• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah

2.1.1.1 Pengertian Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan bahwa pengertian otonomi daerah adalah sebagai berikut :

"Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriurusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia."

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan bahwa pengertian daerah otonom adalah sebagai berikut :

"Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempatmenurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Adisasmita, 2011:3).

(2)

2.1.1.2 Arah Kebijakan Otonomi Daerah

Menurut Adisasmita (2011:119) menyebutkan bahwa arah kebijakan peningkatan otonomi daerah adalah sebagai berikut :

1. Mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab 2. Melakukan pengkajian atau kebijakan tentang berlakunya otonomi daerah

provinsi, kabupaten/kota dan desa

3. Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumberdaya; serta 4. Memberdayakan Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka melaksanakan

fungsi dan perannya guna penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah yaitu meningkatkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Hal tersebut demi terciptanya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Siregar, 2004:291). Otonomi daerah yang dicanangkan sekarang ini diharapkan akan memercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping itu juga menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia (Syaukani dkk, 2009:217).

(3)

2.1.2 Pemekaran Wilayah/Daerah

2.1.2.1 Pengertian Pemekaran Wilayah/Daerah

Istilah pemekaran secara etimologis berasal dari kata asalnya, yaitu mekar. Menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti berkembang menjadi terbuka, menjadi besar dan gembung, menjadi tambah luas, besar, ramai, bagus, mulai timbul dan berkembang. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Pasal 1 menyebutkan bahwa pemekaran daerah/wilayah adalah sebagai berikut :

"Pemekaran daerah/wilayah pemecahan suatu pemerintah baik propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan menjadi dua daerah atau lebih."

Menurut Effendy (2008:2) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah adalah sebagai berikut :

"Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah."

Menurut Makaganza (2008:203) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah adalah sebagai berikut :

"Pemekaran daerah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperluas bahasa

(eupieisme) yang menyatakan proses “perpisahan” atau pemecahan suatu

wilayah untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru. Dilihat dari kacamata filosofi harmoni, istilah pemekaran daerah dirasa lebih cocok digunakan untuk menggambarkan proses terjadinya daerah-daerah otonom baru paska reformasi di Indonesia."

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu proses pengembangan wilayah menjadi lebih dari satu wilayah otonom, dengan

(4)

tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan dengan tujuan untuk mencapai kemandirian daerah.

2.1.2.2 Konsep Pembentukan Wilayah/Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Pasal 2 menyebutkan bahwa konsep pembentukan daerah terdiri dari :

1. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

2. Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.

3. Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. Pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih. b. Penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada

wilayah provinsi yang berbeda.

c. Penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

4. Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. Pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih.

b. Penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda.

(5)

c. Penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

2.1.2.3 Tata Cara Pembentukan Wilayah/Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Pasal 16 menyebutkan bahwa tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dilaksanakan sebagai berikut :

a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

b. DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain.

c. Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.

d. Bupati/walikota mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan :

1) Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota. 2) Hasil kajian daerah.

(6)

4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b. e. Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan

pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

f. Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada. DPRD provinsi.

g. DPRD provinsi memutuskan untuk. menyetujui atau menolak usulan pembentukan, kabupaten/kota.

h. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:

1) Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota. 2) Hasil kajian daerah.

3) Peta wilayah calon kabupaten/kota.

4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b. 5) Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat

(1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Pasal 16 menyebutkan bahwa tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dilaksanakan sebagai berikut :

(7)

a. Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

b. DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain.

c. Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/Walikota berdasarkan hasil kajian daerah.

d. Masing-masing bupati/walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan:

1) Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota. 2) Hasil kajian daerah.

3) Peta wilayah calon kabupaten/kota.

4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b. e. Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan

pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(8)

f. Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi.

g. DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota.

h. Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:

1) dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota. 2) hasil kajian daerah.

3) peta wilayah calon kabupaten/kota.

4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota. 5) Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat

(2) huruf d dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e.

2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

2.1.3.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negaramenyatakan bahwa pengertian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah sebagai berikut :

"Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

(9)

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pengertian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah sebagai berikut :

"Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah."

Menurut Yani (2008:369) menyatakan bahwa pengertian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah sebagai berikut :

"Anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah." Menurut Halim dan Kusufi (2012:21) menyatakan bahwa pengertian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah sebagai berikut :

"APBD didefiniskan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah yang menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran serta menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber penerimaan daerah untuk membiayai pengeluaran."

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas bahwa anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD.

(10)

2.1.3.2 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa fungsi anggaran pendapatan dan belanja daerah adalah sebagai berikut :

1) Fungsi Otorisasi

Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

2) Fungsi Perencanaan

Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

3) Fungsi Pengawasan

Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4) Fungsi Alokasi

Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

5) Fungsi Distribusi

Anggaran daerah harus mengandung arti/harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

(11)

6) Fungsi Stabilisasi

Anggaran daerah harus mengandung arti/harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

2.1.3.3 Prinsip-Prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku dibidang pengelolaan anggaran daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan anggaran negara/daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu sebagai berikut :

1. Kesatuan

Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.

