• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Tarsius sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Tarsius sp."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tarsius sp.

Klasifikasi

Gambar 1. Tarsius sp. (Abdullah 2000)

Tarsius syrichta terdapat di Filipina, T. spectrum ditemukan di hutan primer maupun hutan sekunder di Tangkoko-Batuangus Sulawesi Utara yang terletak pada ujung sebelah utara dari semenanjung utara Sulawesi pada ketinggian 500 m di atas permukaan air laut. Tarsius spectrum juga ditemukan di Sulawesi Selatan, pulau Togian dan pulau kecil lainnya (Musser dan Dagosto 1987). Tarsius pumilus ditemukan endemik di Sulawesi Tengah yaitu di gunung Rano-rano (ketinggian 1800 m), di gunung Rorekatimbu Sulawesi Tengah (ketinggian 2200 m), dan di hutan gunung Latimojong Sulawesi Selatan pada ketinggian sekitar 2200 m (Maryanto dan Yani 2000, Jones et al. 2004). Tarsius dianae ditemukan di hutan primer tidak jauh dari batas sebelah utara Taman

Nasional Lorelindu pada 001o10’S, 120 09’E, 2 km di sebelah Tenggara

Kamarora pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (Niemitz et al. 1991), dan T. bancanus ditemukan di Sumatera Selatan, Borneo dan sekitar Bangka dan Belitung (Musser dan Dagosto 1987). Menurut Shekelle (2003) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi Tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies sendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangiriensis, T. pumilus, T. pelengensis

dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tarsius sp. atau monyet hantu diklasifikasikan dalam Kelas Mammalia,

Ordo Primata, Subordo Prosimian,

Superfamili Tarsoidea, Famili Tarsiidae,

Genus Tarsius dan Spesies Tarsius

spectrum, Tarsius pumilus, Tarsius dianae, Tarsius bancanus dan Tarsius syrichta (Musser dan Dagosto 1987).

(2)

Tabel 1. Data yang mendukung 16 Taksa di Sulawesi (Shekelle 2003)

Taksa Morfologi Tes

Playback Spektrogram Hipotesis Biogeografi Molekuler 12 SRNA Status T. tarsier (=spectrum) (i.e. Makassar) 9 (l) - 9 (l, k) 9 (j) - Terdaftar di IUCN

T. sangirensis 9 (c, e, f) 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (a, j) 9 (j) Terdaftar di IUCN

T. pumilus 9 (b, f) - - 9 (j) - Terdaftar di IUCN

T. pelengensis 9 (f) - 9 (m) 9 (a, j) - Terdaftar di IUCN T. dianae 9 (d, tapi lihat ‘e’) 9 (e, g, j) 9 (d, e, g, j) 9 (j) - Terdaftar di IUCN T. sp. (Selayar) 9 (f) - 9 (h, k) 9 (a, j) - Baru

Manado form 9 (l) 9 (e, j) 9 (a, d, e, g, j)

9 (a, j) - Baru

Gorontalo form 9 (l) 9 (d) 9 (a, d) 9 (a, j) - Baru

Palu form 9 (l) - 9 (a, k) 9 (a, j) - Baru

Togian form - 9 (e, j) 9 (e, g, j) 9 (j) 9 (j) Baru

Sejoli form - 9 (e, j) - - - Baru

Tinombo form - 9 (e, j) 9 (e, j) 9 (j) - Baru

Kendari form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru

Buton form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru

Kabaena form - - 9 (i, m) 9 (j) - Baru

Tanjung Bira form

- - 9 (h, m) - - Baru

Keterangan: - : belum diteliti

9 : sudah diteliti oleh:

(a) MacKinnon dan MacKinnon (1980)

(f) Groves (1998) (k) Shekelle (in review) (b) Musser danDagosto (1987) (g) Nietsch dan Kopp (1998) (l) Groves (in review) (c) Feiler (1990) (h) Nietsch dan Babo (2001) (m) Nietsch (pers. comm.) (d) Niemitz et al. (1991) (i) Nietsch dan Burton

(2002)

(e) Shekelle et al. (1997) (j) Shekelle (2003)

Di Indonesia Tarsius memiliki bermacam-macam nama lokal. Tarsius spectrum disebut juga Tangkasi (Minahasa), Ngasi (Sulteng), Tanda-bona Passo (Wana), Podi (Tolaki), Wengu (Mornene), Tenggahe (Sangir) dan Tanda-bana

(Sulut). Tarsius bancanus disebut juga Kera buku, Singapuar (Bengkulu),

Krabuku (Lampung), Palele (Belitung), Mentiling ingkir, Ingkit, Linseng (Ngaju), Page (Tidung), Makikebuku (Karimata), Singaholeh (Kutai), Tempiling (Kalbar), Binatang hantu dan Simpalili (Melayu) (Supriatna dan Wahyono 2000).

(3)

Morfologi

Tarsius sp. merupakan primata yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil dan dapat hidup sampai berumur sekitar 13,5 tahun. Diberi nama Tarsius

karena mempunyai tulang tarsal panjang membentuk pergelangan kaki yang mampu meloncat hingga 3 meter dari pohon ke pohon. Tarsius dapat memutar kepalanya hingga 180 derajat. Tibia dan fibula pada bagian bawah bergabung menjadi satu, berfungsi sebagai alat penahan goncangan pada saat hewan meloncat dari pohon ke pohon. Jari kaki dan jari tangan sangat panjang dan ramping, sehingga Tarsius dapat berpegangan erat pada pohon dan ranting.

