• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA DAN SIKAP BAHASA MASYARAKAT TUTUR BAHASA BALI DI SINGARAJA: SUATU KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA DAN SIKAP BAHASA MASYARAKAT TUTUR BAHASA BALI DI SINGARAJA: SUATU KAJIAN SOSIOLINGUISTIK"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA DAN SIKAP BAHASA MASYARAKAT TUTUR

BAHASA BALI DI SINGARAJA: SUATU KAJIAN

SOSIOLINGUISTIK

Dewa Putu Ramendra

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha,Singaraja, Indonesia dewaramendra@yahoocom

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk memaparkan (1) dinamika penggunaan bahasa, dan (2) sikap bahasa masyarakat tutur Kota Singaraja. Sesuai dengan sifat tujuan itu, pendekatan kuantitatif dan kualitatif dipadukan. Penelitian ini menggunakan 336 responden yang dipilih melalui teknik stratified purposive sampling, dan 24 informan bahasa. Data dikumpulkan melalui angket, catatan lapangan,dan pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun basa alus, dan basa biasa merupakan suatu repertoar bahasa yang mana keduanya telah memiliki tempat masing-masing, tetap saja pada penggunaanya persaingan terjadi. Basa alus lebih banyak digunakan oleh kelompok triwangsa, sedangkan basa biasa lebih banyak digunakan oleh kelompok jaba. Meskipun demikian, pada perkembangan selanjutnya basa alus secara perlahan cenderung untuk lebih mendominasi dibandingkan basa biasa. Hal ini berkaitan dengan ajeg Bali yang salah satu programnya menyarankan dan menyosialisasikan penggunaan basa alus dan kedatangan para pendatang dari Bali selatan yang membawa basa alus. Selain itu, sikap basa alus cenderung sangat positif, dan basa biasa cukup positif pada kelompok triwangsa. Namun, pada kelompok jaba sikap basa alus, dan basa biasa cenderung sama, yakni positif. Hal ini berkorelasi positif pada kemungkinan berkembangnya penggunaan basa alus secara lebih luas.

Kata-kata kunci: dinamika bahasa, sikap bahasa, penggunaan bahasa, tingkat tutur, dan masyarakat tutur

Abstract

This study aimed at describing (1) the language dynamics and (2) the language attitude of Singaraja city speech community. In accordance with those purposes, quantitative and qualitative approach were mixed. This research used 336 respondents and 24 language informants. The data were collected through questionnaire, field note and interview guide. The results of the research showed that eventhough basa alus and basa biasawere part of the language repertoire which had their own places, competition between them occurred. Basa alus was used more by triwangsa, whereas basa biasa was used more by jaba. However, on the following development base alus tend to dominate rather than basa biasa. This was related with ajeg Bali which had one program to suggest and socialize the use of basa alus, and the arrivals of other balinese from the southern Bali which brought basa alus with them. Besides, the attitude on basa alus tend to be very positive on basa alus and on basa biasa quite positive by triwangsa. The attitude by jaba, however, tend to be positive both on basa alus and basa biasa. This has a positive correlation with the further development of basa alus.

Keywords:language dynamics, language attitude, language use, speech levels, and speech community

1. Pendahuluan

Sebagai alat untuk berinteraksi bahasa tentu saja mengalami dinamika seiring dengan perubahan-perubahan kebutuhan penutur bahasa. Dinamika itu dapat bersifat internal yang berupa perubahan sistem dari bahasa itu sendiri atau bersifat eksternal terkait dengan faktor-faktor ekstralinguistik. Faktor-faktor tersebut adalah situasi sosial, politik dan teknologi dan sebagainya. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor sosial merupakan faktor yang paling menentukan bagi dinamika bahasa.

