• Tidak ada hasil yang ditemukan

FISIOLOGI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME, DAN EKSKRESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FISIOLOGI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME, DAN EKSKRESI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

FISIOLOGI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME, DAN

EKSKRESI

(Disusun Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Farmakokinetik)

Disusun oleh: IMAN FIRMANSYAH 260110130044 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016

(2)

1

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

1. Absorpsi

Absorbsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang memungkinkan suatu zat aktif melalui jalur pemberian obat melalui sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanis me perlintasan membran. Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya zat aktif kedalam tubuh, pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya zat aktif yang berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan faktor yang dapat mengubah pH ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga merupakan faktor penentu laju penyerapan ( Leon Sharger dan Andew B, 2005).

a. Rute Pemberian Obat

Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. Beberapa rute pemberian obat lain selain parenteral dan ental ialah inhalas i, transdermal (perkutan) atau intranasal untuk absorpsi sistemik. Ketersediaan sistemik dan mula kerja obat dipengaruhi oleh aliran darah ke site pemakaian, karakteristik fisiko kimia obat dan produk obat, dan kondisi patofisiologi pada site absorpsi. Rute pemberian obat ditentukan oleh sifat dan tujuan dari penggunaan obat sehingga dapat memberikan efek terapi yang tepat.

Beberapa obat tidak diberikan secara oral karena ketidakstabilan obat dalam saluran cerna atau peruraian obat oleh enzim pencernaan dalam usus. Absorpsi obat setelah injeksi subkutan lebih lambat dibanding injeksi intravena. Apabila suatu obat diberikan melalui rute pemberian ekstravaskuler seperti oral, topikal, intranasal, inhalasi dan rektal, maka obat pertama harus diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik dan kemudian berdifusi atau ditranspor ke site aksi sebelum menghasilkan aktivitas biologis atau teurapetik. Prinsip umum dan kinetika absorpsi dari site ekstravaskuler tersebut mengikuti prinsip yang sama seperti dosis oral, walau fisiologis site pemakaian berbeda (Shargel,2012).

(3)

2

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

b. Sifat Membran Sel

Untuk absorpsi obat sistemik, obat harus melintasi epitel entestinal melalui atau antar sel epitel untuk mencapai sirkulasi sistemik. Permeabilitas suatu obat pada site absorpsi ke daam sirkulasi sistemik berkait dengan struktur molekul obat dan sifat fisik dan biokimia membran sel. Sekali obat dalam plasma, obat harus melintasi membran biologis untuk mencapai site aksi. Oleh karena itu, membran biologis bertindak sebagai sawar untuk pelepasan obat (Shargel,2012).

Absorpsi transeluler merupakan suatu proses pergerakan obat melinta s i suatu sel. Beberapa molekul obat yang tidak mampu melintasi membran sel, tetapi bisa melewati celah antarsel dikenal dengan absorpsi obat paraseluler. Beberapa obat kemungkinan diabsorbsi melalui mekanisme campuran yang melibatkan suatu atau lebih proses (Shargel,2012).

Membran merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruha n sel dan bertindak sebagai pembatas antara sel dan cairan interstisial. Secara fungsional, membran sel merupakan partisi semipermeabel yang bertindak sebagai sawar selektif untuk lintasan molekul. Pergerakan transmembran obat dipengaruhi oleh komposisi dan struktur membran plasma. Membran sel terutama tersusun dari fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat dan protein. Ada teori yang menjelaskan bahwa obat larut lemak cenderung lebih mudah untuk penetrasi ke membran daripada molekul polar (Shargel,2012).

c. Perjalanan Obat Melintasi Membran Sel

Perjalanan obat dalam melewati membran sel memiliki bebrapa cara di antaranya ada difusi pasif, transport yang dipelantarai pembawa yang terdiri dari transport aktif, difusi yang terfasilitasi dan transpor intestinal yang diperantarai pembawa yang di uraikan dalam tahapan berikut.

(4)

3

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

 Difusi Pasif

Secara teoritis, obat lipofilik dapat melintasi sel atau mengelilinginya. Jika obat memiliki berat molekul rendah dan lipofilik, lipid membran sel bukan merupakan sawar untuk difusi dan absorpsi obat. Difusi pasif merupakan proses dimana molekul berdifusi secara spontan dari suatu daerah konsentrasi tinggi ke suatu daerah konsentrasi rendah. Disebut pasif karena tidak ada energi eksternal yang dikeluarkan (Shargel,2012).

Difusi pasif merupakan proses absorpsi utama untuk sebagian obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah konsentrasi obat yang lebih tinggi pada sisi mukosa dibandingkan dalam darah. Menurut hukum Fick, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju difusi pasif obat seperti derajat kelarutan obat dalam lemak, koefisien partisi, K, dimana obat yang lebih larut lemak akan memiliki nilai K yang lebih besar. Luas permukaan membran juga mempengaruhi laju absorpsi obat (Shargel,2012).

Disamping berdifusi ke dalam sel, obat juga berdifusi ke dalam ruang sekitar sel sebagai suatu mekanisme absorpsi. Pada difusi paraseluler, molekul obar dengan BM lebih kecil dari 500 berdifusi ke dalam penghubung yang ketat atau ruang antar sel epitelial usus (Shargel,2012).

 Transport yang Diperantarai Pembawa

Suatu obat lipofilik dapat melintasi sel dan ke sekitarnya. Jika obat mempunyai berat molekul rendah dan lipofilik, membran sel lipid bukan merupakan penghalang difusi dan absorpsi. Dalam usus, obat dan molekul lain dapat melintasi sel epitel usus dengan mekanisme difusi atay diperantarai pembawa. Sejumlah sistem transpor yang diperantarai pembawa khusus adadi dalam tuuh, terutama dalam usus untuk absorpsi ion dan nutrien yang diperlukan tubuh (Shargel,2012).

(5)

4

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Transpor Aktif

Transpor aktif merupakan proses transmembran yang diperantarai oleh pembawa yang memainkan peran penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit. Beberapa obat yang tidak larut lemak yang menyerupai metabolit fisiologi alami diabsorpsi dari saluran cerna dari proses ini. transpor aktif ditandai dengan transpor obat melawan perbedaan konsentrasi dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, sistem ini merupakan suatu sistem yang memerlukan energi. Transpor aktif merupakan proses khusus yang memerlukan pembawa yang mengikat obat membentuk kompleks obat-pembawa yang membawa obat lewat membran dan kemudian melepaskan obat disisi lain dari membran. Obat yang diabsorpsi yang diperantarai pembawa, laju absorbsi obat meningkat dengan konsentrasi obat sampai molekul pembawa menjadi jenuh sempurna. Pada konsentrasi obat yang lebih tinggi, laju absorbsi obat konstran atau orde nol (Shargel,2012).