Tarsius memiliki tungkai belakang yang pendek dan tangan yang kecil. Jari kaki dan tangan memiliki bantalan, tetapi pada T. pumilus jari tangan mengalami reduksi dalam ukurannya sehingga T. pumilus memiliki genggaman yang lebih bagus daripada spesies Tarsius lainnya. Tarsius pumilus juga memiliki ujung kuku yang perluasannya melebihi tepi bantalan jari. Pada jari kaki kedua dan ketiga memiliki cakar yang dipergunakan untuk grooming, sedangkan jari lainnya memiliki kuku. Bola mata sangat besar dan setiap mata memiliki lapisan postorbital di belakangnya, yang akan melindungi bola mata dari musculus temporalis yang sangat kuat ke arah samping. Telinga sangat lebar dan aktif (mobile), memiliki gigi taring yang besar dan tajam (Musser dan Dagosto 1987).

Kunci identifikasi Tarsius (Storr 1780) menurut Niemitz dan Verlag (1984) adalah sebagai berikut: Tarsius spectrum (Pallas 1778) mempunyai ciri-ciri antara lain muka seperti Galago senegalensis, ekor berambut dengan panjang jumbai kurang-lebih 110 mm, panjang rambut 5-12 mm dan terdapat juga kelompok rambut pendek memiliki sisik menyerupai struktur kulit ekor. Tarsius pumilus (Miller dan Hollister 1921) mempunyai ciri-ciri antara lain hewan dewasa memiliki panjang kepala-badan 95-105 mm, panjang kranial maksimum 31mm, lebar kranial maksimum 26,3 mm, kulit bagian tarsal berambut dengan baik, dan terdapat titik warna kekuning-kuningan dibelakang telinga. Tarsius bancanus

(Horsfield 1821) mempunyai ciri-ciri antara lain panjang kaki belakang antara 59-74 mm, panjang ekor antara 180-245 mm, jumbai pada ekor berkembang baik, rambut jumbai memiliki panjang sekitar 7 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut dengan baik. Tarsius syrichta (Linnaeus 1758) memiliki ciri- ciri antara lain kaki belakang panjangnya antara 56-69 mm, panjang ekor antara 200-240 mm, jumbai pada ekor tidak berkembang baik, rambut pada jumbai panjang kurang lebih 3 mm dan kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut yang

(4)

pendek dan sangat sedikit. Tarsius bancanus, T. spectrum dan T. dianae dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), ukuran tubuh

T. bancanus T. spectrum T. dianae

Gambar 2. Bentuk jumbai pada ekor T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae (Shekelle 2003)

T. dianae sama dengan T. spectrum, namun sedikit lebih besar dibanding dengan T. pumilus. Panjang badan antara 110-120 mm, panjang ekor antara 215-225 mm, berat badan antara 95-110 gram, warna kulit keabu-abuan dengan

bintik-bintik hitam pada kedua sisi, hidung sedikit menonjol dibanding

T. spectrum dan bagian atas bibir terdapat rambut putih yang tumbuh. Tarsius

sangiriensis memiliki warna rambut abu-abu kekuningan, menyerupai

T. spectrum; panjang tubuh antara 115-125 mm, panjang ekor 225-240 mm, jumbai ditumbuhi rambut yang tumbuhnya jarang, berat tubuh 110-120 gram, telinga besar bila dibandingkan dengan kepala.

Secara morfologi, antara T. bancanus dan Tarsius sp. yang berasal dari Sulawesi dapat dibedakan dengan melihat panjang jumbai pada ekor dan dari lebar telinga, namun diantara spesies Tarsius yang ada di Sulawesi sangat sulit

untuk dibedakan. Gambar 3, memperlihatkan perbedaan telinga antara

(5)

T. bancanus T. spectrum T.dianae

Gambar 3. Bentuk telinga pada T. bancanus , T. spectrum dan T. dianae (Stevan Merker)

Karakteristik dan Anatomi T. spectrum dan T. dianae.

Rambut abu-abu kekuningan dengan spot hitam T. dianae ditemukan di kedua sisi hidung dan tampak sangat jelas apabila dibanding pada T. spectrum.

Rambut pendek keputihan ditemukan di kedua sisi bibir atas dan di bagian tengah bibir bawah. Ada bagian yang tak berambut pada bagian bawah telinga

(pada T. spectrum tidak dijumpai). Terdapat celah di bagian tengah yang

membagi hidung menjadi dua belahan. Pada saat pelupuk mata tidak terbuka secara penuh bentuk mata tampak lebih tidak simetris dibanding dengan

T. spectrum. Kuku jari berwarna gelap dan tajam (tirus). Mata lebih tertarik ke

arah samping (kurang pada T. spectrum). Warna rambut pada tubuh hampir

sama, tetapi T. dianae memiliki pigmen yang lebih gelap pada ekor, jari kaki, jari tangan dan kuku daripada T. spectrum. Kulit bersisik di bawah ekor pada

T. dianae berwarna coklat, sedangkan pada T. spectrum tidak berwarna. Kuku tangan T. dianae lebih sempit dan lebih melengkung daripada T. spectrum

(Niemitz et al. 1991).

Telinga T. dianae lebih pendek dan lebih sempit dibanding T. spectrum.

Telinga T. dianae ditandai dengan daerah yang sebagian besar tak berambut (gundul) pada tragus, antitragus dan lobulus aurikularis. Lobulus aurikularis ini besarnya tiga kali lipat dari T. spectrum. Incisura intertragica pada T. dianae lebih dalam dan lebih sempit. AntitragusT. dianae hanya memiliki rambut yang sedikit pada tepi sebelah tengah, namun pada T. spectrum banyak ditumbuhi rambut. Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum mengikuti Lasinski ditunjukkan pada Tabel 2 (Niemitz et al. 1991).

