• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Keragaan (Performance) Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan

5.1.1 Organisasi Usaha Agroindustri Pangan Olahan

Unit usaha agroindustri pangan olahan memiliki struktur organisasi yang sederhana yang terdiri dari pelaku usaha (pemilik modal) dan karyawan. Sebagai

pelaku usaha agroindustri pangan olahan, dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari juga merangkap sebagai pengelola usaha yang secara langsung

mengawasi kegiatan operasional usaha yang meliputi kegiatan administrasi dan keuangan, produksi dan distribusi serta pemasaran produk agroindustri yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, umumnya kegiatan agroindustri pangan olahan merupakan usaha keluarga dengan skala usaha kecil yang dikelola oleh para ibu-ibu rumah tangga. Pengelolaan usaha masih dilakukan secara sederhana. Dengan stuktur organisasi yang sederhana ini, diharapkan dapat memudahkan pelaku usaha untuk mengendalikan kegiatan manajemen dan operasional. Efektifitas dan efisiensi aliran tanggung jawab dan wewenang lebih memungkinkan untuk dipantau sekaligus meminimalisasi kesalahan produksi.

Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha agroindustri pangan olahan berasal dari luar dan dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga umumnya lebih banyak digunakan daripada tenaga kerja dari luar lingkungan keluarga. Keadaan ini dikarenakan usaha agroindustri pangan olahan ini merupakan usaha keluarga, sehingga tenaga kerja bisa diatasi dari dalam keluarga, selain itu dimaksudkan untuk mengurangi biaya upah tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan pandangan Mubyarto (2001), yang menyatakan bahwa tenaga kerja dalam keluarga tidak dinilai pada kegiatan usaha agroindustri pangan olahan. Adanya faktor kekeluargaan tersebut, dapat mempermudah dalam komunikasi dan koordinasi tugas, serta menimbulkan semangat untuk saling membantu, kebersamaan dan gotong royong yang tinggi dalam setiap aktivitas produksi.

Dengan latar belakang usaha agroindustri pangan olahan yang merupakan usaha milik keluarga, maka secara umum sumber permodalan berasal dari dana

(2)

mandiri pelaku usaha. Hal ini membawa implikasi positif bahwa para pelaku usaha agroindustri pangan olahan tidak memiliki hutang atau pinjaman modal yang menyebabkan adanya kewajiban mengembalikan pokok pinjaman ditambah dengan bunga pinjaman. Sehingga kegiatan usaha bisa lebih cepat berkembang, terutama apabila keuntungan yang diperoleh dialokasikan juga untuk penambahan investasi usaha.

Berkembangnya kegiatan usaha agroindustri pangan olahan diatas, apabila dibina dan diarahkan dengan sungguh-sungguh, akan menimbulkan iklim yang menguntungkan bagi dunia usaha dan daya serap tenaga kerja yang cukup besar. Tetapi upaya pembinaan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian & Perdagangan Kota Batu baru dalam tahap pembinaan dibidang ketahanan pangan, pembinaan pengembangan pangan olahan non beras disektor pertanian. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembinaan yang lebih intensif dan dukungan kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan Agroindustri pangan olahan tersebut.

5.1.2 Peran Pembinaan dari Pemerintah

Pembangunan pertanian dan perdesaan harus dipakai sebagai strategi utama untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pertanian, khususnya sektor pangan bukanlah sebagai usaha untuk meraih swasembada sebanyak mungkin komoditas pangan. Swasembada pangan tidak akan menjamin kesejahteraan penduduk desa lebih baik dan kemiskinan dapat berkurang dengan cepat. Peningkatan produksi khususnya via peningkatan produktivitas dan kualitas, khususnya pangan harus dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, infrastruktur distribusi dan pemasaran. Pembangunan pertanian dan perdesaan tentu tidak boleh dipisahkan dengan kebijakan industri, perdagangan dan infrastruktur penting di wilayah perdesaan (Puspoyo, 2006).

Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan yang sangat strategis untuk menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Hal ini sangat memungkinkan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat massal. Industri pertanian yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk

(3)

menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di perdesaan. (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan, 2005).

Strategi pembangunan pertanian dan perdesaan seharusnya merupakan kombinasi peningkatan produktivitas pertanian dan investasi pelayanan sosial di satu sisi, dengan perbaikan hubungan keterkaitan antara wilayah perdesaan dengan industri pengolahan hasil pertanian, dan pusat pertumbuhan di sisi yang lain. Dalam pengembangan agroindustri perdesaan diperlukan adanya suatu proses konsolidasi usahatani yang disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam suatu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, setiap usaha agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal, tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (hulu-hilir) dalam suatu kelompok usaha. Hal ini tentunya akan membutuhkan adanya perhatian dalam aspek kebijakan, teknologi, kelembagaan, sumberdaya manusia, dan permodalan.

Upaya Pemerintah Kota Batu dalam mewujudkan strategi pembangunan kawasan agropolitan tersebut, terlihat dari atribut resmi kota sebagai ”agropolitan”. Baliho-baliho besar di sudut-sudut kota yang memuat rencana tata ruang kota diberi titel ”kawasan agropolitan”. Stasiun TV resmi milik Dinas Infokom Pemkot Batu bernama ATV (Agropolitan Televisi). Bahkan website resmi Pemkot Batu, jika diakses akan muncul sebuah tampilan www.agropolitan.com. Sebuah terobosan yang luar biasa dalam memberikan citra Kota Batu sebagai sebuah kawasan Agropolitan (Sabil, 2006).

Berbekal potensi alamiah Kota Batu sebagai sebuah “Kawasan Agropolitan”, juga dengan keberadaan sosial masyarakatnya yang banyak bertumpu pada aktivitas ekonomi berbasis pertanian, telah mendorong Pemkot Batu untuk menggenjot pergerakan perekonomian wilayah yang lebih dinamis dengan menitikberatkan pada sektor pertanian yang menjadi ciri utama sebuah kawasan agropolitan.

Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan di wilayah Kota Batu didasarkan pada RTRW Kota Batu 2003-2013. Selanjutnya, berdasarkan tujuan dari

(4)

pengembangan kawasan agropolitan, yakni bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah, sehingga pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam penyusunan Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Kawasan Agropolitan Kota Batu, disusun program-program yang mengarah kepada kegiatan pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan kawasan secara simultan.

Secara umum program kegiatan pokok pembinaan dan pengembangan kawasan agropolitan di Kota Batu adalah untuk menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi yang produktif dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta percepatan pertumbuhan ekonomi kawasan, meliputi: 1. pengembangan komoditas unggulan dan diversifikasi komoditas

usahatani/agribisnis yang sesuai dengan spesifik lokal, menguntungkan dan mampu mendorong pertumbuhan kawasan yang berkelanjutan.

2. penumbuhan kegiatan agroindustri kecil melalui pelatihan untuk pembentukan wirausaha baru dengan terwujudnya KUB (Kelompok Usaha Bersama).

3. penumbuhan dan pembinaan sentra-sentra agroindustri dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi rakyat dan peningkatan pendapatan masyarakat.

4. penumbuhan sentra-sentra usaha/agribisnis perdagangan di kawasan yang diharapkan mampu meningkatkan jalinan keterkaitan desa-kota.

5. pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana yang mendorong kegiatan ekonomi produktif yang berbasis agribisnis.

6. pengembangan kelembagaan sosial masyarakat, ekonomi, keuangan, dan perdagangan yang menunjang kelancaran usaha/bisnis di dalam kawasan. 7. bimbingan dan penyuluhan dalam rangka penumbuhan usaha

agribisnis/agroindustri kecil dan pengembangannya.

Dari beberapa kegiatan pokok tersebut, maka program peningkatan dan pengembangan agroindustri yang menjamin keterkaitan antara sektor pertanian dan pengolahan merupakan langkah yang tepat untuk mendorong percepatan pertumbuhan wilayah. Dalam hal ini secara spesifik, maka kegiatan pengembangan agroindustri harus dipandang sebagai kegiatan pokok yang harus didekati dengan

(5)

menggunakan konsep pengembangan agroindustri yang berkelanjutan (sustainable), meliputi:

1. Meningkatkan keunggulan komparatif dan aspek pengolahan sumberdaya alam (resource based industry).

2. Meningkatkan penelitian dan pengembangan potensi hasil pertanian dalam rangka pengembangan agroinsutri.

3. Mempersiapkan pengembangan agroindustri pendukung dalam rangka melakukan kegiatan agribisnis, seperti alat dan mesin pertanian.

4. Meningkatkan pelayanan informasi peluang usaha di bidang agroindustri melalui pengembangan data base produksi dan pasar.

5. Meningkatkan peluang usaha dengan pemanfaatan teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan.

Kegiatan agroindustri pangan olahan di Kota Batu dalam perkembangannya lambat laun mulai mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Batu. Beberapa kegiatan sosialisasi pengolahan hasil pertanian dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Batu, seperti: Sosialisasi Cipta Menu dengan Bahan Pangan Non-Beras, Lomba Cipta Menu dengan Bahan Pangan Non-Non-Beras, Pelatihan Pangan Olahan, dan lain-lain. Sedangkan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu telah melaksanakan program-program pengembangan agroindustri dengan kegiatan-kegiatan: Pelatihan Pengembangan Agroindustri Apel, Kentang, Singkong dan Ladu, Pelatihan Industri Makanan dan Minuman, serta Pameran-pameran Produk Unggulan Agroindustri.

Kegiatan rutin pembinaan di bidang agroindustri, meliputi: penumbuhan, pembinaan dan bimbingan serta pengawasan kelompok usaha agroindustri. Secara khusus, Deperindag Kota Batu juga melakukan pembinaan agroindustri (dan industri pada umumnya) melalui penataan kawasan dan sentra, ijin usaha, pengawasan produksi dan pencegahan pencemaran industri dengan kegiatan intensifiksi laboran industri, pengawasan lapangan dengan bimbingan pembuatan dokumen UKL/UPL, IPAL dan uji limbah industri.

Sementara dalam bidang perdagangan, pembinaan dilakukan melalui proses ijin usaha, pengawasan distribusi dan pendaftaran gudang; Pameran Dagang

(6)

Industri Kecil, serta Peningkatan Kerjasama Agroindustri melalui kemitraan usaha, kemitraan investasi dan kerjasama bisnis lainnya.

Perkembangan kelembagaan pemasaran agroindustri di Kota Batu secara kumulatif dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, terdiri dari agroindustri formal (berijin) dan informal (rumah tangga) serta agroindustri skala menengah. Perkembangan kelembagaan agroindustri secara kumulatif terlihat dalam Tabel 15 berikut:

Tabel 15. Perkembangan Kelembagaan Agroindustri Kota Batu tahun 2003-2004

No Jenis Lembaga Jumlah (Unit) Kenaikan

(%) 2003 2004

1 Agroindustri Formal 25 75 33,33

2 Agroindustri Informal 169 220 76,82

3 Agroindustri Skala Menengah 40 64 62,50

Jumlah 234 359 65,18

Sumber: Deperindag Kota Batu diolah, (2004)

Sesuai dengan Tabel 15 tersebut diatas terlihat bahwa terdapat peningkatan jumlah yang cukup besar pada kelembagaan agroindustri informal mencapai 76,82 %. Kemudian pada kelembagaan agroindustri skala menengah mengalami peningkatan sebesar 62,50 %. Sedangkan jumlah Kelembagaan Agroindustri Formal di Kota Batu mengalami perkembangan sebesar 33,33 %. Besarnya perkembangan sektor agroindustri informal menunjukkan adanya minat masyarakat yang besar terhadap kegiatan agroindustri. Namun, pada saat yang bersamaan mengisyaratkan masih terbatasnya kemampuan pemerintah untuk melakukan pendataan dan pembinaan secara menyeluruh kepada para pelaku usaha agroindustri.