Difusi yang Terfasilitasi

Merupakan sistem transpor yang diperantarai pembawa, berbeda dengan transpor aktif, obat bergerak oleh karena perbedaan konsentrasi yaitu bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Sistem ini tidak memerlukan energi, namun karena diperantarai pembawa, maka sistem dapat jenuh dan secara struktur selektif bagi obat tertentu dan memperlihatkan kinetika persaingan bagi obat-obat dengan struktur serupa (Shargel,2012).

Transpor Intestinal yang Diperantarai Pembawa

Beberapa obat di absorpsi melalui pembawa ini karena kesamaan struktur dengan substrat alami menurut Shargel, 2012:

(6)

5

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

1. Transpor Vesikuler

Merupakan proses pencaplokan partikel atau bahan terlarut oleh sel. Pinositosis dan fagositosis merupakan bentuk transpor vesikule r yang berbeda dari tipe materi yang dicerna. Transpor vesikuler ini merupakan proses yang diusulkan untuk absorpsi daru vaksin sabin polio yang diberikan secara peroral dan berbagai molekul protein yang besar.

2. Transpor Lewat Pori (Konvektif)

Molekul yang sangat kecil dapat melintasi membran secara cepat, jika membran mempunyai celah atau pori. Walau pori tersebut tidak teramati secara langsung dengan mikroskop, model permeasi obat melalui pori yang bersifat aqueous digunakan untuk menjelaska n eksresi obat lewat ginjal dan pengambilan obat ke dalam hati. Molekul-molekul kecil bergerak melewati kanal dengan difusi yang lebih cepat dibandingkan pada bagian membran.

3. Pembentukan Pasangan Ion

Obat elektrolit kuat merupakan molekul terion dan bermuatan. Obat elektrolit kuat mempertahankan muatannyapada semua nilai pH fisiologis dan penembusan membran rendah. Bila obat terion dihubungkan dengan suatu ion dengan muatan berlawanan, terbentuk pasangan ion dengan keseluruhan muatan pasangan adalah netral. Komplek netral ini berdifusi dengan lebih mudah lewat membran.

d. Absorpsi Obat Oral

Rute absorpsi obat secara oral merupakan rute paling lazim dan populer dari pendosisan obat. Karena obat dapat absorbsi dengan mudah bila dilakukan secara oral. Ada beberapa faktor penunjangp pada bentuk pembuatan obat oral salah satunya bentuk sediaan obat harus di rancang untuk mempertimbangka n rentang pH yang ekstrem, ada atau tidak adanya makanan, degradasi enzim,

(7)

6

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

perbedaan permeabilitas obat dalam darah yang berbeda dalam usus, dan motilitas saluran cerna.

 Pertimbangan Anatomis dan Fisiologis

Proses fisiologis pada saluran cerna dapat dipengaruhi oleh diet, kandungan saluran cerna, hormon, sistem saraf viseral, penyakit dan obat-obat. Proses fisiologi utama yang terjadi dalam sistem GI adalah sekresi, pencernaan dan absorpsi. Proses absorpsi adalah masukan unsur dari lumen ke usus ke dalam tubuh (Shargel,2012).

Obat-obat yang diberikan secara oral melintasi berbagai bagian saluran enteral yang meliputi rongga mulut, esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon dan akhirnya keluar dari tubuh melalui anus. Total waktu transit yang meliput i pengosongan lambung, transit usus halus dan transit kolonik yaitu 0,4 sampai 5 hari (Kirwan dan Smith, 1974). Bagian terpenting dalam absorpsi adalah usus halus. Waktu transit dalam usus halus untuk sebagian besar subjek sehat berentang dari 3 sampai 4 jam (Shargel,2012).

 Absorbsi Obat dalam Saluran Cerna

Obat kemungkinan diabsorbsi melalui difusi pasif dari semua bagian saluran cerna meliputi absorpsi sublingual, bukal, GI dan rektal. Untuk sebagian besar obat, site optimul untuk absorbsi obat setelah pemakaian oral adalah bagian atas usus halus atau daerah duodenum. Anatomi duodenum yang khas memberi luas permukaan yang besar dari duodenum disebabkan adanya lipatan-lipatan pada membran mukosa yang merupakan tonjolan-tonjolan kecil yang dikenal dengan vili. Selanjutnya bagian duodenum mengalami perfusi tinggi dengan jaringan kapiler, yang membantu mempertahankan suatu perbedaan konsentrasi dari lumen usus dan sirkulasi plasma (Shargel,2012).

(8)

7

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Motilitas Gastrointestinal

Motilitas GI cenderung memindahkan obat sepanjang jalur cerna, sehingga obat tidak tinggal pada site absorpsi. Waktu transit obat dalam saluran cerna bergantung pada sifat fisikokimia dan farmakologis obat, tipe bentuk sediaan, dan berbagai faktor fisiologis (Shargel,2012).

Waktu Pengosongan Lambung

Secara anatomis, obat yang ditelan akan mencapai lambung secara cepat. Selanjutnya lambung mengosongkan isinya ke dalam usus halus. Oleh karena itu duodenum mempunyai kapasitas terbesar untuk absorpsi obat dari saluran cerna. Suatu penundaan dalam proses pengosongan lambung akan memperlambat proses absorpsi obat dan memperpanja ng waktu mulai kerja obat.

Beberapa faktor yang menunda pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan tinggi lemak, minuman dingin dan obat antikolinergik (Burks dkk., 1985).

Motilitas Intestinal

Pergerakan peristaltik normal mencampur kandungan duodenum, membawa partikel obat kontak dengan sel mukosa usus. Obat haru memiliki cukup waktu tinggal pada site absorbsi untuk proses absorbsi optimum. Jika motilitas tinggi pada saluran intestinal seperti saat diare, obat mempunya waktu tinggal yang sangat singkat dan sedikit kesempatan untuk absorbsi yang memadai (Shargel,2012).

Perfusi Saluran Cerna

Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik dan kemusia ke tempat kerja. Segera setelah obat di absorpsi dari usus halus, obat masuk melalui pembuluh mesenterika

(9)

8

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

menuju vena prota hepatika dan liver sebelum mencapai sirkulasi sistemik (Shargel,2012).

Pengaruh Makanan pada Absorpsi Obat dari Saluran Cerna

Adanya makanan dalam saluran cerna dapat mempengar uhi bioavailabilitas obat dari suatu produk obat oral. Makanan yang mengandung asam amino, asam lemak dan berbagai nutrien kemungkina n mempengaruhi pH usus dan kelarutan obat. Beberapa pengaruh makanan pada bioavailabilitas suatu obat dari produk obat meluputi :

1) Penundaan pengosongan lambung 2) Perangsangan aliran empedu 3) Perubahan pH saluran cerna 4) Peningkatan aliran darah

5) Perubahan metabolisme luminan dari senyawa obat

6) Interaksi fisika atau kimia makanan dengan produk obat atau senyawa obat.

Waktu pemberian obat berkait dengan makan sangat penting, karena makanan berlemak dapat menunda waktu pengosongan lambbung diatas 2 jam. Produk yang digunakan utnuk mengendalikan asam lambung biasanya digunakan sebelum makan, untuk mengantisipasi rangsangan sekresi asam lambung oleh makanan (Shargel,2012).