(6)

Tabel 2: Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum (Niemitz et al. 1991)

Deskripsi, Pengukuran (mm) T. dianae T. spectrum

1. Panjang telinga dari ujung pinna ke dalam incisura intertagrica

2. Panjang telinga dari ujung pinna sampai titik paling basal dari telinga luar

3. Lebar telinga yang terbesar

4. Panjang maksimum daerah tak berambut dari ujung tragus ke titik paling basal dari telinga luar 5. Area yang paling lebar

6. Kedalaman incisura intertagrica

7. Lebar incisura intertagrica

28,8 31,7 19,3 7,9 6,0 4,1 2,0 32,2 33,5 23,4 5,0 3,6 3,6 1,0 Index: Lebar x 100____ Panjang maksimum 60,8 70,0 Ekologi

Tarsius sp. hidup di hutan tropis, hutan primer, hutan sekunder, hutan bambu, semak-semak, perkebunan dan kadang hidup di perkampungan. Tarsius

hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 2-6 individu. Komposisi kelompok bervariasi dari hanya 2 individu (1 ekor jantan dan 1 ekor betina), 1 ekor jantan dewasa, 2 ekor betina dewasa dan anak-anaknya. Struktur sosial sebagian besar monogami dan hanya sedikit yang poligami (Gursky 1995).

Penyebaran

Data sebaran biogeografi primata dan kodok (Macaca dan Bufo) di Sulawesi, menurut Evans et al. (2003) dapat digunakan untuk memperkirakan 7 daerah endemisitas (oleh Shekelle dan Leksono dianggap 8 daerah endemisitas). Menurut Mac Kinnon dan Mac Kinnon (1980) daerah endemisitas tersebut masih ditambah daerah yang tidak dihuni Macaca tetapi dihuni Tarsius

yaitu kepulauan Sangihe, Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai, pulau Selayar dan pulau Kabaena. Menurut Shekelle dan Leksono (2004) diperkirakan ada 13 daerah endemisitas di Sulawesi dan sekitarnya (Gambar 4a).

(7)

Menurut Hall (2001), di zaman Miosen sampai dengan Pleistosen Sulawesi merupakan kepulauan yang berasal dari beberapa daratan Asia, Australia dan daratan yang timbul dari dasar lautan. Melalui proses pergeseran lempeng (playtectonic) daratan tersebut (disebut “microplates”) membentuk pulau Sulawesi sekarang (Gambar 4b). Pulau Sulawesi sekarang, diduga selesai terbentuk pada zaman Pleistosen yaitu kira-kira 1-2 juta tahun yang lalu.

Menurut Shekelle dan Leksono (2004), daerah sebaran Tarsius

mempunyai banyak kesamaan dengan sebaran hipotesis biogeografi berdasar

data biologi (Gb 4a) dan mempunyai banyak kesamaan dengan “microplates”

Sulawesi seperti terlihat pada gambar 4b. Daerah sebaran Tarsius di Sulawesi

4a 4b 4c

Gambar 4. Tiga Hipotesis Biogeografi Sulawesi dan Sekitarnya (Shekelle dan Leksono 2004)

4a : Berdasarkan Data Biologi, 4b : Berdasarkan Data Geologi,

4c : Hipotesis hibrid (Biologi dan Geologi) dengan data daerah sebaran Tarsius

Keterangan: (kiri) Daerah 1-8 berdasarkan data genetik Macaca dan Bufo (Evans et al. 2003). Daerah 9-13 berdasarkan hipotesis MacKinnon dan MacKinnon (1980) merupakan daerah yang dihuni Tarsius tetapi tidak dihuni Macaca yang secara alami mempunyai daerah endemisitas sendiri. (tengah) Rekonstruksi geologi peristiwa tektonik dari zaman Cenozoik bahwa Sulawesi terbentuk dari kepulauan dengan beberapa asal (abu-abu muda = Asia, abu-abu sedang = Australia, abu-abu tua =daratan yang timbul dari dasar lautan). (kanan) Hipotesis 4a di padukan dengan 4b dan dibandingkan dengan data sebaran kelompok akustik Tarsius (Shekelle dan Leksono 2004). Keterangan Gambar 4c.(1) T. sangiriensis, (2) Manado form, (3) Gorontalo form, (4) Sejoli form, (5) Tinombo form, (6) Palu form, (7) T. pumilus, (8) Togian form, (9) T. pelengensis, (10) T. spectrum, (11) Tanjung Bira form, (12) Tarsius sp. (Selayar), (13) Kendari form, (14) Buton form, (15) Kabaena form.

dan sekitarnya sangat sesuai dengan kombinasi hipotesis biogeografi berdasar data biologi dan geologi (Gb 4c), yang disebut “hybrid biogeographic hypothesis

(8)

yang berarti hipotesis biogeografi Sulawesi secara menyeluruh. Hipotesis berdasar data biologi berasumsi bahwa spesies-spesies yang lain pindah ke

Sulawesi hampir bersama dengan Macaca dan Bufo, sedangkan hipotesis

berdasar data geologi berasumsi bahwa spesies-spesies lain pindah ke Sulawesi pada saat proses pergeseran lempeng dimulai.