Pendataan kondisi agroindustri berdasarkan kepemilikan ijin formal usaha dari institusi yang berwenang, menggambarkan masih terbatasnya langkah dan inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah. Ijin usaha hanyalah merupakan salah satu media untuk memberikan kontrol dan pengawasan usaha, agar kegiatan usaha agroindustri tersebut berjalan sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan konsumen yang berlaku.

Menurut informasi yang diperoleh selama penelitian, peran yang dilakukan pemerintah selama ini masih terlalu pasif. Kalaupun ada pembinaan, biasanya hanya

(7)

diberikan dalam bentuk pelatihan-pelatihan singkat, dimana manfaat yang diperoleh pelaku usaha agroindustri hanya sedikit saja dalam menambah pengetahuan teknik-teknik produksi. Selebihnya, tentang bagaimana membantu pemasaran produk-produk agroindustri dan memperkuat modal usaha, belum banyak dilakukan oleh pemerintah.

Sistem pemasaran dan distribusi hasil produksi agroindustri selama ini masih dirasakan belum efisien disebabkan antara lain oleh masih belum mapannya jaringan distribusi, sehingga menyebabkan tersendatnya aliran produk yang tersedia di pasar. Belum mapannya jaringan distribusi pemasaran, menyebabkan pengusaha agroindustri sering terpaksa menjual hasil produksinya kepada para tengkulak dengan harga yang kurang menguntungkan. Keberadaan sentra produksi yang terpencar dengan skala yang kecil menyebabkan proses transportasi produk-produk agroindustri menjadi tidak efisien.

Sistem pemasaran komoditas unggulan selama ini selain dilakukan secara langsung dengan konsumen, juga melalui agen/distributor yang ditentukan oleh pengusaha/pelaku usaha agroindustri. Guna memperluas jaringan pemasarannya, Pemerintah Daerah Kota Batu secara berkala melibatkan para pengusaha agroindustri dalam kegiatan-kegiatan pameran baik lokal, regional maupun internasional, serta mengikuti pasar lelang di tingkat propinsi.

Keberadaan pasar dan macamnya di Kota Batu terdiri dari: 1. Pasar Besar (Tradisional) Kota Batu : 1 buah

2. Pasar Desa : 6 buah

3. Pusat Perbelanjaan (Super Market) : 1 buah

4. Pasar Wisata : 3 buah

Secara umum jaringan pemasaran agroindustri di Kota Batu dapat digambarkan sebagai berikut:

Pengrajin/ Pelaku Usaha

(8)

Sistem Informasi Pasar belum mapan dan efektif, salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemasaran hasil produk agroindustri adalah tersedianya informasi pasar yang cepat, tepat dan akurat serta mudah diakses oleh pelaku pasar. Beberapa hal yang mempengaruhi, antara lain:

a. Jaringan informasi pasar ini masih terbatas hanya beberapa daerah, sementara di banyak sentra produksi dan pasar potensial belum tercakup dalam sistem informasi pasar yang integrated.

b. Sarana-prasarana informasi berupa institusi pelayanan informasi pasar belum tersebar di daerah produsen. Kecepatan dan ketepatan informasi pasar sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kelengkapan sarana.

c. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dan disebarluaskan belum mendorong terjadinya transaksi dan perubahan perilaku petani dalam merespons permintaan pasar yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pasokan.

d. Petugas pelayanan informasi belum memadai dari segi kuantitas dan kualitas. Luas dan banyaknya daerah produksi dan konsumsi belum mampu dicakup oleh petugas, disamping pengetahuan dan keterampilannya yang masih kurang. (Deperindag Kota Batu, 2004)

5.1.3 Faktor Penghambat dan Pendukung

Menurut keterangan yang diperoleh dari Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu, beberapa faktor penghambat dan Pendukung pada pelaksanaan kegiatan pembinaan agroindustri di Kota Batu adalah:

a. Faktor Penghambat

1. Sarana dan prasarana untuk pemberdayaan agroindustri yang masih belum memadai.

2. Pengelolaan usaha bidang agroindustri dan perdagangan dilaksanakan dengan pola tradisional.

3. Kemampuan SDM dalam pengelolaan manajemen usaha masih rendah.

4. Belum tersedianya pasar lelang lokal guna peningkatan kualitas dan kuantitas produk agroindustri.

(9)

6. Belum terciptanya kemitraan usaha yang berkesinambungan antara pengusaha besar, pengusaha menengah dan pengusaha kecil.

7. Terbatasnya kemampuan permodalan khususnya bagi pengusaha kecil.

8. Imbas Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo menyebabkan turunnya kunjungan wisatawan ke Kota Batu, serta menambah beban biaya transportasi diakibatkan kemacetan yang masih sering terjadi di jalur tranportasi Batu/Malang-Surabaya.

b. Faktor Pendukung

1. Kota Batu sebagai tujuan wisata sangat strategis guna pengembangan dan sentra bisnis produk unggulan agroindustri.

2. Letak geografis wilayah Kota Batu sangat cocok bagi pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri.

5.1.4 Kelembagaan Perorangan (Informal)

Kelembagaan Perorangan (Informal) merupakan kelembagaan yang sudah berkembang cukup lama di sentra-sentra produksi usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Kelembagaan ini terus berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap produk-produk agroindustri yang dihasilkan. Dalam kelembagaan ini pedagang perantara memiliki peranan yang sangat dominan. Pusat-pusat produksi usaha agroindustri umumnya dihubungkan oleh pedagang perantara ke pasar-pasar dan outlet-outlet di dalam Kota Batu maupun ketika sudah menjangkau konsumen di luar Kota Batu, baik Kota/Kabupaten Malang, Surabaya atau Kota-kota lainnya di Jawa Timur, dan Kota-kota besar lainnya di Jawa, bahkan luar jawa. Sebagian besar masih menggunakan jalur pemasaran melalui pedagang perantara.

Biasanya penjualan langsung oleh para produsen/pengusaha agroindustri pangan olahan ini hanya dilakukan oleh beberapa pengusaha agroindustri yang berskala besar saja. Para pengusaha besar ini telah mampu melengkapi fasilitas produksinya dengan lebih baik, seperti fasilitas transportasi dan show room/outlet produksi. Mereka juga telah memiliki manajemen usaha yang baik sehingga memiliki informasi dan akses pasar yang berkelanjutan.