Fenomena Dua Puncak

Fenomena dua puncak berhubungan dengan perbedaan dalam pengosongan lambung dan laju alir intestinal selama proses absorpsi setelah dosis tunggal. Integritas obat juga merupakan faktor dalam fenomena dua puncak.

(10)

9

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

e. Pengaruh Penyakit pada Absorpsi Obat

Absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit yang menyebabkan perubahan pada alirah darah intestinal, waktu pengosongan lambung, motilitas saluran cerna dan perubahan pada hal lainnya. Beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi absorbsi yaitu :

1) Pasien akhloridria tidak mempunyai produksi asam lambung yang memadai. Kekurangan produksi asam lambung menyebabkan obat bersifat basa lemah tidak dapat membentuk garam larut dan tetap di dalam lamb ung dan tidak di absorpsi.

2) Pasien dengan penyakit parkinson mengalami kesulitan menelan dan sangan menurunkan motilitas pencernaan.

3) Pasien dengan antidepresan trisiklik dan obat antipsikotik megalami penurunan motilitas saluran cerna atau bahkan obstruksi intestina l. Penundaan absorpsi obat terjadi terutama pada produk lepas-lambat.

4) Pasien dengan gagal jantung kongestif mengalami penurunan aliran darah dan mengalami edema pada dinding perut. Selain itu motilitas intestina l lambat. Penurunan aliran darah ke usus dan penurunan motilitas intestina l mengakibatkan penurunan absorbsi obat (Shargel,2012).

2. Distribusi

Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses absorpsi, senyawa obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulas i darah. Molekul obat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk aksi obat dan ke jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping yang merugika n. Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan tubuh dapat dibagi menjadi:

1. Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan), cairan interstisial (16%) dan limfe (1-2%).

(11)

10

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

2. Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah cairan dalam seluruh sel-sel tubuh.

3. Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokule r, peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.

Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler halus ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan plasma disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan interstinal, molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam sitoplas ma (Shargel et al., 2012).

Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak sebagai sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusi nya terbatas, terutama di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut bersifat polar sehingga akan terikat pada protein plasma (albumin) dan membent uk kompleks obat-protein yang terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran sel (Katzung, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah: 1. Perfusi darah melalui jaringan

Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin cepat obat mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam jaringan. Kadar obat dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi keadaan yang disebut keadaan mantap (steady state). Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat dalam jaringan dengan kadar obat dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini disebut keseimbanga n distribusi. Oleh karena itu, pada jaringan tubuh yang mendapat suplai darah relatif paling banyak dibandingkan ukurannya akan menyebabkan terjadinya

(12)

11

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

keseimbangan distribusi yang paling cepat (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).

Tabel 1. Besarnya aliran darah ke berbagai jaringan tubuh pada seseorang dengan berat badan 70 kg (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008). Jaringan/organ

tubuh

Aliran darah (perfussion rate) (mL/menit/mL jaringan) Paru-paru 10 (mewakili seluruh curah

jantung) Ginjal 4 Hati 0,8 Jantung 0,6 Otak 0,5 Lemak 0,03 Otot (istirahat) 0,025 Tulang 0,02

Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh, yaitu:

a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak (waktu distribusi kurang dari 2 menit).

b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot,

(13)

12

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

visera, kulit dan jaringan lemak (waktu distribusi 2-4 jam) (Shargel et al.,2012).

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit merupakan perfusi sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah pada penderita sakit jantung akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat (Shargel et al., 2012).

2. Ikatan obat pada protein plasma

Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat yang terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi. Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak terikat dengan protein plasma yang dapat berdifusi dan memberika n efek farmakologis, sedangkan kompleks zat aktif dengan protein tidak dapat melintasi membran, namun kompleks ini hanya bersifat sementara. Apabila molekul zat aktif yang bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan maka, kompleks ini akan melepaskan bentuk zat bebasnya (Shargel et al., 2012).

Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. Walaupun ikatan antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat, namun tidak disangsikan lagi bahwa fenomena tersebut berperan pada distribusi zat aktif dalam jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan interstit ia l ekstraselular dapat lebih rendah dari konsentrasi dalam plasma (Kee,1996).

Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/L). Albumin tersebut memungkinkan terjadinya ikatan pada sebagian besar senyawa obat,

(14)

13

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

terutama dalam bentuk anion (asam asetil salisilat, sulfonamide, dan anti-vitamin K ). Bentuk kation juga mempunyai afinitas yang tidak dapat diabaikan. Peran globulin tidak terlalu nyata dan hanya berpengaruh pada senyawa tertentu seperti steroida dan tiroksin. Protein lain yang dapat berinteraksi dengan obat yaitu α1-Asam glikoprotein (orosomukoid),yaitu suatu globulin (BM > 44.000 Da). Protein ini memiliki konsentrasi plasa yang rendah (0.4 -1 %),dan mengiakt obat-obat basa kationik seperti propanolol, imipramin, dan lidokain. Globilin (α-, β-, δ- globulin) bertanggungjawab untuk transport dalam plasma dari bahan-bahan endogen seperti kortikosteroid, globulin ini mempunya i kapasitas yang rendah tapi afinitas tinggi terhadap bahan endogen tersebut. Eritrosit juga dapat berikatan dengan obat (Terdiri dari kurang lebih 45% volume darah). Protein ini dapat berikatan baik dengan senyawa endogen dan eksogen, seperti Fenitroin, Fenobarbital, dan Amobarbital (Kee, 1996; Shargel et al., 2012).

Tabel 2. Beberapa obat yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap protein plasma (Lechat et al., 1981)

Nama Obat Afinitas (%)

Fenibutazon 98 Sulfonamida 96 Digitoksin 95 Etil Biskumasetat 90 Tiopental 75 Salisilat 64

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma dengan molekul obat adalah:

a. Interaksi dengan obat lain

Ikatan plasmatik bersifat tidak spesifik sehingga dapat berikatan dengan beberapa molekul obat. Hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya

(15)

14

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

persaingan antar molekul obat untuk berikatan dengan plasma. Molekul yang mempunyai ikatan protein lebih stabil akan menyingkirkan molekul obat lain dari sisi aktif plasma sehingga meningkatkan jumlah bentuk bebasnya. Contohnya Kuinidin dan beberapa obat lainnya yang termasuk antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin sehingga mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas Digoksin. Selain itu, ada juga persaingan Fenilbuta zo n dengan Dikumarol, di mana afinitas plasmatik Fenilbutazon lebih tinggi dibandingkan Dikumarol. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah bentuk bebas Dikumarol dan menyebabkan pendarahan (aktivitas Dikumarol sebagai anti-koagulan) (Shargel et al., 2012).

b. Obat

Sifat-sifat fisikokimia obat juga mempengaruhi tercapainya keseimbangan distribusi pada jaringan tertentu. Jika suatu jaringan dapat menampung atau mengikat lebih banyak obat, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai keseimbangan distribusi. Ambilan obat oleh suatu jaringan ditentukan oleh faktor yang disebut koefisien partisi (Kp), yaitu:

Kp = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛

𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ (diukur pada saat keseimbangan distribusi)

Berdasarkan rumus tersebut, semakin besar nilai Kp, maka semakin panjang waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan distribus i. Jadi, sifat fisikokimia obat yang menyebabkan makin banyaknya ambila n suatu obat oleh suatu jaringan adalah sifat lipofilik yang tinggit (sangat mudah larut dalam lemak). Membran-membran yang memisahkan jaringan atau organ dari darah bersifat lipoid sehingga hanya obat-obat yang lipofilik saja yang dapat menembus membran dengan mudah. Molekul-molekul obat yang terionisasi tidak mudah melewati membran tersebut.

