• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Penyajian pameran di museum selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, ideologi, ekonomi, dan politis. Keputusan dalam penyajian pameran ditentukan dengan melihat faktor keterkaitan objek, kondisi objek, spesifikasi dan minat kurator, serta kekhususan institusi. Hal tersebut dapat dilihat sejak museum pertama didirikan di Eropa yaitu Medici Palace. Museum ini didirikan oleh keluarga Medici pada abad ke-15 di Florence, di saat kota tersebut berkembang menjadi pusat perdagangan di Eropa. Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh keluarga Medici membuat keluarga ini menghasilkan kekayaan yang digunakan untuk membangun Medici Palace. Jaringan perdagangan yang dimiliki oleh keluarga Medici dengan pedagang-pedagang di Eropa membuat keluarga ini mampu mengumpulkan barang-barang dari berbagai penjuru Eropa. Pembangunan Medici Palace juga menunjukkan legitimasi politik dan ekonomi dari keluarga Medici sebagai salah satu saudagar tersukses di Florence (Hooper-greenhill, 1992: 4, 23-24).

Pada abad ke-16, konsep Medici Palace diadopsi oleh keluarga bangsawan di Eropa dengan nama kunstkammer. Pendirian kunstkammer pertama dilakukan oleh keluarga bangsawan Hadsburg. Keluarga bangsawan tersebut membangun tiga kunstkammer di tiga tempat berbeda. Pertama, kunstkammer yang dibangun oleh Duke Albrecht V of Bavaria di Munich (1563-1570), kunstkammer yang dibangun oleh Ferdinand II di Ambras (1564-1573), serta kunstkammer yang dibangun oleh Rudolf II di Praha. Ketiga kunstkammer tersebut menampilkan

(2)

2 koleksi baju zirah, senjata, ukiran mahluk mitologi, dan jimat yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Pada masa itu, koleksi dalam kunstkammer merupakan cara untuk memperlihatkan penggambaran budaya secara parsial di seluruh belahan dunia. Dengan melihat penggambaran budaya tersebut dan posisi keluarga bangsawan Hadsburg sebagai penguasa pada masa itu, terlihat bahwa kunstkammer juga berfungsi untuk menunjukkan kekuatan dan kontrol dari keluarga bangsawan terhadap wilayah kekuasaannya (Hooper-Greenhill, 1992:112-116).

Pada abad ke-17, pemikiran tentang Pencerahan (Enlightenment) muncul di Eropa. Pemikiran yang rasional berdasarkan alasan-alasan yang logis dan ketidakpercayaan akan takhayul atau bersifat tradisional menjadi awal pemikiran tentang Pencerahan. Melalui Pencerahan, orang-orang Eropa mengembangkan gagasan-gagasan untuk memajukan teknologi, kebudayaan dan kehidupan manusia. (Insoll, 2004: 15-16, Sudarmadi, 2014: 40).

Pencerahan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Pengaruh tersebut adalah pandangan bahwa rakyat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, oleh karena itu pemerintahan perlu diatur oleh perwakilan dari rakyat sehingga dapat menjadi legitimasi rakyat terhadap kedaulatan rakyat. Melalui aksi Revolusi Perancis, kekayaan monarki Perancis diambil alih atas nama rakyat Perancis. Aksi ini merupakan bentuk perpindahan kedaulatan dari monarki Perancis ke rakyat Perancis. Aksi ini sekaligus membuat koleksi kekayaan monarki Perancis menjadi warisan nasional Perancis atas nama rakyat Perancis. Simbol kemenangan rakyat Perancis terhadap kedaulatan politik dan warisan nasional adalah dibukanya

(3)

3 Galeri Istana Louvre untuk publik pada tahun 1793. Galeri Istana Louvre yang sangat identik dengan monarki Perancis kemudian diubah namanya menjadi Museum Perancis (Abt, 2006: 123-128, Sudarmadi, 2014: 40).

Pada awal abad 19, Museum Louvre di Paris mengalami surplus koleksi seni. Hal ini disebabkan penaklukan yang dilakukan Napoleon terhadap negara-negara di Eropa. Koleksi-koleksi seni yang diberikan pada Museum Louvre dari negara yang ditaklukkan Napoleon menjadi simbol supremasi kebudayaan dan militer Perancis. Museum Louvre menjadi model untuk museum-museum Eropa seperti Gallerie d Accademica di Venice, Pinacoteca di Brera, Rijksmuseum di Amsterdam, dan Musee Del Prado di Spanyol. Seperti halnya, Museum Louvre di Paris yang menjadi simbol kekuasaan Napoleon pada masanya, museum-museum di Eropa seperti Rijksmuseum di Amsterdam dan Del Prado di Spanyol juga menjadi simbol politik, legitimasi kekuasaan, dan penyimpanan koleksi yang diwariskan terhadap generasi berikutnya. (Abt, 2006: 128-129).

