• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENGUASA DAN RAKYAT DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENGUASA DAN RAKYAT DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

94 Jurnal Kajian Hukum Muh. Darwis

Dosen Jurusan Syariah STAIN Palopo

HUBUNGAN ANTARA PENGUASA DAN RAKYAT DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH

Abstract:

The ruler and the people are two different strengths. Rulers need people, not only as a legitimate force but also as a force to carry out responsibilities in responsibility. While the people delegate their sovereignty to the ruler with the intention that people gain comfort in managing their lives. The combination of these two forces between the rulers and the people, will be the channel to realize the benefit together. Moreover, any model of governance in a country, the main objective is to establish the laws of Allah. for the realization of the benefit. In fact, these conditions are often inversely so it does not manifest benefit together. Therefore, this issue will be examined from the point of view of jurisprudence siyasah the focus of study rights and obligations of the ruler and the people.

Key words: Rulers, people, rights and obligations, maslahah.

I. PENDAHULUAN

Dalam teori sosiologi1, manusia dipandang sebagai suatu sistem organik yang harus beraviliasi dengan sesamanya. Hal ini berarti bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan politik2 tidak dapat mengaktualisasikan dirinya secara sempurna tanpa dukungan orang lain. Dalam konteks ini, manusia harus hidup dalam suatu

1

Sosiologi merupakan kajian ilmiah yang mempelajari keadaan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Lihat Dr. Dadang Kahmad. M.Si., Sosiologi Agama, Cet. I, (Bandung : Rosda Karya), h. 9. Lihat juga Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,Cet. XV, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1-2.

2

Ibnu Khaldun memahami bahwa manusia adalah al-Insan Madaniyah bi

al-Thabi’i (Makhluk sosial secara mandiri). Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah

(2)

Jurnal Kajian Hukum 95

kelompok masyarakat, atau dalam sketsa lebih luas yang disebut negara, betapapun sederhananya.

Kondisi tersebut di atas, telah melahirkan suatu paradigma bahwa dalam setiap kelompok masyarakat menghendaki interaksi kehidupannya secara teratur dan terarah. Karena itu, kelompok masyarakat melakukan kontrak sosial3 dengan individu-individu untuk memilih pemimpin dan selanjutnya rakyat menyerahkan sebagian atau seluruhnya kekuasaan yang mereka miliki kepada pemimpin yang mereka pilih. Dalam konteks negara, dua golongan itu disebut sebagai penguasa dan rakyat.

Melalui kontrak sosial yang mereka bangun bersama telah menjembatani dua kepentingan yang berbeda. Pada satu sisi, pemimpin atau penguasa mempunyai kepentingan yang cukup besar kepada rakyat, antara lain dukungan legitimasi dari rakyat. Pada sisi yang lain, rakyat juga mempunyai kepentingan yang tidak kalah pentingnya dengan pemerintah. Dalam berbagai kepentingan, rakyat membutuhkan keterlibatan pemerintah, misalnya pemerintah berkewajiban memberi rasa aman kepada masyarakat.

Namun pada kenyataannya, kontrak sosial yang mereka sepakati – pada kondisi dan kepentingan tertentu – seringkali “dikhianati” oleh mereka. Hak dan kewajiban sering tidak lagi diindahkan. Pelanggaran seringkali datang dari penguasa ; menindas dengan cara yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia ( HAM ). Tetapi, pada kondisi dan kepentingan tertentu, rakyat juga sering melakukan gerakan yang merupakan simbol ketidaksepahamannya dengan pihak penguasa.

Dalam konteks fiqih siyasah, antara penguasa dan rakyat merupakan dua kelompok yang harus bersinergis dalam mewujudkan kemaslahatan secara bersama-sama. Karena, apapun model pemerintahan pada suatu negara, maka tujuan utamanya adalah penegakan hukum-hukum Allah swt. demi terwujudnya

3 Kontrak sosial merupakan suatu teori yang mengemukakan bahwa

kehidupan bernegara berpangkal dari suatu perjanjian masyarakat. Dr. Abd. Muin Salam, Konsepsi Kekuatan Politik dalam al-Qur‟an, Cet. II, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 69.