Isu dinamika bahasa atau penggunaan bahasa menjadi semakin menarik, ketika dikaitkan dengan masyarakat tutur bahasa Bali di Bali. Masyarakat Bali mengenal setidaknya dua bahasa, seperti juga

masyarakat tutur lainnya di Indonesia. Bahasa tersebut adalah Bahasa Indonesia dan bahasa Vernakular (Bahasa Daerah). Akan tetapi, yang menarik di Bali adalah bahwa bahasa Bali memiliki bentuk yang bertingkat-tingkat menurut kesopanan yang disebut dengan tingkat tutur.

Tingkat tutur merupakan bentuk tutur bertingkat menurut kealusanatau kesopanan. Pada awalnya, tingkat tutur hadir untuk menandai perbedaan wangsa dan jarak sosial. Wangsa merupakan sistem pengkelasan vertikal masyarakat tradisional Bali. Wangsa membagi masyarakat menjadi empat lapisan: tiga lapis pertama adalah triwangsa yang dianggap sebagai masyarakat kelas atas, sedangkan, yang terakhir adalah jaba atau

(2)

‘orang kebanyakan’. Norma yang berlaku adalah: jika penutur jaba bertutur dengan mitra tutur triwangsa, maka dia diharapkan menggunakan basa alus; sedangkan mitra tutur triwangsa dapat menanggapi dengan

basa biasa. Jika penutur triwangsa bertutur dengan mitra tutur triwangsa, mereka diharapkan untuk sama-sama menggunakan basa alus; sebaliknya jika penutur-mitra tutur sama-sama dari jaba, mereka diharapkan untuk sama-sama menggunakan basa biasa.

Tingkat tutur juga digunakan untuk menandai jarak sosial. Bagi orang yang belum mengenal satu sama lain walaupun mereka dari jaba, mereka diharapkan untuk menggunakan basa alus. Namun, semakin mendekat hubungan mereka, maka penggunaan tingkat alus akan bergeser ke

basa biasa. Bahkan, jika hubungan mereka menjadi sangat intim, penggunaan basa kasar sebagai bentuk intim bisa terjadi.

Dengan bergantinya zaman ke zaman modern dewasa ini kajian mengenai dinamika penggunaan bahasa di Bali, khususnya di wilayah perkotaan menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Perubahan zaman tersebut ditandai oleh dualisme pelapisan masyarakat, yaitu wangsa dan kelas sosial. Berbeda dengan wangsa yang berbasis pada keturunan, kelas sosial berkaitan dengan status pekerjaan dan kekayaan. Selain itu, hilangnya kekuasan raja-raja di Bali, pergaulan di Bali yang semakin heterogen, berikut pola pikir modern juga dapat mengurangi kekuatan wangsa secara signifikan.

Perubahan ini tentu saja menarik untuk dikaji, terutama karena keterbatasan informasi akan bidang tersebut (Suastra,1997; dan Seken, 2005). Dalam hal ini, penulis melakukan kajiannya di Kota Singaraja berdasarkan pertimbangan berikut: (1) Kota Singaraja secara historis pernah menjadi kota pelabuhan yang ramai, dan ditinggali oleh masyarakatetnis berbeda selain etnis Bali, seperti China, Jawa, Madura, Bugis, Makasar dan Arab secara turun temurun (Karepun, 2006);(2) masyarakat Kota Singaraja memiliki karakteristik egaliter; dan (3) masyarakat tutur Kota Singaraja memiliki stereortipe sebagai masyarakat yang keras dengan tutur bahasa yang kasar. Dalam kaitannya dengan paparan di atas, artikel ini bertujuan untuk memaparkan dinamika penggunaan bahasa, dan sikap bahasa masyarakat tutur Kota Singaraja.

3. Metode Penelitian 3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersandar pada paradigma pragmatisme yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pemaduan kedua pendekatan ini dilakukan sejalan dengan tujuan penelitian, dan sangat berguna untuk memperkuat kesahihan temuan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji kaitan antara penggunaan bahasa dengan wangsa, pekerjaan,gender, dan umur, dan sikap bahasa. Sebaliknya, pendekatan kualitatif digunakan untuk memperkuat temuan-temuan kuantitatif.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di enam kelurahan di Kota Singaraja, yaitu Sukasada, Liligundi, Banjar tegal, Banyuasri, Banyuning dan Penarukan yang penduduknya mayoritas adalah penduduk asli.