Proses legitimasi politik dan kekuasaan melalui museum berlanjut pada masa kolonial. Pada tahun 1931, negara-negara kolonial seperti Perancis, Inggris dan Belanda mengadakan Colonial Exposition di Paris. Pameran tersebut menampilkan hasil-hasil budaya dari negara koloni. Kerajaan Belanda menampilkan arsitektur tradisional dan hasil budaya dari wilayah koloninya seperti Indonesia. Melalui pameran tersebut Kerajaan Belanda berhasil menciptakan kesan sebagai kerajaan kecil di Eropa tetapi memiliki kekuatan nasional yang melebihi kerajaan-kerajaan lain di Eropa. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Kerajaan Belanda menaklukan dan menguasai wilayah Kepulauan Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari beragama etnik, agama dan

(4)

4 kebudayaan. Hal serupa juga ditemui pada ruang pameran negara Perancis yang menyajikan replika Candi Angkor Wat dari Kamboja yang ditempatkan ditengah-tengah ruang pameran Colonial Exposition tahun 1931. Penempatan Candi Angkor Wat dari Kamboja menjadi simbol kekuasaan Perancis terhadap Kamboja. (Gouda, 1995: 195-196, 205-207).

Contoh penyajian koleksi etnografi dari pemerintah kolonial Belanda dan Perancis pada Colonial Exposition semakin menjelaskan konsep koleksi etnografi pada saat itu. Pada dasarnya konsep pengumpulan koleksi tersebut didasari oleh pandangan orang Eropa terhadap hasil karya artefak (budaya materi) yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa yang hidup dan mendiami wilayah yang sangat jauh letaknya dari benua Eropa sebagai hasil karya eksotik dari bangsa primitif, liar dan hidup dengan norma-norma hidup tradisional, yang sudah tidak dapat dijumpai lagi di benua Eropa. Oleh karena itu, koleksi tersebut perlu dilindungi, dikonservasi dan dirawat oleh museum-museum di Eropa. Akibatnya, museum etnografi di Eropa menempatkan koleksi etnografi sebagai materi budaya yang dihasilkan oleh masyarakat di luar bangsa Eropa (liyan), yang memiliki kebudayaan di level terendah pada tataran evolusi perkembangan kemajuan

budaya manusia (Liddchi, 1997: 161-163, Classen dan Howes, 2006: 203). Pemahaman semacam ini tampak jelas sekali pada display koleksi etnografi

di museum Pitt Rivers, Oxford. Koleksi etnografi di museum Pitt Rivers dipajang menurut tipe bentuk dan fungsi serta wilayah geografisnya. Gambar di atas menunjukkan cara pemajangan bumerang, perisai dan tombak yang dikelompokkan atas dasar wilayah serta urutan perkembangan bentuk dan fungsi

(5)

5 dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih maju disertai daerah koleksi tersebut berasal (perhatikan gambar 1).

Gambar 1: Display koleksi etnografi di Museum Pitt Rivers, Oxford Sumber: Liddchi, 1997: 188

Pemajangan koleksi etnografi di Museum Pitt Rivers dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi perkembangan sejarah kebudayaan yang disusun dari tingkat sederhana menuju ke tingkat yang lebih kompleks (evolusi sosial budaya masyarakat) (Liddchi, 1997: 187-191, Classsen dan Howes, 2006: 209). Meskipun demikian, pemajangan koleksi etnografi yang tidak dilengkapi dengan foto, gambar serta konteks budaya tempat koleksi tersebut berasal akan berakibat terjadinya pemajangan yang berorientasi semata-mata terhadap objek (object oriented) (Dean, 1994: 4-5).