(3)

96 Jurnal Kajian Hukum

kemaslahatan4 bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, juga dimaksudkan agar manusia dapat melenyapkan mafsadah dalam kehidupannya.5

Persoalannya kemudian adalah bagaimana hubungan keduanya dapat berjalan secara harmonis dan saling melengkapi untuk mewujudkan kemaslahatan ? Dalam kaitan ini, masalah hubungan antara penguasa dan rakyat dan pokok-pokok persoalan di sekitarnya, penulis akan mengkajinya dari aspek fiqih siyasah dengan memfokuskan pembahasan pada hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat.

II. PEMBAHASAN

Penguasa dan rakyat, dalam spektrum politik merupakan dua kekuatan yang berbeda. Namun, untuk mewujudkan tujuan bersama, keduanya harus membangun kerjasama yang baik. Penguasa diberi kewenangan oleh rakyat untuk mengatur suatu pemerintahan. Hal ini berarti bahwa dukungan rakyat adalah jaminan politik kepada penguasa. Sementara itu, melalui jaminan politik tersebut, rakyat akan memperoleh kemaslahatan dengan baik. Dalam pentas sejarah, para khalifah Rasul saw. telah menunjukkan model hubungan yang baik dengan rakyat. Abu Bakar r.a. misalnya, dalam pidato perdananya disebutkan bahwa meskipun mendapat dukungan dari rakyat, tetapi tidaklah berarti bahwa Abu Bakar lebih baik dari anggota masyarakat yang lain. Karenanya, Abu Bakar mengajak masyarakat untuk mendukung dan membantunya jika dirinya bertindak baik dan sebaliknya, tidak segan untuk mengoreksi dan memperbaikinya apabila bertindak tidak benar.6 Lebih lanjut, Abu Bakar meminta kepada masyarakat untuk mentaatinya selama

4 Maslahat merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh syari‟at

Allah. Karena itu, penegakan hukum-hukum Allah swt. dalam suatu negara merupakan suatu keharusan. Lihat Muhammad Thahir bin „Asyur, Maqa>s}id

al-Syari‟ah al-Isla>miyah, Cet. I, (Mesir : Da>r al-Sala>m, 2005 M/1426 H), h. 62.

Bandingkan dengan Akhmad Raisuni, Nazahariyat Maqa>s}id „Inda

al-Sya>tibi, (Rabath : Da>r al-Aman, 1991), h. 67. 5 Op.Cit., h. 62.

6 Lihat Munawir Sjadzali, MA, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi ke-5, (Jakarta : UI Press, 1993), h. 28.

(4)

Jurnal Kajian Hukum 97

dirinya taat kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. Sebaliknya, memerintahkan kepada masayarakat agar tidak mentaatinya jika kemudian perintahnya tidak sejalan dengan ajaran Allah swt. dan Rasulullah saw.7

Para pelanjut Abu Bakar, juga melakukan hal yang sama setelah dinobatkan sebagai khalifah. Ali bin Abi Thalib r.a. misalnya, dalam pidato awalnya menjelaskan bahwa al-Qur‟a>n telah menjelaskan tentang yang baik dan buruk. Dalam kaitan itu, dia mengajak rakyat untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang tidak baik.8

Berangkat dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa ungkapan Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib mencerminkan dirinya sebagai sosok khalifah yang sangat tawadhu dan sekaligus bersahaja. Hal ini lebih disebabkan oleh pandangannya bahwa posisi khalifah / penguasa sebagai satu kepercayaan (amanah)9. Selain itu, dapat juga dipahami bahwa khalifah Rasulullah saw. melibatkan rakyat sebagai komponen penting dalam pemerintahannya. Dengan demikian, siapapun menjadi penguasa maka rakyat harus ditempatkan sebagai Controller agar pemerintahan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk efektifnya roda pemerintahan dalam suatu negara, maka ditetapkan adanya ketentuan yang mengikat antara penguasa dengan rakyat. Bagi penguasa, ditetapkan ketentuan-ketentuan berikut :

1. Hak dan Kewajiban Penguasa / Pemerintah

Posisi penguasa melekat padanya hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan hak penguasa, al-Mawardi10 menyebutkan bahwa ada hak bagi penguasa, yaitu :

a. Al- Haq al-Ta‟ah

7 Ibid. 8 Ibid., h. 29.

9 Majid Ali Khan, The Pious Chaliphs, Alih Bahasa Joko S. Abd. Kahhar

dengan judul “Sisi Hidup Para Khalifah Shaleh”, Cet. I, (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), h. 207.

