PENYUSUNAN PETA RENTAN BENCANA ALAM LONGSOR
DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH
MELALUI INTERPRETASI CITRA SATELIT
DI PROPINSI DIY
Anggun Fitrian Isnawati
1)Sulistyaningsih
2)Rintania Elliyati Nuryaningsih
3)Iis Hamsir Wahab
4)Risanuri Hidayat
5)1)2)3)
Mahasiswa Magister Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM
4)
Mahasiswa Doktor Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM
5) Dosen Pembimbing Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM
1) anggun_fitrian@yahoo.com
2)sulistyaningsih@gmail.com 3)rintania@gmail.com
ABSTRAK
Adanya proses alam yang mengalami perubahan untuk mencari keseimbangan baru, dapat disebabkan karena terganggunya keseimbangan oleh aktivitas manusia maupun oleh proses morfodinamika sehingga timbul bencana alam seperti longsor, banjir, gempa, dan sebagainya. Kawasan yang terkena bencana alam di tanah air tampaknya cenderung meningkat dan kondisi ini tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor yang menyebabkan bencana alam senantiasa menelan banyak korban adalah lemahnya informasi kepada penduduk tentang deskripsi daerah yang mereka tempati. Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja) dan Sistem Informasi Geografis untuk interpretasi citra satelit, diharapkan penyusunan peta rentan bencana alam longsor mampu memberikan informasi potensi daerah rawan bencana alam longsor di Propinsi DIY sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi bencana dan mengurangi resiko akibat bencana alam longsor.
Kata kunci : Longsor, Inderaja, Sistem Informasi Geografis dan citra satelit
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Bencana alam selalu menelan korban harta maupun jiwa yang tidak sedikit. Ironisnya bencana alam tersebut senantiasa terjadi pada saat penduduk sedang tidak sadar, sehingga tidak terantisipasi oleh penduduk. Keadaan ini
menunjukkan lemahnya informasi kepada
penduduk terhadap deskripsi tentang daerah yang mereka tempati, apakah daerah rawan bencana atau tidak. Bertolak dari permasalahan di atas dan untuk mengantisipasi bencana alam yang mungkin akan terjadi di masa mendatang, maka penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat
perlu dikembangkan. Keadaan ini ditunjang semakin pesatnya teknologi penginderaan jauh
dan SIG dalam mewarnai proses-proses
perencanaan dalam pembangunan diberbagai daerah di Indonesia.
Propinsi DIY merupakan salah propinsi yang mempunyai kondisi potensi bencana baik banjir, tanah longsor dan gempa tektonik yang cukup tinggi. Keadaan ini ditunjang sebagian wilayah yang berbentuk daerah pegunungan, dataran rendah, dan kawasan pantai. Daerah-daerah tersebut pada umumnya telah dihuni oleh
masyarakat yang tanpa memperhitungkan
tingkat kerentanan terhadap bahaya bencana alam. Untuk itu perlu kiranya disusun peta
potensi daerah yang rentan terhadap bencana alam.
2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dipecahkan ditentukan berdasar permasalahan yang ada di lapangan dalam mengantisipasi secara dini
terhadap resiko bencana alam longsor.
Perumusan masalah yang akan dipecahkan adalah bagaimana proses pemetaan daerah-daerah rawan bencana longsor di propinsi DIY dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini antara lain:
a. Penyusunan peta-peta rentan bencana alam longsor di Propinsi DIY.
b. Untuk memperoleh informasi potensi daerah
rawan bencana alam longsor di Propinsi DIY.
c. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi bencana untuk mengurangi resiko akibat bencana alam longsor.
4. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan
meliputi materi serta alat yang digunakan, dan
tahapan penelitian secara ringkas akan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Studi literatur melalui buku-buku dan jurnal.
Studi literatur ini dilakukan untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti sehingga penerapan ilmu dan
teori dapat dilaksanakan dengan update
teknologi dan current research yang
meliputi teknologi remote sensing dan image processing dalam pembuatan peta daerah-daerah rawan bencana alam.
b. Metode yang dipakai adalah teknik
penginderaan jauh melalui interpretasi
digital/visual untuk citra Landsat TM (Thematic Mapper - USA), dan ERS-1 (First European Remote Sensing Satellite) SAR (Synthetic Aperture Radar).
c. Hasil Interpretasi citra di ploting ke dalam peta kerja, kemudian di digitasi untuk
menghasilkan coverage atau layer input
yang diperlukan.
II. STUDI PUSTAKA 1. Definisi Longsor
Peristiwa tanah longsor (landslides) atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng--lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan
atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah.
Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut.
Sedangkan faktor eksternal yang dapat
mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah terdiri dari berbagai sebab yang komplek seperti sudut kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan dan pola pengolahan lahan, pengikisan oleh aliran air, ulah manusia seperti penggalian dan sebagainya.
2. Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut. Dalam teknologi penginderaan jauh dikenal dua sistem yaitu penginderaan jauh dengan sistem pasif
(passive sensing) dan sistem aktif (active
sensing). Penginderaan dengan sistem pasif adalah suatu sistem yang memanfaatkan energi almiah, khususnya energi (baca: cahaya) matahari, sedangkan sistem aktif menggunakan
energi buatan yang dibangkitkan untuk
berinteraksi dengan benda/obyek. Sebagian besar data penginderaan jauh didasarkan pada energi matahari. Sistem pasif antara lain diterapkan pada Landsat (USA) dan SPOT
(France). Selain sistem pasif penginderaan dengan sistem aktif menggunakan sumber energi buatan yang dipancarkan ke permukaan bumi dan direkam nilai pantulnya oleh sensor.
Sistem aktif ini biasanya menggunakan
gelombang mikro (microwave) yang
mempunyai panjang gelombang lebih panjang dan dikenal dengan pencitraan radar (radar imaging). Sistem aktif pada umumnya berupa saluran tunggal (single channel). Ia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sistem optik dalam hal mampu menembus awan dan dapat dioperasikan pada malam hari karena tidak tergantung pada sinar matahari. Sistem aktif antara lain diterapkan pada Radarsat (Kanada), ERS-1 (Eropa) dan JERS (Jepang).
3. Pemrosesan Data Citra Satelit (Image Processing)
Karena data penginderaan jauh berupa data digital maka penggunaan data memerlukan suatu perangkat keras dan lunak khusus untuk pemrosesannya. Komputer PC dan berbagai software seperti ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS, PCI, ENVI, dll dapat dipergunakan sebagai pilihan. Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara : (1). Pemrosesan dan analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua metoda ini mempunyai keunggulan dan kekurangan,
seyogyanya kedua metode dipergunakan
bersama-sama untuk saling melengkapi.
Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi dan memproses, ekstraksi data secara otomatik,
menyimpan, mendesain format peta dan
mencetak. Sedangkan analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan data secara digital tidak dapat dilakukan dan kurang berfungsi baik.
4. Sistem Informasi Geografis
SIG diartikan sebagai sistem informasi
yang digunakan untuk memasukkan,
menyimpan, memanggil kembali, mengolah menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau dat geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan penolahan penggunaan lahan, sumberdaya alam,
lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umun lainnya.
Analisis data spasial dalam SIG berdasarkan tahapan yang dimulai dari desain basisdata sampai pada tahap iuran yang
menghasilkan suatu informasi baru hasil
pengukuran teknik manipulasi dan analisis SIG bedasarkan variable-variabel masukan sesuai dengan metode yang telah ditentukan dan
penelusuran kembali untuk memperoleh
informasi baru dari proses pengolahan data dan penyusunan basisdata SIG.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh peta yang meliputi peta kemiringan lereng, curah hujan, tanah dan penggunaan lahan di digitasi dan kemudian diberi skor berdasarkan masing-masing parameter. Skor masing-masing parameter disajikan pada tabel 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Setelah semua peta tematik yang terdigitasi diberi skor kemudian di overlay menggunakan operasi intersect. Setelah semua peta tergabung menjadi satu kemudian skor masing-masing parameter dikalikan dengan faktor pembobot yang disajikan pada tabel 7.
Tabel 1. Skor Untuk Parameter Kemiringan Lereng
No Kemiringan Lereng Skor
1 0 - 8% 1
2 8 - 15% 2
3 15 - 25% 3
4 25 - 45% 4
5 > 45% 5
Tabel 2. Skor Untuk Parameter Curah Hujan
No Curah Hujan (mm/tahun) Skor
1 < 1000 1
2 1000 – 1500 2
3 1500 – 2000 3
4 2000 – 2500 4
5 >2500 5
Tabel 3. Skor Untuk Penggunaan Lahan
No Penggunaan Lahan Skor
1 Water body 0
2 Grass 1
4 Forest, mix garden 3 5 Settlement, dry land 4
6 Paddy field 5
Tabel 4. Skor Untuk Permeabilitas Tanah
No Permeabilitas Tanah Skor
1 Excessive 1
2 Moderate, Poor 2
3 Well 5
Tabel 5. Skor Untuk Tekstur Tanah
No Tekstur Tanah Skor
1 Sandy 1
2 Silt 2
3 Clay 5
Tabel 6. Skor Untuk Kedalaman Tanah
No Kedalaman Tanah Skor
1 > 120 1
2 90 – 120 2
3 60 – 90 3
4 30 – 60 4
Tabel 7. Faktor Bobot (Weighting factor) untuk masing-masing parameter
No Variabel Faktor Bobot
1 Kemiringan Lereng 3
2 Curah Hujan 2
3 Penggunaan Lahan 2
4 Tanah 2
Setelah masing-masing parameter dikalikan dengan faktor pengali kemudian dilakukan skor total menggunakan operasi field calculator, sehingga hasil akhirnya adalah kolom (field) baru yang berisi hasil penjumlahan masig-masing faktor berdasarkan faktor bobot. Angka yang tertera pada skor total ini kemudian diklasifikasikan menggunakan operasi query dengan pembagian kelas disajikan pada tabel 8 di bawah.