Menurut Shekelle (2003), berdasar pada data molecular clock

kedatangan bajing diperkirakan 11,5 juta tahun yang lalu dan evolusi semua spesies Macaca dari Afrika Utara sampai Sumbawa terjadi kurang dari 7 juta tahun yang lalu. Berdasar data jarak genetik, kedatangan Tarsius ke Sulawesi diperkirakan pada zaman pertengahan Miosen (sekitar 15 juta tahun yang lalu) yang hampir bersama dengan kedatangan bajing. Oleh karena itu menurut Shekelle dan Leksono (2004), hipotesis hibrid biogeografi lebih sesuai untuk

sebaran kelompok Tarsius dan merupakan hipotesis yang paling masuk akal

dibanding dengan hipotesis biografi lainnya.

Usaha Konservasi

Sulawesi memiliki luas 187,882 km2 dan merupakan pulau terbesar dan

terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Ditinjau dari sejarah geologi, pulau Sulawesi diduga tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall

2001). Keadaan terisolasi dalam waktu yang lama menimbulkan terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga satwa di pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas paling tinggi terjadi pada taksa vertebrata. Pada mamalia, 61% dari 127 jenis yang ada di Sulawesi bersifat endemik. Sedangkan pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di daratan Asia hanya 18% mammalia yang bersifat endemik (Whitten et al. 1987).

Daerah Wallacea mempunyai 529 spesies vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia) dan spesies-spesies ini mengalami ancaman yang serius karena hanya 15% habitat alami yang masih tersisa. Sekitar 39,2% dari habitat alami yang tersisa terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi jika tersebar sesuai dengan distribusi, sehingga upaya konservasi di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif (Shekelle dan Leksono 2004).

Menurut Shekelle dan Leksono (2004), data biogeografi dapat membantu upaya konservasi secara menyeluruh di Sulawesi, yaitu untuk mengidentifikasi

(9)

daerah endemisitas di Sulawesi. Sebaran daerah endemisitas ini sangat penting untuk merancang kawasan konservasi yang sesuai dengan sebaran daerahnya. Selain itu, upaya konservasi juga dapat dibantu dengan menggunakan hewan maskot. Hewan maskot biasanya berupa hewan yang mempunyai karisma yang mempunyai nilai tertentu seperti bentuk yang lucu, langka, unik, mudah diingat, berukuran besar dan endemis. Tarsius tidak berukuran besar tetapi dijadikan maskot di Sulawesi (terutama di Sulawesi Utara, dapat dilihat pada Gambar 5), karena (1) mempunyai sebaran yang luas, sampai ke pulau-pulau sekitar

Gambar 5. T. spectrum sebagai maskot di Sulawesi Utara

Sulawesi, (2) mempunyai banyak taksa endemik yang tersebar di hampir seluruh daerah endemisitas, (3) berada di lebih banyak tipe habitat, (4) bukan merupakan hama sehingga tidak mengancam produk pertanian, (5) tidak mempunyai nilai ekonomi, misalnya daging atau bagian tubuh lainnya (kecuali sebagai hewan peliharaan), (6) merupakan hewan yang karismatik. Menurut Shekelle dan Leksono (2004), program yang akan dilakukan untuk membantu usaha konservasi adalah melakukan pemberian nama pada 11 spesies Tarsius

baru, yaitu dengan menangkap Tarsius hidup-hidup dan memeliharanya dalam kandang sehingga memungkinkan semua untuk melakukan penelitian, pelatihan, pendidikan, penangkaran dan sebagai sumber analisis genetik, sebelum hewan tersebut mati untuk dijadikan contoh spesimen.

DNA Mitokondria (mt-DNA)

Mitokondria merupakan organela di luar inti sel yang mengandung sekitar 16,5 x 103/3,3 x 109 pbdari DNA yang ditemukan di dalam sel manusia (Wertz 2000). Menurut Melton (1999), kemungkinan untuk memperoleh kembali mt-DNA

(10)

dari sampel biologis dalam jumlah kecil atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih besar daripada DNA inti karena molekul mt-DNA terdapat dalam ratusan sampai ribuan kopi dibanding dengan DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber materi untuk penentuan lokus mt-DNA apabila terjadi degradasi oleh karena peralatan atau karena waktu.

Runutan mt-DNA dipilih sebagai penanda genetik karena berukuran relatif kecil dan jumlah kopi yang banyak sehingga mudah didapat dari sel, diturunkan dari induk betina (maternal) dan beberapa gen dalam mitokondria mutasinya lebih cepat daripada gen inti karena rendahnya aktivitas proof reading dari γ DNA

polymerase selama replikasi di dalam mitokondria (Wertz 2000). Menurut Reyes

et al. (1998), mutasi pada genom mitokondria juga karena kurangnya sistem reparasi DNA dan adanya kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas, hasil selama transpor elektron ke oksigen pada rantai respirasi kompleks di membran dalam mitokondria. Menurut Majerus (1996) genom mitokondria mempunyai kecepatan evolusi 5-10 kali lebih cepat daripada genom inti, dan satu bagian dari genom mitokondria yang disebut D-loop mengalami evolusi sepuluh kali lebih cepat lagi.

Genom mt-DNA mamalia berbentuk sirkuler, beruntai ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa G dan C terdistribusi secara tidak merata diantara kedua untai DNA. Berdasar kandungan basa guaninnya, mt-DNA dibagi menjadi 2 untai yaitu, untai yang kaya G disebut untai berat (heavy strand) dan yang mengandung sedikit G disebut untai ringan (light strand) (Reyes et al.

1998).