10 Al-Mawardi, Ahka>m Sult}aniyah, (Kairo : Musthafa Babi

(5)

98 Jurnal Kajian Hukum

Haq taat yaitu hak untuk memperoleh ketaatan dari rakyatnya. Hal ini sejalan

dengan petunjuk Allah swt. di dalam al-Qur‟an Surah an-Nisaa (4) : 59                               

Artinya : Hai orang-orang beriman ! Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam hadits Nabi saw. juga disebutkan tentang adanya hak penguasa untuk memperoleh ketaatan, yaitu :

Artinya : Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. bersabda : Barangsiapa yang taat kepada-ku, maka sungguh dia telah taat kepada Allah swt. Barangsiapa yang durhaka kepada-ku, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah swt. dan barangsiapa yang taat kepada amir-ku, maka sungguh dia telah taat kepada-ku. Barangsiapa yang durhaka kepada amir-ku, maka sungguh dia telah durhaka kepada-ku.

Petunjuk Rasulullah saw. tersebut memperjelas posisi penguasa sebagai sesuatu yang harus ditaati sepanjang tidak berbuat maksiat kepada Allah swt. sebab ketaatan kepada penguasa merupakan rangkaian ketaatan kepada Rasulullah dan ketaatan kepada Rasulullah juga merupakan suatu mata rantai yang terputus atas ketaatan kepada Allah swt. Sedangkan ketaatan kepada Allah swt. yang merupakan puncak dari ketaatan akan dipersiapkan posisi yang terhormat oleh Allah swt. Hal ini dapat dijumpai dalam QS. an-Nisaa (4) : 69

(6)

Jurnal Kajian Hukum 99                    

Artinya : Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Selanjutnya, petunjuk ayat dan hadits di atas dapat pula dipahami bahwa kepatuhan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta kepada pemerintah merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan. Secara siyasah, ketaatan kepada penguasa / pemerintah mempunyai implikasi kepada kelancaran pelaksanaan roda pemerintahan. Mengapa ? Sebab pada kepatuhan itu terkandung makna kestabilan. Dalam kestabilan ada ketenangan dan melalui ketenangan itulah pemerintah dapat merumuskan dan melaksanakan pemerintahan dengan baik demi tercapainya kemaslahatan bagi rakyat.

b. Al-Haq al-Nasrah

Hak al-Nashr adalah hak untuk memperoleh bantuan dari rakyat dalam pelaksanaan tugas pemerintah. Tidak terbatas pada dua hak di atas, tetapi juga ternyata dalam sejarah disebutkan bahwa ada hak lain bagi penguasa yaitu mendapat imbalan dari Bayt al-Mal untuk keperluan hidup dan keluarganya secara patut.

Dalam kaitannya dengan hak yang terakhir – mendapat imbalan – diuraikan bahwa selama 6 bulan Abu Bakar menjadi khalifah, masih ke pasar untuk berdagang dan hasil dagangannya untuk nafkah keluarganya. Mengingat tugas kepala negara begitu berat, maka para sahabat bermusyawarah dan memutuskan untuk memberi gaji dan akhirnya diberi gaji 6.000 dirham setahun.11 Pada riwayat yang lain disebutkan dengan jumlah 2000 sampai 2500

11 Dr. Abd. Qadir Audah, al-Isla>m wa Audha „Una al-Siyasiyyah, (Mesir :

(7)

100 Jurnal Kajian Hukum

dirham.12

Sementara Badruddin Ibnu Jama‟ah (seorang faqih Sunni), sebagaimana dikutip oleh Zhafir al-Qashimi, mengatakan bahwa hak-hak seorang pemimpin dalam suatu negara meliputi : a). Hak mendapatkan kepatuhan rakyat sepanjang bukan maksiat, b). Hak memperoleh nasihat, baik secara tertutup maupun terang-terangan, c). Hak mendapatkan bantuan lahir dan bathin, d). Hak mendapatkan penghormatan, e). Hak mendapatkan teguran jika terlupa dan menunjukkan jalan benar jika menyimpang, f). Hak mendapatkan bantuan dalam menyelenggarakan kemaslahatan umat, dan j). Hak mendapatkan pemeliharaan, baik dengan perkataan, perbuatan maupun harta dan jiwa dari rakyat.13