3.3 Variabel Penelitian

Ada dua tipe variabel yang akan dikaji, yaitu: variabel tergantung (variabel bahasa): tingkat tutur dan variabel bebas (variabel sosiolinguistik): wangsa, pekerjaan, umur, dan gender.

(1) Tingkat tutur bahasa Bali yang dibedakan atas (a) basa alus, (b) basa biasa, dan (c) basa kasar.

(2) Wangsa di dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu (a) tri wangsa dan (b) jaba

(3) Pekerjaan di dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok: (a) Kelompok pertama terdiri atas orang-orang yang memegang posisi tinggi, baik di sektor pemerintahan maupun swasta yang terdiri atas manajer, pengusaha, direktur, rektor dan dekan; (b) kelompok kedua terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan tenaga terampil yang terdiri dari staf PNS, guru, pegawai hotel, dan pemilik toko; dan (c) kelompok ketiga merupakan kelompok terendah yang terdiri atas tenaga kurang terampil, seperti sopir, buruh, petani dan penjaga malam

(4) Umur di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok: (a) kelompok umur 20-39 dan (b) kelompok umur 40 ke atas.

(5) Gender di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok: (a) laki-laki dan (b) perempuan.

(3)

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah guyub tutur bahasa Bali di Kota Singaraja yang merasakan dirinya memiliki keanggotaan primer pada guyub tersebut. Dalam hal ini, jumlah sampe yang ditetapkan adalah 285.Selain itu, satu orang responden dari setiap kelompok akan diambil untuk dijadikan informan sehingga diperoleh 24 informan bahasa. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 1.

Tabel 1. Sampel Penelitian

Selanjutnya, sampel pada setiap sel diambil satu secara nonacakuntuk dijadikan informan, selain sebagai responden. Sebelum menjadi informan, dia terlebih dahulu akan menanyakan kesediaan sampel untuk menjadi informan.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah angket, catatan lapangan,dan pedoman wawancara. Angket digunakan untuk mengumpulkan data mengenai pemakaian tingkat tutur bahasa Bali. Komponen-komponen angket disusun dengan memperhatikan (1) ranah pemakaian bahasa, dan (2) interlokutor. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas pertanyaan-pertanyaan terbuka untuk mengetahui norma-norma pemakaian tingkat tutur dan juga respon informan terkait dengan dinamika pemakaian dan sikap bahasa. Selain itu, peneliti juga akan berusaha untuk melakukan observasi partisipasi dengan mengunjungi informan pada seting yang alamiah. Tuturan mereka satu sama lain akan dicatat dan ditranskripsi untuk dianalisis lebih lanjut.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Dinamika Penggunaan Bahasa pada Guyub Tutur Bahasa Bali Kota Singaraja

Penelitian ini menemukan pola penggunaan basa alus dan basa biasa

paralel yang berbatas wangsa, yakni triwangsa cenderung untuk menggunakan

basa alus, sedangkan jaba cenderung untuk menggunakan basa biasa. Ini berarti bahwa terjadi persaingan pada penggunaan kedua bahasa tersebut yang mengesankan bahwa dinamika ke arah penggunaan suatu bahasa umum terhambat.

Penggunaan basa biasa terutama terlihat di antara penutur jaba untuk menunjukkan identitas Buleleng mereka yang sering disimbolkan dengan slogan

Buldog atau Buleleng Dogen ‘hanya

Buleleng’ yang menunjukkan kebanggaan pada identitas kebulelengan yang terefleksi melalui basa biasa. Bahkan, penggunaan

basa biasa juga kerap terjadi di antara penutur jaba-petutur triwangsa yang berumur sebaya. Ketika diwawancara kenapa mereka menggunakan basa biasa

pada percakapan antarwangsa, jawaban yang diberikan singkat dan menunjukkan identitas kebulelengan, yakni masi pada-pada anak Buleleng ‘Juga sama-sama orang Buleleng’, atau sing perlu bes ngae ngon ‘Tidak perlu terlalu membuat kagum’.