Berdasarkan data dari GenBank, organisasi genom mitokondria pada

primata yang telah diketahui urutan nukleotidanya masing-masing memiliki jumlah dan susunan gen yang sama dengan mamalia lain, sedangkan perbedaan yang ada hanya jumlah nukleotida penyusun mt-DNA. Jumlah

nukleotida penyusun genom mt-DNA T. bancanus adalah 16927 pb (GenBank

NC 002811), Gorilla gorilla 16364 pb (GenBank NC 001645), Pan troglodytes

16554 pb (GenBank NC 001643), Nycticebus coucang 16764 pb (GenBank NC 002765), P. paniscus 16563 pb (GenBank NC 001644), Hylobates lar 16472 pb (GenBank NC 002082), Macaca sylvanus 16586 pb (GenBank NC 002764),

(11)

Cebus albifrons 16554 pb (GenBank NC 002763) dan Homo sapiens 16571 pb (GenBank DQ 246833). Susunan gen dari organisasi genom mitokondria

T. bancanus dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasar jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian, yaitu

daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi (non coding

region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen yaitu 13 gen penyandi protein yang berperan penting di dalam transpor elektron dan fosforilasi oksidatif, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen tersebar secara asimetris pada kedua untai DNA (Reyes et al. 1998). Untai berat mt-DNA mengandung 28 gen

yaitu 2 gen penyandi ribosomal RNA (12S rRNA dan 16S rRNA); 12 gen

penyandi protein masing-masing NADH dehidrogense (ND1, ND2, ND4, ND5, ND4L), Cytochrome c oxydase (COX1, COX2, COX3), Cytochrome b (Cyt b),

Gambar 6. Susunan gen dari organisasi genom mitokondria T. bancanus (NC 002811).

ATPase (ATP6, ATP8) dan 14 gen penyandi tRNA masing-masing fenilalanina (tRNAPhe), valina (tRNAVal), leusina (tRNALeu), isoleusina (tRNAIle), metionina (tRNAMet), triptofana (tRNATrp), asam aspartat (tRNAAsp), lisina (tRNALys), glisina (tRNAGly), arginina (tRNAArg), histidina (tRNAHis), serina (tRNASer), leusina (tRNALeu) dan treonina (tRNAThr). Sedangkan untai ringan mt-DNA mengandung sisanya (9 gen) yaitu, 1 gen penyandi protein yaitu NADH dehidrogense6 (ND6) dan 8 gen penyandi tRNA yaitu asam glutamat (tRNAGlu), prolina (tRNAPro), serina (tRNASer), tirosina (tRNATyr), sistina (tRNACys), asparagina (tRNAAsn), alanina (tRNAAla) dan glutamina (tRNAGln). Daerah bukan penyandi genom

(12)

mitokondria hanya terdiri dari daerah kontrol (control region) (Reyes et al. 1998; Schmitz et al. 2002).

Cyt b

Gen penyandi Cyt b mempunyai ukuran 1140 pb, terletak diantara gen penyandi tRNAGlu (di sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAThr (di sebelah kanan atau belakang) pada mt-DNA (Gambar 7) (Schmitz et al. 2002). Adanya variasi urutan pada Cyt b menyebabkan gen ini banyak digunakan untuk membandingkan spesies dalam genus yang sama atau famili yang sama (Randi 1996).

Protein Cyt b dibagi dalam 3 domain fungsional, yaitu intermembran,

matriks dan transmembran. Domain intermembran terbentang antara membran dalam dan luar mitokondria, mengalami evolusi yang lebih lambat daripada ke 2 domain fungsional lainnya. Keadaan ini diduga karena fungsinya sebagai pusat redox Qo (Irwin et al. 1991 dan Griffiths 1997). Domain intermembran pada mamalia mengandung 105 residu asam amino dengan komposisi terbesar dari

ND6 tRNA Pro

Cyt b (1140 pb)

5’ 3’

tRNAGlu tRNAThr

Gambar 7. Skema organisasi gen Cyt b pada T. bancanus (Howell 1989 dan Schimtz et al. 2002)

asam aminonya adalah yang berhubungan dengan fungsi pusat redox Qo (Zhang et al. 1998 diacu dalam McClellan and McCracken 2001) dan sekitar 29% bersifat kekal pada metazoa (Degli Esposti et al. 1993 diacu dalam McClellan

Residu asam amino ke 20 – 40

Residu asam amino ke 130 - 150

Residu asam amino ke 270 -290

(13)

and McCracken 2001). Domain matriks berlokasi pada permukaan dalam dari membran dalam mitokondria, terdiri dari 65 residu asam amino dan proporsi terbesar adalah residu asam amino polar dan asam amino dasar (Griffiths 1997 diacu dalam McClellan and McCracken 2001). Pada bagian matriks relatif sedikit residu yang bersifat kekal kemungkinan karena sebagian besar bagian dari domain ini tidak diketahui fungsinya. Domain transmembran terdiri dari protein

Cyt b yang ditransfer ke membran dalam mitokondria, pada mammalia mengandung 209 residu asam amino yang sebagian besar termasuk asam amino hidrofobik. Penggantian asam amino pada daerah transmembran terjadi antara asam amino hidrofobik leusina, isoleusina dan valina (Irwin et al., 1991; Kornegay et al. 1993 diacu dalam McClellan dan McCracken 2001), dan 19% dari residu asam amino ini bersifat kekal pada sebagian besar metazoa (Degli Esposti et al. 1993 diacu dalam McClellan and McCracken, 2001). Banyak dari residu tersebut dikaitkan dalam fungsinya untuk ligasi heme, aktivitas redoks atau stabilitas struktural.