Berkenaan dengan hak-hak penguasa, Abu A‟la al-Maududi14 menyatakan bahwa seyogyanya rakyat memberikan dukungan kepada penguasa atas tugas-tugas yang berkaitan dengan pemerintahan. Karena itu, penguasa mempunyai hak atas rakyatnya sebagaimana beliau kemukakan sebagai berikut :

a. Rakyat harus taat kepada penguasa. Hal ini didasarkan pada QS. an-Nisa (4) : 59                               

Artinya : Hai orang-orang beriman ! Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah

12

Dr. Moh. Yusuf Musa, Niz}am al-Hukm fi> al-Isla>m, (al-Qahirah : Dar al-Kutub al-Arabi, 1963), h. 12.

13 Zhafir al-Qasimi, Nizham al-Hukm fii al-Syari‟at wa al-Tarikh, (Beirut :

Dar al-Nafais, 1974), Juz I, h. 974. Lihat juga EIJ Rosenthal, Political Thought in

Medical Islam, T.Tp. : Camridge University Press, 1962, h. 43-51

14 Abu A‟la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, (Kuwait : Dar al-Qalam,

(8)

Jurnal Kajian Hukum 101

Qur‟an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Mentaati UU dan tidak menimbulkan kerusakan dalam sistem atau ketentuan peraturan. Dasarnya adalah QS. al-A‟raf (7) : 85

             

Artinya : Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu betul-betul orang yang beriman.

b. Membantu penguasa dalam semua usaha kebaikan. Dasarnya terdapat pada QS. al-Maidah (5) : 2

                  

Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sungguh Allah Maha berat Siksa-Nya.

c. Bersedia mengorbankan jiwa dan raga dalam membela kepentingan negara. Hal ini didasarkan pada QS. at-Taubah (9) : 41                 

Artinya : Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(9)

102 Jurnal Kajian Hukum

dipahami bahwa ketaatan rakyat kepada penguasa merupakan persoalan yang sangat penting. Namun demikian, harus pula dipahami bahwa ketaatan tersebut tidaklah bersifat Muthlaq, tetapi bersifat Muqayyad. Artinya, penguasa (imam) memiliki hak-hak tersebut selama ia tidak menyimpang dari tujuan ke-imamah-an. Namun, jika ia menyimpang maka penguasa tersebut tidak layak untuk menerima hak tersebut. Dalam kaitan ini, terdapat dua alasan untuk menggugurkan hak penguasa, yaitu cacat dalam keadilannya dan cacat jasmani.15

Cacat dalam keadilan bagi penguasa merupakan suatu ungkapan yang bersifat umum dan menyiratkan makan yang luas sekali. Hal ini berarti bahwa jalan yang ditempuh oleh penguasa dalam melaksanakan urusan negara telah berubah secara prinsipil, sehingga kebajikan tidak dapat ditegakkan lagi. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada kewajiban bagi rakyat untuk mentaati penguasa. Sejalan dengan masalah ini, rasulullah saw. bersabda :

Artinya : Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat kepada Allah swt., bahwasanya taat itu hanyalah terhadap perbuatan yang ma‟ruf (baik).16

Selanjutnya, cacat jasmani jika sampai pada tahap tertentu juga dapat menghalangi pemimpin untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang berat. Oleh karena itu, jasmani yang sehat bagi al-Mawardi dan Abu Ya‟la juga merupakan pra syarat bagi seorang pemimpin.

Sebagai penguasa, selain ia memperoleh hak-hak secara istimewa juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan. Dalam kaitan ini, al-Mawardi berpendapat bahwa penguasa mempunyai 10 kewajiban, yaitu :

1. Memelihara agama dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati; 2. Melaksanakan hukum di antara orang-orang yang berselisih; 3. Memelihara wilayah negara agar rakyat dapat hidup tenang di

dalamnya;

15

Al-Mawardi, Loc.Cit.