Ungkapan pertama bersifat positif karena merujuk pada keanggotaan di guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Akan tetapi, ungkapan kedua bersifat negatif dengan tujuan untuk meboya ‘meremehkan’ orang-orang yang menggunakan basa alus.

Meskipun demikian, penggunaan basa biasa juga terlihat mulai melemah oleh ‘tantangan’ basa alus. Hasil angket dan wawancara yang dilakukan pada sejumlah responden menunjukkan bahwa penggunaan basa biasa diwarnai oleh penggunan kosa kata alus. Responden mengungkapkan bahwa kalau dulu mereka tidak terbiasa untuk menggunakan kata

nggih ‘ya’ dan tiang ‘saya’, mereka mulai

terbiasa menggunakan kata-kata itu. Bahkan, selain kata-kata itu, mereka juga mulai terbiasa menggunakan kata niki ‘ini’, nika ’itu’, kenten ‘begitu’, sampun ‘sudah’, napi ‘apa’, durung ‘belum’, sampunang

‘jangan’, ngajeng ‘makan’, mriki ‘kemari’,

mrika ‘kesana’, dan simpang ‘mampir’.

Penggunaan kosa kata alus itu yang didominasi oleh penggunaan kosa kata biasa oleh penutur guyub tutur Kota Singaraja disebut dengan basa alus metiang-nika, biasa tapi alus ‘biasatetapi

(4)

halus’. Dengan ini, basa biasa yang digunakan menjadi lebih halus dan sopan.

Basametiang-nika itu mulai merambah ke domain tetangga, tempat kerja, dan masyarakat dan membuat terjadinya penggunaan bahasa yang lebih halus. Penggunaan bahasa ini berbarengan dengan perilaku saling menghormati antara penutur-petutur karena kerap digunakan secara simetris. Penggunaan ini berbeda dengan penggunaan basa biasa yang menandai solidaritas, dan nuansa egaliter dari masyarakat tutur bahasa Bali Kota Singaraja.

Perubahan ke arah penggunaan bahasa yang lebih halus ini dilatar belakangi oleh beberapa dinamika yang terjadi pada guyub tutur di Bali secara umum dan guyub tutur Kota Singaraja. Pada guyub tutur di Bali secara umum muncul gerakan Ajeg Bali, suatu gerakan untuk kembali kepada kebalian Bali yang lembut, sopan, dan menghargai tradisi. Salah satu dari upaya pengajegan Bali adalah upaya untuk menyosialisasikan penggunaan basa alus di seluruh Bali, termasuk juga di Kota Singaraja. Sebagai akibatnya, ungkapan-ungkapan alus yang dulu tidak populer seperti om swastiastu ‘salam’, suksma ‘terima kasih’, ampura

‘maaf’, sampunapi gatra ‘bagaimana

kabarnya’ dan lain-lain menjadi umum terdengar dan dianggap biasa pada guyub tutur Kota Singaraja. Selain itu, penutur Kota Singaraja cenderung untuk menjadi lebih konvergensif terhadap penggunan

basa alus. Jika salah satu penutur pada suatu percakapan konsisten menggunakan

basa alus, tanpa memandang siapa dia dan latar belakangnya, penutur yang lain secara perlahan dapat berkonvergensi terhadap penggunaan basa alus. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat jarang untuk bisa terjadi pada masa Ajeg Bali belum diperkenalkan.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap penggunaan basa alus berkaitan dengan kedatangan para pendatang dari daerah-daerah lain di Bali yang memegang tradisi dan norma sopan santun berbahasa secara taat. Kebanyakan dari pendatang itu juga mengisi kelas sosial menengah ke atas karena memegang posisi pekerjaan pada level itu, seperti guru, pegawai pemda, dosen, dan instansi-instansi yang lainnya. Oleh karena itu, tutur bahasa yang mereka gunakan cenderung untuk lebih halus dan hal ini pada gilirannya mempengaruhi penggunaan bahasa dari penduduk lokal Kota Singaraja.