Menurut Howell (1989), hasil analisis urutan asam amino pada golongan prokariotik dan eukariotik disimpulkan terdapat 5 region protein yang terdiri atas sekitar 20 residu asam amino yang bersifat kekal selama evolusi. Dua region protein yang sangat kekal diperkirakan terdapat pada residu protein ke 130 - 150 dan residu protein ke 270 – 290. Kedua region protein ini berlokasi pada loop ekstramembran dan diduga merupakan bagian pusat reaksi Qo. Region residu protein ke 20 – 40 yang merupakan bagian dari pusat reaksi Qi juga bersifat kekal di dalam tingkat spesies.

Runutan DNA yang menyandi 80 asam amino (posisi ke 47 sampai dengan ke 126) dari Cyt b rodensia, burung, ikan dan manusia (hasil amplifikasi menggunakan primer L14841 dan H15149) setelah disejajarkan berganda didapatkan 129 posisi nukleotida beragam dari 240 nukleotida. Komposisi nukleotida dari ke 4 contoh individu tersebut kandungan Gnya adalah yang paling sedikit, seperti yang dilaporkan pada mt-DNA vertebrata. Perubahan nukleotida yang terjadi pada interspesies sebagian besar adalah terjadi secara substitusi transisi, sedangkan untuk antar genera dalam famili atau ordo yang sama perubahan terjadi sebagian besar adalah transversi. Menurut hipotesis struktural Cyt b, runutan DNA hasil amplifikasi primer L14841 dan H15149 terletak pada intermembran mitokondria, yaitu dengan ditandai tidak adanya penggantian asam amino pada posisi ke 80, yaitu asam amino arginina (R),

(14)

posisi ke 83 yaitu histidina (H), posisi ke 97 yaitu H, dan posisi ke 100 adalah R, Tidak adanya penggantian keempat asam amino ini disebabkan fungsi asam amino histidina dalam ligasi heme di domain intermembran (Gambar 8) (Kocher

et al. 1989). Berdasar penjajaran urutan basa gen Cyt b, daerah tersebut dapat memberikan informasi filogenetik pada tingkat intraspesies sampai tingkat antar genera.

Menurut Schmitz et al. (2002), hasil analisis asam amino pada primata dan nonprimata menunjukkan bahwa primata besar memiliki afinitas yang lebih tinggi basa G+C sedangkan Tarsius dan Slow loris memiliki lebih banyak basa A+T pada gen yang menyandi asam amino seperti yang tampak pada non primata.

Gambar 8. Posisi 80 asam amino (asam amino ke 47 sampai dengan 126) hasil amplifikai menggunakan primer L14841 dan H15149.

Keterangan: asam amino variatif ; asam amino tidak dirunut;

(ada huruf di dalamnya) asam amino tidak variatif diantara vertebrata; asam amino kekal yang berhubungan dengan fungsi

Cyt b (Kocher et al. 1989) D-loop

Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang

tidak membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan

pada kedua bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk

membedakan di antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999).

Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi tRNAPro (di

126 47

(15)

sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAPhe (di sebelah kanan atau

belakang). Jumlah dan runutan nukleotida penyusun D-loop dari beberapa

spesies primata dapat dilihat pada Lampiran 16 –24 dan 26.

D-loop merupakan bagian dari mt-DNA yang sangat variatif dalam substitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memiliki variable number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop

dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan tRNAPro, terdiri dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS) yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D,E dan F) dan domain III yang berbatasan dengan tRNAPhe, terdiri dari runutan yang variabilitasnya tinggi karena substitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah blok runutan pendek yang kekal (short conserved sequence block) (CSB1, CSB2 dan CSB3) (Sbisa et al. 1997 diacu dalam Randi dan Lucchini 1998). Menurut Southern et al. (1988), blok runutan kekal (Conserved sequence block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada mt-DNA lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-loop mt-DNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence tandem repeat) (Fumagalli et al. 1996). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan Chapman (1991), bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjangnya antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan sebesar 81pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di

daerah D-loop. Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan

nukleotida di sekitar daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya adalah transisi dan variasi panjang nukleotida disebabkan oleh penambahan atau delesi mono atau dinukleotida dalam repeat yang berurutan.

Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi, dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et al. 1994) dan semua terletak di region replikasi untai H diatur (Gambar 9). RS1 dan RS2 berada di ujung 5’ dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar,

(16)

membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3’ dari CR,

upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994). Susunan pada RS1, RS2, RS4 dan RS5 memiliki kopi antara 40-160 pb, sedangkan pada RS3 memiliki kopi yang lebih pendek yaitu antara 6-22 pb dengan jumlah pengulangan yang lebih tinggi (lebih dari 40) dan tingkat heteroplasmiknya juga lebih tinggi. Susunan kopi berulang pada RS3 ditemukan pada beberapa mamalia yaitu, anjing dan srigala (Savolainen et al. 2000), pada 14 spesies tupai (Fumagalli et al. 1996), babi (Ghivizzani et al. 1993), kelinci (Mignotte et al.

1990), Lagomorph (Casane et al. 1997), Tupaia belangeri (Schmitz et al. 2000),

Nycticebus coucang (GenBank NC 002765) dan T. bancanus (Schmitz et al.

2002).

Gambar 9. Skema organisasi daerah kontrol mt-DNA pada mamalia.

CSB1, CSB2, CSB3:blok runutan berulang; OH:titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al. 2000).