16

Imam Nasa‟i, Sunan Nasa>i, Cet. I, (Mesir : Musthafa Babi al-Halaby, 1383 H / 1964 M), Juz VII, h. 124-125. Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, (Mesir : Isa al-Babi al-Halabi, 1972), Juz II, h. 956

(10)

Jurnal Kajian Hukum 103

4. Menegakkan hukum-hukum Allah swt.

5. Menjaga keselamatan pertahanan negara sehingga tidak diserang oleh musuh;

6. Berjihad terhadap musuh yang membangkang setelah diberi dakwah, sehingga ia muslim atau berdamai;

7. Mengumpulkan fa‟i dan sadaqah sesuai dengan ketentuan nash; 8. Mengatur pengeluaran negara;

9. Mengangkat orang-orang bijaksana dan terpercaya sebagai bawahan dan penasehat dalam tugas guna menyelenggarakan urusan negara dengan baik; dan

10. Melaksanakan tugasnya sendiri dalam membina umat dan menjaga agama.17

Selain pandangan di atas, Ibnu Taimiyah juga berpandangan bahwa seorang pemimpin / penguasa selain mempunyai kekuasaan dan otoritas tertinggi, juga memikul tanggung jawab yang berat pula. Penguasa bertanggung jawab terhadap pelaksanaan segala kewajiban agama yang merupakan syiar Islam, melaksanakan ketentuan hukum (Hudud wata‟zir), pemerataan kesejahteraan rakyat, penyempurnaan pelayanan masyarakat, menjalankan ketentuan-ketentuan sosial ekonomi yang menjamin harga diri dan hak milik setiap individu.18

Fungsi penguasa bersifat temporal (keduniaan) dan spiritual. Sebab, penguasa akan mempertanggungjawabkan kesejahteraan rakyatnya sekaligus moral dan agama rakyatnya. Dalam pada itu, wilayah (dalam arti kekuasaan atau negara) mempunyai peranan sebagai tempat untuk menerapkan syari‟at Allah, menegakkan institusi-institusi yang dapat menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan sehingga yang dikehendaki Allah dapat terwujud.19

Kedua pandangan tersebut menunjukkan bahwa kewajiban penguasa atas rakyatnya mempunyai arti penting untuk terwujudnya kemaslahatan di dunia dan menjadi sarana meraih kebahagiaan di akhirat. Karena, ajaran Islam menginginkan terbentuknya masyarakat

17

al-Mawardi, Op.Cit,. h. 15-16

18 Ibnu Taimiyah, Siya>sah Syar‟iyyah, (Beirut : Dar Kutub

al-Arabiyyah, 1966), h. 5

(11)

104 Jurnal Kajian Hukum

yang bersendikan moral demi terwujudnya keadilan, kebenaran dan persaudaraan dalam kehidupan sosial.20 Selain itu, melalui penguasa juga ; hak-hak rakyat terlindungi, hak azasi manusia seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat, hak mendapatkan penghasilan yang layak, hak beragama dan lainnya dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat.21

2. Hak dan Kewajiban Rakyat

Rakyat merupakan komponen yang sangat penting di dalam struktur pemerintahan. Dalam konteks fiqih siyasah, rakyat perlu memberikan legitimasi kepada penguasa / pemerintah untuk terwujudnya kemaslahatan. Hubungan timbal balik ini melahirkan hak dan kewajiban. Dalam pandangan Abu A‟la al-Maududi, rakyat mempunyai hak atas penguasa / pemerintah, antara lain :

1. Perlindungan rakyat terhadap hidupnya, harta dan kehormatannya;

2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi;

3. Kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan; dan

4. Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaannya.22

Sementara Abdul Kadir Audah menyebutkan bahwa rakyat mempunyai dua hak pokok, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan (kebebasan berfikir, kebebasan beraqidah, kebebasan berbicara, kebebasan berpendidikan dan kebebasan memiliki).23

