• Tidak ada hasil yang ditemukan

GNAPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GNAPS"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Septika Purnastuti Hapsari 201310401011024

Pembimbing:

dr. Taufiqur Rahman, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH

LAMONGAN 2014

(2)

DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB 1 PENDAHULUAN... 3

BAB 2 LAPORAN KASUS... 4

BAB 3 PEMBAHASAN... 13

BAB 4 KESIMPULAN... 26

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut di Negara berkembang, sedangkan di negara maju terjadi dalam prevalensi yang rendah. Indonesia merupakan negara berkembang dengan angka kejadian yang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena buruknya sanitasi lingkungan.

Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).

Gejala klinis GNAPS bervariasi mulai dari asimptomatis sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatis lebih banyak dibandingkan yang simtomatis. Gejala simtomatis edema, hematuri, hipertensi, oliguri, gejala kardiovaskuler dan lain-lain.

GNAPS meski angka kejadian dan angka kematiannya tidak sebesar penyakit infeksi lainnya, tetapi diagnosis dan tata laksana yang terlambat tidak jarang berakibat fatal atau berlanjut sebagai penyakit kronis yang akan mengganggu kualitas hidup anak.

Dalam uraian diatas pada laporan kasus individu ini akan dibahas mengenai GNAPS. GNAPS disini akan dibahas bagaimana mendiagnosis dan terapi yang diberikan untuk mencegah kematian maupun komplikasi.

(4)

BAB II LAPORAN KASUS

Pasien atas nama An. M Andhika Sanjaya, jenis kelamin laki-laki, umur 6 tahun 1 bulan 2 hari, berat badan 17,2 kg dan panjang badan 114 cm, anak dari Tn. Karno dan Ny. Robiatun yang beralamat di Peti yln RT 1 RW 3 Takerharjo Solokuro Lamongan. Pasien datang ke Poli anak RS Muhammadiyah Lamongan pada tanggal 6 Februari 2014 dengan keluhan bengkak. Pasien bengkak di daerah wajah sejak 10 jam sebelum MRS, bengkak dirasakan semakin bertambah setiap harinya. Keluhan bengkak seperti ini tidak pernah dialami pasien sebelumnya. Selain itu keluarga pasien mengatakan pipis anak berubah menjadi bewarna merah sejak 3 hari SMRS. Kencing bewarna merah hingga saat ini. Saat kencing tidak nyeri. Sejak 10 hari SMRS kencing hanya sedikit.

Riwayat dahulu pasien sering mengalami panas sumer-sumer disetai nyeri telan. Nyeri telan terlihat saat anak susah makan. Terakhir sekitar 2 minggu SMRS. Setiap sakit di bawa kebidan dan hanya diberi obat penurun panas. Sebelumnya pasien tidak pernah seperti ini. Riwayat alergi tidak ada. Riwayat kelahiran pasien adalah anak pertama, lahir secara spontan, cukup bulan dengan berat badan lahir 3200 gram, ditolong oleh bidan, segera menangis saat lahir. Riwayat nutrisi pasien, pasien minum ASI hingga 6 bulan, tanpa diselingi susu formula. Saat ini makan nasi dengan lauk sehari 3x.

Riwayat keluarga tidak ada pernah seperti ini. Riwayat keluarga hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal tidak ada. Riwayat alergi dalam keluarga tidak ada.

(5)

Gambar 2.1 An. A 6 tahun

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak bengkak pada wajah, dan pada vital sign didapatkan tensi 121/91, nadi 109 x/menit reguler, pernapasan 22 x/menit, suhu 36,9° C. Pada inspeksi kepala dan leher didapatkan anemis namun tidak didapatkan ikterus, sianosis, dyspneu dan pernafasan cuping hidung, reflex cahaya positif pada kedua mata, pupil bulat isokor diameter 3 mm, tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Inspeksi pada thoraks didapatkan bentuk dan pergerakan dinding dada simetris, tidak didapatkan retraksi, pada perkusi didapatkan suara sonor pada kedua lapang paru, pada auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak terdengar suara nafas tambahan. Pemeriksaan jantung, tidak ditemukan vosoure cardiac, pada palpasi tidak didapatkan thrill, ictus cordis teraba namun tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas kanan jantung di ICS IV Linea Parasternal Dextra dan batas kiri jantung di ICS V Linea midclavikula sinistra, kesan normal, pada auskultasi terdapat suara jantung S1 S2 tunggal, reguler, tidak didapatkan gallop dan murmur. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan inspeksinya datar, palpasi supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, perkusi

(6)

didapatkan suara timpani, tidak terdapat shifting dullness, ginjal tidak teraba, nyeri ketok CVA positif kanan dan kiri dan pada auskultasi terdengar bising usus normal. Pada pemeriksaan genetalianya normal. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan hangat, kering, merah, dan tidak didapatkan edema.