Berdasar hasil penelitian Schmitz et al. (2002) panjang genom mt-DNA T. bancanus adalah 16927 pb dan terdapat VNTRs sebanyak 22 pb dengan urutan basa TACACCCATGCGTACACGCACG dalam jumlah yang bervariasi antara 4-15 dan terletak di antara CSB1 dan CSB2 atau pada daerah RS3. Pada Tupaia belangeri, VNTRs sebanyak 26 pb yang memiliki

runutan basa CACACATACACACACATACACACATA (Schmitz et al. 2000),

pada anjing memiliki 2 tipe kopi sebanyak 10 pb dengan runutan basa yang berbeda yaitu ACACGTGCGT dan ACACGTACGT, jumlah pengulangan antara 8-46 (Sovalainen et al. 2000) sedangkan pada Nycticebus coucang memiliki VNTRs sebanyak 12 pb, dengan runutan basa TACGTATACACA dan jumlah pengulangan sekitar 21 (GeneBank accession number NC 002765).

(17)

20

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Pusat Studi Ilmu Hayati, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor (PSIH-PAU, IPB), Bogor. Penelitian ini telah dilakukan sejak Juni 2003 sampai dengan Juni 2005.

Rancangan Penelitian

Koleksi Contoh Darah dan Otot

Sebanyak 5 contoh darah T. spectrum asal Tangkoko-Batuangus,

Sulawesi Utara dan 4 contoh otot T. spectrum asal Air Madidi, Sulawesi Utara diperoleh dari penangkaran Tarsius di Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 1 contoh otot telinga T. dianae asal Kamarora, Sulawesi Tengah dan 8 contoh otot

T. bancanus diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan. Lokasi pengambilan contoh Tarsius dapat dilihat pada Gambar 10.

Koleksi Contoh Darah dan Otot

Isolasi DNA Total

PCR

D-Loop Parsial

Perunutan Nukleotida

Analisis dengan Program MEGA 3.1

(18)

21

Gambar 10. Peta pengambilan contoh T. spectrum, T. dianae dan T. bancanus

Keterangan: T. bancanus (Lampung), T. spectrum (Air Madidi), T. spectrum (Tangkoko), T. dianae (Kamarora)

Isolasi DNA Total

DNA total diekstraksi dari darah, otot dan telinga. Darah diambil dari pembuluh darah pada pangkal ekor, ditambah larutan EDTA 10% sebagai antikoagulan. Otot diambil dari Tarsius yang sudah mati dan potongan telinga diambil dari hewan yang masih hidup.

Preparasi contoh darah dan otot mengikuti metode Duryadi (1993). Setiap otot (50-100mg) secara terpisah digerus dalam larutan STES {1% (W/V) SDS; 50 mM Tris-HCl, pH 9,0; 0,1 M EDTA, pH 8,0; 0,2 M NaCl}. Darah sebanyak 50-100 μl ditambah 1X volume larutan lisis {0,32M Sucrose, 1% (V/V) Triton

X-100, 5 mM MgCl2 dan 10 mM Tris-HCl, pH 7,4}. Organel sel dalam larutan

diendapkan dengan sentrifugasi 6500 rpm selama 1 menit. Endapan ditambah dengan 1X volume larutan pencuci (75 mM NaCl, 50 mM EDTA, pH 8,0). Contoh otot yag sudah digerus dan darah selanjutnya ditambah dengan digestion buffer

(larutan STES + 0,5 mg/ml Proteinase K) sebanyak 500 ul, kemudian diinkubasi pada penangas air suhu 55oC selama + 16 jam atau semalam.

Purifikasi DNA Total mengikuti Sambrook et al. (1989) dimodifikasi Duryadi (1993). Suspensi setelah diambil dari penangas air ditambah larutan fenol 1x volume, dicampur rata kemudian disentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. Fase air di bagian atas yang mengandung DNA dipindah ke tabung baru, kemudian ditambah kloroform:isoamil-alkohol (24:1, CIAA) dan dicampur rata. Fase atas dipisahkan dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. Cairan

LAMPUNG

KAMARORA

AIR MADIDI TANGKOKO

Laut Cina Selatan Samudra Pasifik

Laut Timor Samudra Hindia

Sumatera

Jawa

(19)

22

bagian atas dipindahkan ke tabung baru, ditambah etanol absolut 2x volume. Gumpalan DNA diendapkan dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA dicuci menggunakan alkohol 70% 1x volume dengan sentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit. DNA yang diperoleh dikeringkan di suhu ruang. DNA dilarutkan dalam larutan TE (10 mM Tris-HCl; 1 mM EDTA, pH 8,0), kemudian

diinkubasi pada penangas air suhu 37oC selama 15 menit. Sampel DNA

disimpan pada suhu –20oC. DNA dilihat kwalitasnya dengan dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE (89 mM Tris, 89 mM asam borat dan 2 mM EDTA, pH 8,0) dalam piranti Submarine Electrophoresis

(Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300 nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide (0,5 μg/ml).

Amplifikasi DNA dengan PCR

DNA total hasil ekstraksi digunakan sebagai DNA cetakan untuk proses amplifikasi. Primer-primer yang digunakan dalam penelitian ini didisain untuk mengamplifikasi gen Cyt b parsial dan D-loop parsial (Tabel 3). Primer untuk Cyt b menggunakan primer L14841 dan H15149 (Kocher et al. 1989). Primer untuk

D-loop didisain berdasarkan data runutan T. bancanus (Kode akses Genbank NC_002811) yang dibandingkan dengan primer-primer yang telah dipakai untuk mengamplifikasi daerah D-loop (Wilkinson et al. 1991; Hapke et al. 2001). Program primer 3 (http://www-genome.wi.mit.edu/cgi

.bin/primr3.cgi/results_from-primer3) digunakan untuk menyeleksi primer-primer yang dapat memberikan

kemungkinan hasil yang baik. Lokasi penempelan primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan daerah D-loop berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Tabel 3. Urutan basa dan suhu penempelen primer untuk mengamplifikasi gen Cyt b dan D-loopTarsius sp.

