• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung

BAB II : HUKUM PANCUNG SEBAGAI QISHASH DALAM FIQIH

E. Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Pancung

Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu:

Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat

tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguskanlah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya”.30

Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah Saw, apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya”.

Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusui bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah saw.31

Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah saw, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah saw melarang kita merampas dan mencincang”.32

Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishashkan, maka Nabi saw melarang atau menunda qishash tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya”.

30

Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Al-Thabrani. Lihat Muhammad Nashiruddin al- Albani, Sunan al-Turmudzi, (t.t.p: al-Maktabah al-Islami, 1998), Jilid I-III

31

Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shaheh mereka 32

Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain. Tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-qathli (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian.33

Dari sini terlihat bagaimana perbedaan hukuman pancung dengan hukuman lainnya seperti hukuman mati dengan cara disetrum, atau hukuman mati dengan cara disuntik mati. Di mana hukuman pancung lebih mempercepat kematian dibanding dengan hukuman lainnya, ini terlihat dari pengamatan berdasarkan kaca mata ahli yaitu, Menjelang eksekusi mati di kursi listrik, biasanya terpidana mati terlebih dahulu rambut bagian kepala dan kaki dicukur gundul. Kadang-kadang alis mata dan janggut juga dicukur untuk mengurangi resiko terbakar akibat sengatan listrik. Setelah didudukkan di kursi listrik, bagian dada, pinggang, kakinya diikat ke kursi dengan ikat pinggang. Kepalanya diberi spon (sponge) yang dibasahi cairan garam untuk mempermudah mengalirkan arus listrik. Kepalanya kemudian diberi penutup berbentuk bulat terbuat dari logam listrik (elektrode), alat penghantar listrik. Lalu bagian kaki yang sudah dicukur, ditempeli elektrode berbentuk gel untuk mempercepat sirkulasi listrik ke tubuh pesakitan. Lalu kedua matanya ditutup.

Saat mengalirkan arus listrik yang berkekuatan hingga 2.000 volt bahkan sampai 2.450 volt, dengan cara menarik tombol listrik. Dalam waktu 15 sampai 30 detik biasanya jantung pesakitan berhenti berdetak akibat hentakan listrik yang berkekuatan sampai 2.000 volt tersebut. Temperatur tubuh korban dapat meningkat sampai 59 derajad Celcius yang umumnya bisa mengakibatkan merusak organ-organ dalam tubuh.

33

Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, h. 303 Banding Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi, h. 350-352

Setelah aliran litrik dihentikan (penyaluran listrik 15–30 detik) dan suhu pesakitan mulai mendingin, maka dokter mulai memeriksa jantung sang terpidana mati tersebut, apakah jantungnya sudah tidak berdenyut lagi alias telah tercabut nyawanya. Jika belum tuntas mati, maka hentakan listrik diberikan lagi, diulang sampai betul-betul detak jantungnya berhenti total.

Ketika arus mulai mengalir ke tubuh terpidana, para pesakitan mengalami kengerian luar biasa. Mereka berusaha melompat, meronta, dan melawan dengan sepenuh kekuatan. Tangan menjadi merah, lantas berubah menjadi putih. Anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk. Bola mata sering melotot. Mereka juga sering buang air besar dan kecil, muntah darah, serta mengeluarkan air liur.

Pada suntik mati, hukuman mati dengan cara ini dilakukan dengan menyuntikkan cairan yang merupakan kombinasi tiga obat. Pertama, sodium thiopental atau sodium pentothal, obat bius tidur yang membuat terpidana tak sadarkan diri. Lantas disusul dengan pancuronium bromide, yang melumpuhkan diafragma dan paru-paru. Ketiga potassium chloride yang membikin jantung berhenti berdetak.

Pada saat eksekusi, terpidana dibawa ke ruangan khusus, ditidurkan, serta diikat pada bagian kaki dan pinggang. Sebuah alat dipasang di badan untuk memonitor jantung yang disambungkan dengan pencetak yang ada di luar kamar.

Ketika isyarat diberikan, 5 g sodium pentothal dalam 20 cc larutan disuntikkan lewat lengan. Lalu diikuti oleh 50 cc pancuronium bromide, larutan garam, dan terakhir 50 cc potassium chloride. Kelihatannya mudah. Namun, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Dalam beberapa kasus pembuluh darah sukar didapat atau peralatan tidak pas menembus pembuluh darah.

Pada kasus Suntik mati, si terhukum tetap merasakan sakit dalam hitungan menit, yakni saat racun menghentikan detak jantung. Si jantung yang sebelumnya sehat tetap memaksa bekerja keras memompa darah walaupun racun telah mencemarinya dalam hitungan menit.

Sedangkan jika dibandingkan dengan hukum pancung bagi si terhukum, walau terlihat kejam secara fisik namun ternyata jauh lebih manusiawi ketimbang jenis hukuman mati lainnya, karena mampu menghilangkan rasa sakit dari tubuh manusia (dalam hitungan sepersekian detik) tanpa merasakan sakit sama sekali akibat terputusnya jutaan urat-urat saraf perasa dengan pusat syarafnya, yakni otak si terhukum. Oleh karena itu hukum pancung (qishash) yang ternyata jauh lebih akurat dalam menghilangkan rasa sakit pada manusia (si terhukum).34

Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah suatu tatacara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: a). Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang disamping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b). Bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c). Tidak menjaga dan mempertahankan harkat dan mertabat terpidana sebagai manusia.35

34

Dr. Fadli Ihsan, Perbedaan Hukum Pancung, Kursi Listrik atau Suntik Mati,

http://kaahil.wordpress.com/2011/07/02/perbandingan-metode-hukluman-mati-antara-hukum-pancung-suntik-mati- dan-kursi-listrik/, diunduh pada Tanggal 8 Desember 2011.

35

Lihat Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-undang tentang tatacara Pelaksanaan Eksekusi Mati

Dokumen terkait