Status gizi pasien berdasarkan Grow Chart CDC : Berat badan aktual : 17,2 kg

Panjang badan : 114 cm Berat badan ideal : 20 kg

Gambar 2.2 CDC 2 to 20 years: boys stature for age and weight for age presentil 17,2

X 100 = 86 % Gizi kurang 20

(7)

Hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap yang telah dilakukan saat di Poli Anak (6 Februari 2014) yaitu Diffcount 0/0/67/26/7, Hematokrit 24,8%, Hemoglobin 7,9 g%, Leukosit 12.000, Trombosit 334.000, Albumin 3,1%, Urea 29mg/dl, Serum creatinin 1,2 mg/dl, dan Cholesterol 215 mg/dl. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 6 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 2-3, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin positif +, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif banyak, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin positif.

Gambar 2.3 Hematuri An. A

Sebelumnya pasien datang ke puskesmas karanggeneng Lamongan, dari rujukan PKM karanggeneng dengan diagnosis susp nefritik sindrom dan belum mendapatkan terapi apapun. Hasil lab yang dilampirkan pada tanggal 6 Februari 2014 bernilai eritrosit 3,29 juta , hemoglobin 8,7 g/dl, hematokrit 25, lekosit 11.600, trombosit 375.000, LFG 52,25, hasil urinalisis protein +3, reduksi negatif, urobilin negatif, bilirubin negatif, eritrisit positif banyak, lekosit positif banyak,

(8)

epitel 2-3, Kristal negatif, bakteri positif, jamur negatif, silinder negatif, dan hasil faal ginjal urea nitrogen (BUN) 28, dan kreatinin 0,8mg/dl.

Dari poli anak pasien didiagnosis dengan GNA + anemi. Namun disini masih diperlukan planning diagnosis lain yaitu berupa pemeriksaan ASTO dan C3 untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien ini dilakukan penanganan awal berupa inf D5% 500ml/24jam, inj cefotaxim 3x500, inj lasix 2x 15mg, inj antrain 3x200mg, captopril 2x6,25 mg PO, dan diet rendah garam.

Hari kedua (7 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya masih bengkak, pipisnya masih bewarna merah keoklatan. Vital signnya TD: 86/60, Nadi: 100x/menit, Suhu: 36,4 C, RR: 22, urin tampung 100cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala ditemukan edema di sekitar wajah. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 7 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 2-4, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin positif +, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif banyak, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin positif. Hasil darah lengkap tanggal 7 februari 2014 Diffcount 0/0/71/23/6, Hematokrit 30,4%, Hemoglobin 9,9 g%, LED 66/88, Leukosit 10.500, Trombosit 496.000, Albumin 3,1%, Urea 35mg/dl, Serum creatinin 1,4 mg/dl, dan LFG 44,8. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan foto rontgen thoraks, serum elektrolit, UL harian dan pasien mendapat terapi inf D5%

(9)

500cc/24jam, inj amoksan 3x200mg, inj antrain 3x200mg, lasix 2x15mg, urin tampung setiap hari, dan inj ranitidine 2x1/3amp.

Hari ketiga (8 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya masi bengkak, pasien tidak mau makan, dan pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 91/68, Nadi: 95x/menit, Suhu: 35,8 C, RR: 24, urin tampung 850cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 8 Februari 2014 bakteri negatif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin negatif, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin positif +, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid positif, leukosit urin positif 1-2, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin negatif. Pasien mendapat terapi inf D5% 500cc/24jam, inj amoksan 3x200mg, inj antrain 3x200mg, lasix 2x15mg, urin tampung setiap hari, dan inj ranitidine 2x1/3amp.