Selain penggunaan bahasa Bali, penggunaan bahasa Indoesia juga mewarnai dinamika penggunaan bahasa pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Bahasa Indonesia terlihat digunakan terutama oleh penutur muda dari berbagai status pekerjaan walaupun dengan persentase yang sangat rendah. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa para penutur Kota Singaraja banyak menggunakan kosa kata serapan bahasa Indonesia pada percakapan sehari-hari yang menggunakan bahasa Bali. Mereka mengungkapkan bahwa kosa kata bahasa Indonesia lebih tepat digunakan pada percakapan tentang topik-topik mutakhir yang berkaitan dengan transportasi, komputer, pendidikan, dan kedinasan. Sehingga, pada percakapan, apalagi yang melibatkan penutur muda, penggunaan kosa kata bahasa Indonesia banyak diketemukan.

Hal menarik lainnya yang ditemukan terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia adalah bahwa penutur muda menggunakan bahasa Indonesia dengan persentase yang sangat tinggi dengan anak-anak mereka. Menurut mereka, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika anak-anak mereka pergi bersekolah dan bergaul di lingkungan sekitar kota. Jika penggunaan bahasa Indonesia dengan anak-anak di domain keluarga terus berlanjut, ada kemungkinan bahwa bahasa Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya akan berkembang lebih luas dan merambah domain-domain yang lebih privat. Hal ini bisa dimengerti karena bahasa Indonesia telah menggeser peran bahasa Bali sebagai bahasa ibu ke bahasa Indonesia pada anak-anak tersebut, apalagi bahasa Indonesia cenderung untuk lebih mampu digunakan pada percakapan terkait dengan modernisasi.

4.2 Sikap Bahasa Guyub Tutur Kota Singaraja

Sikap terhadapbasa kasar, basa biasa, dan basa aluspada penutur triwangsa guyub Kota Singaraja menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Rerata sikap terhadapbasa kasarberada pada kategori cukup positif; rerata sikap terhadapbasa biasa berada pada kategori positif; sedangkan rerata sikap

terhadapbasa alusberada pada kategori sangat positif. Meskipun demikian, kalau diamati secara teliti terdapat penurunan persentase skor dari aspek kognitif sampai

(5)

konatif. Rerata sikap itu dirumuskan pada gambar 1.

Gambar 1 Rerata Sikap Bahasa pada Triwangsa

Sikap terhadap basa kasar, basa biasa, dan basa aluspada penutur jaba guyub Kota Singaraja juga menunjukkan suatu variasi. Rerata sikap basa kasarberada pada kategori positif; rerata sikap terhadap basa biasa dan basa alus

berada pada kategori positif. Namun, sikap secara kognitif, afektif, dan konatif menunjukkan fenomena yang sama seperti pada sikap penutur triwangsa. Dalam hal ini, terjadi suatu penurunan dari aspek kognitif sampai konatif. Rerata sikap itu dirumuskan pada gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2 Rerata Sikap Bahasa pada Jaba

5. Kesimpulan

Meskipun basa alus dan basa biasa,yang mana keduanya telah memiliki tempat masing-masing, tetap saja pada penggunaanya persaingan terjadi. Basa alus dan basa biasa masing-masing mewakili norma penggunaan yang berbeda.

Basa alus lebih banyak digunakan oleh kelompok triwangsa, dan penggunaannya menunjukkan penghormatan dan kesopanan. basa biasa lebih banyak digunakan oleh kelompok jaba, dan penggunaannya menandai kesejajaran, dan egalitarianisme. Persaingan ini dimungkinkan, karena guyub dimana keduanya digunakan merupakan suatu

guyub yang egaliter yang lebih menekankan penggunaan basa biasa.

Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya basa alus cenderung untuk lebih memperoleh tempat dibandingkan

basa biasa. Hal ini berkaitan dengan upaya pengajegan Bali yang salah satunya menyarankan dan menyosialisasikan penggunaan basa alus sebagai ciri kepribadian orang Bali. Selain itu, kedatangan para pendatang dari Bali selatan yang membawa basa alus, dan mengambil posisi kelas menengah ke atas di kota Singaraja juga berpengaruh bagi perkembangan penggunaan basa alus.

Berbeda dengan penggunaan bahasa, sikap basa alus cenderung sangat positif, dan basa biasa cukup positif pada kelompok triwangsa. Sedangkan, pada kelompok jaba sikap basa alus dan basa biasa cenderung sama, yakni positif. Hal ini cenderung berkorelasi positif pada kemungkinan berkembangnya penggunaan

basa alus secara lebih luas pada guyub tutur kota Singaraja.

Daftar Pustaka

Azwar, S.(2003).Sikap Manusia: teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Badan Pembina Bahasa, Aksara dan Sastra Propinsi Bali.(2006). Tata Basa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Bagus, I G. N.(1979). “Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Chambers, J.K. (2003). Sociolinguistic Theory.

Oxford: Blackwell Publishing

Garrett, Peter. (2010). Attitudes to Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Jendra, I W. (2007). Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita. Karepun, M. K. (2007). Mengurai Benang Kusut

Kasta: Membedah Kiat PengajeganKasta di Bali. Denpasar: PT Empat Warna Komunikasi. Mahyuni. (2006). Speech Styles and

CulturalConsciousness in Sasak Community. Lombok: Yayasan Cerdas

Meyerhoff, M. (2006). Introducing Sociolinguistics. New York: Routledge Seken, I K. (2004). “Being Polite in Balinese: An Analysis of Balinese Adat Leaders’ Spoken Discourse” (Disertasi). Malang: Universitas Negeri Malang. Kognitif Afektif Konatif

(6)

Suarjana, I N. P. (2008). Sor-Singgih Basa Bali: Ke-Bali-an Manusia Bali dalam Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan DharmaWacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama.

Suastra, I M. (1998). “Speech Levels and Social Change: A Sociolinguistic Study in the Urban Balinese Setting”

(Disertasi). Australia: La Trobe University.

Suhardi, B. (1996). Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Kelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Indonesia.

Wingarta, P. S. (2009). Meboya: Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Gambar

Tabel 1. Sampel Penelitian
Gambar 2 Rerata Sikap Bahasa pada Jaba

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan ini dapat diatasi apabila satu korpus khas di peringkat STAM yang membolehkan pelajar mengetahui apakah perkataan-perkataan yang kerap digunakan dalam buku-buku teks

Penyebaran minimarket di Kota Padang, dimana terdapat 11 Kecamatan yang ada di Kota Padang ada 1 Kecamatan yang dianggap tidak memiliki minimarket yakni kecamatan Bungus Teluk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang diberikan faktor umur, pendidikan, pengalaman, intensitas penyuluh, materi penyuluh dan media penyuluh terhadap

Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu 1) Kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang sesuai dengan hasil penelitian ini,

Sejalan dengan disain konstruksi tersebut, Yang mengajukan disain baru (novel) pompa hydram dengan catatan bahwa disarankan untuk tidak menggunakan pembesaran konis

Realisasi dari alat yang dirancang untuk aplikasi sistem monitoring parkir menggunakan sensor infrared berbasiskan Raspberry Pi dapat dilihat pada Gambar 9.. Tampilan Fisik

Senyawa alelokimia pada ekstrak daun sembung rambat sudah mampu memberikan pengaruh menghambat berat basah maman ungu pada konsentrasi yang rendah (Tabel 5.),