(16)

15

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Contohnya Asam salisilat (suatu asam lemah dengan pKa = 3,0) terionisa s i lebih dari 99% pada plasma (pH = 7,4) dan oleh karena itu, Asam salisilat masuk ke cairan serebro-spinalis secara lambat sekali. Kebanyakan membran diperkirakan berpori-pori yang dapat dilalui oleh molekul polar yang kecil saja dan tidak dapat dilalui oleh molekul besar. Sebaliknya, otot memiliki pori-pori yang relatif besar. Contohnya Gentamisin akan diabsorpsi dengan baik bila disuntikkan secara intramuskular tetapi tidak akan diabsorpsi bila diberikan per oral (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).

c. Protein

Fraksi obat terikat dapat berubah dengan adanya perubahan konsentrasi protein plasma pasien. Apabila pasien memiliki konsentrasi protein plasma yang rendah maka untuk setiap pemberian dosis obat, konsentrasi obat bioaktif bebas kemungkinan lebih tinggi dari yang diharapkan (Kee, 1996; Shargel et al., 2012).

Tabel 3. Faktor-faktor yang menurunkan konsentrasi protein plasma (Shargel et al., 2012).

a) Kondisi fisiologis dan patofisiologis pasien

Tabel 4. Kondisi yang mempengaruhi konsentrasi protein dalam plasma (Shargel et al., 2012).

Albumin α 1 – Glikoprotein Menurunkan Usia (geriatrik, neonatus) Konsentrasi fetal

Mekanisme Keadaan Sakit Penurunan Sintesis Protein Penyakit Liver

Peningkatan katabolisme protein Trauma, Pembedahan Distribusi albumin dalam ruang

ekstravaskular

Terbakar

(17)

16

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Bakteri Pneumonia Luka bakar

Sirosis hati Fibrosis sistik

Penyakit saluran cerna Histoplasmosis Lepra Abses hati Neoplasma maligna Malnutrisi (berat) Gagal ginjal Kehamilan Pembedahan Trauma Sindrom nefrotik Pankreatitis Sindrom nefrotik Kontrasepsi oral

Meningkatkan Tumor Benign Olahraga Hipotiroid Neurosis Paranoia Psikosis Schizophrenia Usia (geriatrik) Penyakit Celiac Penyakit Chron Kecelakaan Infark Miokard Stres Trauma Pembedahan Gagal renal Artritis Reumatoid

(18)

17

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

3. Permeabilitas Kapiler

Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas, bergantung pada jaringannya. Sebagai contoh, membran kapiler dalam hati dan ginjal lebih permeable untuk pergerakan obat transmembran dari pada kapiler dalam otak. Kapiler sinusoid hati sangat permeable dan memungkinka n lewatnya molekul dengan ukurang besar. Dalam otak dan spinal cord, sel endotel kapiler dikelilingi oleh suatu lapisan sel-sel glial, yang mempunya i hubungan interseluler yang rapat. Lapisan tambahan dari sel sekitar membran kapiler secara efektif berindak untuk memperlambat laju difusi obat ke dalam otak dengan bertindak sebagai suatu sawar lemak yang leb ih tebal. Sawar lemak ini disebut sawar darah-otak (blood-brain barrier), memperlambat difusi dan penetrasi ke dalam otak dan spinal cord dari obat yang polar. Pada kondisi patofisiologis tertentu, permeabilitas membrane sel dapat berubah. Sebagai contoh, luka bakar akan mengubah permeabilitas kulit dan memungkinkan obat-obat dan molekul besar untuk menembus masuk atau ke luar. Pada meningitis, yang melibatkan inflamasi membran spinal cord atau otak, ambilan otak ke dalam otak akan meningkat (Katzung, 2011; Shargel et al.,2012).

Distribusi total obat dalam tubuh dapat diperkirakan dengan cara mengaitkan jumlah obat dalam tubuh dengan jumlah obat dalam darah atau dengan kadar obat dalam darah. Parameter yang mengaitkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadar obat dalam darah disebut volume distribuse (VD), dengan rumus:

VD = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ

Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam farmakokinetik. Salah satu kegunaannya adalah untuk menentukan dosis obat yang diperlukan untuk memperoleh kadar obat dalam darah yang dikehendaki. Obat-obat dengan nilai VD yang kecil akan menghasilkan kadar

(19)

18

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai VD yang besar akan menghasilkan kadar dalam darah yang rendah (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).

Di dalam praktiknya, terlihat bahwa obat-obat yang terdistribusi secara meluas dalam tubuh akan mempunyai nilai VD yang besar, sebaliknya obat-obat yang kurang terdistribusi ke seluruh tubuh akan menunjukkan nilai nilai VD yang kecil, yang menujukkan adanya ikatan yang sangat kuat antara obat tersebut dengan protein plasma. Nilai VD < 5 L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam kompartemen vaskular. Nilai VD < 15 L menunjukka n bahwa obat terbatas pada cairan ekstraselular. Sementara volume distribus i yang besar (Nilai VD > 15 L) menunjukkan distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsntrasi pada jaringan tertentu. Volume distribusi dapat digunakan untuk menghitung bersihan (clearance) obat (Neal, 2005; Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Univers itas Sriwijaya, 2008).

Bersihan (clearance) adalah konsep yang penting dalam farmakokinetik. Bersihan (Clp) merupakan volume darah atau plasma yang dibersihkan dari obat dalam satuan waktu dan dirumuskan dengan:

Clp = VD x Kel

Konstanta kecepatan eliminasi (Kel) adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satuan waktu, yang dapat dihitung dengan rumus:

Kel = 0,69 𝑡

Bersihan juga menunjukkan kemampuan hati dan ginjal untuk membuang atau membersihkan obat (Neal, 2005).

(20)

19

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

3. Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Hinz, 2005)

Metabolisme obat mempunyai dua efek penting yaitu:

a. Obat menjadi lebih hidrofilik. Hal ini dapat mempercepat ekskresinya melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal.

b. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli (Mutschler, 1986).

Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya di dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang tedapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk kromosom) dan enzim non mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolis is. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).

Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya ditujukan untuk perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika). Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma.