Sedangkan pada pelaku usaha kecil dengan kapasitas modal dan produksi yang terbatas, umumnya mereka tidak melakukan transaksi jual beli langsung

(10)

dengan konsumen, kecuali dalam jumlah terbatas dengan pembeli yang memiliki kedekatan kekerabatan, kenalan atau kolega di tempat kerja tetapnya sehari-hari. Pembeli seperti ini biasanya telah mengetahui kualitas produknya dan lebih tertarik terhadap aspek sosial dalam hubungan keseharian dengan produsen daripada melakukannya atas dasar harga produk, disamping karena harga produk yang ditawarkan juga relatif masih terjangkau dengan harga yang bersaing di pasaran.

Perkembangan usaha agroindustri pangan olahan skala kecil, pada beberapa kasus, justru dimulai dengan upaya pelaku usaha yang terintegrasi mulai dari proses produksi hingga pemasaran. Semua kegiatan tersebut mereka tangani sendiri. Tetapi dalam perkembangannya, mereka pada akhirnya akan memilih untuk berkonsentrasi pada salah satu sektor kegiatan, hanya bergerak sebagai produsen saja atau bertindak sebagai pelaku pemasarannya. Keadaan tersebut tidak terlepas dari terbatasnya informasi harga yang dimiliki oleh pelaku usaha agroindustri, sehingga mereka akan selalu dihadapkan oleh resiko tidak terjual yang akan merugikan usahanya sendiri. Selanjutnya, secara alamiah kemudian terbentuk sebuah sistem untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan berdasarkan kepercayaan diantara mereka. Aspek kepercayaan ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan yang sudah lama terbangun, karena umumnya mereka sudah saling mengenal dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya.

Hubungan kerjasama antara para pelaku usaha agroindustri pangan olahan dan para pedagang perantara ini berjalan dalam sebuah sistem kontrak tidak tertulis yang hanya didasarkan atas kesepakatan yang umumnya berlaku diantara mereka. Aturan-aturan yang memuat hak dan kewajiban diantara mereka merupakan pengetahuan yang secara luas sudah diketahui dan disepakati bahkan sudah menjadi konsensus bersama. Walaupun demikian, mereka tetap memiliki standar kualitas produk yang akan ditransaksikan. Penilaian kualitas produk ditentukan oleh kategori grade produk, serta hasil uji sertifikasi yang dikeluarkan oleh Dinas yang berwenang. Hal ini telah menjadi prasyarat utama untuk memulai usaha di sektor produksi pangan olahan.

Dalam sistem kontrak pada kelembagaan Perorangan (Informal), pedagang perantara memiliki akses pasar yang luas dan menguasai informasi harga yang berlaku. Pedagang perantara bertugas memasarkan produk-produk yang dihasilkan,

(11)

menagih pembayaran dari distributor hingga pedagang pengecer, serta mengontrol peredaran dan kualitas produk di pasaran. Apabila terjadi kerusakan produk sebelum masa kadaluarsanya, maka barang akan diganti oleh produsen. Namun sejauh ini, barang-barang produk pangan olahan ini selalu habis terjual sebelum masa kadaluarsanya berakhir. Pedagang perantara memegang peranan yang sangat penting dalam memasarkan barang sebelum masa kadaluarsanya berakhir. Biasanya mereka akan mengantisipasi dengan cara me-return (menukar kembali barang lama dengan barang baru) dan menjual barang-barang yang masa kadaluarsanya hampir habis ke tempat-tempat yang lebih ramai. Terkadang mereka akan menjual barang-barang yang sudah hampir kadaluarsa tersebut dengan harga miring dan bonus yang lebih banyak bagi pembeli.

Penetapan harga produk agroindustri pangan olahan ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan besarnya jumlah permintaan dan penawaran. Penetapan harga tersebut didasarkan pada pertimbangan perhitungan harga pokok produksi dan keuntungan yang diperoleh. Untuk menawarkan produk kepada konsumen atau pasar, harga ditentukan berdasarkan kebijakan pelaku usaha agroindustri pangan olahan. Tetapi dalam kondisi tertentu, terkadang harga ditentukan melalui kompromi dengan pedagang perantara.

Harga produk ditentukan diawal transaksi dan akan dibayar dengan sistem konsinyasi, dengan jaminan sejumlah uang tertentu untuk pemesanan dalam jumlah besar. Hal ini berlaku secara umum untuk semua jenis produk. Tetapi, untuk beberapa produk yang tergolong cepat laku di pasaran, biasanya pembayarannya dilakukan langsung secara tunai. Bahkan tidak sedikit diantara pedagang perantara yang inden terlebih dahulu untuk mendapatkan barang yang diinginkan.

Berbeda ketika pelaku usaha melakukan transaksi sendiri secara langsung dengan pedagang lepas atau konsumen produk yang ia hasilkan, dalam penentuan harga pelaku usaha agroindustri pangan olahan memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk mendapatkan peluang harga yang lebih baik. Pada sistem ini pelaku usaha juga memiliki kewenangan untuk menolak transaksi bila merasa harga tidak cocok. Di sisi yang lain, bagi pedagang perantara juga terjadi pertimbangan yang sama karena masih bisa memperoleh barang yang lebih baik dan memberikan peluang keuntungan yang lebih besar. Namun, tidak jarang diantara keduanya juga

(12)

akan memperoleh resiko. Bagi pelaku usaha resiko tidak terjualnya produk, dan bagi pedagang perantara tidak mendapatkan barang dagangan. Kondisi ini sangat membutuhkan pengalaman dan kejelian mengamati informasi harga yang bermain, agar mereka bisa sama-sama mendapatkan keuntungan yang optimal.