PRIMER

TARGET NAMA Urutan Basa

Suhu Penempelan Produk PCR (pb) Cyt b parsial L14841 H15149 (F) 5’AAAGCTTCCATCCAACATCTCAG CATGATGAAA 3’ (R) 5’ AAACTGCAGCCCCTCAGAATGAT ATTTGTCCTCA 3’ 60OC 374 D-loop parsial DLTARPROF DLTARBFR (F) 5’ CTGGCATTCTCCATAAACT 3’ (R) 5’ GTTGCTGATTTCACGGAGGAAG 3’ 55 O C 417

(20)

23

Komposisi 50 μl campuran pereaksi PCR terdiri dari 2,5 mM MgCl2,

10 mM dNTPs, 100-300 ng DNA cetakan, 20-100 pmol masing-masing primer dan 2 U Taq polimerase (Bio lab) beserta bufernya.

Amplifikasi DNA dengan PCR pada penelitian ini menggunakan mesin

GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer). Amplifikasi gen Cyt b parsial

dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik untuk denaturasi, 60oC selama 45 detik untuk penempelan primer (annealing), 72oC selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72oC.

Amplifikasi PCR D-loop utuh dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC

selama 30 detik untuk denaturasi, 53oC selama 45 detik untuk penempelan

primer (annealing), 72oC selama 1 menit untuk pemanjangan (elongation); reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan pemanjangan (extension) selama 5 menit pada 72oC. Amplifikasi PCR D-loop

parsial dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 55oC selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri 5 menit pada 72oC.

Produk PCR dideteksi dengan cara dimigrasikan pada gel agarosa 1,2%

dengan menggunakan buffer 1xTBE dalam piranti Submarine Electrophoresis

(Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ = 300nm) setelah gel diwarnai dengan ethidium bromide. Penanda DNA dengan ukuran 100 pb digunakan sebagai penunjuk berat molekul.

Penentuan Runutan Nukleotida

Produk PCR hasil amplifikasi dimurnikan dengan menggunakan GFX

Column purification kit (Amersham, USA), selanjutnya dipergunakan sebagai DNA cetakan untuk reaksi penentuan runutan nukleotida.

Runutan nukleotida gen Cyt b parsial diperoleh dengan menggunakan alat pennentuan runutan DNA otomatis ABI Prism versi 3.4.1 (USA). Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 60oC

(21)

24

selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72oC.

Reaksi untuk penentuan runutan D-loop parsial menggunakan larutan

pereaksi Thermo Sequenase Cy5 Dye Terminator Cycle Sekuencing Kit

(Amersham, USA) dengan mesin GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer).

Kondisi untuk reaksi penentuan runutan adalah sebagai berikut: denaturasi awal selama 2 menit pada suhu 94oC selanjutnya diikuti dengan 94oC selama 30 detik, 55oC selama 45 detik, 72oC selama 1 menit; reaksi amplifikasi sebanyak 35 siklus kemudian diakhiri dengan penambahan (extension) selama 5 menit pada 72oC.

Produk reaksi penentuan runutan dipurifikasi menggunakan kolom autoseq G-50, kemudian DNA dikonsentrasikan dengan penambahan alkohol absolut yang dilanjutkan pencucian menggunakan alkohol 70%. Setelah kering, ditambahkan ke dalamnya 6 μl stop solution. Larutan diinkubasi pada 72oC selama 5 menit dan kemudian dimasukkan ke dalam es. Runutan nukleotida

diperoleh dengan menggunakan alat perunut DNA otomatis ALFexpress II

(Amersham pharmacia biotech), pada kondisi 1500 V, arus listrik 60mA, daya 25 W, suhu 55oC, selama 700 menit.

Analisis Data

Penjajaran berganda homologi runutan nukleotida gen Cyt b dan D-loop

dianalisis dengan bantuan perangkat lunak Genetyx-Win versi 3.0 dan Clustal W (Thompson et al. 1994). Selain berdasarkan runutan nukleotida, gen Cyt b

dianalisis berdasarkan runutan asam amino dari basa-basa yang diterjemahkan mengikuti vertebrate mitochondrial translation code yang ada dalam MEGA versi 3.1. Runutan asam amino sinonimus dianalisis secara manual berdasarkan runutan triplet kodon yang mengalami mutasi. Sebagai spesies pembanding

digunakan T. bancanus (Nomor akses NC_002811), Nycticebus coucang

(NC_002765), Lemur catta (NC_004025), Cebus albifrons (NC_002763),

Lagothrix lagotricha (AF 213965), Macaca sylvanus (NC_002764), M. mulatta

(NC_005943), Hylobates lar (NC_002082), Pongo pygmaeus (NC_002083), Pan paniscus (NC_001644), Pan troglodytes (NC_001643), Gorilla gorilla

(22)

25

Analisis filogeni menggunakan perangkat lunak MEGA versi 3.1 (Kumar

et al. 2001) dengan metode bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali pengulangan.

Gambar

Tabel 1. Data yang mendukung 16 Taksa di Sulawesi (Shekelle 2003)
Gambar 2. Bentuk jumbai pada ekor T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae                      (Shekelle  2003)
Tabel 2: Pengukuran telinga T. dianae dan T. spectrum  (Niemitz et al. 1991)
Gambar 4. Tiga Hipotesis Biogeografi Sulawesi dan Sekitarnya (Shekelle dan Leksono                       2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait