• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Udang

Bisnis aquakultur khususnya budidaya udang (tambak udang) dirancang untuk meningkatkan dan memproduksi udang laut untuk konsumsi. Lokasi yang cocok untuk budidaya udang adalah daerah sepanjang pantai (beberapa meter dari permukaan air laut) dengan suhu rata-rata 28-32○C. Daerah pasang surut dengan fluktuasi pasang surut 2-3 meter dan salinitas 25-30 ppt. Tanah yang ideal untuk budidaya udang adalah yang bertekstur liat atau liat berpasir, karena dapat menahan air dan tanah kemudian tanah lebih mudah dipadatkan serta tidak pecah-pecah. Tipe budidaya udang dapat dikategorikan atas tipe ekstensif dengan hasil panen 1.000 kg/ha, semi-intensif dan intensif dengan hasil panen 500-15.000 kg/ha, serta super intensif dengan 10.000-50.000 kg/ha hasil panen (Wickins & Lee 2002).

Letak geografis Kabupaten Serdang Bedagai sangat potensial bagi usaha perikanan dan kelautan baik perikanan payau maupun tawar. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas ±1.900,22 km2 dengan 17 Kecamatan, dan 5 kecamatan diantaranya yakni Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalifah merupakan kecamatan-kecamatan yang berada di pesisir pantai dengan panjang garis pantai ± 95 km, memiliki potensi perikanan dan kelautan yang sangat besar. Potensi lahan budidaya air payau seluas ± 4.500 ha dan telah dimanfaatkan sekitar 80% , sedangkan yang beroperasi saat ini hanya sekitar ± 15%. Jenis yang paling banyak dibudidayakan adalah udang windu, udang putih, udang vanamei dan kepiting (Direktorat Jenderal Perikanan Daerah 2010).

(2)

2.2 Penyakit Udang

Dalam proses budidaya udang pengendalian terhadap penyakit telah dilakukan sejak awal pembibitan (hatchery). Udang yang sehat dicirikan secara fisiologis normal dan secara fisik dapat terlihat dari pola nafsu makan, pertumbuhan, kebersihan, dan kelengkapan organ serta jaringan tubuh. Penyakit pada umumnya terjadi pada bulan kedua pemeliharaan, terutama pada tambak yang sejak awal mengalami kesulitan menumbuhkan fitoplankton. Penyakit kronis dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan menurunkan kualitas udang, sedangkan penyakit yang bersifat akut dapat menyebabkan kematian. Beberapa penyakit yang menyerang jenis udang penaied diakibatkan virus, bakteri, jamur, parasit, dan faktor abiotik lainnya. Akibat serangan patogen ini pada udang sekitar 15-20 tahun terakhir telah menyebabkan kerugian secara ekonomi (Wickins & Lee 2002).

Beberapa bakteri yang bersifat patogen pada aquakultur antara lain berasal dari beberapa spesies Vibrio, Beneckea, Pseudomonas, Aeromonas, dan Rickettsia. Vibriosis adalah salah satu penyakit yang menyerang udang, kerang-kerangan, dan ikan pada semua fase kehidupan. Vibriosis disebabkan oleh beberapa bakteri spesies

Vibrio. Vibriosis telah banyak menyebabkan kematian pada tambak udang di seluruh

dunia. Mortalitas akibat vibriosis terjadi ketika udang dalam kondisi stres yang disebabkan beberapa faktor antara lain; kualitas air kolam yang buruk, kepadatan populasi, suhu air yang tinggi, rendahnya oksigen terlarut, dan pertukaran air yang sedikit. Pada udang dewasa vibriosis menunjukkan hypoxic, badan berwarna kemerahan, insang berwarna kecoklatan, berkurangnya nafsu makan, kelesuan, dan berenang dengan lambat ketepian permukaan kolam. Infeksi akibat Vibrio sp. pada hepatopankreas menunjukkan kerusakan vakuola yang mengindikasikan rendahnya simpanan lemak dan glikogen (Anderson et al. 1998).