Kedua alur pikiran di atas nampak sejalan, terutama pada persamaan dan aspek kebebasan. Jika prinsip-prinsip tersebut dikaitkan dengan konsep dasar Hak Azasi Manusia (HAM) nampaknya relevan. Pada Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM), pasal 2, pasal 3 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pasal 9 (1) dan pasal 18 (1) secara jelas disebutkan tentang hak-hak dasar manusia. Sebagai contoh, pada pasal 3

20 Dr. Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi, Cet. I. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 16

21

Lihat Prof. A. Djazuli, MA., Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan

Ummat dalam Rambu-Rambu Syariah, Cet. I (Bogor : Kencana, 2003), h. 97 22 Abu A‟la al-Maududi, Op.Cit., h. 266

(12)

Jurnal Kajian Hukum 105

DUHAM dan pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa :

Pasal 3 DUHAM : “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”.24

Pasal 18 (1) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik : “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama”.25

Dalam konteks pemikiran modern, dipahami bahwa hak itu merupakan suatu kondisi yang sangat mendasar yang harus dihormati karena merupakan anugerah dari Allah swt. Selain itu, juga harus dipenuhi oleh penguasa sebagai konsekuensi logis dari ketaatan rakyat kepada penguasa. Dalam kaitan itu pula, dapat dipahami bahwa hak rakyat lahir – dalam arti hubungan timbal balik – karena rakyat melakukan kewajibannya dengan baik. Dengan demikian, hak-hak rakyat dapat terpenuhi dengan sempurna apabila rakyat melaksanakan kewajibannya dengan sempurna pula dalam suatu sistem pemerintahan.

Uuntuk terciptanya roda pemerintahan yang baik terhadap prinsip-prinsip yang harus ditegakkan. Menurut Sayyid Muhammad Quthub, terdapat tiga prinsip yaitu : 1). Keadilan penguasa, 2). Ketaatan rakyat, dan 3). Adanya musyawarah antara penguasa dan rakyat.26

Persoalan ketaatan rakyat (2) dalam pandangan Sayyid Muhammad Quthub dapat dipahami bahwa kelangsungan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh ketaatan rakyat kepada penguasa. Apabila dalam suatu negara, rakyat tidak taat maka penguasa akan kesulitan menyelenggarakan pemerintahan secara baik. Untuk itulah, prinsip keadilan penguasa yang ditopang dengan musyawarah antara penguasa dan rakyat perlu dipelihara agar ketaatan rakyat kepada penguasa terlaksana dengan baik.

Disamping tiga prinsip di atas, penulis melihat adanya suatu

24 Tim Penyusun, Kompilasi Instrumen Internasional Hak Azasi Manusia,

Cet. I, (Surabaya : Pusat Studi HAM Univ. Surabaya, 2003), h. 3

25 Ibid.

26 Lihat Sayyid Muhammad Quthub, „Adalah Ijtima‟iyyah fii al-Isla<m, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1967), h. 101-108

(13)

106 Jurnal Kajian Hukum

aspek yang sangat urgen yaitu prinsip persaudaraan. Prinsip persaudaraan sebetulnya juga dibangun atas prinsip tauhid.27 Sementara tauhid mengajarkan bahwa manusia diciptakan olehh Yang Maha Tunggal, Allah swt. Paham ini membawa kepada keyakinan berikutnya bahwa manusia seluruhnya adalah bersudara karena diciptakan oleh Allah swt. Karena itu, Islam tidak mengenal sekat-sekat berdasarkan karena perbedaan warna kulit, bangsa dan bahasa, bahkan agama sekalipun.28 Ada baiknya menyimak sabda Rasulullah saw. berkenaan dengan pentingnya persaudaraan :

Artinya : Dari Abdullah ibn Umar : Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. : Perbuatan apakah yang paling baik dalam Islam ? Rasulullah menjawab : “Engkau sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak”.29

Artinya : Dari Adiy ibn Hatim dari Nabi saw. bersabda : Barangsiapa yang dapat melindungi dirinya dari api neraka, hendaklah ia bersadaqah sekalipun hanya sebutir kurma. Kalau itupun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik.30

Dua hadits tersebut menuntun kita untuk memahami bahwa memberi makan dan memberi salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal merupakan wujud persaudaraan. Selanjutnya, bersedekah sebutir kurma (jika ada) dan mengucapkan kata-kata yang baik juga menunjukkan nilai-nilai persaudaraan. Sejenak kita bertafakkur, betapa luhurnya persaudaraan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada umat manusia.

Penulis melihat jika keadilan penguasa, ketaatan rakyat, adanya musyawarah antara penguasa dan rakyat, serta persaudaraan

27 Akidah Tauhid mengandung keyakinan terhadap ke-Maha Esa-an Allah

swt. (tauhid) dan hari akhirat sebagai pembalas. Prof. Dr. Ahmad Sukarja, Ajaran, dalam “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.), h. 1

28 Lihat Dr. Musda Mulia, Negara Islam ; Pemikiran Politik Husain Haikal,

Cet. I. (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 111

29 Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), Jilid VII, h.

128

(14)

Jurnal Kajian Hukum 107

dapat dipadukan menjadi suatu tata nilai dalam pengelolaan suatu negara, maka kemaslahatan bagi manusia akan terwujud dengan baik. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, maka untuk mewujudkan kemaslahatan yang merupakan cita-cita syari‟at Allah swt. sulit untuk terwujud.

Apabila diselami lebih dalam lagi, dapat ditemukan suatu “mutiara” yang memberi makna interrelasi antara rakyat dan penguasa, yaitu Kewajiban.

Apabila penguasa / pemimpin dan rakyat dalam suatu negara melaksanakan kewajibannya masing-masing secara baik, akan tercipta suatu hubungan yang harmonis. Hal ini tidaklah berarti bahwa hak keduanya tidak diperhatikan dan atau dikorbankan melainkan dengan melaksanakan kewajiban secara baik berarti memenuhi hak pihak lain. Penguasa / pemerintah yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh kesadaran berarti penguasa telah memenuhi hak rakyat. Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban oleh rakyat berarti juga telah memenuhi hak penguasa.

Berangkat dari uraian ini, dapatlah dirumuskan bahwa hubungan antara penguasa dengan rakyat harus bersinergis dengan memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan penghormatan kepada hak dan kewajiban di antara penguasa dan rakyat akan mendorong terciptanya keharmonisan dalam pengelolaan suatu pemerintahan. Melalui keharmonisan itu pula memudahkan tercipta ketenangan di dalam kehidupan masyarakat. Dalam ketenangan itu pula penguasa dapat menjalankan roda pemerintahan dan rakyat dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik dalam bingkai syari‟at menuju kemaslahatan bersama.

Dengan demikian, suatu negeri yang di dalamnya tercipta hubungan yang harmonis antara penguasa dengan rakyat, hak dan kewajiban terpelihara dengan baik akan menjadi jalan bagi curahan rahmat Allah swt. dan negeri tersebut akan menjadi negeri yang baik dan penuh ampunan dari Allah swt. (Baldatun at-Thayyibah wa Rabbun Ghafur).

(15)

108 Jurnal Kajian Hukum III. SIMPULAN

Dari uraian makalah ini, dapat ditarik beberapa simpulan : 1. Penguasa berhak memperoleh ketaatan dan pertolongan dari

rakyat selama penguasa konsisten menegakkan hukum-hukum Allah swt. Apabila penguasa tidak konsisten dalam penegakan hukum-hukum Allah swt., maka tidak ada keharusan untuk taat kepada penguasa. Selain adanya hak penguasa, terdapat juga kewajiban penguasa atas rakyatnya. Kewajiban penguasa mempunyai arti penting untuk terwujudnya kemaslahatan di dunia dan menjadi sarana meraih kebahagiaan di akhirat. Karena itu, penguasa berkewajiban menjalankan kewajibannya dengan baik dalam bingkai hukum-hukum Allah swt.

2. Rakyat juga mempunyai hak atas penguasa seperti ; perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya, perlindungan terhadap kebebasan pribadi, kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan, terjamin kebutuhan pokok hidupnya dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaannya. Dalam pada itu, rakyat juga mempunyai kewajiban terhadap penguasa, seperti kewajiban untuk taat dan memberikan bantuan kepada penguasa. Kewajiban rakyat merupakan hak bagi penguasa, demikian juga sebaliknya. 3. Hubungan antara penguasa dengan rakyat harus bersinergis

dengan memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan penghormatan kepada hak dan kewajiban di antara penguasa dan rakyat akan mendorong terciptanya keharmonisan dalam pengelolaan suatu pemerintahan. Dari sinilah akan dibangun secara kokoh piramida kehidupan yang mashlahat menuju Baldatu at-Thayyibah wa Rabbun Ghafur.

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim

Al-Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Jilid VII, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.

Al-Nasa‟i, Imam, Sunan al-Nasai, Cet. I, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabiy, Juz VII 1383 H./1964 M.

Al-Mawardi, Ahkam Sultaniyah, Kairo : Musthafa Babi al-Halabiy,1339 H./1978 M.

(16)

Jurnal Kajian Hukum 109

Audah, Abdul Qadir, Dr., al-Islam wa Audha‟una al-Siyasiyyah, Mesir : Dar al-Kutub al-Arabi, 1951

Al-Maududi, Abu A‟la, Khilafah wa Mulk, Kuwait : Dar al-Qalam, 1978

Al-Qasimi, Zhafir, Nizam al-Hukm fi al-Syari‟at wa al-Tarikh, Juz I, Beirut : Dar al-Nafais, 1974

Al-Raisuni, Akhmad, Nazahariyat al-Maqasid „Inda al-Syatibi, Rabath : Dar al-Aman, 1991

Ali Muhammad, Rusjdi, Dr., Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh Problem, Solusi Dan Implementasi, Cet. I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2003

A.Djazuli, Prof., MA., Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah, Cet. I, Bogor : Kencana, 2003

Ali Khan, Majid, The Pious Caliphs, Alih Bahasa Joko S. Abd. Kahhar dengan Judul “Sisi Hidup Para Khalifah Saleh”, Cet. I, Surabaya : Risalah Gusti, 2000

Kahmad, Dadang, Dr., M.Si., Sosiologi Agama, Cet. I, Bandung : Rosda Karya, 2000

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Kairo : Dar al-Sya‟ab, t.th.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, Jilid I, Beirut : Dar al-Fikr, t.th. Majah, Ibnu, Sunan Ibn Majah, Juz II, Mesir : Isa Babi

al-Halabiy, 1972

Musa, Moh. Yusuf, Dr., Nizham Al-Hukm Fi Al-Islam, Al-Qahirah : Dar al-Kutub al-Arabi, 1963

Mulia, Musda, Dr., Negara Islam ; Pemikiran Politik Husain Haikal, Cet. I, Jakarta : Paramadina, 2001

Quthub, Sayyid Muhammad, „Adalah Ijtima‟iyyah Fii Al-Islam, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1967

Rosenthal, EIJ, Political Thought In Medical Islam, t.tp. : Cambridge University Press, 1962

Soekanto, Soerjono, Prof., Dr., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. XV, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Salim, Dr., Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur‟an, Cet. II, Jakarta : Rajawali Press, 1995

(17)

110 Jurnal Kajian Hukum

dan Pemikiran, Edisi ke-5, Jakarta : UI Press, 1993

Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar‟iyyah, Beirut : Dar Kutub al-„Arabiyyah, 1966

Thahir bin „Asyur, Muhammad, Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyah, Cet. I, Mesir : Dar al-Salam, 2005 M./1426 H.

Penyusun, Tim, Kompilasi Instrumen Internasional Hak Azasi Manusia, Cet. I, Surabaya : Pusat Studi HAM Univ. Surabaya, 2003

Referensi

Dokumen terkait

Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,

Penyelesaian pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban investor terkait perjanjian kemitraan pada pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang secara hukum dapat menuntut ialah

mendukung penelitian yang dilakukan tentang HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DAERAH DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN

Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.. dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk

Jadi dengan demikian, maksud dengan judul skripsi ini adalah suatu kajian tentang praktek pelaksanaan pembangunan Desa dilihat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun

Kegiatan analisa data ini dilakukan dengan cara mengkaji unsur mitos yang terkandung dalam cerita rakyat, mengkaji nilai budaya yang terkandung di dalamnya, juga

HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan

Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yangg buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral, kalau ditarik dalam bahasa Arab etika disebut juga dengan ilmu