• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan HAM Tentang Hukuman Mati

BAB III : HUKUMAN PANCUNG DALAM PERPEKTIF HAM HAM

C. Pandangan HAM Tentang Hukuman Mati

Akibat perkembangan zaman yang bergitu pesat, mudahnya akses hubungan internasional, cepat menyebarnya berita-berita di dunia, maka pada saat itu pula mulai banyak dari para intelektual Islam yang menjadikan materi-materi asing sebagai sebuah pendekatan

dalam menentukan hukum, salah satunya adalah melalui pendekatan sosial (termasuk di dalamnya Hak Asasi Manusia) dan maksud-maksud hukum (maqashid al-syari’ah).

Melalui pendekatan-pendekatan ini maka timbullah permasalahan tentang relevansi

qishash dalam Islam di era modern ini. Bagi kelompok liberal yang banyak dipelopori oleh JIL

(Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Islam Muda Muhammadiyah) pembahasan qishash adalah pembahasan kuno karena hal itu merupakan tradisi bangsa arab pra-Islam yang kemudian dimasukkan ke dalam bagian hukum Islam, dan bertentangan dengan maqashid al-syari’ah untuk menjaga jiwa manusia.

Bagi para pegiat HAM, kehidupan adalah modal paling berharga manusia yang darinya semua kemungkinan lain bersumber. Maka itu, ada kesepakatan mengenai fakta bahwa hak hidup adalah hak asasi manusia yang paling tinggi dan mendasar. Tanpa hak ini, semua hak asasi manusia lain menjadi tidak bermakna. Para sarjana berpendapat bahwa hak hidup adalah jus

cogens dalam hukum internasional. Hak ini tidak bisa dikurangi atau disimpangkan (non

derogable).52

Khusus di Indonesia, munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama, hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan atau membuat orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang menutup kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri. Dari sini, para aktivis HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa

52

Mashood A. Baderin, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), h. 66-67.

lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak hidup secara langsung, namun penerapan hukuman mati sesungguhnya merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama hukum (negara).53

Dari perspektif ini, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1)54 dan Pasal 755 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.56 Jadi, hukuman mati pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (HAM) dan harus dihilangkan atau dihapus.57

Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.58 Dari sinilah, hukuman mati dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah bentuk

53

Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV Ananta, 1994), h. 18.

54

Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.

55

Pasal 7 ICCPR berbunyi, "Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina."

56

Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004

57

Tim Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004

58

pemidanaan yang menjerakan, karena sistem pemidanaan modern terus mengarah ke upaya merehabilitasi terpidana (treatment).

Dari penjelasan di atas, setidak-tidaknya terdapat kekurangan dan kelebihan anatara hukum positif dan hukum Islam, kekurangan dan kelebihan tersebut anatara lain:

1. Hukum Islam berasal dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw. yang ma’shum, sedangkan Allah maha mengetahui apa yang diperlukan oleh hamba-Nya sehingga Dia memberian hukum yang dapat mewujudkan segala kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Allah tidak perlu dengan hamba-Nya, Dia Maha kaya dan Maha penyayang dengan hamba-Nya. Adapun hukum positif yang menetapkannya adalah manusia, semua serba terbatas baik dari segi kemampuan, ilmu dan kebutuhan mereka dengan Allah, selain ia juga sangat tergantung pada faktor kecakapan, lingkungan, zaman, dan adaptasi kebiasaan.

2. Bahwa hukum Islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-Nya atas dasar agama yang berlandaskan kepada pamrih ukhrawi dan perhitungan terhadap amal-amal zhahir dan batin. Adapun hukum positif tidak memiliki semua itu, tidak ada perhitungan dan pamrih kecuali yang tampak saja dan berhubungan dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter yang terkait dengan hati nurani.

3. Hukum Islam memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar. Ia mencakup segala bentuk kebaikan dan memotivasinya, mencegah yang munkar dan mewanti-wantinya. Adapun hukum positif hanya mengatasi masalah kerusakan (akibat negatif) dan andaikan ada kebaikan, itu hanya konsekuensi logis. Oleh karena itu balasannya hanya bersifat duniawi yang dilaksanakan oleh para penguasa. Sedangkan hukum Islam, taat dan patuh dinilai sebagai ibadah, mendapat pahala dan mendapat kebaikan duniawi, melanggarnya dianggap maksiat dan dosa.

4. Hukum positif terkadang melegalkan yang haram dengan alasan manfaat manusia. Sedangkan hukum Islam tidak seperti itu karena Allah maha mengetahui dengan semua kebaikan walaupun manusia tidak mengetahuinya.

Tetapi dalam hal ini bukan berarti hukum positif tidak mempunyai kelebihan yang melahirkan sebuah manfaat walaupun dibuat oleh manusia tepatnya orang-orang romawi. Tetapi kita juga tidak dapat mengatakan, bahwa sistem hukum positif yang kita kenal sekarang ini adalah sepenuhnya mencerminkan ciri romawinya.

Dokumen terkait