Hari keempat (9 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya sudah tidak bengkak, pasien mau makan sedikit-sedikit, dan pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 107/58, Nadi: 81x/menit, Suhu: 36 C, RR: 21, urin tampung 1000cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 9 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit

(10)

negatif, epitel urin positif 1-2, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin negatif, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif 2-3, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin negatif. Pasien mendapat terapi inf kaen 3A 500cc/24jam, inj amoksan 3x200mg, inj antrain 3x200mg prn, lasix 2x15mg, captopril 2x6,25mg urin tampung setiap hari, dan inj ranitidine 2x1/3amp.

Hari kelima (10 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya tidak bengkak, pasien mau makan, dan pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 105/73, Nadi: 95x/menit, Suhu: 36,2 C, RR: 23, urin tampung 1050cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 10 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin negatif, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin negatif, kristal amorf urat positif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid positif, leukosit urin positif banyak, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin negatif. Hasil ASTO 200 (<200) dan Complemen 28 (80-150). Pasien mendapat terapi inf kaen 3A 500cc/24jam, inj amoksan 3x200mg, inj antrain 3x200mg prn, lasix 2x15mg, captopril 2x6,25mg urin tampung setiap hari, dan inj ranitidine 2x1/3amp.

Hari keenam (11 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya tidak bengkak, pasien mau makan, tidak demam,

(11)

dan pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 95/68, Nadi: 96x/menit, Suhu: 36 C, RR: 21, urin tampung 1250cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Dilakukan usul pemeriksaan darah lengkap, BUN, serum kreatinin, albumin. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 11 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 1-2, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin negatif, kristal amorf urat positif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif 4-5, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin negatif. Pasien mendapat terapi inf kaen 3A 500cc/24jam, inj amoksan 3x200mg, inj antrain 3x200mg prn, lasix 2x15mg, captopril 2x6,25mg urin tampung setiap hari, dan inj ranitidine 2x1/3amp.

Gambar 2.4 Foto thoraks An. A

(12)

Hari ketujuh (12 Februari 2014) pasien dirawat di ruangan rawat inap, keadaan umum pasien wajahnya tidak bengkak, pasien mau makan, tidak demam, dan pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 96/59, Nadi: 98x/menit, Suhu: 36,5 C, RR: 21, urin tampung 1250cc dengan warna merah kecoklatan. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2 detik. Hasil laboraturium berupa urin lengkap pada tanggal 12 Februari 2014 bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 0-1, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin negatif, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif 2-3, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin negatif. Hasil darah lengkap tanggal 12 februari 2014 Diffcount 0/0/62/29/9, Hematokrit 28,5%, Hemoglobin 10,5 g%, LED 76/96, Leukosit 9.800, Trombosit 658.000, Albumin 3,8%, Urea 98mg/dl, Serum creatinin 1,6 mg/dl, dan LFG 39,1. Pasien aff infuse sore, acc KRS, captopril 2x6,25mg dan lasix 2x15mg.

(13)

BAB III PEMBAHASAN

Pasien An. Andhika sanjaya datang ke Poli Anak tanggal 6 Februari 2014 dengan keluhan tonjolan di punggung disertai pipis bewarna merah kecoklatan. Keadaan umum anak saat datang, tampak lemah, nafsu makan dan minumnya menurun, Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap yaitu Diffcount 0/0/67/26/7, Hematokrit 24,8%, Hemoglobin 7,9 g%, Leukosit 12.000, Trombosit 334.000, Albumin 3,1%, Urea 29mg/dl, Serum creatinin 1,2 mg/dl, dan Cholesterol 215 mg/dl. Hasil laboraturium urin lengkap bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 2-3, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin positif +, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif banyak, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin positif. Pasien didiagnosis dengan GNA + anemia sehingga pasien di MRS.

Dari hasil anamnesa pada anak A, didapatkan disekitar wajah tampak edema. Sehingga ada diagnosis banding edema pada anak.

Edema pada anak dibagi menjadi 2 yaitu edema lokal atau edema umum. Edema lokal contohnya seperti adanya obstruksi pada vena atau penyakit limfatik atau peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Edema umum biasanya disebabkan karena penurunan pengeluaran air dan natrium (penurunan tekanan onkotik atau peningkatan tekanan hidrostatik).