Transaksi yang terjadi antara pelaku usaha agroindustri dan pedagang perantara memperlihatkan bahwa kontrak ini sudah berjalan cukup lama dan dibangun atas dasar kepercayaan (trust) dan sosial kekerabatan. Hal ini berimplikasi pada usaha meminimalisasi kejadian salah pilih (adverse selection) dan mereduksi resiko diantara keduanya. Keuntungan bagi pelaku usaha dalam sistem kontrak seperti ini adalah adanya jaminan yang lebih besar atas terjualnya produk yang ia hasilkan, kendatipun harga yang diterima tidak sebesar ketika ia melakukan transaksi langsung dengan pedagang lepas atau konsumen. Kemudian keuntungan bagi pedagang perantara terletak pada margin harga yang cukup besar sebelum barang jatuh ke tangan konsumen.

Secara eksplisit tidak dinyatakan secara tertulis sanksi yang akan dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan kontrak yang telah dibuat. Dari kenyataan di lokasi penelitian, umumnya sanksi yang ditetapkan hanya berupa sanksi sosial berupa hilangnya kepercayaan terhadap pihak yang melanggar kesepakatan kontrak tersebut. Pelanggaran ini bisa saja terjadi oleh pelaku usaha yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjaga higienitas dan standar kualitas produk barang yang dihasilkan, sehingga barang akan lebih cepat mengalami kerusakan. Namun, pelanggaran ini bisa juga dilakukan oleh pedagang perantara yang tidak membayar hasil penjualan sesuai jumlah dan tidak tepat waktu dengan alasan-alasan tertentu.

Meskipun sistem kontrak informal mengandung keterbatasan-keterbatasan pada sisi tertentu menyangkut hak dan kewajiban hingga sanksi yang tegas sebagaimana dalam sistem kontrak formal, tetapi pengaruh hubungan sosial dan kekerabatan yang baik akan dapat mencegah munculnya tindakan pelanggaran atau kecurangan yang mungkin terjadi. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem kontrak tersebut umumnya akan berusaha untuk selalu menjaga kepercayaan agar usaha yang digelutinya tetap bisa berlangsung. Disinilah arti penting kesadaran dan kejujuran diantara mereka dalam memelihara hubungan bisnis yang saling

(13)

menguntungkan, tidak hanya mengejar orientasi keuntungan sesaat, tetapi keuntungan yang berkesinambungan.

5.1.5 Kelembagaan Kelompok (Formal)

Kelembagaan kelompok (formal) adalah kelembagaan yang secara resmi menghimpun para pelaku usaha agroindustri pangan olahan dalam sebuah pengorganisasian yang lebih tertib dan memiliki aturan-aturan formal kelembagaan, biasanya berbentuk kelompok usaha atau koperasi tertentu. Secara umum kerjasama yang dilakukan meliputi permodalan, produksi dan pemasaran. Konsep kerjasama dalam kelompok usaha ini muncul sebagai suatu bentuk adanya kebutuhan dari para anggotanya untuk mendapatkan jaminan yang lebih besar bagi kelangsungan usaha yang mereka jalankan di bidang produk pangan olahan tersebut. Namun karena keterbatasan kelembagaan Kelompok (Formal) tersebut, sejauh ini belum ada aturan tertulis khusus dalam bentuk kontrak kerjasama antara kedua belah pihak, disamping umumnya masih cukup besar terjadinya kecenderungan mengikuti perkembangan dan informasi yang berlaku di pasaran.

Pihak yang menjadi pelaku utama dalam kelembagaan tataniaga Kelompok (Formal) ini adalah pelaku usaha agroindustri dengan kelompok usahanya (koperasi), pedagang perantara dan pedagang besar. Pada kelembagaan kemitraan yang memiliki informasi harga adalah kelompok usaha dan bertindak sebagai agen resmi. Dalam mekanisme penetapan harga ini kelompok usaha memiliki peranan yang dominan sebagai penentu harga (price maker), sementara itu para anggota/pelaku usaha bertindak sebagai penerima harga (price taker). Kondisi ini tidak terlepas dari hirarki pasar selanjutnya dimana kelompok usaha sebenarnya juga hanya sebagai price taker dari pihak pedagang perantara/pedagang besar yang bertindak sebagai price maker-nya.

Dari pengamatan di lokasi penelitian, hubungan yang terjadi antara pelaku usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu dengan kelompok usaha formal di mana mereka bergabung menjadi anggota, menunjukkan adanya ketergantungan yang cukup besar kepada kelompok usaha dari para anggota. Kebutuhan-kebutuhan anggota yang menyebabkan mereka tergantung kepada keberadaan kelompoknya secara umum diawali oleh adanya kebutuhan permodalan. Disamping itu, mereka juga ingin mendapatkan pengetahuan baru dan keterampilan produksi yang diperoleh dari

(14)

pelatihan-pelatihan di kelompoknya. Selanjutnya, kebutuhan untuk dapat menjalin interaksi dengan sesama anggota kelompok usaha muncul dengan sendirinya sebagai bagian dari usaha untuk meng-update pengalaman produksi, mendapatkan informasi-informasi harga produk bahan baku, daerah asal penyedia bahan baku, hingga informasi-informasi perkembangan harga jual produk agroindustri pangan olahan yang mereka hasilkan.

Dalam perkembangannya, eksistensi kelompok usaha sangat ditentukan oleh mekanisme hubungan antara kelompok usaha dengan para anggotanya. Secara umum, kelompok usaha berperan penting dalam ikut mengawasi dan mengontrol standarisasi produk yang dihasilkan oleh para anggotanya, menerima setoran barang-barang produksi dari para anggotanya, serta mengendalikan jumlah produksi dari para anggotanya agar tidak membuat harga di pasaran jatuh.

Terkait dengan mekanisme pengembalian modal usaha yang diberikan oleh kelompok usaha kepada anggota-anggotanya, biasanya setiap anggota akan mengangsur pembayaran pinjaman modal pada saat terjadi transaksi penyetoran barang-barang produksi melalui kelompoknya. Pembayarannya dilakukan dengan cara memotong sejumlah uang tertentu sebagai angsuran pengembalian modal sesuai kesepakatan yang dibuat berdasarkan kesanggupan anggota masing-masing. Adakalanya pengembalian modal dilakukan juga melalui kegiatan arisan yang rutin diikuti kebanyakan anggota kelompok usaha tersebut.

