• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL POLA TANAM DAN KEMITRAAN USAHA PETANI KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN MADIUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL POLA TANAM DAN KEMITRAAN USAHA PETANI KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN MADIUN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL POLA TANAM DAN

KEMITRAAN USAHA PETANI KAKAO (

Theobroma

cacao

L.) DI KABUPATEN MADIUN

FINANCIAL FEASIBILITY ANALYSIS OF COCOA PLANTING PATTERN

(Theobroma cacao L.) AND PARTNERSHIP IN MADIUN DISTRICT

Arsyadani Sabilal Haq, Budi Setiawan, Suhartini

Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jln. Veteran Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia

E-mail: daniarsya8@gmail.com

Abstrak

Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat. Terdapat beberapa pola tanam yang diusahakan petani dengan menggabungkan kakao dengan tanaman perkebunan lain. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Madiun, sebagai salah satu penghasil kakao dan pemasok ekspor kakao dari Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha tani dari beberapa pola tanam kakao yang telah dibudidayakan masyarakat sejak lama sebagai dasar untuk pengembangan kakao lebih lanjut di Kab Madiun, serta menganalisis kemitraan yang terjalin antara petani kakao dengan perusahaan mitra yakni Gapoktan Guyub Santosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam monokultur dan multiple cropping semuanya layak secara finansial, tetapi monokultur kakao lebih layak jika dibandingkan dengan pola tanam campuran. Hubungan kemitraan antara petani kakao dengan Gapoktan saling menguntungkan, petani dapat menjual kakao dengan harga yang lebih tinggi, sedangkan Gapoktan mendapatkan pasokan kakao dengan kualitas yang baik. Kemitraan yang dijalankan digolongkan dalam bentuk pola dagang umum, antara petani dan mitra mengutamakan aspek pemasaran yakni melakukan pembelian dan penjualan.

Kata kunci: Kelayakan finansial; kemitraan kakao; pola tanam kakao

Abstract

Indonesia cocoa plantations are most cultivated by smallholder plantation. There are some farmers cultivated cropping patterns by combining cocoa with other plantation crops. This research was conducted in Madiun District as the largest cocoa-producing region in East Java and became the main supplier of cocoa exports from East Java. This study aimed to analyze the farming financial feasibility of some cocoa cropping patterns that has been cultivated by the community for a long time as the basis for further cocoa to be developed in Madiun District, as well as analyzing the partnership that exists between cocoa farmers with partner companies named Guyub Santosa. The results showed that the cocoa monoculture dan multiple cropping were financially profitable and feasible to be developed. However, cocoa monoculture was more feasible than the multiple cropping. Partnership between cocoa farmers and partners companies were mutually beneficial, farmers can sell cocoa at a higher price, while partners gets of good quality of cocoa. While the analysis of partnership run by the people was rated in the form of general trade pattern, between farmers and partner pioritizing marketing aspects by buying and selling.

(2)

Pendahuluan

Pengembangan komoditas kakao tidak dapat dilakukan hanya satu sektor saja, namun sinergitas antar sektor mulai sektor hulu hingga hilir perlu digiatkan. Pemerintah, melalui Kementrian Pertanian telah mencanangkan berbagai program agar komoditas kakao menjadi produsen utama kakao dunia. Hal ini dikarenakan kontribusi dari sub sektor perkebunan ini terhadap perekonomian nasional semakin meningkat dan diharapkan dapat memperkokoh perkebunan secara menyeluruh. Produksi kakao dunia yang mengalami fluktuasi dapat menjadi peluang Indonesia yang dapat dimanfaatkan, karena potensi pengembangan kakao masih terbuka lebar. Perkebunan kakao ini sebagian besar dikelola oleh rakyat, sehingga jika pemerintah ingin menghasilkan kakao berlimpah dengan kualitas tinggi, maka pengembangan tersebut juga harus dimulai dari masyarakat yang mengusahakan usaha tani kakao.

Dalam segi ekonomi, analisis mengenai kelayakan dalam usaha tani kakao perlu dilakukan agar dapat diketahui apakah usaha tani kakao yang telah dilakukan masyarakat selama bertahun-tahun tersebut layak untuk dijalankan dan memberikan peningkatan pendapatan pada petani dan keluarganya. Dalam penelitian Pasaribu dkk (2016), Kelayakan finansial dalam usaha tani kakao dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam memilih usahatani yang akan dilakukan petani. Usahatani kakao juga membutuhkan modal yang tinggi, investasi yang besar, serta masa pengembalian yang cukup lama.

Menurut Ditjenbun (2019), Kabupaten Madiun merupakan produsen kakao terbesar di Provinsi Jawa Timur. Meskipun mempunyai produksi yang besar, namun petani baru berperan sebagai pemasok dan belum mandiri untuk skala industri. Beberapa kendala yang terjadi adalah kualitas panenan petani yang kurang stabil dan masih rendahnya posisi tawar petani (bargaining power) dalam hal pemasaran. Petani seringkali menjual kakao secara individu kepada penjual keliling ataupun tengkulak, sehingga harga yang didapat lebih rendah. Wardhani dan Prasetiyo (2016) mengatakan meskipun tanaman perkebunan seperti kakao menjadi andalan ekonomi petani, tetapi produksi dan produktivitas kakao masih

(3)

tergolong rendah. Hal ini antara lain disebabkan petani masih menjalankan usahatani kakao secara tradisional seperti tanpa pemberian pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) yang belum optimal, dan pemangkasan yang belum optimal. Di lain pihak, teknologi sudah banyak dikembangkan, akan tetapi penyebaran ke tingkat petani belum maksimal.