(14)

Peningkatan tekanan hidrostatik contohnya pada penyakit jantung kongestif. Pada penyakit jantung kongestif, didapatkan kelainan pada jantung dengan tanda-tanda tergantung dari berat peyakitnya. Tanda-tanda yang biasa muncul seperti mudah lelah, anoreksia, sesak, gangguan pertumbuhan hingga edema anasarka. Pada An. A tidak didapatkan gejala-gejala maupun riwayat penyakit jantung, sehingga diagnosis banding penyakit jantung kongestif dapat disingkirkan.

Penurunan tekanan onkotik contohnya pada malnutrisi energi protein (MEP). MEP dibagi menjadi 2 derajat yaitu ringan-sedang (gizi kurang) dan berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus. Pada gizi buruk, di samping gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan bentuk klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi protein berat dan asupan kalori yang tidak adekuat. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung kronis. Anak penderita kwashiorkor secara umum mempunyai ciri-ciri pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edemaa. Anak A memiliki status gizi berupa gizi kurang, sehingga edema karena gizi buruk yang menjadi diagnosis banding dapat disingkirkan.

Penurunan onkotik juga terjadi pada sindrom nefrotik. Dimana sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak dengan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuri yang mssif, hipoalbumin, hiperkolesterolemia serta edema. An. A memiliki gejala proteinuria

(15)

yang masif dan edema. Tetapi dari hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang lain tidak mengarah pada sindrom nefrotik maka diagnosis banding ini dapat disingkirkan.

Retensi Natrium dan penurunan pengeluaran cairan yang menyebabkan terjadi edema salah satunya terdapat pada penyakit glomerulonefrotis akut (GNA). Edema pada anak A karena terjadinya mekanisme retensi natrium Na+, edema pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edema periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Untuk anak A edema hanya terjadi pada bagian periorbita.

Selain edema keluhan lain yang dialami oleh anak A adalah kencing berwarna merah (hematuri) disertai kelainan urinalisis seperti proteinuri. Kelainan urinalisis seperti proteinuria dan hematuria pada pasien GNA diduga karena kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit.

(16)

Gambar 3.1 proses terjadinya proteinuria dan hematuria

GNA merupakan penyakit pada glomerulus yang paling banyak diakibatkan infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A yang biasa disebut GNAPS. Gejala-gejala glomerulonefritis akut pascastreptokokus seperti hematuria timbul 10 hari setelah faringitis. Dari anamnesis anak sering mengalami nyeri telan dan badan panas yang terjadi sekitar 2 minggu sebelum manifestasi edema periorbita.

Beberapa literatur menyebutkan penyebab hematuria pada pasien-pasien GNA kemungkinan karena adanya proses. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.

2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.

3. Streptokokus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

(17)

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya :

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)

2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edemaa, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edemaa paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.

3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi.

Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

(18)

Gambar 3.2 Proses peradangan glomeruli

Dari teori diatas dapat disimpulakan bahwa pada anak A kemungkinan besar edema yang terjadi padanya disebabkan karena infeksi pada ginjalnya yang kemunkinan besar disebabkan oleh kuman streptokokus yang lebih dikenal dengan GLOMERULONEFRITIS AKUT POST STREPTOCOCCUS (GNAPS).

Glomerulonefritis akut pasca streptokokos adalah suatu sindrom nefritik akut yang ditandai dengan timbulnya hematuri, edemaa, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A di saluran napas bagian atas atau di kulit. Terutama menyerang anak usia sekolah dan jarang < 3 tahun. Perbandingan laki-laki 2:1. Pada anamnesis pasien dengan GNA sering kali mengeluhkan:

(19)

 Riwayat ISPA 1-2 minggu sebelumnya, atau infeksi kulit 3-6 minggu sebelumnya.

 Malaise, sakit kepala, muntah, panas badan dan anoreksia.

 Datang dengan hematuri atau sembab pada kedua mata dan tungkai.  Kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat

ensefalopati hipertensi.

 Oliguria/ anuria akibat gagal ginjal dan gagal jantung.

 Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolosin O meningkat pada 75-80% pasien dengan glomerulonefritis akut pasca streptokokus dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Bila semua uji dilakukan uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus.

 Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus glomerulonefritis akut pascastreptokokus atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali lipat

(20)

berarti adanya infeksi. Tetapi , meskipun terdapat bukti adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan.

 Titer antibodi streptokokus positif pada >95 % pasien faringitis, dan 80% pada pasien dengan infeksi kulit. Antistreptolisin, antinicotinamid dinucleotidase (anti-NAD), antihyaluronidase (Ahase) dan anti-DNAse B positif setelah faringitis. Titer antibodi meningkat dalam 1 minggu puncaknya pada satu bulan dan akan menurun setelah beberapa bulan.  Pada pemeriksaan serologi didapatkan penurunan komponen serum CH50

dan konsentrasi serum C3. Penurunan C3 terjadi ada >90% anak dengan GNAPS. Pada pemeriksaan kadar komplemen, C3 akan kembali normal dalam 3 hari atau paling lama 30 hari setelah onset.

 Peningkatan BUN dan kreatinin. Peningkatannya biasanya transien. Bila peningkatan ini menetap beberapa minggu atau bulan menunjukkan pasien bukan GNAPS sebenarnya. Pasien yang mengalami bentuk kresentik GN mengalami perubahan cepat, dan penyembuhan tidak sempurna. Adanya hiperkalemia dan asidosis metabolik menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal. Selain itu didapatkan juga hiperfosfatemi dan Ca serum yang menurun.

 Pada urinalisis menggambarkan abnormalitas, hematuria dan proteinuria muncul pada semua kasus. Pada sedimen urin terdapat eritrosit, leukosit, granular. Terdapat gangguan fungsi ginjal sehingga urin menjadi lebih

(21)

terkonsentrasi dan asam. Ditemukan juga glukosuria. Eritrosit paling baik didapatkan pada urin pagi hari, terdapat 60-85% pada anak yang dirawat di RS. Hematuria biasanya menghilang dalam waktu 3-6 bulan dan mungkin dapat bertahan 18 bulan. Hematuria mikroskopik dapat muncul meskipun klinis sudah membaik. Proteinuria mencapai nilai +1 sampai +4, biasanya menghilang dalam 6 bulan. Pasien dengan proteinuria dalam nephrotic-range dan proteinuria berat memiliki prognosis buruk.

TERAPI

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.

1. Istirahat total selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.

2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10

(22)

hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.

3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edemaa, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.

5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.

(23)

6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972). Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen

Pada pasien ini diberikan pengobatan berupa pemberian infus KaEn 3A 500cc/24 jam, injeksi lasix 2x15mg, anak A juga mendapat antibiotik Amoxan 3x300mg, dan antrain 3x200mg (k/p) sebagai antipiretik dan analgesik, captopril 2x6,25 dan diet rendah garam.

Komplikasi

1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagian akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. 2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.

Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edemaa otak.

3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.

(24)

4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun.

Pada kasus anak A, didapatkan tanda-tanda terjadinya komplikasi, hal ini kemungkinan karena terjadi kerusakan ginjal pada anak A, terlihat dari hasil LFG yang mulai menurun.

Laju filtrasi glomelurus (LFG) sebaiknya ditetapkan dengan cara pengukuran klirens kreatinin atau memakai rumus berikut:

LFG = k . Tinggi Badan (cm) Kreatinin serum (mg/dl) Nilai “k” pada:  BBLR < 1 tahun = 0,33  Aterm < 1 tahun = 0,45  1 – 12 tahun = 0,55 LFG= k x TB (cm) Plasma Creatinin (mg)% LFG anak A = 0,55 x 114 cm 1,2 LFG = 66 ml/menit

Berdasarkan hasil uji fungsi ginjal pada anak A, menunjukkan hasil yang tidak normal dimana menurut National Kidney Fondation 2002 angka tersebut mulai menunjukkan gangguan ginjal tingkat 2. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

(25)

Tabel 3.1 Klasifikasi penyakit ginjal

(dimodifikasi dari National Kidney Fondation, 2002)

*Dengan faktor-faktor resiko PGK

#Dengan kerusakan ginjal, misal proteinuria prsisten, kelainan sedimen urin, kelainan kimia darah dan urin, kelainan pencitraan)

Klasifikasi diatas dapat dijelaskan lagi sebagai berikut, yaitu tingkat 2 gangguan ringan, tingkat 3 gangguan sedang, tingkat 4 gangguan berat, dan tingkat 5 sebagai gagal ginjal. Tingkat 5 dibedakan lagi bila LFG <15 ml/mnt maka disebut sebagai gagal ginjal fase akut.

Tabel 3.2 Tingkatan penyakit gagal ginjal kronik dengan tanda dan gejala Pada anak A LFG menunjukkan angka 66 dimana hal ini menunjukkan fungsi ginjal pada anak A sudah mengalami gangguan sedang, sehingga pada anak A mulai terjadi komplikasi pada ginjal.

(26)

BAB IV KESIMPULAN

Pada laporan ini, pasien atas nama An. Andhika sanjaya, umur 6 tahun 1 bulan, datang ke Poli anak RS Muhammadiyah Lamongan pada tanggal 6 Februari 2014 dengan keluhan bengkak di sekitar wajah sejak 10 hari sebelum MRS. Selain itu bengkak diikuti dengan pipis berwarna merah kecoklatan, sejak 3 hari sebelum MRS. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain adanya edema periorbita, pasien tampak anemis dan adanya nyeri ketok CVA. Pada pasien ini, berat badan anak yang terlihat dari status gizi berdasarkan Growth Chart CDC yaitu 86% yang artinya nutrisi pada pasien adalah gizi kurang.

Hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap yaitu Diffcount 0/0/67/26/7, Hematokrit 24,8%, Hemoglobin 7,9 g%, Leukosit 12.000, Trombosit 334.000, Albumin 3,1%, Urea 29mg/dl, Serum creatinin 1,2 mg/dl, dan Cholesterol 215 mg/dl. Hasil laboraturium berupa urin lengkap yaitu bakteri positif, bilirubin urin negatif, cast negatif, silinder eritrosit negatif, silinder leukosit negatif, epitel urin positif 2-3, eritrosit urin positif banyak, hyalin negatif, jamur urin negatif, keton urin positif +, kristal amorf urat negatif, kristal Ca Ox negatif, kristal uric acid negatif, leukosit urin positif banyak, parasit urin negatif, protein urin positif +++, urin reduksi negatif, dan urobilin urin positif. Titer ASTO 200 dan C3 adalah 28.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya yang mendukung, maka disini saya mendiagnosis pasien dengan GNAPS + AKI.

(27)

Selanjutnya pada pasien ini dilakukan terapi berupa bedrest total, infuse kaen 3A 500cc/24 jam, inj amoksisilin 3x 300 mg iv selama 10 hari, inj lasix 2x 15mg, captopril 2x6,25 mg PO, dan diet rendah garam.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC, Jakarta.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut, 835-839, Infomedika, Jakarta.

3. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta. 4. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dokter Soetomo, 2006, Pedoman

Diagnosis dan Terapi, FK Unair, Surabaya.

5. markum. M.S, Wiguno .P, Siregar. P, 2007, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam II, 274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.

6. Konsensus Nefrologi IDAI, 2012, Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

7. Konsensus Nefrologi IDAI, 2012, Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Gambar

Gambar 2.1 An. A 6 tahun
Gambar 2.2 CDC 2 to 20 years: boys stature for age and weight for age presentil
Gambar 2.3 Hematuri An. A
Gambar 3.1 proses terjadinya proteinuria dan hematuria
+3

Referensi

Dokumen terkait

Menurut pernyataan Lofland yang dikutip oleh Moeloeng, “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti

meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam berbagai aspek, seperti menjawab pertanyaan, diskuusi kelompok, presentasi, membaca materi. Hal ini dibuktikan dengan hasil observasi

Hasil pengamatan singkat yang penulis lakukan di beberapa Sekolah Dasar di Kecamatan Klirong mengenai peran guru penjasorkes melalui usaha kesehatan sekolah dikatakan belum

orang akan lebih terlibat dalam proses demokrasi, seperti meningkatkan debat-debat online tentang isu politik atau perihal figur politisi tertentu. Selain itu, media sosial

[r]

Adanya perbedaan rapat muatan logam Zn dan Cu memungkinkan timbulnya aliran elektron dari Zn ke Cu melalui rangkaian luar pada sel volta.. Apabila Zn dan Cu

5) Ketuhanan dan kebudayaan Piagam Jakarta (22 Juni 1945).. Sembilan tokoh nasional ialah Ir. Soekarno, Drs Moh. A.a.a Maramis dan lain-lain mengadakan perbahasan dan

cara belajar disekolah salah satunya adalah masuk kelas tepat waktu, memperhatikan penjelasan guru, menghubungkan pelajaran yang sedang diterima dengan yang sudah