002. Enterotoxigenic Staphylococci and their toxin in restaurant food. Trends in Food Sci Technol. 13:60-67.

Syukur DA. 2006. Biosecurity Terhadap Cemaran Mikroba dalam Menjaga Keamanan Pangan Asal Hewan. Lampung (ID): Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung.

Thomas CT, White LC, Longree K. 1966. Thermal resistence of salmonellae and Staphylococci in food. Appl Microbiol. 14: 815-820.

Todar K. 2008. Staphylococcus aureus. Todar’s online textbook of bacteriology. [internet]. [diacu 2014 Februari 24]. Tersedia dari: http://textbook ofbacteriology.net/staph.html.

Viviane C, Mariana M, Zaira L, Elza M, Bernadette F, Maria D, Mariza L. 2007. Foodborne outbreak caused by Staphylococcus aureus: phenotypic and genotypic characterization of strains of food and human sources. J Food Protect. 70:489-493.

Winarno FG, Koswara S. 2002. Sarang burung walet. Bogor (ID): M-brio Pr. Wu VCH. 2008. A review of microbial injury and recovery methods in food.

JFood Microbiol. (25): 735-744.

Yagi H, Yasukawa N, Yu SY, Guo CT, Takahashi N, Takahashi T, Bukawa W, Suzuki T, Khoo KH, Suzuki Y, Kato K. 2008. The expression of sialylated high-antennary N-glycans in edible bird’s nest. Carbohydrate Res. 343:1373-1377.

(31)

19 Lampiran 1 Hasil analisa statistik jumlah total bakteri sebelum dan sesudah

(32)

20

Lampiran 2 Hasil penghitungan bakteri E. coli dan S. aureus

Tabel 1 Jumlah Escherichia coli dalam sarang burung walet sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu 70 °C (cfu/g)

Sebelum pemanasan Sesudah pemanasan

4.0 × 105 0

4.3 × 105 0

1.0 × 106 0

1.0 × 106 0

1.1 × 106 0

1.5 × 106 0

4.9 × 105 0

7.0 × 105 0

1.1 × 106 0

1.0 × 106 0

Tabel 2 Jumlah Staphylococcus aureus dalam sarang burung walet sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu 70 °C (cfu/g)

Sebelum pemanasan Sesudah pemanasan

5.5 × 105 0

7.8 × 105 0

1.9 × 105 0

2.7 × 104 0

2.5 × 105 0

9.7 × 104 0

9.8 × 104 0

2.4 × 105 0

4.0 × 105 0

(33)

21 Lampiran 3 Gambar kegiatan penelitian

(34)

22

Gambar

Tabel 1  Ambang batas maksimal cemaran biologi, kimia, dan fisik sarang burung walet
Tabel 2 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung
Tabel 3 Hasil uji paired t test terhadap jumlah total bakteri pada sarang burung
Gambar 4  Jumlah total bakteri sebelum dan sesudah  pemanasan 70° C selama
+3

Referensi

Dokumen terkait

The author opens the theme by explaining why gender issues still matter; the fact that, in spite of their favorable position compared to women in Middle Eastern countries, “women in

untuk menekan biaya suatu input produksi agar biaya produksi usaha pertanian tidak terlalu mahal, misal dengan menetapkan harga eceran tertinggi dari pupuk atau input produksi

SOAL 5-21 ( STANDAR BERNILAI- TAMBAH DAN STANDAR KAIZEN, BIAYA TAK BERNILAI – TAMBAH, VARIENSI VOLUM, KAPASITAS YANG TIDAK DIGUNAKAN ).

Variabel pertumbuhan giro, tabungan, deposito, simpanan dari bank lain, pinjaman yang diterima, kredit, surat berharga, sertifikat bank indonesia dan penempatan

Kepenarian tokoh Lesmana Mandrakumara dilihami oleh ceritera wayang purwa Mahabharata, Lesmana Mandrakumara yang memiliki karakter Alus Gecul Lanyap mempunyai permasalahan cintanya

melaksanakan penyiapan perumusan bahan kebijakan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan

[r]

Proses kerja dari sistem combined cycle adalah dengan dimanfaatkannya gas buang turbin gas yang masih bersuhu tinggi untuk memanaskan air umpan (feed water) pada HRSG