Koleksi etnografi yang berasal dari luar bangsa Eropa tidak dipandang sebagai hasil karya seni adiluhung. Hal ini disebabkan koleksi etnografi tersebut

(6)

6 tidak memenuhi kaidah-kaidah karya seni adiluhung menurut konsep Eropa. Sebagai contohnya adalah pameran 300 koleksi artefak kuningan dari kota Benin, Afrika Barat pada tahun 1897 yang diselenggarakan oleh Museum British. Apabila dilihat dari segi teknis dan seni, koleksi kuningan dari kota Benin dapat disejajarkan dengan karya seni logam adiluhung bangsa Eropa. Namun, pada kenyataannya koleksi kuningan tersebut dianggap sebagai anomali perkembangan budaya (koleksi kuningan dibuat oleh nenek moyang bangsa Benin yang berasal dari Mesir, selanjutnya keturunan bangsa Benin yang sekarang dianggap tidak mampu lagi membuat karya adiluhung seperti itu. Padahal, sebagian koleksi artefak kuningan yang dipamerkan di Museum British dibuat pada tahun 1890an oleh keturunan bangsa Benin sekarang). Hal tersebut agar sesuai dengan konsep evolusi sosial budaya masyarakat, yang menempatkan bangsa Afrika di tingkat perkembangan terendah. Kondisi pada pameran 300 koleksi artefak kuningan dari Benin menunjukkan bahwa bangsa Eropa memaksakan konsep ilmu pengetahuannya terhadap pemaknaan koleksi etnografi bangsa liyan (Liddchi, 1997: 192-194).

Pemaksaan konsep ilmu pengetahuan bangsa Eropa terhadap display dan pemaknaan koleksi etnografi museum berdampak pada seleksi koleksi etnografi. Koleksi etnografi tersebut akan melalui proses pengeluaran (exclusion) dan pemasukan (inclusion). Dalam proses tersebut, tidak seluruh hasil karya koleksi etnografi dari bangsa liyan dapat dipamerkan dalam pameran museum. Koleksi yang akan ditampilkan dan koleksi yang tidak akan ditampilkan ditetapkan oleh kurator. Sebagai contoh yaitu pameran koleksi artefak kuno dari Assiria pada tahun 1850 di Museum British. Pada pameran tersebut koleksi artefak berupa

(7)

7 patung dan perhiasan dari Assirian dipamerkan bersamaan dengan koleksi artefak dari Mesir dan Yunani. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa artefak yang dihasilkan dari Assirian bernilai seni tinggi dan teknologi tinggi. Koleksi naskah dari Assirian tidak disertakan dalam pameran karena dianggap bukan merupakan pencapaian peradaban bernilai seni dan teknologi tinggi sebagaimana artefak patung dan perhiasan Assirian yang dipamerkan (Liddchi, 1997: 200-201, Bohrer, 1994: 197, 203-207).

Foto 1: Pameran Obelisk Hitam dari Assyria di Museum British, 1876. Sumber: Frederick York, oracc.museum.upenn.edu

Paparan yang telah dikemukakan sebelumnya memperlihatkan bahwa representasi dari koleksi etnografi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya, ekonomi, dan politis. Dalam hal ini koleksi etnografi dari bangsa liyan direpresentasikan sebagai hasil karya budaya eksotik, dari bangsa yang primitif dan sudah tidak dapat ditemukan lagi di benua Eropa. Oleh karena itu koleksi

(8)

8 etnografi tersebut akan dirawat, dilindungi dan disimpan di dalam museum agar tidak punah, karena di tempat asalnya koleksi tersebut diabaikan dan tidak dirawat oleh pemiliknya. Model museum etnografi seperti ini sudah menjadi model konsep kekuasaan kolonial yang menganggap melindungi hasil karya warisan budaya nenek moyang pribumi/koloni, padahal gagasan tersebut justru menunjukkan legitimasi dominasi kekuasaan kolonial terhadap peradaban pemilik benda etnografi (Classen and Howes, 2006: 209-210).

B. Rumusan Masalah

Tropenmuseum di Amsterdam, sejak awal pendiriannya sangat terpengaruh ideologi kolonial merupakan museum yang koleksinya dikumpulkan dari negara koloni. Oleh karena itu, representasi koleksi etnografi dari wilayah Indonesia yang terjadi di display Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum perlu dilakukan analisis untuk melihat perbedaan pemaknaan yang masih terjadi pada pameran tersebut. Sebagai langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut maka dapat disusun pertanyaan penelitian:

1. Apa saja koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam ? 2. Bagaimana koleksi etnografi yang berasal dari Indonesia

direpresentasikan oleh kurator pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam ?