Tabel 8. Potensi tingkat kelongsoran tanah
No Tingkat Kelongsoran Tanah Skor
1 Sangat rendah < 19
2 Rendah 19 – 27,9
3 Sedang 28 – 38.9
4 Tinggi 39 – 47.9
5 Sangat Tinggi ≥ 48
Pada laporan ini pemetaan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode scoring. Hasil pemetaan dengan metode scoring ini disajikan pada gambar 1.
Gambar 1 Hasil Pemetaan dengan metode Scoring
Warna-warna pada peta menunjukkan potensi bencana alam longsor:
kuning : sangat tinggi
hijau : tinggi
biru muda : sedang
merah muda : rendah
ungu : sangat rendah
Berdasarkan pengali faktor pembobot
berdasarkan analisa maka secara berurutan faktor yang paling utama mempengaruhi suatu kejadian longsor adalah kelerengan (3), curah hujan, penggunaan lahan (2), dan yang lainnya geologi, kedalaman tanah, tekstur tanah, dan permeabilitas tanah. Hal ini sejalan dengan Penelitian Chang dan Slaymaker (2002) di daerah Ho She (Taiwan)
menyebutkan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya longsor pada daerah tersebut. Jumlah rekahan batuan yang banyak dengan tingkat kemiringan lereng yang cukup terjal yang dihasilkan dari kekar dan sesar merupakan faktor dasar terjadinya longsor. Sedangkan berdasarkan kecepatan kejadian longsor faktor yang sangat mempengaruhi adalah intensitas hujan, pembuatan jalan, dan pembabatan hutan. Selain itu tingkat kejadian longsor pada daerah hutan dengan kemiringan lereng yang tinggi dan dieksploitasi
menunjukkan nilai 9 kali lebih tinggi daripada daerah hutan pada lerengan yang sama dan tidak dieksploitasi (Jakob, 2000). Penutupan lahan berupa
vegetasi merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kekuatan curah hujan sehingga memicu adanya longsor. Sedangkan perubahan tutupan lahan berupa vegetasi pada akhirnya merubah pola kejadian longsor (Glade, 2003).
IV. PENUTUP 1. KESIMPULAN
a. Dari hasil pengolahan data citra diperoleh peta rawan bencana longsor untuk Propinsi DIY.
b. Sistem Informasi Geografis dapat
dimanfaatkan untuk memetakan resiko kerawanan longsor dengan cepat.
c. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat
longsor suatu lahan adalah tingkat
kemiringan lereng, tanah, penggunaan lahan dan curah hujan.
d. Peta rawan bencana longsor tersebut dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah, akademisi, maupun LSM dalam mengantisipasi bencana untuk mengurangi resiko akibat bencana alam. 2. SARAN
a. Penyusunan peta rawan bencana longsor
ini akan lebih optimal jika dipadukan dengan sistem prediksi longsor dan sistem alarm.
b. Pembuatan Sistem Informasi Online
mengenai kondisi di daerah rawan bencana
alam longsor akan lebih bermanfaat bagi penduduk setempat untuk antisipasi dini.
DAFTAR PUSTAKA
Chang, J. and O. Slaymaker. 2002. Frequency and spatial distribution of landslides in a
mountainous drainage basin: Western
Foothills, Taiwan. Catena 46 (285–307). Glade, T. 2003. Landslide occurrence as a response
to land use change: a review of evidence from New Zealand. Catena 51 ( 297– 314). Jakob, M. 2000. The impacts of logging on landslide
activity at Clayoquot Sound, British
Columbia. Catena 38.(279–300).
Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah
Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara. Jakarta. Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra, M.M. Sutedjo.
1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Bina Aksara. Jakarta.
Notohadinegoro, T. 1999. Diagnosis Fisik, Kimia dan Hayati Kerusakan Lahan (dalam : Prosiding Seminar Penyusunan Kriteria Kerusakan Tanah). Direktorat Kerusakan Lahan
Bapedal dengan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup UGM. Yogyakarta. Puntodewo, A. Dewi, S. dan Tarigan, J. 2003. Sistem
Informasi Geografis Untuk pengelolaan sumberdaya alam. Center for International Forestry Research. Bogor, Indonesia. Sarief, S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka