• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum pencung dalam perspektif fiqih dan ham

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum pencung dalam perspektif fiqih dan ham"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PANCUNG DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Husniyah

NIM : 107045202199

KONSENTRASI SIYASAH SYARIYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲ ﻢﺴﺑ

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji Syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan

kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang

mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi

Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mamapu berdiri dengan rasa

bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada

keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga

akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah

memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan

hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembantu Dekan I,

II, III yang telah membimbing penulis.

2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Bapak Afwan Faizin, MA selaku Ketua dan Sekertaris Program

Studi Jinayah Siyasah yang telah meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam

(6)

3. Dr. H. Muhammad Nurul Irfan dan Bapak Khamami Zada selaku dosen pembimbing

yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang sangat berguna bagi

penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

4. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan Ikhlas menyalurkan ilmu dan

pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

5. Kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta

doa yang bergema dalam dzikir dan tahajjudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda H. Ardani Choiri dan Ibunda Hj. Zahro

Hayati. Juga untuk ke sepuluh orang kakak dan abngku, semua keponakan yang

lucu-lucu, dan semua saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dan dukungan

kepada penulis.

6. Teman-teman Program Studi Jinayah Siyasah Angkatan 2007 terima kasih telah

menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup.

7. Teman-teman dalam Gank “Kedondong” yang telah memberikan motivasi saya dalam

menulis skripsi, khususnya (Nurma Wazibali, Nicky Mustika, Citra Mutiara, Siti

Zubaidah, Devi Nur Asrida) makasih ya kawan.

8. Teman-teman KKN kelurahan Pisangan Ciputat 2010 yang telah memberi semangat dan

doanya.

9. Terakhir ucapan terima kasih kepada saudara Ahdiyat Bagus Nugraha yang senantiasa

setia menemani penulis dalam susah maupun senang, yang menjadi motifator agar

penulis mampu merampungkan skripsi ini dengan baik. Makasih ya Abang.

Tiada cipta dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT

(7)

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal

baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan

kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 19 Desember 2011

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka/Studi Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II :HUKUM PANCUNG SEBAGAI QISHASH DALAM FIQIH .. 11

A. Pengertian dan Sejarah Hukum Pancung Sebagai Qishash Dalam Islam 11 B. Tujuan dan Manfaat Diberlakukannya Hukum Pancung ... 15

C. Hal-Hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung .... 19

(9)

E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung ... 24

BAB III : HUKUMAN PANCUNG DALAM PERPEKTIF HAM HAM 29 A. Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM ... 29

B. HAM di Indonesia ... 41

C. Pandangan HAM Tentang Hukuman Mati ... 46

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH DAN HAM ... 51

A. Substansi Hukum... 51

B. Tujuan Penghukuman atau Pemidanaan ... 55

C. Tata Cara Penghukuman ... 60

BAB V: PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam dan hukum positif berbeda pandangannya dalam masalah penyelesaian

perkara pembunuhan. Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan,

atau cara membunuh. Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan

(menghabisi/menyabut) nyawa.1 Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut “Al-qatlu” berasal

dari kata “qatala” yang sinonimnya “amaata” artinya mematikan. Dalam arti istilah,

pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Syarbini Khatib

yaitu“Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.2

Pembunuhan dengan ancaman hukuman mati juga dikenal dalam semua agama dan

kitab sucinya, baik Injil, Taurat, maupun Alquran. Demikian pula dalam hukum Romawi dengan

sedikit perbedaan karena adanya diskriminasi, sesuai dengan tingkatan kelas pada saat itu. Dalam

hukum Romawi, apabila pelaku pembunuhan itu seorang bangsawan atau pejabat, ia bisa

dibebaskan dari hukuman mati dan sebagai penggantinya ia dikenakan hukuman pengasingan.

Kalau pelakunya kelas menengah maka ia dikenakan hukuman mati dengan jalan potong leher

(dipancung). Sedangkan untuk kelas rakyat jelata, ia disalib, kemudian hukuman itu diubah

menjadi diadu dengan binatang buas, kemudian diubah lagi dengan jalan digantung.3

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Allah mengharamkan membunuh seorang

tanpa ada sebab, dan apabila seseorang melakukan pembunuhan terhadap orang lain, hukuman

yang setimpal adalah hukuman mati, yaitu nyawa dibalas dengan nyawa, inilah yang dinamakan

1

Anton M. Moeliono, et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 138. 2

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), h. 217 3

(11)

dengan qishash. Di mana para fuqaha tidak ada kesepakatan mengenai cara atau teknis

pelaksanaan hukuman qishash. Menurut Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari kelompok

Hanabilah, qishash pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak

pidana pembunuhannya dilakukan dengan pedang atau dengan alat yang lainnya, dan

bagaimanapun cara atau bentuk perbuatannya. Mereka beralasan dengan hadis Nabi SAW, yang

diriwayatkan oleh Ibn Majah, Al-Bazzar, Baihaqi, dan Daruquthni dari Nu’man ibn Basyir,

bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada Qishash kecuali dengan pedang”.

Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqishash

(dibunuh) dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara

yang digunakannya. Apabila ia membunuh dengan pedang maka ia diqishash dengan pedang.

Apabila ia membunuh dengan cara membakar korban, maka ia diqishash dengan cara dibakar.

Namun demikian apabila wali korban mengubah pikirannya dengan meng-qishash menggunakan

pedang, hal itu dibolehkan.4 Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh

al-Bukhari dan Muslim dan firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 126.

Baru-baru ini kita telah dikejutkan dengan hukuman pancung yang dilakukan

pemerintah Arab Saudi kepada warga Indonesia “Ruyati binti Satubi” yang menjadi TKI di Arab

Saudi. Ruyati dieksekusi hukuman pancung di Arab Saudi karena telah membunuh majikannya

pada hari Sabtu, 18 Juni jam 15:00 waktu Saudi.5

Begitu kasus Ruyati mencuat ke permukaan, kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM)

berteriak lantang. Mereka mengecam keras pelaksanaan hukuman mati. Mereka menilai

hukuman mati itu bertentangan dengan HAM. Amnesty International, Jumat (11/6/2011),

meminta Arab Saudi menghentikan pelaksanaan hukuman mati setelah ada “penambahan

4

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 158-159 5

(12)

signifikan” dalam eksekusi di kerajaan itu dalam enam pekan terakhir. Sebagian pegiat HAM

kemudian menghubungkan hukuman pancung itu dengan Islam dan menyebut bahwa hukuman

itu barbar dan tidak berprikemanusiaan.6

Dalam UUD 1945 telah tertulis jelas pada Pasal 28A tentangan hak asasi manusia yang

menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”. Begitu juga dengan pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum”.7

Bukan hanya UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia, sebab hak-hak asasi manusia

lebih dirinci dengan munculnya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), di

mana dalam undang-undang tersebut dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa “Hak untuk hidup,

hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Kemudian dalam Pasal 9 ayat (1)

bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf

kehidupannya. Pasal 33 ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan

paksa dan penghilangan nyawa.” Pasal 35 bahwa “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan

masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi

dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana

diatur dalam undang-undang ini”.8

6

Media Umat, Edisi 62,6-19 Sya’ban 1432 H/8-12 Juli 2011. h. 7 7

Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2010), h.45 dan 47

8

(13)

Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai hukuman pancung, meski hukuman

pancung telah diatur dalam hukum Islam namun bukan berarti bagi sebagian orang bisa

menerima hukuman itu begitu saja, sebab banyak yang beranggapan bahwa hukuman pancung

telah bertentangan dengan undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999. Di mana undang-undang

tersebut menjamin hak untuk hidup bagi setiap warga negara Indonesia. Sedangkan hukum

pancung dinilai telah melanggar undang-undang HAM tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk membahas secara

mendalam mengenai masalah tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul: “HUKUM PANCUNG DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HAM”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pembatasan masalah dan fokus kajian skripsi ini, penulis akan

membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Berdasarkan atas pemaparan skripsi ini,

penulis membatasi permasalahan pada kajian hukuman pancung dalam perspektif Fiqih dan

HAM.

Adapun masalah pokok yang akan dicari jawabannya dalam skripsi ini bisa dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana hukuman pancung dalam perspektif Fiqih?

2. Bagaimana perbandingan pandangan antara Fiqih dan HAM mengenai hukuman

pancung?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(14)

Secara umum, tujuan penelitian ini antara lain:

1. Untuk menjelaskan bagaimana fiqih memandang hukuman pancung dengan berbagai

penjelasan mana yang patut dikenakan hukuman pancung mana yang tidak.

2. Mengetahui bagaimana kesesuaian hukum pancung jika dikaitkan dengan

Undang-undang HAM.

3. Memberikan gambaran mengenai bagaimana perspektif Fiqih memandang tentang

hukuman pancung jika dikaitkan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagi berikut:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu tambahan ilmu

pengetahuan mengenai hukuman pancung, yang peredarannya di dalam masyarakat

semakin lama semakin kompleks.

2. Dapat memberikan tambahan reverensi bacaan bagi mahasiswa mengenai hukuman

pancung dalam perspektif fiqih dan HAM.

3. Memberikan suatu gambaran apabila hukuman pancung diterapkan di Indonesia

dengan melihat beberapa segi, terutama dilihat dari segi peraturan di Indonesia yang

berasaskan UUD 1945 sebagai aturan dasar negara.

4. Mampu menjelaskan relevansi hukuman pancung dalam perspektif fiqih dan jika

dikaitkan dengan undang-undang HAM No. 39 Tahun 1999.

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan selama melakukan penelitian, penulis tidak

(15)

maupun di perpustakaan umum. Adapun skripsi yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan

penelitian yang penulis lakukan mengenai hukuman mati dan kaitannya dengan HAM adalah

skripsi yang ditulis oleh Ima Halimatu Sadiah dengan judul skripsi “Eksekusi Pidana Mati Studi

Tentang Psikologi Hukum Terpidana Mati Tubagus Yusuf Maulana Dan Sabirin” pada tahun

2010, yang menjelaskan tentang psikis seorang pembunuh yang divonis hukuman mati bagi

pelaku pembunuhan. Dalam skripsi ini, Ima Halimatu Sadiah menjelaskan bagaimana psikis

seorang pembunuh jika mereka dikenakan hukuman mati, seperti yang terjadi pada Tubagus

Yusuf Maulana dan Sabrini sebagai dukun yang telah meracuni pasiennya sampai mati. Letak

perbedaan dengan skripsi yang hendak saya bahas adalah pada tataran nilai hukuman mati

apabila ditinjau dari segi hukum Islam dan HAM, yang menjelaskan tentang hukuman mati bagi

seorang pembunuh dengan balasan yang setimpal.

Dan satu lagi yang penulis jumpai, yaitu tesis dari Roni Fahmi yang disusun pada tahun

2006, mengenai pandangan hukuman mati yang berjudul “Hukuman Mati Dalam Pidana Islam

Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. Dalam tesis ini, Roni Fahmi meneliti tentang

hukuman mati yang sifatnya lebih general ditinjau dari dua sudut pandang, pidana Islam dan

HAM. Letak perbedaan dengan skripsi yang penulis bahas di sini adalah bahwa tesis yang ditulis

oleh Roni Fahmi mengenai hukuman mati yang secara luas dijelaskan di dalamnya, baik

hukuman mati karna berzina (mushan), hukuman mati karna melakukan kejahatan Genosida,

hukuman mati karena melakukan pembunuhan. Bila dibandingkan dengan yang penulis teliti

dalam skripsi ini adalah mengenai hukuman mati khusus bagi para pelaku pembunuhan

berencana, dengan mempertimbangkan dari aspek Fiqih dan HAM.

(16)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian

kualitatif, di mana dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan studi kepustakaan

(library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari

buku-buku, majalah, artikel-artikel, makalah, koran, serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan

dengan masalah yang diangkat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik

kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah yang

akan dibahas dalam penelitian ini.

3. Sumber Data

a. Data Primer. Yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain

UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, DUHAM, dan

buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan.

b. Data Sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu

sumber-sumber berita dari berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik yang

berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil

menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan

yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode analisis

deskriptif, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan

(17)

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan rancangan proposal skripsi ini, penulisan mengacu pada buku

“Pedoman Penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2011”.

F. Sistematika Pembahasan

Materi laporan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama berjudul

“Pendahuluan”. Pada bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian

ini, yang dipaparkan menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) Latar belakang masalah, (2)

Pembatasan dan perumusan masalah, (3) Tujuan dan manfaat penelitian, (4) Tinjauan pustaka

atau penelitian terdahulu, (5) Metode penelitian, dan (6) Sistematika pembahasan.

Bab kedua berjudul “Hukum Pancung Dalam Perspektif Fiqih”. Bab ini menyajikan

penjelasan tentang hukuman pancung sebagai qishash dalam perspektif fiqih. Bab ini terdiri atas

5 (lima) sub-bab, yaitu (1) Pengertian dan sejarah hukum pancung sebagai qishash dalam Islam,

(2) Tujuan dan manfaat diberlakukannya hukuman pancung, (3) Hal-hal yang menyebabkan

seseorang dihukum pancung, (4) Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman pancung, (5) Tata

cara pelaksanaan hukuman pancung.

Bab ketiga berjudul “Hukuman Pancung Dalam HAM”. Dalam bab ini akan diuraikan

bagaimana HAM memandang hukuman pancung. Dalam bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab,

yaitu (1) Pengertian, sejarah dan nilai-nilai HAM, (2) HAM di Indonesia, (3) Pandangan HAM

tentang hukuman mati.

Bab keempat berjudul “Analisis Perbandingan Hukuman Pancung Dalam Perspektif

(18)

pancung dalam perspektif fiqih dan HAM, dalam bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1)

Substansi hukum, (2) Tujuan penghukuman atau pemidanaan (3) Tata cara penghukuman.

Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saran. Dalam bab ini

disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan dan korelasinya dengan komunitas

(19)

BAB II

HUKUM PANCUNG DALAM FIQIH

A. Pengertian dan Sejarah Hukum Pancung Dalam Islam

Hukum Pancung adalah jenis hukuman qishash dengan cara memenggal kepala jika

terdakwa benar-benar terbukti melakukan sebuah pembunuhan dan keluarga korban tidak

menghendaki adanya mediasi ataupun alternatif lainnya. Hukuman qishash dengan hukuman

pancung sebagai cara mengeksekusi tersangka dilakukan, karena hukuman pancung di nilai

sebagai hukuman yang paling ringan bagi si terpidana, dengan argumen bahwa hukuman

pancung meminimalisir rasa sakit yang diderita oleh si terpidana.

Secara literal, qishash merupakan kata turunan dari qashsha-yaqushshu-qashshan wa

qashashan ( ﱠﺺﻗ – ﱡﺺُ ﻘﯾ – ﺎ ًّﺼﻗو ًﺎﺼَﺼﻗ ) yang berarti menggunting, mendekati, menceritakan,

mengikuti (jejaknya), dan membalas.9

Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqy al-Syafi’i di dalam

bukunya Kifayah al-Akhyar menyebutkan bahwa seseorang terkena hukum qishash karena

beberapa syarat; pembunuh baligh, pembunuh berakal, pembunuh bukan orang kafir, dan yang

dibunuh bukan budak.10

Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia, pancung atau memancung adalah

memotong dengan parang atau pedang yang tajam agak miring (dengan sekai tebas) seperti

bambu telang. Memenggal leher orang seperti yang dilakukan algojo untuk menghukum orang

jahat dahulu. Terpancung, terpotong miring, terpenggal, setelah leher penahat itu, darah

9

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 1210

10

Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damasyqy al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), h. 159-160.

(20)

menyembur dari lehernya yang terpotong itu. Pancungan adalah potongan, tebasan dengan alat

yang tajam sekali (parang, pedang, kapak).11

Hukuman pancung merupakan metode hukuman mati yang murah dan praktis di mana

eksekusi hanya membutuhkan sebilah pedang atau sebuah kapak. Hukuman pancung biasanya

dilakukan dengan menggunakan pedang, kapak, guillotine, atau bahkan dengan senjata militer.

Hukuman pancung memiliki sejarah yang sangat panjang dan sulit diperkirakan asal

usulnya, karena seperti hukuman gantung. Hukuman pancung dahulu dianggap sebagai salah

satu cara terhormat untuk mati bagi seorang bangsawan, yang beranggapan bahwa sebagai

prajurit, sudah seharusnya berharap mati dengan tebasan pedang dalam situasi apa pun.

Di Inggris ada anggapan bahwa hukuman pancung merupakan hak istimewa para pria

terhormat. Hukuman pancung ini akan membedakan seseorang dari terdakwa lainnya yang

dihukum dengan cara yang tidak terhormat (keji) yaitu dengan dibakar secara hidup-hidup di atas

tumpukan kayu.12

Orang-orang Yunani dan Romawi menganggap hukuman pancung sebagai hukuman mati

yang kurang menyakitkan dibandingkan metode hukuman mati lain yang digunakan pada saat

itu. Oleh karena itu, mereka menggunakan hukuman pancung jika terpidana adalah warga negara

mereka sendiri. Sedangkan, jika terdakwa adalah penduduk dari negeri lain, mereka akan

menggunakan metode hukuman mati dengan cara disalib.

Hukuman pancung secara luas digunakan di Eropa dan Asia sampai abad ke-20, dan saat

ini hanya Arab Saudi dan Iran yang masih menggunakan metode hukuman mati seperti ini. Qatar

11

Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 989

12

Yudhasmara, Kisah dan Sejarah Hukuman Pancung,

(21)

dan Yaman pun sebenarnya melegalkan hukuman mati dengan metode seperti ini, namun sampai

saat ini belum ada eksekusi dengan metode ini yang dilaporkan.

Hukuman pancung juga digunakan secara luas di China sampai komunis berkuasa dan

menggantikannya dengan hukuman tembak di abad ke-20. Jepang juga terbiasa memenggal

kepala sampai akhir abad ke-19 sebelum beralih ke hukuman gantung.13

Hukuman pancung berlaku di Inggris sampai dengan tahun 1747 dan merupakan metode

hukuman mati standar di Norwegia sampai saat dihapuskan pada tahun 1905, Swedia (sampai

tahun 1903) dan Denmark (sampai tahun 1892) dan digunakan untuk beberapa kelas tahanan di

Prancis (sampai penggunaan Guillotine di tahun 1792) dan di Jerman sampai dengan tahun 1938.

Semua negara-negara Eropa yang sebelumnya menggunakan hukuman pancung sekarang telah

benar-benar menghapuskan metode hukuman mati dengan cara ini.

Sedangkan dalam ajaran Islam, hukuman pancung merupakan suatu balasan terhadap

seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Perbuatan membunuh adalah suatu aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau

beberapa orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dan atau

beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasi atau dikelompokkan

menjadi: disengaja (amad), tidak sengaja (khata), dan semi disengaja (syibhu al-amad).14

Demikian beratnya akibat dari pembunuhan, sehingga Allah SWT dalam ayat yang lain

menetapkan hukuman mati sebagai hukuman yang setimpal dengan perbuatan membunuh.

Dalam Surah Al-Maidah ayat 45 Allah berfirman:















13

Yudhasmara, Kisah dan Sejarah Hukuman Pancung,

http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/06/24/kisah-dan-sejarah-hukuman-pancung-di-dunia/ diunduh pada tanggal 9 Oktober 2011.

14

(22)

















































)

ﳌا

ةﺪﺋﺎ

/

5

:

45

(

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa

(dibalas) denngan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi

dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash”. (Al-Maidah/5 : 45)15

Dalam pidana qishash, hukuman mati diberlakukan bagi orang yang melakukan tindak

pidana pembunuhan secara sengaja (pembunuhan terencana), maka ia harus dihukum bunuh

(mati) melalui penggunaan metode yang sesuai dengan cara dia membunuh. Pembunuhan

sengaja dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian merupakan

hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman

pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishash dan kafarat, sedangkan penggantinya adalah

diyat dan ta'zir. Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris dan wasiat.16

Qishash dalam arti bahasa adalah tattaba'a al-atsar yang artinya menelusuri jejak.

Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qishash

mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qishash juga diartikan al-mumatsalah,

yaitu keseimbangan dan kesepadanan.17 Dari pengertian yang kedua inilah kemudian diambil

pengertian menurut istilah.

15

Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama, 1984). 16

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ Al-Jinaiy, h. 113-114. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillathu,

h. 261 17

(23)

Secara istilah, qishash adalah memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan

perbuatannya.18 Dalam redaksi yang berbeda, Abdul Mujieb dan Ibrahim Unais mendefinisikan

qishash sebagai hukuman kepada pelaku kejahatan persis seperti apa yang dilakukannya. Jika

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa yang lain (membunuh),

maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.

B. Tujuan dan Manfaat diberlakukannya Hukum Pancung

Dalam literatur fiqih (hukum Islam), hukum pidana lebih dikenal dengan sebutan

al-Ahkam al-Jina’iyyah, yaitu hukum-hukum yang mengatur (baik ucapan, sikap atau perbuatan)

orang-orang mukallaf (dewasa) yang berkenaan dengan berbagai tindak pelanggaran atau

kejahatan (jarimah/jinayah) yang disertai jenis-jenis ancaman hukuman yang patut diberikan.

Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut dengan istilah

'uqubah. Kata 'uqubah memiliki akar kata sama dengann 'iqabah, berarti hukuman, siksaan, dan

sakit atau pedih.19 Uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang atas perbuatannya yang

dianggap telah melanggar syara' yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya demi kemaslahatan

manusia. Menurut Abdul Qadir Audah hukuman merupakan penderitaan yang dibebankan

kepada seseorang akibat perbuatan melanggar aturan. Dengan demikian, secara terminologi,

'uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang

dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam rangka mencegah

18

M. Abdul Mujieb dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqh, h. 177 19

(24)

(menghalangi) pelaku. Atau sesuatu yang tidak menyenangkan (menyakitkan) yang disyariatkan

(oleh Allah) untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid.20

Tujuan dari adanya hukuman dalam Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam,

sebagai pembalasan atas perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara

khusus, serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan (penghukuman)

dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kezaliman atau

kemudharatan.21 Sementara menurut Abu Zahrah, hukuman dimaksudkan untuk menciptakan

ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa

menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik berkenaan dengan jiwa, harta,

maupun kehormatan.

Adapun prinsip dasar mencapai tujuan pemidanaan dalam hukum Islam adalah:

1. Hukuman harus bersifat universal, yaitu dapat menghentikan orang dari perbuatan jahat serta

menyadarkan dan mendidik pelaku kejahatan.

2. Penerapan materi hukuman sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.

3. Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi dan

masyarakat harus didasarkan pada hukuman yang telah disyariatkan.

4. Hukuman dalam Islam bukanlah untuk membalas dendam, tetapi untuk melakukan perbaikan

terhadap pelaku tindak pidana.

5. Hukuman hanya dikenakan kepada pelaku tindak pidana, karena pertanggung jawaban tindak

pidana hanya diberlakukan kepada pelakunya, sementara orang lain tidak boleh.

20

Mohammad Hasyim Kamali, Hukuman Dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian Terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Terengganu, Skripsi, (Jakart a: Fakult as Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a, 2009), h. 112

21

(25)

6. Hukuman harus berlaku universal bagi seluruh orang, karena pelaku tindak pidana dimuka

hakim (hukum) adalah sama (sederajat), tanpa membedakan status, jenis kelamin, dan

sebagainya.22

Hukuman yang ditegakkan dalam syariat Islam mempunyai dua aspek,

represif-preventive (pencegahan) dan represif-educatif (pendidikan). Dengan diterapkan kedua aspek

tersebut akan dihasilkan satu aspek kemaslahatan (utility), yaitu terbentuknya moral baik, dan

menjadikan masyarakat aman, tentram, damai dan penuh keadilan, karena moral yang dilandasi

agama akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntunan agama.23

Dalam tradisi hukum pidana Islam, konsep ataupun tujuan hukuman memiliki

keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh hukum positif yang ada di negara-negara modern saat ini,

termasuk Indonesia. Terdapat beberapa perbedaan karakter penghukuman antara hukum positif

dengan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal:

Pertama, tujuan hukum pidana Islam menyatu dengan tujuan hidup manusia, yaitu

mengabdi kepada Allah Swt. Dalam konteks ajaran Islam, hukum berfungsi mengatur kehidupan

manusia, baik pribadi maupun masyarakat, yang sesuai dengan kehendak Allah Swt, untuk

kebahagiaan terlingkup dalam kesadaran ta'abbudi umatnya.24 Sedangkan dalam hukum pidana

positif (barat), justru menafikkan hubungannya dengan Tuhan, dan lebih menekankan pada

pencapaian kedamaian dalam masyarakat dengan mengatur kepentingan-kepentingan antara

manusia dengan manusia lain dalam masyarakat.

22

Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010) h. 211-212

23

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 38 24

(26)

Kedua, dalam hukum pidana Islam, metode penemuan hukumnya deduktif-kasuistik.

Setiap peristiwa hukum diatur menurut aturan-aturan pokok yang ada dalam sumber-sumber

hukum Islam. Adanya aturan hukum terlepas dari ada tidaknya masyarakat. Hukum diberlakukan

kepada siapa saja, meskipun ia tinggal sendirian di suatu pulau terpencil. Jelas berbeda dengan

metode yang digunakan oleh hukum pidana positif modern yang bersifat induktif, yaitu

penciptaan aturan-aturan umum yang didasarkan pada pengamatan terhadap perbuatan-perbuatan

dan sikap anggota masyarakat. Dalam pidana positif modern hukum baru muncul apabila ada

suatu komunitas masyarakat, minimal dua orang manusia. Jadi, dalam hukum positif modern,

orang yang hidup sendirian di suatu tempat tidak dibebani hukum apalagi hukuman.25

Ketiga, konsep keadilan yang menjadi prioritas hukum pidana Islam adalah keadilan

didasarkan dan ditentukan oleh keadilan Tuhan. Keadilan yang lebih mengedepankan naluri

keimanan dari pada sekedar nalar (logika) manusia semata. Sedangkan keadilan yang ditentukan

oleh hukum pidana positif adalah keadilan yang didasarkan pada penalaran manusia (logika),

yaitu keadilan yang ada dalam pikiran masyarakat.26

C. Hal-hal Yang Menyebabkan Seseorang Dihukum Pancung

Hal-hal yang menyebabkan seseorang dihukum pancung adalah karena telah melakukan

pembunuhan yang disengaja, yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Apabila

diperhatikan, dari sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang dalam melakukan

pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan menjadi: disengaja (amad), tidak

25

Sofjan Satrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Peniadaan Pidana, h. 34 26

(27)

disengaja (khata), dan semi disengaja (syibhu al-amad). Ketiga klasifikasi pembunuhan

dimaksud, akan di uraikan sebagai berikut.

1. Pembunuhan Sengaja

Pembunuhan sengaja (amad) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

denngan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang

dipandang layak untuk membunuh.

2. Pembunuhan tidak disengaja

Pembunuhan tidak disengaja (khata) adalah perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain

meninggal dunia. Sebagai contoh dapat ditemukan bahwa seseorang melakukan

penebangan pohon yang kemudian pohon yang ditebang itu, tiba-tiba tumbang dan

menimpa orang yang lewat lalu meninggal dunia.

3. Pembunuhan semi sengaja

Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang

kepada orang lain dengan tujuan mendidik. Sebagai contoh, seseorang guru

memukulkan penggaris kepada kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang

dipukulnya itu meninggal dunia, maka perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai

pembunuhan semi sengaja (syibhu al-amad).27

Sanksi hukum bagi pembunuhan adalah sebagai berikut: (a). Pelaku pembunuhan yang

disengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu (1)

qishash, yaitu hukuman pembalasan yang setimpal dengan penderitaan korbannya, (2) diyat,

yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1000

27

(28)

ekor kambing, atau bentuk lain senilai harganya. Diyat tersebut diserahkan kepada keluarga

korban, (3) pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat. (b).

Pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu (1) pelaku

membayar diyat; (2) membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin); (3) jika tidak mampu

pelaku diberikan hukuman moral, yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut. (c). Pelaku

pencederaan dalam bentuk menusukkan bandik atau parang ke bagian perut korban maka

pelakunya dikenakan sanksi hukuman, yaitu ditusuk perutnya dengan bidik atau parang sesuai

perbuatannya yang membuat korban menderita. Selain itu, dapat juga tidak dikenakan hukuman

bila pihak korban memaafkan orang yang melukainya. Dalil hukum dalam hal ini

mengungkapkan bahwa mata dibalas dengan mata, telinga dibalas dengan telinga, hidung dibalas

dengan hidung, dan seterusnya.28

D. Hal-hal Yang Dapat Menyebabkan Gugurnya Hukuman Pancung

Dalam hukum Islam, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak

pidana bisa tidak berlaku (daluarsa) atau gugur karena beberapa sebab, misalnya pelaku

meninggal dunia sebelum dieksekusi, pelaku dimaafkan ahli waris, adanya perdamaian antara

dua belah pihak serta belum balighnya pelaku atau ahli waris.

a. Pelaku meninggal dunia sebelum dieksekusi

Bila pelaku kejahatan, baik membunuh atau melukai yang telah divonis mati lalu

meninggal dunia sebelum sempat dieksekusi, maka qishash yang akan dilimpahkan kepada

dirinya menjadi gugur, karena sesungguhnya tempat qishash adalah pada diri pelaku kejahatan,

dan tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Islam tidak membebankan dosa seseorang

28

(29)

kepada orang lain yang tidak bersalah. Terkait dengan persoalan, jika pelaku pembunuhan telah

meninggal sebelum dihukum mati, apakah ahli waris korban boleh mengambil diyat dari harta

pembunuh tersebut atau tidak, para ulama kebanyakan (jumhur ulama) menjawab tidak boleh.

Dikarenakan hukuman hanya berlaku bagi si pembunuh, sehingga bila ia telah meninggal dunia,

maka dengan sendirinya semua hukumannya gugur, termasuk pula diyatnya.29

b. Pelaku dimaafkan ahli waris

Hukuman mati dianggap daluarsa atau gugur jika ahli waris korban pembunuhan

memaafkan pelaku. Pemberian maaf oleh ahli waris korban dalam hukum Islam dibolehkan,

bahkan dianggap sebagai perbuatan yang mulia, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat

Al-Baqarah ayat 178











































































)

ﺒﻟا

ةﺮ

/

2

:

178

(

dan Surat Al-Maidah ayat 45. Makna maaf dalam qishash adalah ahli waris korban tidak

meminta sedikitpun kompensasi berupa materi atau lainnya dari si pembunuh maupun dari ahli

waris pembunuhnya. Namun, bila si pembunuh maupun keluarganya memberikan sesuatu

sebagai tanda kebaikan dan sama-sama ridha, maka itu tidak terlarang dalam syariat. Tidak

dilarang pula menerima diyatnya jika setelah dimaafkan lalu pembunuh membayar diyatnya.

29

(30)

c. Kedua Belah Pihak Berdamai

Dalam hukum Islam, adanya kesepakatan damai antara ahli waris korban dengan pelaku

pembunuhan dapat menggugurkan hukuman mati (qishash), baik kesepakatan damai tersebut

terkait soal diyat atau tidak, atau juga terkait dengan kompensasi tertentu yang bisa

menghasilkan perdamaian. Semua jenis perdamaian untuk menggugurkan hukuman mati

dibolehkan asalkan tidak menyalahi aturan hukum Islam. Terkait persoalan diyat, maka jumlah

diyatnya tidak boleh melebihi ketentuan hukum. Dengan kata lain, damai yang disyariatkan

adalah menerima kompensasi atau diyat yang sewajarnya, sesuai kemampuan pelaku

pembunuhan. Damai yang dianjurkan oleh hukum Islam adalah agar qishash berkenaan dengan

darah kaum muslimin itu digugurkan, dan itu bisa dilaksanakan apabila kedua belah pihak

menyepakatinya.

d. Belum Baligh atau Hilang Akal

Jika pembunuhan dilakukan oleh orang yang belum baligh, belum berakal, ataupun tidak

berakal, maka qishash atau hukuman matinya menjadi tidak dapat dilaksanakan (daluarsa).

Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah "Gugurnya

suatu hukum disebabkan oleh tiga hal: Anak yang masih kecil sampai ia baligh, orang yang gila

sampai ia sembuh, dan orang yang tidur sampai ia bangun (sadar).

E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung

Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam

melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu:

Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa

(31)

tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasannya Rasulullah Saw

bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguskanlah cara membunuhnya dan apabila kalian

menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya”.30

Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini

didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah Saw,

apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling

berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya”.

Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan

menyusui bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada

hadis Rasulullah saw.31

Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan

merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan

hadis Rasulullah saw, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid

al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah saw melarang kita merampas dan mencincang”.32

Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum

sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si

korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan

oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia

minta diqishashkan, maka Nabi saw melarang atau menunda qishash tersebut hingga orang yang

dianiaya itu sembuh dari lukanya”.

30

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al-Thabrani. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sunan al-Turmudzi, (t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998), Jilid I-III

31

Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shaheh mereka 32

(32)

Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses

eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan

dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung

dengan tali, atau dengan cara yang lain. Tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-qathli

(eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian.33

Dari sini terlihat bagaimana perbedaan hukuman pancung dengan hukuman lainnya

seperti hukuman mati dengan cara disetrum, atau hukuman mati dengan cara disuntik mati. Di

mana hukuman pancung lebih mempercepat kematian dibanding dengan hukuman lainnya, ini

terlihat dari pengamatan berdasarkan kaca mata ahli yaitu, Menjelang eksekusi mati di kursi

listrik, biasanya terpidana mati terlebih dahulu rambut bagian kepala dan kaki dicukur gundul.

Kadang-kadang alis mata dan janggut juga dicukur untuk mengurangi resiko terbakar akibat

sengatan listrik. Setelah didudukkan di kursi listrik, bagian dada, pinggang, kakinya diikat ke

kursi dengan ikat pinggang. Kepalanya diberi spon (sponge) yang dibasahi cairan garam untuk

mempermudah mengalirkan arus listrik. Kepalanya kemudian diberi penutup berbentuk bulat

terbuat dari logam listrik (elektrode), alat penghantar listrik. Lalu bagian kaki yang sudah

dicukur, ditempeli elektrode berbentuk gel untuk mempercepat sirkulasi listrik ke tubuh

pesakitan. Lalu kedua matanya ditutup.

Saat mengalirkan arus listrik yang berkekuatan hingga 2.000 volt bahkan sampai 2.450

volt, dengan cara menarik tombol listrik. Dalam waktu 15 sampai 30 detik biasanya jantung

pesakitan berhenti berdetak akibat hentakan listrik yang berkekuatan sampai 2.000 volt tersebut.

Temperatur tubuh korban dapat meningkat sampai 59 derajad Celcius yang umumnya bisa

mengakibatkan merusak organ-organ dalam tubuh.

33

(33)

Setelah aliran litrik dihentikan (penyaluran listrik 15–30 detik) dan suhu pesakitan mulai

mendingin, maka dokter mulai memeriksa jantung sang terpidana mati tersebut, apakah

jantungnya sudah tidak berdenyut lagi alias telah tercabut nyawanya. Jika belum tuntas mati,

maka hentakan listrik diberikan lagi, diulang sampai betul-betul detak jantungnya berhenti total.

Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar

biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan

menjadi merah, lantas berubah menjadi putih. Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah

berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah

darah, serta mengeluarkan air liur.

Pada suntik mati, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan

yang merupakan kombinasi tiga obat. Pertama, sodium thiopental atau sodium pentothal, obat

bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri. Lantas disusul dengan pancuronium

bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga potassium chloride yang

membikin jantung berhenti berdetak.

Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus, ditidurkan, serta diikat pada

bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang

disambungkan dengan pencetak yang ada di luar kamar.

Ketika isyarat diberikan, 5 g sodium pentothal dalam 20 cc larutan disuntikkan lewat

lengan. Lalu diikuti oleh 50 cc pancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 cc

potassium chloride. Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam

beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh

(34)

Pada kasus Suntik mati, si terhukum tetap merasakan sakit dalam hitungan menit, yakni

saat racun menghentikan detak jantung. Si jantung yang sebelumnya sehat tetap memaksa

bekerja keras memompa darah walaupun racun telah mencemarinya dalam hitungan menit.

Sedangkan jika dibandingkan dengan hukum pancung bagi si terhukum, walau terlihat

kejam secara fisik namun ternyata jauh lebih manusiawi ketimbang jenis hukuman mati lainnya,

karena mampu menghilangkan rasa sakit dari tubuh manusia (dalam hitungan sepersekian detik)

tanpa merasakan sakit sama sekali akibat terputusnya jutaan urat-urat saraf perasa dengan pusat

syarafnya, yakni otak si terhukum. Oleh karena itu hukum pancung (qishash) yang ternyata jauh

lebih akurat dalam menghilangkan rasa sakit pada manusia (si terhukum).34

Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah suatu tatacara pelaksanaan pidana

mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai

dari pelaksanaannya, yaitu: a). Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang

disamping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b). Bertentangan dengan ukuran

kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c). Tidak menjaga dan mempertahankan harkat

dan mertabat terpidana sebagai manusia.35

34

Dr. Fadli Ihsan, Perbedaan Hukum Pancung, Kursi Listrik atau Suntik Mati,

http://kaahil.wordpress.com/2011/07/02/perbandingan-metode-hukluman-mati-antara-hukum-pancung-suntik-mati-dan-kursi-listrik/, diunduh pada Tanggal 8 Desember 2011.

35

(35)

BAB III

HUKUM PANCUNG DALAM HAM

A. Pengertian, Sejarah dan Nilai-nilai HAM

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang

demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.36

Jika dilihat dari segi konstitusi, melalui undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah

mempunyai landasan hukum yang cukup kuat untuk menegakkan dan melaksanakan HAM,

sebagai upaya penghormatan negara terhadap hak-hak rakyat. Tekad pemerintah untuk

menegakkan HAM juga telah ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) pada tahun 1993. Pembentukan Komnas HAM dimaksudkan dalam upaya

membantu pengembangan kondisi yang lebih kondusif bagi pelaksanaan HAM. Komnas HAM

dibentuk sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat internasional pada konferensi

internasional HAM sedunia II di Wina pada tahun 1992 yang secara konsensus mengesahkan

deklarasi dan program aksi Wina.37

Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya

Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada

36

UU HAM No. 23 Tahun 1999, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h. 3 37

Dirjen Perlindungan HAM, “Salinan Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, h.2-3

(36)

Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan

garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,

melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya,

melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup

bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang

dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.

Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak

memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam

hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan

kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari

manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.38

Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai

a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih

damai dan bebas dari ketakutan dan pennindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu,

dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang

mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan

selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam

undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitusional

democracy), dan dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping

38

(37)

materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan

negara dan mekanisme hubungan antarlembaga negara.

Namun, sebelum sampai ke tahap perkembangan yang sekarang, baik yang dicantumkan

dalam berbagai piagam maupun dalam naskah undang-undang dasar berbagai negara, ide hak

asasi manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang panjang.39 Sejak abad ke-13, perjuangan

untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia sudah dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada

1215 oleh Raja John Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi

manusia, meskipun sebenarnya, piagam ini belumlah merupakan perlindungan hak asasi manusia

seperti yang dikenal sekarang. Dari segi isinya, Magna Charta hanya melindungi orang-orang

yang masuk kategori freeman sehingga kaum budak tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi,

jika dilihat dari segi perjuangan hak-hak asasi manusia, Magna Charta setidak-tidaknya menurut

orang Eropa diakui sebagai yang pertama dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti

yang dikenal sekarang.40

Setelah Magna Charta (1215), tercatat pula penandatanganan Petition of Rights pada

1628 oleh Raja Charles I. Apabila pada 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan dan

gereja sehingga lahirlah Magna Charta, pada 1628, Raja berhadapan dengan parlemen yang

terdiri dari utusan rakyat (House of Commons). Oleh karena itu, menurut Moh Kusnardi dan

Harmaily Ibrahim, kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia

memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi karena perjuangan hak-hak

asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya rakyat dengan ide

demokrasi.

39

Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PSHTN-FHUI), h. 55

40

(38)

Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang

ditandatangani oleh Raja Williem III pada 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang

dahsyat yang bias disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja

mencerminkan kemenangan perlemen atas raja,41 tetapi juga menggambarkan rentetan

kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu

yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak

dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques

Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu.

Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori

perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial.

Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas

Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.42

Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia

merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum

omnium comtra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas

dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul

buku.

Keadaan seperti itlak yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian

masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya

41

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Djakarta: Djambatan, 1959), h. 47

42

(39)

pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukkan

monarki absolut.43

Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut

menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah

hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap

berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat

tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai second Treaties if Civil Government yang

juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the First trearty) adalah perjanjian antara

individu dengan individu warga yang ditunjukkan untuk terbentunnya masyarakat politik dan

negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis.

Dalam instansi berikutnya yang disebutkan sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat

bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi (pactum unionis) terbentuk atas dasar

suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan,

yakni life, liberty serta estate, logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada

masing-masing individu.

Dasar pemikiran John Locke inilah yang kemudian harus dijadikan landasan bagi

pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of

Independence Amerika Serikat yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congres yang

mewakili 13 negara baru yang bersatu.

Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh karena rakyat

Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa tertindas oleh pemerintahan

Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh bangsa Perancis yang pada abad ke-17

dan ke-18 dipimpin oleh pemerintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap

43

(40)

absolutism itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias

Politica” yang dikemukakannya dalam buku L’esprit des Lois (1748).44

Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian, yaitu

eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi

organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah

bertumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara

dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri

tugas yang lain, dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.

Sementara itu, Jean Jacques Rousseau melalui bukunya Du Contrat Social menghendaki

adanya satu demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pandangan Rousseau ini

banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang

pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan Raja

Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada 1789. Akan tetapi, kemudian utusan

kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai “Assemble Nationale” yaitu Dewan Perwakilan

Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis. Pada 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk

tidak bubar sebelum Perancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya, Assemble Nationale tersebut

menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada 26 Agustus 1789 ditetapkanlah

pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des droit de I’homme et du

citoyen). Sesudah itu, yaitu pada 13 Desember 1789 lahirlah konstitusi Prancis yang pertama.45

Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Prancis tersebut dapat dikatakan

banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence Amerika Serikat, terutama berkat jasa,

antara lain seorang warga negara Prancis yang bernama La Fayette yang pernah ikut berperang di

44

A. Appadorai, The Subtance of Politics, h. 516-517 45

(41)

Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika berhasil mencapai kemenangan dan American

Declaration of Independence di tandatangani pada 1776, La Fayette kembali ke Prancis dengan

membawa salinan naskah deklarasi tersebut. Pada waktu Prancis menyusun Declaration des

droit de I’homme et du citoyen (1789), Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) itu

banyak ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya deklarasi tersebut banyak ditiru pula

oleh negara-negara Eropa lainnya.

Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika

Serikat (1776) dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789) sangat berpengaruh

dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua

deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights 1948 menjadi

contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara

demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.

Kejadian lain yang juga penting yang juga terjadi dalam perkembangan hak-hak asasi

manuisa adalah kemenangan demokrasi dalam pemerintahan diktator dan fascist Jerman, Italia

dan Jepang pada perang Dunia II. Setelah perang Dunia II berakhir dengan kemenangan berada

di pihak sekutu, melalui perserikatan bangsa-bangsa disepakatilah satu universal declaration of

Human Rights di Paris pada 1948, dengan perbandingan suara 48 setuju dan 8 blanko. Meskipun

Declaration of Human Rights itu tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut

menandatanganinya, diharapkan agar negara-negara anggota PBB dapat mencantumkan

Undang-undang Dasar masing-masing atau peraturan perUndang-undang-Undang-undangan lainnya sehingga norma

hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestic di

(42)

terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights tersebut adalah undang-undang

dasar sementara Republik Indonesia tahun 1950 dan Konstitusi RIS.

Namun demikian, dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini,

ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di semua negara. Karena itu,

tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan

maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun

kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(perjanjian tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya) dan Covenan on Civil and Political

Rights (perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik).

Kedua kovenan tersebut, dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah

pokok Universal Declaration of Human Rights. Dengan demikian, secara yuridis meratifikasikan

kedua kovenan ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat secara hukum, akan tetapi

juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak asasi manusia di dunia. Apabila

diingat bahwa kedua kovenan tersebut baru dapat berlaku mengikat secara yuridis segera setelah

diratifikasikan oleh sedikitnya 35 negara anggota PBB.46

Setelah kedua kovenan ini, berbagai instrumen hukum internasional diadopsikan oleh

perserikatan bangsa-bangsa untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang,

instrumen-instrumen PBB dimaksud dapat disusun secara berturut-turut sebagai:

1. Universal Declaration of Human Rights, 1948;

2. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948;

3. International Convention on the Eliminationof All Forms of Racial Discrimination,

1965;

4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966;

46

(43)

5. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966;

6. Convention on Emlimination of All Forms of Disrimination against Women, 1979;

7. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or

Punishment, 1984;

8. Convention on the Rights of the Child, 1989.

Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus di kawasan

tertentu. Misalnya, dikalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab (Arab

League) telah pula berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights yang disahkan oleh

Council of the League of Arab States pada 15 September 1994. Satu-satunya kawasan yang

dikenal paling majemuk dan karena itu belum dapat memliki instrument regional hak asasi

manusia yang tersendiri, yaitu kawasan benua Asia.

Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (NGO’s), tentu

sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan mengenai hal ini. Dalam rangka

peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights 1948, pernah diadakan suatu

Euro-Asian Dialogue di antara Uni Eropa dan negara-negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialog

antara Uni Eropa dengan Cina. Akan tetapi, forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan.

Mungkin komisi hak asasi manusia Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar bersama

India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai hal ini di masa yang akan datang.47

Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling

dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan di mana pun

tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks

praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap

47

(44)

negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini.

Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat/ warga negara, dalam mengembangkan diri,

berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya

sesuai dengan kepribadian bangsa.

Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur

bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan

juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luh

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu, harapan untuk peneliti selanjutnya yaitu dapat benar-benar memiliki waktu untuk bisa bertemu secara langsung dengan subjek sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam

Wawasan terhadap keagamaan diharapkan dapat meningkatkan Tafaqquh Fiddin (mendalami ilmu agama). Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana strategi

Setelah mendapatkan perbandingan daya terima pengukuran dan perhitungan dengan menggunakan model Path Loss terhadap frekuensi downlink 900 mhz, selanjutkan dilakukan

Terkait dengan penilaian buku teks, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah membuat instrumen penilaian buku teks. Instrumen ini dapat dipakai untuk

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis kedua yang menyatakan bahwa Motivasi Berwirausaha (X1) secara parsial berpengaruh terhadap Minat Berwirausaha (Y) masyarakat Dusun Beton

Berdasarkan hasil penelitian Hubungan Konsistensi Pemakaian Kondom Dengan Infeksi Menular Seksual (servisitis gonore, servisitis non spesifik, trikomoniasis), Ppada Wanita Pekerja

 Peperiksaan Profesional III ke dalam Borang Professional Examination III Short Case Mark Sheet (PU/PS/BR10/PEP) dan Borang Professional Examination II/

„shadaqah‟ diulang -ulang sampai dua ratus kali. f) Nilai berorientasi kepada masa depan, pengembangan masyarakat islam menitikberatkan pada kehidupan masa depan, dimana