Oleh karena itu diperlukan kerja sama antar petani agar kakao yang mereka panen mendapatkan harga yang sesuai dengan harga kakao di pasar dunia. Salah satu kerja sama yang disarankan oleh pemerintah adalah kemitraan dengan tujuan agar petani mendapatkan jaminan pemasaran dan harga yang transparan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997, kemitraan sebagai kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Malia dan Sutarno (2011) menyebutkan jika pola kemitraan petani kakao disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masalah petani di daerahnya. Dalam penelitian Fidyansari dkk (2016) disebutkan bahwa pola kemitraan merupakan suatu strategi dalam meningkatkan kinerja pelaku agribisnis, khususnya petani dan pengusaha kecil. Sedangkan pihak perusahaan memfasilitasi dengan modal usaha, teknologi, manajemen modern, dan kepastian pemasaran hasil. Petani dan pengusaha kecil bertanggungjawab terhadap proses produksi sesuai dengan petunjuk teknis dari pihak pengusaha besar. Penelitian tentang analisis kemitraan perusahaan agribisnis dengan petani penting dilakukan karena dua hal pokok. Pertama, berkaitan dengan keefektifan integrasi kerjasama petani dengan perusahaan dalam kemitraan agribisnis dalam mengembangkan potensi kedua belah pihak. Kedua, secara konseptual berkenaan dengan perkembangan kajian tentang kemitraan dalam bidang pertanian

Salah satu kerja sama Kemitraan yang dijalankan petani kakao di Kabupaten Madiun adalah bermitra dengan Gapoktan Guyub Santosa dari Blitar. Gapoktan Guyub Santosa ini memiliki koperasi yang mewakili dalam hal penjualan dan pembelian kakao dari petani. Koperasi ini tidak hanya menerima

(4)

pasokan kakao dari Madiun saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Ponorogo, Nganjuk, Tulungagung, dsb. Kakao yang diusahakan oleh petani di daerah penelitian rata-rata sudah berumur antara 10-15 tahun dengan beberapa pola tanam yang paling banyak diusahakan petani antara lain yakni pola tanam monokultur kakao, pola tanam campuran kakao-cengkeh-kelapa, dan pola tanam campuran kakao-durian-kelapa.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka tujuan dari penelitian adalah menganalisis kelayakan finansial usaha tani kakao antara pola tanam monokultur dan pola tanam campuran di daerah penelitian. Serta sejauh mana pola kemitraan yang dijalankan saling menguatkan dan menguntungkan antara petani kakao dengan mitra Gapoktan Guyub Santosa.

Metodologi Penelitian

Metode Pengumpulan Data

Pertumbuhan kakao memang mengalami fluktuasi tiap tahunnya. Menurut data dari Ditjenbun (2019), sampai tahun 2020, estimasi angka untuk produksi kakao, Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar kakao untuk Pulau Jawa, sedangkan Kabupaten Madiun merupakan penghasil kakao terbesar dengan produksi mencapai 2915 ton pada tahun 2018. Sehingga data yang digunakan sampai sekarang masih relevan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner dan pengamatan langsung kepada petani dan lahan kakao di Kabupaten Madiun, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun serta Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di dinas atau kecamatan setempat. Selain itu dari pihak perusahaan mitra data primer diperoleh dari wawancara mendalam dengan ketua dan anggota Gapoktan Guyub Santosa. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti data dari Kecamatan Dagangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, jurnal penelitian kakao, buku literatur kakao, serta website terkait. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja

(5)

(purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Dagangan, Kecamatan Kare, dan Kecamatan Gemarang merupakan sentra kakao di Kabupaten Madiun.

Responden petani diambil dengan metode ProportionedStratified Random Sampling yakni pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan memperhatikan strata yang ada. Jumlah petani yang mengusahakan pola tanam monokultur dan pola tanam campuran adalah 106 petani. Penentuan jumlah sampel ditentukan dengan rumus Slovin (Setiawan, 2007), yaitu:

n = 𝑁

𝑁.𝑑2+1

n = 106

106.(0,1)2+1

n = 51 sampel

Berdasarkan perhitungan sampel yang telah dilakukan diperoleh jumlah responden sebanyak 51 petani Setelah jumlah sampel petani kakao diketahui, maka jumlah sampel untuk tiap strata diperoleh dengan rumus (Nazir, 1988) :

ni = 𝑁𝑖 𝑁 x n

Keterangan : ni = N1, N2, N3

N = jumlah populasi petani kakao

Ni = jumlah populasi dari masing-masing strata n = jumlah sampel petani kakao

Berdasarkan rumus di atas dapat ditentukan besarnya sampel untuk masing-masing strata sebagai berikut :

Tabel 1. Sampel strata

Strata Jumlah sampel Pola Tanam

n1 16/106 (51) = 8 Monokultur

n2 47/106 (51) =23 Campuran I

n3 43/106 (51) = 20 Campuran II

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif tentang pola kemitraan yang dijalankan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra, yakni petani kakao. Analisis deskriptif juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik petani meliputi umur, pendidikan, luas lahan, jumlah

(6)

tanaman kakao, dan pengalaman bertani kakao. Sedangkan analisis data secara kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis kelayakan finansial kakao pada berbagai pola tanam yang diusahakan. Kelayakan finansial dianalisis menggunakan kriteria investasi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return

(IRR), Net B/C, dan Payback Period (PP). Kriteria investasi yang dihitung menggunakan present value yang didiskonto dengan arus benefit dan cost selama umur suatu proyek mengikuti Gittinger (1986); Kadariah dan Gray (1988).