(21)

20

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah. Tabel di bawah ini menjelaskan sel yang mengandung enzim metabolisme obat pada berbagai organ:

Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah lebih larut dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang dapat berkonjugasi dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut dalam air tetapi ada pengecualian pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam klorofenilasetat) atau N-4-asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering terjadi bahwa metabolit obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada obatnya sehingga bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya dalam lipid sehingga mudah untuk diekskresikan (Gibson and Skett, 1986).

Pada proses biotransformasi atau metabolisme, konsentrasi enzim pada metabolit obat dalam tubuh adalah konstan pada site tertentu dan konsentrasi obat (substrat) dapat berbeda. Bila konsentrasi obat relatif rendah terhadap konsentrasi enzim, ada enzim yang melimpah untuk mengkatalisa reaksi dan laju metabolis me merupakan suatu proses orde ke satu. Kinetika enzim secara umum menganggap bahwa satu molekul obat berinteraksi dengan satu molekul enzim untuk membent uk suau molekul intermediet enzim-obat atau enzim-substrat. Enzim-substrat ini selanjutnya bereaksi untuk menghasilkan produk yang disebut metabolit (Shargel,2012).

(22)

21

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Laju terbentukan intermediet dapat dihitung menggunakan persamaan: - [ED] = k1[E][D].

Laju penguraian intermediet dapat dihitung menggunakan persamaan: - [ED] = k2[ED] +k3[ED]

Laju kecepatan metabolisme dihitung dengan persamaan: v = 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐷] [𝐷]+𝐾𝑚

Keterangan: E = Enzim D = Obat

ED = Intermediet obat-enzim k = tetapan laju order ke satu.

Tanda kurung menunjukan konsentrasi.

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya. Diantaranya interaksi pada metabolisme obat (BNF 58, 2009).

Interaksi pada metabolisme obat:

a. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di

(23)

22

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati (Stockley, 2008).

Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) 27 untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

c. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolismeobat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolis me yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008). d. Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian 28 kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat.

(24)

23

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008). e. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin

dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifamp is in mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatka nnya (Stockley, 2008).

Kinetika Inhibisi Enzim

Beberapa obat dapat bekerja untuk menghambat enzim memetabolisme obat-obat lain dalam tubuh. Suatu penghambatan dapat menurunkan laju metabolis me obat melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Penghambatan dapat berkombinas i dengan suatu kofaktor seperti NADPH2 yang diperlukan untuk aktivitas enzim. Penghambatan enzim dapat reversibel atau irreversible (Shargel,2012).

Penghambatan ini terbagi menjadi:

a. Inhibisi enzim kompetitif, penghambatan dan substrat obat berkompetisi untuk pusat aktif yang sama pada enzim. Obat dan penghambatan dapat mempunya i struktur kimia yang serupa. Suatu peningkatan konsentrasi obat (substrat) dapat mendesak penghambatan dari enzim dan pengembalian pengahambatan secara sebagian (parsial) atau secara penuh.

b. Inhibisi enzim nonkompetitif, penghambatan dapat menghambatan enzim melalui kombinasi pada satu site pada enzim yang berbeda dari site aktif (suatu site allosterik). Kasus ini didasarkan oleh konsentrasi peghambatan (Shargel,2012).

(25)

24

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

 Farmakokinetik Metabolit untuk Obat-obat yang Mengikuti Suatu Model Kompratemen Satu

Model kompratemen satu dapat digunakan untuk memperkiraka n pembentukan metabolit dan peurunan obat dalam plasma secara simulta n. Sebagai contoh, suatu obat diberikan dengan i.v bolus dan obat dimetabolis me melalui lebih dari satu jalur pararel. Dianggap konsentrasi metabolit dan obat induk mengikuti farmakokinetik linier (order satu) pada konsentrasi terapeutik. Tetapam laju eliminasi dan volume distribusi untuk masing- masing metabolit dan obat utuh diperoleh dari pencocokan kurva konsentrasi obat dalam plasma -waktu dan masing- masing kurva konsentrasi metabolit--waktu (Shargel,2012).

Gambar 1: Jalur paralel untuk metabolisme suatu obat menjadi metabolit A dan metabolit B. Tiap metabolit dapat di ekskresi ataupun di metabolisme lebih lanjut.

 Farmakologi Metabolit untuk Obat-obat yang Mengikuti Suatu Model Kompratemen Dua

Sefalosforin merupakan suatu antibiotika yang dimetabolisme secara cepat melalui hidrolisis baik pada manusia dan kelinci. Metabolit desasetilsefalo t in mempunyai aktivitas lebih kecil dibanding obat induk. Perjalanan obat dan metabolit setelah pemberian suatu dosis dapat diramalkan dari kinetika distribusi obat dan metabolit (Shargel,2012).

(26)

25

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Metabolisme Liver

Liver merupakan organ yang memeiliki perananan penting dalam proses metabolisme. Oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi merupak reaksi yang paling umum. Metabolisme obat dalam liver bergantung aliran dan site. Beberapa enzim hanya dicapai bila aliran darah berjalan dari arah tertentu. Jumlah enzim yang terlibat dalam metabolisme obat tidak merata pada seluruh liver. Sebagai akibatnya, perubahan aliran darah dapat sangat mempengaruhi fraksi obat termetabolisme. Secara klinis, penyakit liver, seperti sirosis dapat menyebabkan fibrosis, nekrosis, dan hepatik shunt, mengakibatkan perubahan aliran darah dan mengubah bioavaibilitas obat (Shargel,2012).

Enzim liver yang telibat dalam metabolisme adalah MFO (Mixed Functions Oxidase). Merupakan enzim structural yang merupakan seuatu sisterm transpor elektron yang memerlukan NADPH tereduksi (NADPH2), oksigen molekule r, sitokrom P450, NADPH-sitokrom, P450 reduktase, dan fospolipid (Shargel,2012).

(27)

26

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Reaksi Biotransformasi Obat

Enzim biotransformasi hepatik memainkan peranan penting untuk inaktivasi dan selanjutnya elimasi obat-obat yang tidak terbersihkan dengan mudah melalui ginja l. Untuk obat-obat ini misalnya teofilin, fenitoin, asetamiofen dan lainnya ada hubunga n langsung antara laju metabolisme obat dan paruh waktu eliminasi. Untuk sebagian besar reaksi biotransformasi, metabolit obat adalah lebih polar daripada senyawa induk. pengubahan obat menjadi metabolit yang lebih polar memungkinkan obat terelimasi lebih cepat dibandgkan jika obat larut dalam lemak. Obat-obat yang larut dalam lemak melewati membran sel dan dengan mudah di reabsorpsi oleh sel-sel tubula ginjal, sehingga cenderung tinggal lebih lama di dalam tubuh (Shargel,2012).

Sifat obat dan rute pemakaian dapat mempengaruhi tipe metabolit yang terbentuk. Biotransformasi digolongkan menurut aktivitas farmakologis dari metabolit atau menurut mekanisme biokimiauntuk setiap reaksi biofarmasi. Untuk sebagian besar obat, biotransformasi menghasilkan bentuk metabolit yang lebih polar yang tidk aktif secara farmakologis, dan dieleminasi lebh cepat daripada induknya. Untuk beberapa obat, metabolit dapat aktif secara farmakologis atau menghasilkan efek toksik. Prodrug adalah tidak aktif dan harus mengalami biotransformasi dalam tubuh untuk menjadi metabolit yang mempunyai aktivitas farmakologi (Shargel,2012).

(28)

27

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Jalur metabolisme obat

Telah disampaikan bahwa tempat metabolisme obat terutama pada hati. Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondr ia l atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkina n dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas. Reaksi metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :

1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik) 2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik)

Reaksi Fase I

Reaksi metabolisme obat ini disebut juga fase non sintetik atau reaksi fungsional. Reaksi metabolisme obat ini bukan reaksi sintesis atau pembentuka n suatu senyawa yang baru tetapi menciptakan gugus fungsional reaktif bagi senyawa tersebut. Enzim reaksi metabolisme obat fase I biasanya terdapat pada mikrosoma l (retikulum endoplasma). Makna dari reaksi metabolisme fase I ini adalah meningkatkan efek atau potensi bagi suatu senyawa dan memudahkan suatu senyawa untuk bereaksi dengan enzim-enzim metabolisme obat fase II. Contoh metabolisme obat fase I adalah reaksi oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450, oksidasi, reduksi, hidrolisis dan dehalogenasi. (Shargel,2012).

Sistem mono-oksigenase P-450

Enzim sitokrom P-450 merupakan suatu haem protein. Enzim tersebut mempunyai sifat redoks yang khusus dalam fungsi sebagai pemetabolisme. Enzim P-450 juga mempunyai sifat spektral yang khusus dan bentuk tereduksi dari enzim tersebut dapat berkombinasi dengan karbon monooksida untuk membentuk senyawa

(29)

28

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

berwarna merah muda (pink) sehingga disebut dengan " P " dengan absorsi maksimum pada panjang gelombang 450 (berkisar 447-452). Pada perkembangan selanjunya, observasi periakuan tikus dengan dengan 3- metil-kolantren (senyawa penginduksi) mengakibatkan pergeseran pada enzim tersebut. Ini membuktika n bahwa terdapat lebih dari satu bentuk enzim sitokrom P-450.

Sistem sitokrom P-450 hepatik merupakan suatu super familia yang luas yang terdiri dari berbagai enzim yang dibedakan oleh susunan asam aminonya, pengaturan suatu senyawa penginduksi atau pereduksi dan spesifikasi reaksi yang dikatalisnya. Purifikasi enzim 450 dan klonining cDNA dapat mengklasifikasi P-450 menjadi beberapa sub-familia. Sebanyak 74 gen familia telah diketahui dan dikelompokkan menjadi 3 sub-familia yaitu CYP 1, 2 dan 3 yang tertibat dalam metabolisme hati pada manusia. Sebagai contoh adalah CYP1A2, CYP2A6, CYP3A4 dan CYP2D6.

Sistem sitokrom P-450 terlibat pada reaksi metaoblisme obat oksidasi yang membutuhkan molekul oksigen, NADPH dan flavoprotein (NADPH-P 450 reduktase). Efek dari reaksi tersebut adalah penambahan satu atom oksigen (dari oksigen rnolekular) terhadap obat untuk membentuk gugus hidroksi (D-OH). Lebih lanjut, senyawa hasil reaksi ini akan bersifat lebih polar sehingga mudah diekskresikan dan mudah bereaksi dengan enzim-enzim fase metabolisme obat fase II.

Reaksi Fase II

Reaksi metabolisme obat fase II disebut juga fase sintetik atau reaksi konjugasi. Reaksi metabolisme obat fase II ini merupakan jalur detoksifikasi. Pada reaksi ini menciptakan suatu senyawa yang baru dan biasanya metabolitnya berupa senyawa tidak aktif yang mudah dieksresikan. Makna dari reaksi metabolisme fase II adalah metabolit yang terbentuk umumnya bersifat polar atau mudah terionisas i pada pH fisiologi sehingga lebih mudah diekskresikan dan mengubah molekui obat yang aktif menjadi metabolit yang relatif kurang aktif. Contoh metabolisme obat

(30)

29

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

fase II adalah reaksi konjugasi sulfat, konjugasi glukuronat dan konjugas i merkapturat.

Gugus yang sering terlibat dalam reaksi konjugasi adalah sulfat, metil, asetil, glisil dan glukuronil. Pembentukan glukuronida melibatkan pembentukan senyawa fosfat energi tinggi, uridin difosfat asam glukuronat (UDPGA), dari bagian asam glukuronat ditransfer pada atom kaya elektron (N, O atau S) pada substrat membentuk suatu amida, ester atau tiol. Reaksi tersebut dikatalis oleh enzim UDP glukuronil transferase yang mempunyai spesifikasi substrat yang luas sehingga rekasi tersebut dapat terjadi pada beberapa obat dan juga pada senyawa endogen seperti bilirubin dan kortikosteroid adrenal. Reaksi asetilasi dan metilasi terjadi berturut-turut dengan asetil-KoA dan S-adenosil metionin beraksi sebagai senyawa donor.

Reaksi konjugasi menggunakan reagen konjugat yang diperoleh dari senyawa biokimia yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Reaksi ini melibatkan suatu bentuk bahan pengkonjugasi aktif, kaya energi, seperti asam uridin difosfoglukuronat (UDPGA), asetil koA, 3’fosfoadenosin 5’fosfosulfa t (PAPS), atau S-adenosilmethionin (SAM), dengan adanya enzim transferase yang sesuai, berkombinasi dengan obat membentuk konjugat. Sebaliknya, obat dapat diaktivasi menjadi senyawa energi tinggi yang kemudian bereaksi dengan bahan pengkonjugasi dengan adanya enzim transferase. Reaksi konjugasi utama (fase II) adalah seperti berikut:

(31)

30

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Tabel 6. Reaksi Konjugasi Fase II

Gambar 3. Skema Umum untuk Reaksi Fase II

Beberapa reaksi konjugasi dapat mempunyai kapasitas terbatas pada konsentrasi obat tinggi, mengakibatkan metabolisme obat nonlinear. Pada sebagian

(32)

31

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

besar kasus, aktivitas enzim mengikuti kinetika order kesatu pada konsentrasi obat (substrat) rendah. Pada dosis tinggi, konsentrasi obat dapat meningkat di atas tetapan laju Michaelis–Menten (KM), dan laju reaksi mendekati order nol (Vmaks). Reaksi glukoronida mempunyai kapasitas tinggi dan menunjukkan kinetika nonlinea r (penjenuhan) pada konsentrasi obat yang sangat tinggi. Sebaliknya, konjugasi glis in, sulfat dan glutation menunjukkan kapasitas yang lebih kecil dan menunjukka n kinetika nonlinear pada konsentrasi obat terapetik. Kapasitas terbatas dari jalur konjugasi tertentu dapat disebabkan beberapa faktor, meliputi (1) keterbatasan jumlah konjugat transferase, (2) keterbatasan kemampuan untuk mensintes is intermediet nukleotida aktif, atau (3) keterbatasan jumlah bahan pengkonjugas i, seperti glisin (Shargel,2012).

Selanjutnya, reaksi konjugasi N-asetilasi menunjukkan polimorfis me genetik: untuk obat tertentu, populasi manusia dapat dibagi menjadi asetilator cepat dan lambat. Terakhir beberapa reaksi konjugasi ini dapat berkurang atau rusak pada kesalahan metabolisme bawaan lahir. Konjugasi glukuronat dan sulfat merupakan reaksi fase II yang lazim menghasilkan metabolit larut air yang dieskresi secara cepat dalam empedu (untuk beberapa glukuronida berat molekul tinggi) dan/atau urine. Asetilasi dan sintesis asam merkapturat merupakan reaksi konjugasi yang sering berimplikasi pada toksisitas obat (Shargel,2012).

1. Asetilasi

Untuk beberapa alasan reaksi asetilasi merupakan reaksi konjugasi yang penting. Pertama, produk asetilasi umumnya kurang polar dibanding obat induk. Asetilasi dari beberapa obat seperti sulfanilamid, sulfadiazin, dan sulfisoksazol menghasilkan metabolit yang kurang larut dalam air, dan dalam konsentrasi yang cukup akan mengendap dalam tubulus ginjal sehingga menyebabkan kerusakan ginjal dan kristaluria. Di samping itu, metabolit yang kurang polar akan diabsorpsi kembali dalam tubulus ginjal dan mempunya i waktu paruh eliminasi yang lebih panjang. Terdapat dua populasi yang berbeda telah diamati yaitu inaktivasi lambat dan inaktivasi cepat. Oleh karena itu,

(33)

32

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

kelompok inaktivasi lambat lebih peka terhadap toksisitas obat yang disebabkan waktu paruh eliminasi yang lebih panjang dan adanya akumulas i obat (Shargel,2012).

2. Konjugasi Glutation dan Asam Merkapturat

Glutation (GSH) merupakan tripeptida dari glutamil-sistein-glisin yang terlibat dalam berbagai reaksi biokimia penting. GSH penting dalam detoksifikasi oksigen intermediet reaktif menjadi metabolit nonreaktif dan merupakan molekul intraseluler utama untuk proteksi sel terhadap senyawa elektrofilik reaktif. Melalui gugus nukleofilik sulfhidril dari resdu sistein, GSH bereaksi secara nonenzimatis dan enzimatis melalui enzim glutation S-transferase, dengan intermediet oksigen elektrofilik reaktif dari obat-obat tertentu, terutama hidrokarbon aromatis yang merupakan prekursor untuk suatu gugus konjugat obat yang dikenal sebagai derivat asam merkapturat (N -Asetilsistein). Pembentukan konjugat asam merkapturat adalah seperti berikut:

(34)

33

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Pembentukan enzimatis konjugat GSH dapat jenuh. Dosis tinggi dari obat-obat seperti asetaminofen (APAP) dapat membentuk intermediet elektrofilik dan mendeplesi GSH dalam sel. Intermediet reaktif berikatan secara kovalen ke makromolekul seluler hepatik, mengakibatkan kerusakan seluler dan nekrosis. Antidotum yang diusulkan untuk intoksikasi (overdosis) asetaminofen adalah pemberian N-asetilsistein (Mucomyst), suatu molekul obat yang mengandung gugus sulfhidril (R-SH) (Shargel,2012).

Variasi Genetik Isozim Sitokrom (CYP) P-450

Enzim terpenting yang berperan dalam perbedaan metabolisme fase I obat adalah kelompok enzim sitokrom P-450, yang ada dalam berbagai bentuk antarindividual oleh karena perbedaan genetik. Berbagai bentuk sitokrom P-450 ini disebut isozim dan dikelompokkan ke dalam famili (semula ditunjukkan dengan angka romawi I, II, III, IV dst.) dan subfamili (ditunjukkan oleh A, B, C, D dst.) yang didasarkan atas kesamaan urutan asam amino isozim. Jika urutan asam amino isozim 60% atau lebih sama, ditempatkan dalam satu famili. Dalam famili, isozim dengan kesamaan urutan asam amino 70% atau lebih ditempatkan dalam satu sub famili, dan suatu angka arab mengikuti klasifikasi lebih lanjut. Spesifisitas substrat enzim P-450 tampak berhubungan dengan sifat residu asam amino, ukuran rantai samping asam amino, polaritas dan muatan dari asam amino. Gen individ ua l ditunjukkan dengan suatu angka arab (angka terakhir) setelah subfamil y (Shargel,2012).

Kemudian, nomenklatur famili enzim P-450 telah ditinjau kembali dan suatu nomenklatur baru dimulai dengan CYP sebagai akar yang menunjukkan sitokrom P-450 dan sekarang nomor angka arab menggantikan angka Roma. Contohnya adalah seperti berikut:

(35)

34

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Tabel 5.Perbamdingan Nomenklatur Yang Saat Ini Lagi Digunakan

FIRST-PASS EFFECTS

Untuk beberapa obat, rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolis me. Sebagai contoh, obat yang diberikan parenteral, transdermal atau inhalasi akan mempunyai kemungkinan untuk terdistribusi dalam tubuh sebelum dimetabolis me oleh hati. Sebaliknya bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemik nya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setyawati, 2005).

Obat yang digunakan secara oral akan melalui liver (hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam liver terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik

(36)

35

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga berkurang (Hinz, 2005)

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat

Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkuta n, Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah :

a. Intrinsik obat

Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian.

b. Fisiologi organisme

Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat toksik. Kasus serupa juga terjadi pada heksobarbital yang disajikan pada tabel berikut:

Tabel 7. Durasi, waktu paro dan aktivitas enzim metabolisme pada beberapa makhluk hidup (Gibson dan Skett, 1986)

Proses asetilasi sulfonilamid pada tikus jantan lebih efektif dibandingka n betina. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan faktor hormonal dari kedua jenis kelamin tersebut. Faktor perbedaan ras juga dapat mempengaruhi reaksi

(37)

36

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

metabolisme misalnya pada asetilasi beberapa obat antara lain sulfonamida dan isoniasid. Perbedaan ras tersebut, proses metabolisme asetilasi pada manusia dibagi menjadi dua tipe yaitu asetilator cepat, dimana proses metabolis me asetilasinya relatif lebih cepat dan asetilastor lambat, sebaliknya(Mike, 2005). c. Farmakologi

Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat yang dapat menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan tolbutamid. Obat tersebut dapat menginduksi enzim metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh menjadi berkurang mengakibatkan penuruna n efek klinik obat. Sedangkan inhibitor enzim misalnya aspirin, kloramfeniko l, fenilbutason yang masing- masing menghambat metabolisme fase I klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor tersebut akan menghambat reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan sebagai konsekuensi klinik adalah kenaikan efek farmakologinya (Mike, 2005).

d. Kondisi patologi

Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengar uhi metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami ganggua n metabolisme sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit (Mike, 2005). e. Susunan makanan

Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk

(38)

37

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

mengkatalisis reaksi metabolisme obat. 6. Lingkungan Faktor lingkunga n meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga terkait dengan kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim pemetabolisme (Mike, 2005).