(3)

Vibrio sp. juga menyebabkan penyakit kaki merah pada fase juvenile hingga

udang dewasa yang menyebabkan mortalitas hingga 95% selama musim panas. Penyakit nekrosis pada bola mata udang disebabkan V. cholera. Sedangkan infeksi oleh V. harveyi dan V. splendidus menyebabkan luminescense pada postlarva, juvenil, dan dewasa. Infeksi pada post larva menunjukkan pengurangan motilitas, reduksi fototaksis dan kekosongan usus. Pada kondisi salinitas yang tinggi vibriosis disebabkan oleh spesies V. harveyi. Dalam beberapa kasus Vibrio sp. hanya menyebabkan penyakit ketika organisme inang mengalami penekanan sistem imun atau stress dengan frekuensi infeksi sering terjadi pada kondisi lingkungan yang buruk dan suhu panas (Alderman 1998).

Virus merupakan salah satu agens yang dapat menyebabkan kematian masal pada semua fase kehidupan udang hingga pada produk yang telah dibekukan. Ada beberapa jenis virus yang menyebabkan masalah pada budidaya udang yaitu RNA

rhabdovirus, yellow head virus (YHV), ssRNA taura syndrome virus (TSV), DNA

parvovirus yang menyebabkan white spot syndrome virus (WSSV), dan DNA penaeid

baculolike virus yang menginfeksi hypodermal dan haematopoietic necrosis virus

(IHHNV) (Wickins & Lee 2002). IHHNV dengan gejala udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan, muncul ke permukaan dan mengambang dengan perut di atas, udang akan mati dalam waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya gejala tersebut. Udang penderita banyak yang mati pada saat moulting. Pada kondisi akut, kulit udang akan terlihat berwarna keputih-putihan, tubuh berwarna putih keruh, permukaan tubuh akan ditumbuhi oleh diatomae, bakteri atau jamur, terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena, dan pada mukosa usus depan serta usus tengah. Upaya pengendalian infeksi ini dengan perbaikan kualitas air (Suyanto & Mudjiman 2001). Jenis virus lain yang menginfeksi P. monodon adalah monodon baculovirus, namun keberadaannya tidak perlu dikhawatirkan karena tidak berpengaruh terhadap

(4)

Penyakit asal jamur sistemik pada periode larva maupun post larva dapat menyebabkan angka kematian yang serius pada P. monodon. Penyakit serius yang disebabkan oleh jamur salah satunya Aphanomyces astaci yang menyebabkan plak pada udang karang (crayfish) di Eropa dan Australia. Juvenil dan udang dewasa dapat diinfeksi oleh Fusarium sp. yang menyebabkan lesi atau abrasi pada kutikulanya. Respons inang terhadap infeksi menghasilkan daerah dark melanised yang dikarakterisasi seperti black gill disease. Beberapa fungi menghasilkan toksin yang menghambat osmoregulasi dan meningkatkan kematian udang pada saat moulting (Wickins & Lee 2002).

Pada udang Penaeid, protozoa menyebabkan cotton or milk shrimp disease (tubuh tidak dapat tembus cahaya atau buram). Mikrosporidia tidak selalu menyebabkan kematian, namun menyebabkan pertumbuhan udang yang relatif rendah. Infeksi secara langsung terjadi pada udang karena mengkonsumsi spora yang menempel pada lapisan eksoskleton. Setelah fungi membentuk plak, infeksi yang disebabkan protozoa menjadi serius dan telah mempengaruhi kehidupan udang karang (crayfish) di seluruh dunia. Protozoa ini juga sering ditemukan pada saluran pencernaan udang penaeid tetapi tidak berbahaya. Infeksi histopagus dapat terjadi pada Crustaceae laut dan air tawar (Wickins & Lee 2002).

2.3 Bakteri Vibrio sp.

Vibrio sp. merupakan bakteri yang tergolong famili Vibrionaceae bersifat Gram

negatif, biasanya berbentuk batang, bergerak, mesofilik, kemoorganotropik, fakultatif anaerob, dan umumnya oksidase positif. Vibrio sp. tumbuh baik pada suhu 15○C sampai 30○C (Thompson et al. 2004). Vibrio sp. dapat dijumpai dalam jumlah yang melimpah di lingkungan aquatik dan berasosiasi dengan eukariotik (Barbieri et al. 1999) contohnya pada permukaan tubuh dan usus hewan-hewan laut.

(5)

Formasi biofilm Vibrio sp. pada eksoskleton Crustaceae atau organisme laut yang lain merupakan strategi untuk bertahan dalam kondisi kelaparan dan ketika mendapat tekanan dari lingkungan. Dalam biofilm bakteri Vibrio sp. dapat memperangkap dan menyerap nutrien, resisten terhadap antibiotik serta berasosiasi dengan baik terhadap bakteri lain atau inangnya. Vibrio cholera menempel pada permukaan dengan menggunakan flagel dan pili secara adhesi (Wai et al. 1999).

Beberapa Vibrio sp. merupakan bakteri patogen terhadap hewan-hewan perairan. Bakteri V. anguillarum, V. salmonicida, dan V. vulnificus merupakan patogen terhadap beberapa spesies ikan sedangkan V. harveyi merupakan patogen utama pada udang contohnya pada Litopenaeus vannamei dan P. monodon. Kematian massal pada fase larva dan juvenil P. monodon diasosiasikan dengan luminous Vibrio sp. Mortalitas yang disebabkan Vibrio sp. pada ikan dan udang sangat sering terjadi pada fase larva secara tiba-tiba (Austin et al. 2003).

Komunikasi antara sel dengan sel atau quorum sensing berperan penting dalam memonitor kerapatan sel bakteri dan regulasi faktor virulensi V. harveyi. V.

harveyi menggunakan 3 saluran dalam sistem quorum sensing yaitu saluran 1

dimediasi oleh autoinducer 1 (HAL-1) sebagai acyl homoserine lactone, saluran 2 dimediasi oleh Al-2 (furanosyl borate diester) signal yang dimiliki bakteri gram negatif dan saluran 3 autoinducer yang disebut cholera autoinducer 1 (CAI-1) yang masih belum diketahui kandungannya (Taga & Bassler 2003; Defoirdt et al. 2008). Sebagian spesies Vibrio merupakan flora normal di laut dan pada hewan-hewan perairan. Namun dapat bersifat oportunistik, yaitu menjadi patogen ketika terjadi ketidakseimbangan antara inang dan bakteri (Rao 2000). Menurut Oxley et al. (2002) Vibrio luminous merupakan flora normal pada udang jika kepadatannya tidak melebihi 104-105 cfu/g di usus.

(6)

Dalam siklus nutrisi Vibrio sp. berperan penting dalam mengambil bahan organik terlarut. Vibrio sp. menyediakan asam lemak tak jenuh rantai panjang esensial pada rantai makanan aquatik. Vibrio sp. juga dapat mendegradasi kitin, yaitu sebuah homopolimer N-acetyl-glucosamin gula amino yang banyak ditemui di lautan (Cottrell & Kirchman 2003). Beberapa Vibrio sp. juga mampu mendegradasi senyawa toksik polisiklik hidrokarbon aromatik yang mencemari sedimen laut (Svitil et al. 1997).

Vibrio sp. dapat memproduksi antibiotik diantara bakteri laut yang lain.

Komponen inhibitor yang dihasilkan Vibrio sp. tertentu mampu mereduksi jumlah organisme lain contohnya Alfaproteo-bacteria dan Alteromonas (Long & Azam 2001). Menurut Sharma et al. (2010) spesies V. alginolyticus ternyata memiliki potensial sebagai imunostimulan terhadap udang sehingga spesies ini dapat digunakan sebagai agen biokontrol pada budidaya udang dan dapat mengurangi penggunaan antibiotik.

2.4 Penggunaan Antibiotik Pada Budidaya Perairan

Antibiotik telah banyak digunakan untuk mengontrol penyakit yang disebabkan oleh bakteri pada budidaya perairan. Indonesia yang merupakan salah satu negara produsen udang terbesar di dunia menggunakan beberapa jenis antibiotik antara lain oksitetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, neomisin, dan enrofloksasin untuk mengatasi penyakit yang disebabkan bakteri. Formalin dan malachite green

oxalate secara luas digunakan untuk mengontrol penyakit pada ikan dan udang yang

disebabkan fungi dan protozoa sedangkan potassium permanganate digunakan sebagai desinfektan. Penggunaan pupuk organik dan anorganik juga sering digunakan untuk meningkatkan produktivitas primer udang (Supriyadi & Rukyani 1992). Moriarty (1999) melaporkan tahun 1994 penggunaan antibiotik pada tambak udang di Thailand mencapai 500-600 ton.

(7)

Hingga saat ini belum ada antibiotik yang didesain khusus untuk mengatasi penyakit pada hewan perairan sehingga penggunaan antibiotik di perairan harus hati-hati. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan adalah keamanan produk, integritas lingkungan, keamanan target, dan keamanan bagi pengelola komponen. Adapun beberapa jenis antibiotik yang diizinkan penggunaannya di perairan adalah oksitetrasiklin, florfenikol, sarafloksasin, eritromisin, dan sulfanamid sedangkan yang dilarang penggunaannya di perairan antara lain; kloramfenikol, enrofloksasin, spectinomisin, dan rimfapim (Serrano 2005).