Analisis Kelayakan Finansial

Menurut Kadariah (2001), untuk menilai kelayakan finansial suatu usaha, dapat dilihat dari nilai kriteria NPV, IRR, Gross B/C, Net B/C dan Payback Period. Dalam penelitian ini kelayakan finansial ditentukan melalui beberapa kriteria investasi yakni ; NPV, Net B/C, IRR, Payback Period. Suku bunga yang digunakan pada penelitian ini adalah 14 persen. Tingkat suku bunga digunakan berdasarkan tingkat suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikeluarkan oleh BRI pada tahun tersebut.

Net Present Value (NPV) adalah kriteria investasi yang banyak digunakan dalam mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan NPV

merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan Social Opportunity Cost of Capital (SOCC) sebagai discount factor (Ibrahim, 2003). Perhitungan NPV sebagai berikut :

NPV = ∑ 𝐵𝑡−𝐶𝑡

(1+𝑖)𝑡 𝑛

𝑡=0

Keterangan :

Bt : Benefit usaha tani kakao pada tahun ke t

Ct : Biaya yang dikeluarkan usaha tani kakao pada tahun ke t i : Tingkat bunga yang berlaku (14% per tahun)

n : Lamanya Periode Waktu (umur ekonomis proyek) t : Tahun proyek

Kriteria kelayakan menurut NPV yaitu:

 NPV > 0, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.  NPV < 0, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.

(7)

Menurut Gray et al. (1997) Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan jumlah present value yang negatif. Jika Net B/C > dari 1 (satu) berarti gagasan usaha/proyek tersebut layak untuk dikerjakan dan jika < dari 1 (satu) berarti tidak layak untuk dikerjakan.

Net B/C = ∑ 𝐵𝑡−𝐶𝑡 (1+𝑖)𝑡 𝑛 𝑡=1 ∑ 𝐶𝑡−𝐵𝑡 (1+𝑖)𝑡 𝑛 𝑡=1

=𝑃𝑉 𝐵𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡 𝑃𝑉 𝐶𝑜𝑠𝑡 Keterangan : B/C = Benefit/cost ratio

PV Benefit = PresentValue dari benefit

PV Cost = Present Value dari cost

Kriteria kelayakan menurut Net B/C yaitu:

Net B/C>1, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.  Net B/C<1, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.

Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa tingkat bunga yang akan menghasilkan present value dari sebuah proyek atau usaha sama dengan nol. Usahatani layak jika nilai IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang berlaku. Usahatani tidak layak jika nilai IRR lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku (Buharman, 2015).

IRR =

Keterangan:

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%) i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%) NPV1 = NPV positif (Rp)

NPV2 = NPV negatif (Rp)

Kriteria kelayakan menurut IRR yaitu:

 IRR>14 %, usaha tani kakao layak untuk dijalankan.

𝑖2+

𝑁𝑃𝑉1

𝑁𝑃𝑉1− 𝑁𝑃𝑉2

(8)

 IRR<14 %, usaha tani kakao tidak layak untuk dijalankan.

Payback period bertujuan untuk melihat seberapa lama investasi bisa kembali. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu investasi. Apabila nilai Payback period lebih kecil daripada umur ekonomis usahatani kakao, maka usahatani tersebut layak diusahakan dan dikembangkan. Sebaliknya, apabila nilai payback period lebih besar dari umur ekonomis suatu proyek, maka proyek tersebut tidak layak untuk diusahakan (Pasaribu dkk, 2016). Payback Period = Nilai Investasi .

𝐶𝑎𝑠ℎ 𝑓𝑙𝑜𝑤 x 1 tahun

Analisis Kemitraan

Untuk mengetahui pelaksanaan dari kemitraan metode analisisnya menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah metode statistika yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan menjadi sebuah informasi (Suharyadi dan Purwanto, 2008). Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan kuisioner dengan responden 51 petani kakao, 3 anggota dari Gapoktan Guyub Santosa, 3 Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan dan Kabupaten Madiun. Data sekunder dikumpulkan dari Dishutbun Kabupaten Madiun, Badan Pusat Statistik, jurnal penelitian, buku-buku literatur, serta website.

Hasil Dan Pembahasan

Karakteristik Responden

Mayoritas responden masih berada pada usia yang produktif, antara umur 30-50 tahun (53%). Bahkan usia di atas 65 tahun pun masih banyak yang bertani. Hampir semua petani masih aktif dalam keanggotaan kelompok taninya. Sedangkan untuk tingkat pendidikan, sebagian besar responden tamat SMP (41,15%), kemudian tamat SLTA (29,45%), dan tamat SD (23,5%). Untuk pengalaman bertani, responden sudah memiliki pengalaman yang cukup lama, yakni antara 21-25 tahun (29,4%), hal ini juga merupakan awal-awal program

(9)

penanaman kakao masuk di Kabupaten Madiun. Selain bertani, responden rata-rata juga mempunyai pekerjaan sampingan seperti beternak kambing, ayam, dan bebek.

Untuk penguasaan lahan, semua lahan adalah milik pribadi dari responden dengan rata-rata memiliki lahan seluas ≤0,25 Ha sebesar (39,2%). Sebanyak 3 orang responden saja (5,9%) yang mempunyai lahan yang luas yakni >1 Ha. Hal ini juga terlihat pada banyaknya jumlah pohon kakao yang dimiliki oleh responden, dengan mayoritas mempunyai pohon berjumlah ≤200 pohon (35,3%). Tabel 2. Karakteristik petani dan usahatani kakao Kec. Dagangan, Kec. Kare, dan

Kecamatan Gemarang

Karakteristik Sebaran

Jumlah Presentase (%)

Kelompok umur (tahun)

- 30-40 tahun 11 21,6 - 41-50 tahun 16 31,4 - 51-64 tahun 12 23,5 - >65 tahun 12 23,5 Pendidikan - Tidak tamat SD 3 5,9 - Tamat SD/sederajat 12 23,5 - Tamat SMP 21 41,15 - Tamat SLTA 15 29,45 - Tamat PT - - Pengalaman Bertani - 6-10 tahun 5 9,8 - 11-15 tahun 6 11,8 - 16-20 tahun 12 23,5 - 21-25 tahun 15 29,4 - > 25 tahun 13 25,5 Luas Lahan - ≤2500 m2 20 39,2 - 0,25-0,5Ha 18 35,3 - 0,51-1Ha 10 19,6 - >1 Ha 3 5,9

Jumlah Pohon Kakao

- ≤ 200 pohon 18 35,3 - 201-400 pohon 10 19,6 - 401-600 9 17,6 - 601-800 6 11,8 - 801-1000 5 9,8 - >1000 pohon 3 5,9

Berdasarkan penelitian, responden melakukan penanaman kakao dengan jarak tanam sebesar 3m x 3m, dengan lubang tanam sebesar 40cm x 40cm. Dari tabel 2 di atas, kita dapat lihat bahwa sebagian besar responden tidak memiliki

(10)

lahan yang cukup luas. Hal ini membuat petani untuk memaksimalkan hasil produksinya dengan menentukan jenis tanam dan melakukan pola tanama campuran atau polikultur. Menurut Susanto (1994), secara fisiologis, jarak tanam akan menyangkut ruang dan tempat tanaman hidup dan berkembang, jika jarak tanam terlalu sempit akan terjadi persaingan dalam memperoleh unsur hara, air, sinar matahari, dan tempat untuk berkembang.

Selanjutnya untuk pola tanam kakao dari responden terdapat 2 jenis pemilihan, yakni pola tanam monokultur dan pola tanam campuran atau polikultur. Responden yang memilih monokultur adalah yang mempunyai lahan luas, sedangkan untuk yang luas lahan sempit memilih pola tanam campuran. Sayogyo (1997) mengelompokkan petani ke dalam tiga kategori : petani skala kecil dengan luas usaha tani <0,5 Ha, skala menengah dengan luas usahatani 0,5 – 1,0 Ha, dan skala luas dengan luas lahan usaha tani >1,0 hektar. Semakin luas lahan pertanian maka semakin efisien lahan tersebut jika sarana dan prasarana serta pengelolaanya memadai.

Pilihan petani dalam pemilihan pola tanam dan jenis tanaman ini dilakukan untuk menghindari kegagalan yang akan berujung pada kegagalan panen. Pilihan ini juga diambil berdasarkan pengalaman usaha tani yang sudah dilakukan secara turun temurun. Pemilihan pola tanam campuran kakao dengan durian (Durio zibethinus), cengkeh (Sysygium aromaticum), dan kelapa (Cocos nucifera), memberikan banyak kesempatan dan tidak hanya mengandalkan kakao saja. Sikap ini dapat dijelaskan dengan melihat pandangan James Scott (1982), mengenai moral ekonomi petani yang sederhana tetapi juga sangat kuat. Terdapat 3 prinsip sikap dari petani terkait dengan usahataninya yang dikembangkan Scott, yakni sebagai berikut : (1) Dahulukan selamat : ekonomi subsistensi. Prinsip

safety first, yakni petani enggan mengambil resiko dan lebih memusatkan diri untuk menghindari jatuhnya produksi, bukan semata memaksimalkan keuntungan; (2) Etika subsitensi, yakni etika yang merupakan konsekuensi dari suatu kehidupan yang dekat dengan garis batas, serta (3) distribusi resiko, sikap menghindari resiko ini juga dikemukakan mengapa petani lebih suka menanam

(11)

tanaman subsistensi dibandingkan tanaman bukan pangan yang hasilnya untuk dijual.

Pola tanam di daerah penelitian yang paling banyak diusahakan kemudian dapat dikelompokkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3. Penyebaran pola tanam kakao di daerah penelitian

Pola Tanam Keterangan Responden I Kakao Monukultur 8 II Kakao – kelapa – cengkeh Campuran I 23

III Kakao – kelapa – durian Campuran II 20

Dari tabel 3 tersebut dapat diklasifikasikan bahwa terdapat beberapa pola yang berada di daerah penelitian dan dapat digolongkan menjadi tiga besar pola penanaman kakao, yakni monokultur kakao, kemudian pola tanam campuran kakao–kelapa–cengkeh, dan kakao–kelapa–durian. Pola monokultur kakao didapat dengan jumlah sampel yang sedikit dikarenakan hanya sedikit petani yang mempunyai lahan luas sehingga kakao ditanam secara monokultur. Meskipun monokultur, namun beberapa petani tetap menanam tanaman naungan pada awal tanam kakao. Menurut Ditjenbun (2014), tanaman naungan memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Menaungi, meredam suhu maksimum dan suhu minimum yang dapat merusak tanaman kakao; (2) pemecah angin; (3) mencegah terjadinya erosi; (4) menambah pendapatan sampingan apabila tanaman penaung yang ditanam memiliki nilai jual. Tanaman naungan yang biasa digunakan petani antara lain lamtoro atau Glirisida sebagai penaung tetap, Moghania macrophylla sebagai penaung sementara, dan tanaman lain seperti pisang, sengon, dan kelapa.

Selain aspek kesesuaian lahan, petani juga memilih tanaman dengan tingkat pemeliharaan dan pemanenan yang mudah. Dua tanaman utama petani, yakni kakao dan cengkeh tidak harus membutuhkan perawatan yang rumit. Hal ini tentu akan menghemat input produksi misalnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Harga kakao basah pada tahun 2016 berkisar Rp 15.000/kg-Rp 18.000/kg, sedangkan kakao kering dapat mencapai Rp 25.000/kg – Rp 30.000/kg. Harga kakao memang mengalami fluktuasi, tergantung dari pasar kakao dunia.

(12)

Sedangkan pada tahun 2020, menurut Antara (2020) harga jual kakao kering dari petani Madiun berkisar Rp 24.000-25.000/Kg. Untuk kakao basah untuk saat ini petani sudah jarang menjual dalam kondisi basah dikarenakan harganya cukup rendah. Sedangkan tanaman cengkeh ditanam dengan alasan karena harga jual yang tinggi, dengan harga jual berkisar Rp 120.000/kg. Namun, tanaman cengkeh ini cukup rentan akan hama penyakit yang mengancam. Selain cengkeh, tanaman yang di tumpangsari adalah tanaman kelapa dan durian. Selain perawatan yang cukup mudah, harga jual tanaman tersebut cukup stabil dengan cara penjualan yang cukup mudah pula. Harga kelapa sekitar Rp 2.500,- per butir, sedangkan untuk durian kesepakatan dengan pembeli. Untuk tanaman kelapa dan durian, pedagang akan berkeliling dan membeli secara borongan.

Biaya Usahatani Kakao

Biaya usahatani kakao yang dikeluarkan saat Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dapat dikatakan sebagai biaya investasi, sedangkan biaya yang habis dalam satu kali pakai disebut biaya operasional. Tanaman kakao di daerah penelitian mulai dapat dipanen pada umur 3 tahun. Biaya yang dikeluarkan saat tahun pertama-kedua merupakan biaya investasi kakao. Biaya pada saat TBM meliputi biaya pupuk, biaya bibit, biaya pestisida, biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan. Petani tidak mengeluarkan sewa lahan, karena semua usahatani diusahakan di lahan milik petani.

Biaya bibit yang dikeluarkan petani sebesar Rp 1.000.000,- per Ha, dengan jarak tanam sebesar 3m x 3m. Sedangkan biaya pupuk pada tahun pertama sebesar Rp 2.760.000,- per Ha per tahun yang terdiri atas pupuk bokashi, kompos, Phonska, dan TSP. Biaya pestisida yang dikeluarkan sebesar Rp 840.000,- per Ha per tahun. Jenis pestisida yang digunakan adalah pestisida alami yang dibuat dan dijual anggota kelompok. Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga. Upah tenaga kerja di daerah penelitian sebesar Rp 60.000,- per hari, besarnya sama antara pekerja laki-laki dan perempuan. Biaya yang dikeluargan untuk tenaga kerja sebesar Rp 5.840.000,- per Ha. Sedangkan biaya penyusutan alat yang dikeluarkan sebesar Rp 531.167,- per Ha. Selain secara

(13)

monokultur, biaya usaha tani kakao campuran juga dihitung. Tanaman kakao yang dihitung di daerah penelitian sampai tahun ke 15, dikarenakan usia kakao paling tua adalah 15 dan masih masuk kategori umur produktif.

Tabel 4. Biaya usahatani kakao pola tanam monokultur dan pola tanam campuran Umur

(tahun)

Biaya usahatani kakao (Rp)

Monokultur Campuran I Campuran II

1 10.971.167 11.068.667 12.436.167 2 7.113.667 4.673.667 5.176.167 3 9.626.167 4.933.667 6.221.167 4 9.626.167 4.763.667 7.091.167 5 8.186.167 9.243.667 7.091.167 6 9.718.667 9.268.667 8.201.167 7 11.523.667 11.508.667 8.526.167 8 11.763.667 13.323.667 8.286.167 9 12.603.667 14.103.667 8.946.167 10 12.603.667 14.103.667 11.293.667 11 13.141.167 16.233.667 12.438.667 12 13.141.167 16.233.667 12.438.667 13 13.141.167 19.458.667 13.321.667 14 13.631.167 19.938.667 13.321.667 15 13.631.167 19.938.667 13.713.667

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa biaya investasi untuk tahun pertama cukup besar untuk semua pola tanam, kemudian mengalami penurunan di tahun kedua sampai tahun ke enam. Biaya untuk pola tanam campuran lebih besar dikarenakan ada kebutuhan bibit yang lebih banyak. Untuk menghitung benefit, kakao sudah dapat dihitung mulai tahun ke 3 dan umur ekonomisnya bisa mencapai 25 tahun, cengkeh sudah mulai menghasilkan pada tahun ke 4-6 tahun dan umur ekonomisnya hingga umur 35 tahun, durian mulai dipanen tahun ke 10 dan umur ekonomisnya hingga 50 tahun, dan kelapa dipanen pada tahun ke 5-8 dan umur ekonomisnya hingga 50 tahun.

Analisis Kelayakan Finansial

Penilaian kelayakan ini untuk menentukan keputusan layak atau tidaknya usaha tani kakao ini untuk dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah (1) Net Present Value (NPV); (2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ; (3) Internal Rate of Return (IRR) ; (4) Payback Period

(PP). Data disusun dalam jangka 15 tahun dengan tingkat suku bunga 14%. Tingkat suku bunga tersebut digunakan berdasarkan tingkat suku bunga yang

(14)

digunakan oleh BRI pada tahun tersebut. Arus biaya dan penerimaan secara lengkap dapat dilihat di lampiran dan menghasilkan nilai investasi sebagai berikut:

Tabel 5. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao monokultur dan campuran

Kriteria Monokultur Campuran I Campuran II

NPV (Rp) 51.370.907 49.710.405 24.731.619

IRR (%) 35% 37% 26%

Net B/C 1,8 1,79 1,45

PP (th) 7 6 8

1. NPV (Net Present Value)

Analisis NPV merupakan nilai bersih sekarang (present value) dari selisih antara benefit dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu yang berlaku pada saat penelitian. Hasil perhitungan NPV pada usaha tani monokultur kakao dan campuran secara keseluruhan mempunyai nilai yang positif (NPV>1), dengan nilai NPV terbesar pada pola tanam monokultur kakao. Untuk NPV monokultur kakao yakni Rp 51.370.907, sedangkan nilai NPV untuk pola tanam campuran I sebesar Rp 49.710.405, dan NPV untuk pola tanam campuran II sebesar Rp 24.731.619. Nilai NPV yang positif ini dapat diartikan bahwa pola tanam monokultur kakao dan pola tanam campuran layak untuk diusahakan.

2. Net B/C

Net B/C adalah perbandingan antara jumlah nilai bersih sekarang (present value of net benefit) yang positif dengan nilai bersih sekarang yang negatif. Hasil perhitungan Net B/C diperoleh dari perbandingan net present value

yang positif dengan net present value yang negatif menunjukkan nilai Net B/C untuk tanaman kakao pada pola tanam monokultur adalah 1,8, pola tanam campuran I sebesar 1,79, dan pola tanam campuran II sebesar 1,45. Proyek usaha tani dinilai layak dan efisien untuk dijalankan apabila nilai Net B/C lebih dari 1 yang artinya manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Sehingga pola tanam monokultur kakao dan pola tanam campuran layak untuk dikembangkan.

(15)

3. IRR (Internal Rate of Return)

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai IRR pada pola tanam monokultur kakao sebesar 35% per tahun, pola tanam campuran I sebesar 37%, dan pola tanam campuran II sebesar 26%. Angka ini dperoleh dari interpolasi antara nilai NPV1 yang menunjukkan angka positif dan NPV2 yang menunjukkan nilai negatif. Kriteria penilaian investasi dapat dikatakan menguntungkan dan layak untuk diteruskan apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan yakni 14%. Sehingga pola tanam kakao monokultur dan pola tanam campuran layak untuk dilanjutkan.

4. PP (Payback Period)

Hasil perhitungan Payback Period dari usaha tani monokultur kakao menunjukkan bahwa modal investasi yang ditanamkan akan kembali pada tahun ke-7, sedangkan pola tanam campuran I pada tahun ke-6, dan pola tanam campuran II pada tahun ke-8. Hal ini menandakan bahwa pola tanam campuran II kakao paling cepat dalam menghasilkan keuntungan dibandingkan pola tanam monokultur kakao dan campuran II. Payback Period menunjukkan bahwa usahatani kakao, baik dengan pola tanam monokultur maupun campuran layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.

Analisis Kemitraan Petani Kakao di Kabupaten Madiun dengan Gapoktan Guyub Santosa

Kemitraan petani kakao di Kabupaten Madiun dengan Gapoktan Guyub Santosa diawali pada tahun 2012 ini dijalankan antara mitra Guyub Santosa dengan petani kakao hanya sebatas penjualan dan pembelian yang terbatas pada komoditas kakao saja. Untuk komoditas pada pola tanam yang lain, petani dapat menjual langsung kepada pedagang yang sudah menjadi langganan petani untuk membeli panenan. Cara pembelian antara petani dengan mitra yakni ketua kelompok tani menghubungi mitra dengan menyebutkan jumlah panenan kakao. Jika jumlahnya memenuhi, minimal 1 ton maka mitra akan datang dan mengambil ke tempat petani. Peran ketua kelompok di sini sangat penting, karena berperan sebagai penghubung antara petani dengan mitra. Harga yang ditentukan oleh mitra juga disesuaikan dengan kualitas panenan kakao petani pada waktu tersebut.

(16)

Pola Kemitraan menurut SK Mentan No.940/Kpts/OT.210/10/1997 dalam Hafsah (2009), dikategorikan dalam 6 bentuk pola kemitraan, yakni: 1) pola inti plasma, 2) pola sub kontrak, 3) pola dagang umum, 4) pola keagenan, 5) pola kerjasama operasional agribisnis (KOA), dan 6) waralaba. Sedangkan kerja sama yang dilakukan antara petani kakao dengan Guyub Santosa termasuk dalam kategori pola dagang umum. Hal ini dikarenakan kerja sama antara petani dan mitra mengutamakan aspek pemasaran yakni melakukan pembelian dan penjualan. Tujuan dari kemitraan pola dagang umum ini adalah kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan dengan adanya jaminan harga dan kualitas produk sesuai dengan yang telah disepakati. Penyuluhan mengenai teknis budidaya kakao yang baik juga diberikan oleh mitra Guyub Santosa sekitar 3-4 kali setahun. Dalam pelaksanaan analisis kemitraan ini tidak ada kontrak perjanjian secara tertulis antara petani dengan mitra.

Tabel 6. Analisis kemitraan antara petani kakao dengan Guyub Santosa

Keadaan kemitraan yang terjalin Pelaksanaan Keterangan

Adanya kontrak perjanjian kemitraan secara tertulis

Petani menjual seluruh hasil panenan kakao ke perusahaan mitra

Hasil panen petani dijemput oleh perusahaan mitra

X

x

Perjanjian yang dilakukan hanya secara lisan

Iya jika panenan banyak dan mencukupi, namun petani bebas menjual ke siapa saja apalagi jika butuh dana mendadak

Jika jumlahnya memenuhi maka dari perusahaan mitra akan langsung mengambil ke tempat petani

Petani tidak dikenai biaya transportasi  Semua biaya ditanggung mitra Harga kakao disesuaikan ketika

penyerahan kakao ke perusahaan mitra

 Pihak dari Guyub Santosa baru akan menentukan harga ketika melihat panenan kakao yang dikumpulkan petani

Perusahaan mitra menjamin harga jual kakao

 Disesuaikan dengan harga kakao dunia dan kualitas kakao petani

Petani kakao mendapatkan penyuluhan dan bimbingan teknis budidaya

 Meskipun ada bimbingan, namun hal tersebut tidak berjalan konsisten, tergantung permintaan dari petani jika terdapat kendala dalam budidaya Kontinuitas penjualan kakao berjalan

lancer

x Hal ini dikarenakan petani ingin cepat menjual kakao untuk pemenuhan kubutuhan sehari-hari.

(17)

Tabel di atas didapatkan dari hasil wawancara dengan 3 orang anggota mitra Guyub Santosa dan 6 orang petani yang bertindak sebagai key narasumber, yakni ketua kelompok dan anggota aktif. Meski terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaan kemitraan pola dagang antara petani kakao dengan Guyub Santosa, kemitraan tetap memberikan manfaat bagi pelaku kemitraan khususnya bagi petani kakao, apalagi jika kemitraan tersebut dilaksanakan sesuai dengan konsep ideal kemitraan, yakni saling menguntungkan kedua belah pihak.

Beberapa hal mengenai kegiatan kemitraan yang dijalankan oleh petani kakao dengan perusahaan mitra berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Erfit (2012) yang dapat disebutkan dalam tabel berikut :

Tabel 7. Jenis kegiatan dalam pengambilan keputusan kemitraan pola dagang umum di daerah penelitian

Jenis Kegiatan Kewenangan

Penentuan harga komoditi Ditentukan oleh perusahaan mitra setelah melihat kualitas produk dari petani

Pengelolaan lahan Petani

Waktu penjualan Petani dengan persetujuan oleh perusahaan mitra

Penentuan mutu/kualitas komoditi yang dihasilkan

Petani dengan menyesuaikan standar yang diinginkan perusahaan mitra

Resiko Petani

Aspek-aspek dalam kemitraan yang terjalin antara petani dengan mitra Guyub Santosa antara lain dapat ditinjuau dari segi kesanggupan (commitment),

kesungguhan, kepercayaan (trust), dan kepuasan. Beberapa aspek dari kemitraan ini diambil berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Saptana et al. (2009) dan tulisan dari Martodireso et al. (2006) yang meneliti mengenai kemitraan usaha pada agribisnis. Aspek-aspek ini disimpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner pada petani dan anggota Guyub Santosa. Beberapa aspek kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan mitra dintaranya adalah sebagai berikut : 1) kesanggupan dalam memasok kakao dalam jumlah tertentu dari petani kakao ke perusahaan mitra belum berjalan secara kontinyu, 2) Kesungguhan dapat diartikan masing-masing pihak menyadari akan adanya kerja sama yang sedang berlangsung. Tidak adanya hak dan kewajiban secara tertulis dalam kontrak menyebabkan tidak adanya acuan yang jelas mengenai peran

(18)

masing-masing, 3) kemitraan yang terjalin hanya mengandalkan kepercayaan antar pelaku usaha, sehingga perjanjian hanya didasarkan atas kontrak secara lisan. Dyer et al. (2002) dalam Saptana et al. (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat isu sentral yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), yakni : (a) menyangkut resiko dan ketidakpastian; (b) kemauan untuk menerima saran dan kritikan; (c) adanya harapan dan saling ketergantungan; dan (d) kesediaan berbagi nilai atau berkontribusi, dan yang terakhir adalah 4) petani kakao cukup puas dengan harga yang ditawarkan karena harga tersebut sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran kakao dunia. Sedangkan dari pihak mitra Guyub Santosa, meskipun tidak mengikat petani harus selalu menjual hasil panenan kepada mereka, namun pihak mitra cukup puas dengan kualitas kakao khususnya dari Kabupaten Madiun, meskipun seharusnya kualitas tersebut masih dapat ditingkatkan. Sehingga kemitraan dengan pola dagang umum yang terjalin antara petani dengan mitra ini saling menguntungkan kedua belah pihak.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis kelayakan finansial dan kemitraan kakao di Kabupaten Madiun, maka diperoleh kesimpulan bahwa usahatani kakao di Kabupaten Madiun dengan pola tanam monokultur dan pola tanam campuran I dan campuran II layak untuk diusahakan dan dikembangkan berdasarkan kriteria NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period. Sedangkan analisis kemitraan yang dijalankan antara kelompok mitra petani kakao dengan perusahaan mitra Gapoktan Guyub Santosa dikategorikan dalam pola dagang umum, antara petani dan mitra mengutamakan aspek pemasaran yakni melakukan pembelian dan penjualan. Kedua belah pihak saling membutuhkan dan menguntungkan, dan dapat dinilai dari beberapa aspek, diantaranya adalah: aspek kesanggupan (commitment), kesungguhan, kepercayaan