Tabel 8. Sumber Variasi dalam Klirens Intrinsik

4. Ekskresi

Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh, seperti CO2, H2O, NH3, zat warna empedu, dan asam urat. Zat hasil metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui alat ekskresi. Sistem ekskresi merupakan salah satu hal yang penting dalam homeostatis tubuh karena selain berperan dalam pembuangan limbah hasil metabolisme sistem ekskresi juga dapat merespon terhadap ketidakseimbangan cairan tubuh (Shargel,2012).

Fungsi dari sistem ekskresi yaitu :

a) Membuang limbah yang tidak bergunadari dalam tubuh b) Mengatur konsentrasi dan volume cairan tubuh (osmoregulasi)

c) Mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran normal (termoregulasi) Homeostatis (Chambell dkk, 2004).

(39)

38

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Pada sistem ekskresi manusia melibatkan beberapa alat ekskresi yang terdiri dari ginjal, kulit, hati, dan paru-paru. Setiap alat ekskresi berfungsi untuk mengeluarkan zat sisa metabolisme yang berbeda-beda, kecuali air yang dapat dikeluarkan melalui semua alat ekskresi (Valerie dkk, 2007).

Berikut merupakan alat ekskresi dan zat yang diekskresikan : Alat Ekskresi Zat yang Diekskresikan

Ginjal Urin Kulit Keringat Paru-paru CO2dan H2O

Hati Pigmen (bilirubin danurobilin)

Masing-masing alat ekskresi memiliki sistem atau cara kerja yang berbeda, sistem/cara kerja dari alat-alat ekskresi adalah sebagai berikut, :

1) Ginjal

Pada ginjal terdapat beberapa tahapan untuk melakukan ekskresi, yaitu terdapat proses penyaringan, reabsorpsi, dan pengumpulan hingga terbentukla h urin yang siap untuk dikeluarkan.

i. Penyaringan (Filtrasi)

Darah yang banyak mengandung zat sisa metabolisme masuk kedalam ginjal melalui pembuluh arteri ginjal (arterirenalis). Cairan tubuh keluar dari pembuluh arteri dan masuk kedalam badan malpighi. Membran glomer ulus dan kapsul Bowman bersifat permeabel terhadap air dan zat terlarut berukuran kecil sehingga dapat menyaring molekul- molekul besar. Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit), tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses penyaringan. Selain penyaringan, di glomelurus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma.

(40)

39

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

Bahan bahan kecil yang terlarut di dalam plasma darah, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan urea dapat melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomer ulus disebut filtrate glomerolus atau urin primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya (Shargel, 2012).

ii. Penyerapan kembali (Reabsorbsi)

Reabsorbsi terjadi di tubulus kontortus proksimal. Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin pimer akan diserap kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Setelah terjadi reabsorbsi maka 5 tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya urea(Valarie dkk, 2007).

iii. Pengumpulan (Augmentasi)

Di tubulus kontortus distal, beberapa zat sisa seperti asam urat, ion hidrogen, amonia, kreatin, dan beberapa obat ditambahkan kedalam urin sekunder sehingga tubuh terbebas dari zat-zat berbahaya. Urin sekunder yang telah ditambahkan dengan berbagai zat tersebut disebut urin. Kemudian, urin disalurkan melalui tubulus kolektivus kerongga ginjal. Dari rongga ginjal, urin menuju kekantung kemih melalui saluran ginjal (ureter ).

2) Kulit

Kelenjar–kelenjar kulit mengeluarkan zat–zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum (bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit (Shargel, 2012).

(41)

40

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

3) Paru-paru

Zat sisa metabolisme yang dikeluarkan dari paru-paru berupa CO2 dan H2O yang dihasilkan dari proses pernafasan. Pengangkutan CO2 sebagai hasil zat sisa metabolisme, diangkut oleh darah dapat melalui tigacara:

a) CO2 larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat dengan enzim anhidrase (7% dari seluruh CO2)

b) Karbondioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (23% dari seluruh CO2)

c) Karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3-) melalui proses berantai pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2).

Mekanisme pertukaran klorida adalah sebagai berikut :

I. Darah pada alveolus paru-paru mengikat O2 dan mengangkutnya kesel-sel jaringan.

II. Dalam jaringan, darah mengikat CO2 untuk dikeluarkan bersama H2O yang dikeluarkan dalam bentuk uap air. Reaksi kimia tersebut secara ringkas dapat kita tuliskan sebagai berikut :

CO2+ H2O H2CO3 HCO3- + H+

Ion H+ yang bersifat racun diikat oleh hamoglobin, sedangkan HCO3 -keluar dari sel darah merah dan masuk kedalam plasma darah. Sementara itu pula kedudukan HCO3-digantikan oleh ion Cl- (klorida) dari plasma darah (Shargel, 2012).

4) Hati

Sebagai alat ekskresi hati (hepar) mengeluarkan empedu ± 1/2 liter setiaphari. Empedu cairan kehijauan, rasanya pahit, pH netral, dan mengandung kolesterol, garam-garam mineral, garam empedu,dan zat warna empedu yang disebut bilirubin dan biliverdin. Garam-garam empedu berfungsi dalam proses pencernaan makanan. Zat warna empedu yang berwarna hijau kebiruan berasal dari perombakan hemoglobin sel darah merah di dalam hati. Zat warna empedu diubah oleh bakteri usus menjadi urobilin yang berwarna kuning coklat yang

(42)

41

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

memberikan warna feses dan urin. Sisa-sisa pencernaan protein yang berupa urea dibentuk juga di dalam hati. Urea kemudian dibawa oleh darah dan selanjutnya masuk kedalam ginjal. Akhirnya, dari ginjal dikeluarkan bersama-samadengan urin (Shargel, 2012).

(43)

42

FARMAKOKINETIK FARMASI UNPAD

DAFTAR PUSTAKA

Burks T. F., Galligan J. J., Porreca F., Barber W. D. 1985. Regulation if Gastric Emptying. Journal Fed Proc. Vol. 44: 2297-2901

Campbell, N.A., dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolism, Chapman and Hall,

London. Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolis m, Chapman and Hall, London.

Hinz, B. (2005). Bioavailability of Diclofenac Pottassium at Low Doses. Germany : Department of Experimental and Clinical Pharmacology and Toxicology, Friedrich Alexander University Erlangen-Nurnberg, Fahrstrasse 17, D- 91054 Erlangen. Pages 80-81

Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Diterjemahkan oleh Aryandhito Widhi N, Leo Rendy, dan Linda Dwijayanthi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mike J. Neal. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Mutschler, E., 1986, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widiyanto, M.B. dan Ranti, A.S., Ed. V, 88-93, Instrtut Teknologi Bandung.

Setyawati, A., 2005, Interaksi Obat dalam Ganiswara, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 862, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, dan Andrew B. C. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi 5. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Referensi

Dokumen terkait