2.5 Pengaruh Penggunaan Antibiotik Pada Budidaya Perairan

Secara umum setelah panen, lahan tambak yang telah digunakan memiliki limbah yang tidak habis terbuang yaitu berupa sisa pakan dan antibiotik. Kehadiran antibiotik dalam air dan sedimen lingkungan potensial mempengaruhi flora normal, plankton, dan hewan sekitarnya, menyebabkan perubahan diversitas mikrobiota dan keseimbangan ekologi (Cabello 2006). Hal ini disebabkan karena jumlah substansi antibiotik yang masuk atau dideposit pada suatu lingkungan dapat terdistribusi pada lingkungan yang berbeda dan dapat mengawali terjadinya resistensi (Serrano 2005).

Residu antibiotik pada produk hewan yang menggunakan antibiotik dalam kurun waktu yang lama dapat menyebabkan alergi dan toksisitas yang sulit di diagnosa (Cabello 2006), mempengaruhi flora normal saluran pencernaan (menekan pertumbuhan flora normal), tumbuhnya mikroorganisme yang tidak diinginkan, pengembangan gen resisten pada bakteri enteric yang patogen, kolonisasi resisten mengganggu atau merubah aktivitas enzim metabolisme dari flora normal pencernaan (Serrano 2005).

(8)

lain ada strain bakteri yang resisten pada beberapa klas agens antibiotik yang disebut dengan multidrug resistance (didefenisikan sebagai resisten terhadap ≥ 3 klas antibiotik (Jawetz et al. 1996).

Bakteri yang peka terhadap agen antimikrobial dapat memperoleh resistensi melalui mutasi spontan yang menyebabkan antara lain (1) perubahan protein target yang berikatan pada antibakterial dengan memodifikasi atau mengeliminasi binding

site (contohnya: merubah protein 2b penicillin-binding dalam pneumococci yang

menghasilkan penisillin resisten), (2) upregulating produksi enzim yang menonaktifkan agen antimikrobial (contohnya: eritromisin ribosomal metilase dalam staphyloccus), (3) down regulating atau merubah saluran protein membran luar yang diperlukan obat-obatan untuk masuk ke dalam sel, (4) upregulating pump yang memaksa obat-obatan keluar dari sel (contohnya: effluxs fluoroquinolons dalam

Staphylococcus aureus) (Tenover 2006).

Acquired resistance yang berkembang melalui mutasi kromosom dan proses

seleksi disebut sebagai vertical evolution. Sedangkan bakteri yang mengembangkan resistensi dengan memperoleh material genetik baru dari organisme resisten lain yang disebut horizontal evolution yang dapat terjadi antara spesies yang sama atau berbeda. Mekanisme perolehan material genetik baru atau plasmid yang mengkode gen resisten dapat melalui proses konjugasi, transduksi, transformasi, dan translokasi (Jawetz et al. 1996). Untuk masing-masing proses ini, transposon memfasilitasi proses transfer dan menyatukan gen resisten yang diperoleh kedalam genome inang atau plasmid (Tenover 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Pilih kembali Assigned Load Case, masukan informasi besar serta arah beban seperti pada gambar dibawah dan pastikan setiap input tipe beban dilakukan dan SELALU diakhiri dengan

Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

Berdasarkan analisis kelayakan isi buku teks bahasa Jepang ^?|C _ o‡[ (Naka yoku Nihon de) terbitan Rizqi Press tahun 2011 pada kesesuaian uraian materi dengan kompetensi

Oleh karena itu dibuat alternatif formula pasta gigi dari bahan alam yang aman salah satunya yaitu menggunakan tanaman sirih merah yang mempunyai kandungan kavikol

Aplikasi yang dibangun diharapkan dapat mendukung informasi diantaranya sistem input registrasi akun, sistem input dan proses data jadwal keberangkatan, serta sistem input

Sewaktu lahan di bumi terus-menerus diperindah de- ngan gedung-gedung kudus yang diabdikan bagi Tuhan, adalah doa saya semoga kita akan melakukan bagian kita dalam membawa surga

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi program MGMP IPA.Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan analisis