2. Universalitas

Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.

3. Tahunan

Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. 4. Spesialitas

Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.

5. Akrual

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran

(12)

untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas.

6. Kas

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/penerimaan uang darike kas daerah.

2.1.3.4 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja daerah terdiri dari :

1. Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah terdiri atas : 1) Pajak Daerah

2) Retribusi Daerah

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yangdipisahkan 4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

b. Pendapatan Transfer

Pendapatan transfer terdiri atas : 1) Transfer pemerintah pusat

Transfer pemerintah pusat terdiri atas : a) Dana Perimbangan

1. Dana Bagi Hasil 2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus

(13)

b) Dana Otonomi Khusus c) Dana Keistimewaan d) Dana Desa

2) Transfer Antar-Daerah

Transfer antar-daerah terdiri atas : a) Pendapatan Bagi Hasil

b) Bantuan Keuangan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah 2. Sumber belanja daerah terdiri atas:

Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menyebutkan bahwa klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah pusat yaitu sebagai berikut :

a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Modal d. Bunga e. Subsidi f. Hibah g. Bantuan Sosial h. Belanja Lain-Lain

(14)

Sementara klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah yaitu sebagai berikut : a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Modal d. Bunga e. Subsidi f. Hibah g. Bantuan Sosial h. Belanja Tak Terduga

2.1.4 Dana Alokasi Umum

2.1.4.1 Pengertian Dana Alokasi Umum

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa pengertian dana alokasi umum adalah sebagai berikut :

"Dana alokasi umum yang selanjutnya disingkat DAUadalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhandaerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi."

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah menyebutkan bahwa pengertian dana alokasi umum adalah sebagai berikut:

"Dana alokasi umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi."

Menurut Darise (2007:84) menyebutkan bahwa pengertian dana alokasi umum adalah sebagai berikut :

(15)

"Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi."

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas bahwa dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Dana alokasi umum suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh dana alokasi umum relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi dana alokasi umum relatif besar.

2.1.4.2 Dasar Perhitungan Dana Alokasi Umum

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa dasar penghitungan dana alokasi umum adalah sebagai berikut :

1. Jumlah keseluruhan dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.

(16)

2. Dana alokasi umum untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.

3. Celah fiskal yang dimaksud adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah.

4. Alokasi dasar yang dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.

2.1.4.3 Pengukuran Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum dalam peneliti diukur dengan menggunakan rasio pertumbuhan. Adapun rasio pertumbuhan yang digunakan untuk mengukur dana alokasi umum menurut Halim (2007:128) yaitu sebagai berikut:

Rasio Pertumbuhan DAU = DAUt- DAUt-1 x 100% DAUt-1

2.1.5 Kemandirian Daerah

2.1.5.1 Pengertian Kemandirian Daerah

Pemberlakuan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan agarterciptanya kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan daerah yang dimaksud adalah seberapa besar tingkat kemandirian pemerintah daerah dalam hal pendanaan atau mendanai segala aktivitasnya. Menurut Halim (2011:232) menyebutkan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah sebagai berikut :

"Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah."

(17)

Ciri utama suatu daerah yang dapat melaksanakan otonomi yaitu kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan untuk dapat menggali sumber keuangan yang ada didaerah, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai kegiatan pemerintahan, dan ketergantungan terhadap dana dari pemerintah pusat arus seminimal mungkin agar pendapatan asli daerah menjadi sumber keuangan (Halim, 2011:253).

2.1.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Keuangan Daerah

Menurut Tangkilin (2007:82) dalam upaya untuk kemandirian daerah tampaknya pendapatan asli daerah masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena beberapa alasan, yaitu:

1.

Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah

2.

Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah

3.

Kemampuan administrasi pemungutan didaerah yang masih rendah

4.

Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.

Menurut Tangkilin (2007:89) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain:

1. Potensi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB). 2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan

daerah dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga Dipenda untuk meningkatakan penerimaan daerah.

(18)

2.1.5.3 Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah

Menurut Halim (2011:284) ada empat macam pola hubungan kemandirian keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah diantarnya yaitu :

1. Pola Hubungan Instruktif

Peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

2. Pola Hubungan Konsultatif

Campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.

3. Pola Hubungan Partisipatif

Peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

4. Pola Hubungan Delegatif

Campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalm melaksanakan otonomi daerah. Dibawah ini akan disajikan pola hubungan tingkat kemandirian keuangan daerah yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.1

Kriteria Pola Hubungan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kriteria (%) Pola Hubungan

0-25 Instruktif

25-50 Konsultatif

50-75 Partisipatif

75-100 Delegatif

(19)

2.1.5.4 Pengukuran Kemandirian Keuangan Daerah

Pendapatan asli daerah dalam peneliti diukur dengan menggunakan rasio kemandirian. Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman (Halim, 2011:232). Adapun rasio kemandirian yang digunakan untuk mengukur kemandirian keuangan daerah menurut Halim (2011:232) yaitu sebagai berikut:

Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah x 100% Total Pendapatan Daerah

2.1.6 Peneliti Terdahulu

Di bawah ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1. Afrizal Tahar dan Maulida Zakhiya

Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol. 12 No. 1, halaman: 88-99, Januari

2011

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap kemandirian daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan asli daerah

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemandirian daerah, sedangkan dana alokasi umum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemandirian daerah.

2. Renny Nurainy, Desfitrina, dan Rooswhan Budi Utomo Proceeding PESAT

(Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik

Sipil) Vol. 5 Oktober 2013 Bandung, 8-9 Oktober 2013 ISSN: 1858-2559 Universitas Gunadarma Jakarta Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan asli daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah.

(20)

No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

3. Anita Lestari, Nasrullah Dali, dan Muntu Abdullah

Jurnal Progres Ekonomi Pembangunan Volume 1, Nomor 2, 2016

e-ISSN : 2502-5171 Universitas Halu Oleo,

Kendari

Pengaruh dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah terhadap belanja modal dan kemandirian keuangan daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa dana alokasi umum mempunyai pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemandirian

keuangan daerah, pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah.

4. Verawaty, Septiani Fransisca, dan Richa

Rahmawati

Jurnal Ilmiah MBiA Vol.16 No.1 April 2017: 1 – 10

Universitas Bina Darma

Determinan tingkat kemandirian keuangan daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, serta dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil berpengaruh negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Sedangkan pendapatan yang sah tidak berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah 5. Dian Budi Susanti, Sri

Rahayu, dan Siska P. Yudowati ISSN : 2355-9357 e-Proceeding of Management

: Vol.3, No.3 December 2016 | Page 3308 Universitas Telkom

Pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah.

6 Nyoman Trisna Erawati, Leny Suzan ISSN : 2355-9357 e-Proceeding of Management

: Vol.2, No.3 Desember 2015 | Page 3259 Universitas Telkom

Pengaruh pendapatan asli daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan

daerah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan

(21)

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.Konsekuensi lain dari penerapan desentralisasi fiskal yaitu disetiap daerah dituntut untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah, namun tidak semua daerah dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah menggunakan pendapatan asli daerah (Guntara dan Dwirandra, 2014). Untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur yang terdapat disetiap daerah, serta agar terciptanya pembangun yang merata, pemerintah pusat mengeluarkan dana perimbangan berupa dana alokasi umum (Guntara dan Dwirandra, 2014). Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa dana alokasi umum suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal

capacity).

Dana alokasi umum yang bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum berguna dalam menunjang atau merangsang pemerintah daerah dalam meningkatkan kemandirian daerahnya. Namun terlalu tingginya dana alokasi umum akan cenderung membuat pemerintah daerah memiliki ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan mengurangi tingkat kemandirian daerah (Ashidiq, 2015). Jadi semakin tinggi dana alokasi umum, maka akan semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti bermaksud membuat suatu bagan kerangka pemikiran sebagai bentuk alur pemikrian peneliti yaitu sebagai berikut :

(22)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2017:64). Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ho1 : Dana alokasi umum tidak berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah.

Ha1 : Dana alokasi umum berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah.

Dana Alokasi Umum (X)

Kemandirian Keuangan Daerah

Gambar

Tabel 2.2  Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Kerangka Pemikiran  2.3  Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Adapun secara rinci simpulan dalam penelitian ini adalah: (1.) Bentuk kesalahan yang paling banyak dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal kalor yakni:

Nindyo Pramono, Beberapa Aspek Koperasi Pada Umumnya dan Koperasi Indonesia didalam Perkembangan , (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1986), hlm.. Pemerintah sendiri waktu itu

Bahkan dalam pembelajaran keterampilan kecakapan hidup (life skill) di tata boga, kepala bengkel keterampilan membuatkan program untuk kegiatan di bengkel,

Artinya hanya 14 orang guru dari 39 orang guru yang masuk kategori sangat baik dalam merancang perangkat pembelajaran mata pelajaran IPS SMP/MTs di Kota Dumai,

 Juara/prestasi olahraga yang diakui adalah juara karya ilmiah, inovasi teknologi tepat guna dan pembuatan pro- gram/aplikasi yang diselenggarakan oleh Kemdikbud,

Dalam penelitian ini, lapangan yang dimaksud adalah bentuk kewenangan tukang gigi berdasarkan peraturan yang berlaku, bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus di Bank Wakaf Mikro Wafa Al Fithrah Surabaya. Jenis data yang digunakan dalam

Sebelumnya data diambil hasil dari hasil transaksi umum, namun saat ini data disimpan, diproses, dan dianalisis menggunakan aplikasi software canggih yang mengaitkan