3. Mengapa representasi semacam itu dapat terjadi di Tropenmusem, Amsterdam ?

(9)

9 C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam.

2. Mengetahui representasi koleksi etnografi yang berasal dari Indonesia di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam.

3. Mengetahui penyebab perbedaan representasi koleksi etnografi dari Indonesia yang terdapat di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual, Tropenmuseum, Amsterdam.

D.Keaslian Penelitian

Pada tahun 1987, J.H Van Brakel melakukan pembahasan mengenai peradaban Jawa Kuno berdasarkan koleksi etnografi dari Indonesia yang dipamerkan pada Pameran Budaya Indonesia di Tropenmuseum. J.H Van Brakel membahas tentang pengaruh dari India yang membentuk peradaban di Jawa Kuno dengan melihat koleksi-koleksi etnografi dari Indonesia yang terdapat pada Pameran Budaya Indonesia. Dengan mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi yang terpengaruh peradaban India, J.H Van Brakel ingin mendapatkan gambaran mengenai asal-usul peradaban Jawa Kuno (Brakel, 1987: 44-55).

Pada tahun yang sama, Wilhelmina Kal mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi dari Indonesia yang berakulturasi dengan kebudayaan barat pada Pameran Budaya Indonesia. Kal melihat akulturasi yang sudah melekat pada

(10)

10 masyarakat di Indonesia dipaksakan diubah dengan memasukkan kebudayaan barat melalui kekuatan militer. Dengan mendeskripsikan koleksi-koleksi etnografi pada Pameran Budaya Indonesia, Kal mengemukakan akulturasi barat terhadap kerajinan dari Indonesia seperti meja, kursi, perhiasanan, gelang, kalung, dan giwang. (Kal, 1987: 66-77).

Pada tahun 2010, Susan Legene dan Jenneke Van Dijk mengulas representasi pada pameran Hindia Belanda Timur: Masa Lalu Kolonial (Netherland East Indies: a Colonial Past). Berdasarkan objek koleksi yang berupa patung, foto, perabotan, lukisan, dan peralatan perkebunan dari masa kolonial, mereka membahas aspek kolonialisme Belanda yang tercermin dari koleksi etnografi dalam konteks sejarah, budaya, dan peninggalan kolonialisme (Legene, 2010: 7).

Belum lama berselang, Sudarmadi juga membahas koleksi etnogafis etnik Ngadha dan Manggarai yang dimiliki oleh Tropenmuseum. Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa cara perolehan dan pemajangan koleksi etnografi dari kedua etnik tersebut yang berasal dari tahun 1900 hingga 1988 sangat dipengaruhi oleh perspektif kolonialisme. Melalui penelitian ini diketahui bahwa dalam perspektif kolonial warisan budaya dari Ngadha dan Manggarai dianggap berasal dari masyarakat yang terbelakang/primitif (Sudarmadi, 2014: 215-234).

Penelitian yang saya lakukan berbeda dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan koleksi etnografi pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum yang pertama kali dibuat tahun 1993. Pada masa tersebut Tropenmuseum telah memposisikan diri sebagai museum pasca-kolonial. Penelitian ini akan diawali dengan

(11)

11 mendeskripsikan koleksi etnografi Indonesia yang terdapat pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis untuk menemukan representasi Indonesia pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual.

E. Manfaat Penelitian

Dengan menyelesaikan penelitian tentang “Representasi Koleksi Etnografi dari Indonesia pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual di Tropenmuseum, Amsterdam” dapat memberikan manfaat bagi akademik, pengelola/institusi museum, dan pengunjung, sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu acuan atau referensi bagi para akademisi dalam penelitian tentang representasi pameran di museum.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan refleksi bagi pengelola terhadap interpretasi koleksi yang dipamerkan di museum. Melalui refleksi yang berbeda, pihak museum dapat mempertimbangkan interpretasi koleksi pada pameran dengan cara yang berbeda. Hal ini pada akhirnya akan memperkaya penelitian yang dilakukan oleh museum tersebut.

3. Museum dengan interpretasi terhadap koleksi pada pameran dapat mengkonstruksi pola pikir pengunjung terhadap koleksi. Dengan semakin sadarnya pengunjung pada posisi tersebut, pengunjung akan semakin kritis terhadap informasi yang diberikan museum. Hal ini tentunya akan menimbulkan timbal-balik antara pengunjung dan museum, sehingga sangat berguna dalam pengelolaan museum.

(12)

12 F. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif-analitik. Metode dekriptif-analitik dapat diartikan sebagai usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data kemudian diadakan analisis dan interpretasi terhadap data tersebut sehingga memberikan gambaran yang komprehensif (Susanto, 1985: 32). Sesuai dengan metode ini, tahap penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: a. Data Koleksi Museum,

i. Pengumpulan data koleksi berupa survei pameran. Survey dilakukan untuk mendapatkan foto dari display, label dan koleksi yang terdapat di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. ii. Penelusuran database digital (TMS) yang dimiliki Tropenmuseum.

Penelusuran database digital berguna untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang koleksi yang dipamerkan di Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Data yang diambil melalui database museum berupa foto koleksi dan arsip dari masing-masing koleksi.

b. Informasi Tropenmuseum dan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual

i. Wawancara dengan narasumber. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan alur cerita dibalik perancangan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Narasumber untuk wawancara terdiri dari kurator yang menguasai Pameran Asia Tenggara dan

(13)

13 orang yang dianggap ahli dan mengenal koleksi dan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual.

ii. Studi pustaka. Data yang didapatkan dari kajian pustaka berupa buku-buku yang terkait dengan teori pemaknaan koleksi, sejarah dan peta Tropenmuseum, gambaran bangunan Tropenmuseum dan koleksi pada Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. 2. Pemaknaan Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual

Konteks sejarah dan kultural dari koleksi etnografi yang dipamerkan sangat penting bagi peneliti untuk memaknai Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual. Adapun langkah untuk mencapai hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji alur cerita tiap-tiap bagian berdasarkan label dan hasil wawancara.

b. Alur cerita dari tiap-tiap bagian tadi dibandingkan dengan data koleksi untuk mengetahui konteks sejarah dan konteks budaya dari koleksi etnografi yang dipamerkan. Data koleksi etnografi didapat dari database museum yang berisi sejarah koleksi, asal koleksi, dan deskripsi koleksi.

c. Menelusuri tahap pemaknaan koleksi etnografi sejak koleksi dikumpulkan oleh para pengumpul sampai dipamerkan di museum oleh para kurator. Penelusuran makna koleksi dilakukan sesuai dengan kondisi sosial budaya yang berkembang pada saat kurator memamerkan di museum sehingga diketahui latar belakang pemaknaan yang dilakukan oleh kurator.

(14)

14 d. Melakukan interpretasi penyebab perbedaan pemaknaan yang terjadi sesuai dengan konteks sejarah dan budaya koleksi etnografi yang dipamerkan.

3. Kesimpulan

Pada bagian ini, hasil pemaknaan representasi Pameran Asia Tenggara: Kebudayaan Spiritual akan digunakan untuk merumuskan saran.

Gambar

Gambar 1: Display koleksi etnografi di Museum Pitt Rivers, Oxford  Sumber: Liddchi, 1997: 188
Foto 1: Pameran Obelisk Hitam dari Assyria di Museum British, 1876.

Referensi

Dokumen terkait

Sediaan krim ekstrak ikan kutuk memberikan efek yang sama dengan efek yang diberikan oleh Bioplacenton, hal ini ditunjukkan dengan pada hari ke-7, rerata jumlah makrofag

Semakin banyak konsentrasi suatu misel dalam larutan maka semakin besar nilai daya hantarnya karena semakin banyak ion-ion dari larutan yang menyentuh konduktor dan semakin

18 proses kunci pemberian informasi efektivitas relevansi 19 proses kunci kerja sama pimpinan jurusan produktivita s relevansi 20 proses kunci waktu mengajar dosen

Sejalan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut serta beberapa kebijakan dan regulasi terkait lainnya, khususnya kebijakan dan regulasi yang terkait dengan

Komunikasi antara penulis dengan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten kerinci dan kepala dinas Peternakan Provinsi Jambi, kegiatan pemurnian dan budi daya itik Kerinci

Keberadaan Majelis taklim sebagai lembaga non formal di tengah-tengah masyarakat memberi dampak yang cukup positif dalam meningkatkan kegiatan ibadah dan

Hasil dari wawancara tersebut, karyawan yang bernama ND karyawan yang bekerja di bagian display mengemukakan bahwa “gaji yang saya terima disini kurang mencukupi kebutuhan

Atribut-atribut dari variabel dosen yang masuk ke dalam kuadran ini berarti secara rata- rata atribut tersebut dianggap sangat penting oleh mahasiswa dan dosen MBA ITB