(19)

Daftar Pustaka

Antara, 2020. Harga Kakao di Madiun Naik. https://papua.antaranews.com/. <Diakses Oktober 2020>.

Buharman, B. 2015. “Analisis Usahatani Kakao Rakyat Di Kabupaten Solok Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat”.

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/. Oktober 2020.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia Kakao. Jakarta: Departemen Perkebunan.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia Kakao 2018-2020. Departemen Perkebunan. Jakarta.

http://ditjenbun.pertanian.go.id/. <Diakses Oktober 2020>.

Erfit, 2012. “Analisis Kesetaraan Dalam Kemitraan Pada Agribisnis Hortikultura”. Jurnal Embrio. Vol 5(2): 132-143.

Fidyansari, Dharma., Hastuty, Sri., dan Arianto I Kadek. 2016. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani Kakao Bermitra Dengan Pt Mars (Studi Kasus Di Desa Cendana Hijau Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur)”. Jurnal Perbal Universitas Cokroaminoto Palopo. Vol 4 (2):-

Gittinger, J. Price. 1993. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Gray C, P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella, R.C.G. Varley. 2007.

Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hafsah, M.J. 2009. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Jakarta : PT. Pustaka Sinar Harapan.

Ibrahim, Yacob. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Malia, Rosda dan Sutarno, Tarno. 2011. “Evaluasi Tujuan Kemitraan Petani Kakao Dengan Pt. Inter Green Estate Perkebunan Layungsari Di Desa Cikidang Bayabang Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur”. Journal Of Agroscience. Vol. 2(1): 12-20.

Martodireso, Sudadi dan W.A. Suryanto. 2006. Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama. Cetakan ke-5. Kanisius. Yogyakarta.

(20)

Pasaribu, M.Christina, Prasmatiwi, F.E., Murniati, Ktut. 2016. “Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kakao Di Kecamatan Bulok Kabupaten Tanggamus”. JIIA. Vol 4 (4) : 367-375.

Peraturan Pemerintah. PP No.44 Tahun 1997. http://perundangan.pertanian.go.id. admin/p_pemerintah/PP-44-97.pdf. November 2015. <Diakses Oktober 2020>

Saptana, A. Daryanto, H.K. Daryanto, Kuntjoro. 2009. “Strategi Kemitraan Usaha dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sayogyo. 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Bogor:

LPSBIPB.

Scott, James. 1982. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara . Jakarta: LP3ES.

Setiawan, Nugraha. 2007. “Penentuan ukuran sampel memakai rumus Slovin dan tabel krejcie-morgan: Telaah konsep dan aplikasinya”. Skirpsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Suharyadi dan Purwanto. 2008. Statistika Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern, Salemba Empat: Jakarta.

Susanto, F.X. 1994. Tanaman Kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil. Yogyakarta: Kanisius.

Wardhani, R.M. dan Prasetiyo, Edy. 2016. “Faktor-Faktor Yang Mempengarui Persepsi Masyarakat Terhadap Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) (Studi Kasus Di Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun)”.

Agri-Tek: Jurnal Ilmu Pertanian, Kehutanan dan Agroteknologi Vol 17(1) : 8-18.

Gambar

Tabel  2.  Karakteristik  petani  dan  usahatani  kakao  Kec.  Dagangan,  Kec.  Kare,  dan  Kecamatan Gemarang
Tabel 3. Penyebaran pola tanam kakao di daerah penelitian
Tabel 4. Biaya usahatani kakao pola tanam monokultur dan pola tanam campuran
Tabel 5. Analisis kelayakan finansial usahatani kakao monokultur dan campuran
+3

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu di dalam rumah sakit sangatlah penting untuk menunjang kualitas dari para pegawai non medis karena suatu pelayanan medis tidak akan berjalan tanpa keterlibatan dari

Proses Pengolahan Bahan baku, Dikering anginkan, Pemansan ketel penyulingan, pemadatan bahan baku, proses destilasi, proses kondensasi, dan pemisahan air dan minyak

Seluruh responden terbanyak yaitu mahasiswa perempuan dengan rentang umur antara 20 s/d 30 tahun sebagai pengguna aplikasi android Internet Marketing

Dilihat dari kebanyakan mesin injektor cleaner yang pengukuran uji volumenya masih menggunakan gelas ukur, dan untuk mempermudah operator dalam pembacaan volume

Untuk Mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah elektif agar mendaftar di Bagian Akademik Fakultas Peternakan Univ.. Untuk Mata Kuliah Elektif, kuliah dan praktikum

[r]

Metodologi yang digunakan adalah action research atau penelitian tindakan untuk membantu dalam melakukan analisa terhadap kualitas layanan jaringan atau Quality