Interaksi organisasi di dalam kelompok usaha terhadap para anggotanya sangat ditentukan oleh musyawarah/pertemuan yang rutin mereka selenggarakan. Kegiatan-kegiatan pertemuan anggota seperti itu dapat meningkatkan hubungan sosial para anggota kelompoknya, untuk meningkatkan peran-peran kerjasama dalam kelompok. Hal ini merupakan faktor penting terjadinya hubungan yang saling menguntungkan. Dengan adanya interaksi yang intensif antara kelompok usaha dengan para anggotanya, dapat menjadi kontrol yang efektif dan berfungsi sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran dari anggota kelompoknya terhadap kesepakatan/kontrak kerjasama yang telah dibuat bersama.

Walaupun demikian, dikarenakan adanya keterbatasan kelembagaan kelompok (formal) tersebut, sejauh ini belum ada aturan tertulis khusus mengenai sanksi apa yang diberikan jika ada anggotanya yang melakukan pelanggaran. Sejauh ini, sanksi yang diberikan baru sebatas sanksi moral saja. Namun demikian, sanksi

(15)

moral tersebut sudah cukup efektif dalam menekan terjadinya pelanggaran-pelanggaran berikutnya yang mungkin terjadi. Ini dikarenakan lingkungan kelompok usaha yang terdiri dari masyarakat lokal perdesaan yang memiliki kedekatan tempat tinggal, kesamaan budaya serta adanya hubungan kekerabatan yang relatif masih sangat kental.

Sebagaimana dinyatakan oleh Rustiadi dan Pranoto (2007) bahwa keuntungan dari mengorganisasikan para petani kecil ke dalam kelompok-kelompok, sebenarnya merupakan suatu upaya untuk mengurangi biaya-biaya transaksi dalam memperoleh akses kepada pasar-pasar input dan output, disamping juga untuk memperbaiki kekuatan tawar menawar dan negosiasi dari para petani kecil dan pengrajin industri kecil yang berhadapan dengan para pembeli dan penjual produk-produk agribisnis yang bermodal kuat.

Keberadaan kelompok-kelompok usaha agroindustri yang ada di Kawasan Agropolitan Kota Batu menunjukkan perkembangan yang cenderung lebih lambat jika dibandingkan dengan keberadaan pelaku usaha agroindustri perorangan. Secara umum, ini terjadi karena para pelaku usaha agroindustri perorangan merasa lebih leluasa mengembangkan usahanya sendiri. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan pengorganisasian petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur.

Menurut hasil penelitian Pranoto (2005), rata-rata petani kurang tertarik untuk bergabung dengan kelompok tani. Alasannya selama ini keikutsertaan mereka dalam kelompok tani kurang memberikan manfaat dan hanya membuang-buang waktu saja. Apalagi ada kesan trauma apabila membicarakan masalah kelompok tani yang berkaitan dengan pemberian Kredit Usaha Tani (KUT). Menurut mereka pemberian KUT hanya menguntungkan bagi orang-orang tertentu saja sementara anggota kelompok tani tidak mendapatkan apa-apa. Di lokasi desa pusat pertumbuhan kawasan Agropolitan juga terdapat 9 kelompok tani. Tetapi kelompok tani tersebut bukan inisiatif dari masyarakat, melainkan hasil bentukan ketika akan ada program tertentu sehingga aktivitasnya pun sangat kurang. Karena keberadaan kelompok tani tersebut tidak berangkat dari kebutuhan petani maka dari sisi fungsi kelompok tani menjadikan kelembagaan jauh dari harapan dan kurang memberikan manfaat. Kelembagaan yang berkembang di kawasan ini pada akhirnya adalah

(16)

kelembagaan principal-agent relationship dimana ketergantungan petani terhadap tengkulak sebagai prinsipal relatif tinggi.

5.1.6 Struktur Tataniaga

Struktur tataniaga pemasaran produk-produk agroindustri pangan olahan di Kota Batu cukup sederhana dan umumnya bersifat lokal mencakup wilayah Kota Batu dan Malang. Sementara untuk menjangkau keluar wilayah yang lebih luas, biasanya para pelaku usaha/kelompok usaha agroindustri pangan olahan, masih mengandalkan peran para pedagang perantara dalam membuka jaringan pemasaran dan melayani permintaan produk dari luar daerah.

Jalur pemasaran yang digunakan oleh pelaku usaha agroindustri dalam memasarkan produksinya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pelaku Usaha Agroindustri  Pedagang Perantara  Toko Pengecer  Konsumen

2. Pelaku Usaha Agroindustri  Toko Pengecer  Konsumen 3. Pelaku Usaha Agroindustri  Konsumen

Selanjutnya, dari beberapa jalur pemasaran yang ada di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu tersebut dapat dilihat pada Gambar 3:

(17)

Gambar 3. Jalur Pemasaran Agroindustri Pangan Olahan

Dari hasil wawancara di lokasi penelitian, responden pelaku usaha agroindustri pangan olahan yang menjual produknya melalui pedagang perantara berjumlah 18 orang atau 47,37%. Sementara yang menitipkan langsung melalui toko pengecer berjumlah 6 orang atau 15,79%. Sedangkan sebanyak 14 orang atau 36,84% langsung berhubungan dengan konsumen.

Beberapa alasan mengapa para pelaku usaha agroindustri pangan olahan menjual produknya melalui pedagang perantara karena faktor terbatasnya informasi pasar yang dimiliki, menekan resiko barang tidak terjual dan keberadaan kapasitas produksi yang cukup besar. Sementara pada pola berikutnya, yakni dengan menitipkan melalui Toko-toko Pengecer terlihat bahwa hubungan relasi pelaku usaha dengan toko pengecer masih sangat terbatas, sehingga transaksi pada pola ini tidak begitu banyak terjadi. Sedangkan pada pola hubungan langsung dengan konsumen dimungkinkan cukup banyak terjadi karena banyak lokasi usaha yang berada di pinggir jalan yang cukup strategis, terutama di jalur menuju lokasi-lokasi pariwisata yang banyak terdapat di Kota Batu. Bahkan tidak jarang terjadi,

Pelaku Usaha Agroindustri

Pedagang Perantara Toko Pengecer Konsumen : Jalur Umum : Jalur Alternatif Kelompok Usaha/ Koperasi

(18)

konsumen mencari sendiri produk yang diinginkan dengan membeli langsung kepada pelaku usaha agroindustri, karena dengan begitu konsumen bisa mendapatkan produk yang masih benar-benar fresh dan memperoleh harga yang jauh lebih murah. Kalaupun terdapat para tengkulak (pedagang pengecer) yang mengambil barang-barang produksi, mereka harus membayar kontan barang-barang yang diambilnya untuk kemudian dijual lagi. Hal ini terjadi terutama ketika ada peningkatan permintaan barang oleh pasar.

Keberadaan pelaku usaha yang menjual produknya melalui kelompok usaha terlihat cukup besar dalam struktur tataniaga tersebut. Karena, bagi pelaku usaha agroindustri keberadaan kelompok usaha dapat berfungsi untuk mengkoordinir dan memudahkan transaksi, menjamin kepastian harga produk agroindustri pangan olahan, serta sebagai pengendali harga produk terhadap para anggota kelompoknya. Hubungan yang terjalin antara kelompok usaha dengan pedagang perantara/pedagang besar dapat memberikan jaminan terlaksananya tataniaga yang efektif bagi anggota-anggotanya. Demikian pula bagi para pedagang perantara/pedagang besar, keberadaan kelompok usaha akan dapat memberikan jaminan adanya standarisasi kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan, serta jaminan adanya pasokan barang produk agroindustri yang lebih stabil.

5.1.7 Marjin Tataniaga

Analisis marjin tataniaga bermanfaat untuk mengidentifikasi struktur pasar yang terjadi di Kawasan Agropolitan Kota Batu. Struktur pasar dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan petani dalam menentukan harga jualnya. Di samping itu analisis marjin tataniaga juga dapat memperlihatkan konstribusi masing-masing lembaga pemasaran terhadap nilai tambah produk yang dihasilkan.

Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam sistem pemasaran terdapat empat fungsi pemasaran yang terjadi. Keempat fungsi pemasaran (marketing utilities) tersebut adalah fungsi perubahan kepemilikan (possesion utilities), fungsi perubahan bentuk (form utilities), fungsi perubahan waktu (time utilities) dan fungsi perubahan tempat (place utilities). Jika fungsi perubahan bentuk tidak terjadi, maka dapat dipastikan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak memberikan insentif bagi pelaku

(19)

pasar untuk meningkatkan nilai tambahnya, atau nilai tambah yang dihasilkan hanya akan terjadi dan dinikmati oleh pelaku pasar di luar Kawasan Agropolitan.

Fungsi perubahan bentuk pemasaran produk di Kawasan Agropolitan Kota Batu telah lama berlangsung dengan cukup dinamis. Produk-produk pertanian telah banyak diubah bentuknya menjadi produk-produk olahan yang mampu mendorong kelangsungan usaha agroindustri perdesaan serta memberikan nilai tambah produk yang dihasilkan.

Distribusi marjin tataniaga antara pelaku usaha agroindustri pangan olahan, pedagang perantara hingga toko-toko pengecer tergambar dalam Tabel 16:

Tabel 16. Distribusi Marjin Tataniaga Agroindustri Pangan Olahan

Komoditas Bahan Baku dari Petani Biaya Produksi

Keuntungan yang Diterima

Harga diterima Konsumen Pelaku Usaha Agroindustri Pedagang Perantara Toko Pengecer Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Kripik Kentang (kg) 7.800 19,5 2.290 5,7 15.930 39,8 9.860 24,6 14.500 36,2 40.000 100 Sari Apel (karton) 1.060 3,4 7.320 23,6 12.620 40,7 2.600 8,4 3.500 11,2 31.000 100 Jenang Apel (pak) 4.510 26,7 1.940 11,5 4.800 28,4 810 4,8 940 5,6 16.875 100 Sumber : Data Primer Diolah, 2006.

Dari Tabel 16, terlihat bahwa persentase terbesar diterima oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan sebagai keuntungan usaha, yaitu: untuk Kripik Kentang/kg, Rp.15.930 (39,8%); Sari Apel/karton, Rp.12.620 (40,7%); Jenang Apel/pak, Rp.4.800 (28,4%). Marjin keuntungan terbesar diperoleh pelaku usaha agroindustri dari usaha Sari Buah Apel sebanyak 40,7 %, kemudian Kripik Kentang 39,8%, dan Jenang Apel 28,4 %.

Kemudian secara berturut-turut, keuntungan usaha yang diperoleh toko pengecer terlihat lebih besar daripada keuntungan yang diterima pedagang perantara. Untuk Kripik Kentang/kg, keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.14.500 (36,2%), sedangkan bagian keuntungan yang diterima pedagang perantara sebesar Rp.9.860 (24,6%). Sari Apel/karton, keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.3.500 (11,2%), sedangkan bagian keuntungan yang diterima pedagang perantara sebesar Rp.2.600 (8,4%). Dan untuk Jenang Apel

(20)

keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.940 (5,6%), serta pedagang perantara Rp.810 (4,8%).

Distribusi tataniaga tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha memperoleh distribusi marjin keuntungan terbesar. Sedangkan pihak toko pengecer memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada pedagang perantara dikarenakan besarnya biaya operasional usaha yang dikeluarkan toko pengecer lebih besar daripada biaya distribusi barang yang ditanggung oleh pihak pedagang perantara. Pihak pedagang perantara memiliki resiko usaha yang lebih sedikit, karena ia hanya melakukan tugas distribusi barang saja. Keuntungan yang diperoleh pedagang perantara akan semakin besar, jika mereka dapat memasarkan atau mendistribusikan barang produk agroindustri dalam jumlah yang lebih besar, dan jika pedagang perantara mampu membuka peluang pasar yang lebih luas.

Bagian terbesar keuntungan usaha yang diterima oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan tersebut, menjadi bukti bahwa kegiatan usaha agroindustri dapat memberikan prospek yang cerah. Dari data responden mengenai latar belakang pekerjaan pelaku usaha agroindustri yang terdiri dari 55,26 % orang yang berprofesi sebagai petani, maka keadaan ini sudah cukup mencerminkan adanya kesadaran di kalangan masyarakat petani untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha agroindustri.

Petani yang berperan sebagai pelaku usaha agroindustri, akan dapat memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar. Hal ini terkait dengan keberadaan bahan baku utama usaha agroindustri yang berasal dari kegiatan usaha taninya sendiri. Adanya keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian budidaya dengan sektor industri pengolahan hasil-hasil pertanian, dalam jangka panjang akan dapat mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan agropolitan di Kota Batu.

Seperti dinyatakan oleh Tambunan (2003), kemampuan sektor pertanian sebagai lokomotif penarik pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi tidak hanya melalui keterkaitan produksi, tetapi juga melalui keterkaitan konsumsi atau pendapatan dan pada banyak kasus juga melalui keterkaitan investasi. Dalam bentuk-bentuk keterkaitan ekonomi tersebut, sektor pertanian mempunyai tiga fungsi utama. Pertama, sebagai sumber investasi di sektor-sektor non pertanian: surplus uang di sektor pertanian menjadi sumber dana investasi di sektor-sektor lain. Kedua,

(21)

sebagai sumber bahan baku atau input bagi sektor-sektor lain, khususnya agroindustri dan sektor perdagangan. Ketiga, melalui peningkatan permintaan di pasar output, sebagai sumber diversifikasi produksi di sektor-sektor ekonomi yang lain.

Pentingnya pertanian sebagai sumber pertumbuhan bagi sektor-sektor lainnya sangat bergantung pada besarnya keterkaitan produksi antara pertanian dengan sektor-sektor ekonomi tersebut. Dalam pertumbuhan kawasan agropolitan, sangat penting untuk diperhatikan pula tentang sejauhmana keterkaitan antara sistem permukiman dan sistem produksi. Keberadaan unit-unit usaha agroindustri yang tersebar di perdesaan-perdesaan akan dapat meningkatkan efisiensi jalur tataniaga produk-produk pertanian. Petani juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar disebabkan oleh berkurangnya biaya transportasi. Di sisi yang lain, petani akan sekaligus mendapatkan ”jalan keluar” atas termanfaatkannya semua produk-produk pertanian yang telah disortir, dimana hasil-hasil panen yang kurang memenuhi syarat-syarat kuantitatif seperti ukuran, besar dan berat, masih dapat diolah menjadi produk olahan yang memiliki nilai jual lebih.

Keberadaan pelaku usaha agroindustri yang umumnya merupakan penduduk asli (warga setempat) di perdesaan Kota Batu, akan memberikan dampak multiplier income yang sangat menopang pertumbuhan ekonomi kawasan agropolitan tersebut. Keuntungan yang mereka dapatkan dari usaha agroindustri pangan olahan, dapat digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi ataupun dialokasikan untuk kegiatan investasi lebih lanjut. Demikian pula dengan keberadaan para pedagang perantara maupun pemilik toko-toko pengecer yang mayoritas terdiri dari penduduk setempat. Sehingga, income di sektor agroindustri ini menjadi berlipat ganda manfaatnya menjadi income masyarakat.

5 5.2 Analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu

Dalam penelitian ini, analisis kelayakan usaha dilakukan terhadap kegiatan usaha agroindustri pangan olahan skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang banyak berkembang di Kota Batu. Layak tidaknya usaha dapat diukur melalui beberapa parameter pengukuran seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of

(22)

Return (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio). Parameter-parameter pengukuran tersebut berguna sebagai pedoman dalam memulai usaha yang akan dilakukan, sekaligus bermanfaat dalam pengembangan usaha secara berkesinambungan.

Hasil survei menunjukkan bahwa karakteristik usaha agroindustri yang menunjukkan adanya keterkaitan erat dengan keberadaan bahan baku lokal di Kota Batu antara lain sebagai berikut:

1. Usaha Kripik: Kripik Kentang, Kripik Apel, Kripik Nangka, Kripik Wortel, Kripik Kesemek, Kripik Salak dan Kripik Nanas.

2. Usaha Sari Buah: Sari Apel, Sari Jeruk, Sari Strobery, Cuka Apel, Sari Tamarillo, Sirup Tamarillo.

3. Usaha Jenang: Jenang apel, Jenang Strobery dan Jenang Nanas, Jenang Wortel. Selanjutnya profil usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu tergambar pada lampiran. Analisa usaha agroindustri pangan olahan difokuskan pada usaha Kripik Kentang (mewakili jenis Kripik), Sari Apel (mewakili Sari Buah), dan Jenang Apel (mewakili jenis Jenang/Dodol). Pemilihan terhadap ketiga komoditas usaha ini dilakukan karena jenis usaha tersebut kebanyakan dilakukan oleh para pelaku usaha agroindustri pangan olahan, di samping karena ketiga jenis usaha tersebut paling mudah didapatkan di pasaran atau outlet-outlet penyedia oleh-oleh di Kota Batu/Malang dan sekitarnya.

Asumsi tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 %. Asumsi ini diambil terkait dengan adanya dana skim pemerintah yang disalurkan bagi usaha kecil dan menengah dengan suku bunga berkisar antara 4 % sampai dengan 6 %. Sementara tingkat suku bunga perbankan selama penelitian ini dilakukan berkisar antara 10 % sampai dengan 16 %.

Berikut analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan yang umumnya diminati masyarakat Kota Batu, Jawa Timur.

5.2.1 Usaha Kripik Kentang

Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biaya-biaya investasi dan biaya-biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: wajan, pisau, mesin potong, sodet, cerok, ember, kompor & tabung gas, rak jemur, sealer; serta biaya ijin usaha.

(23)

Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian kentang dan minyak goreng, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi.

Dalam memulai usaha kripik kentang dengan kapasitas produksi 50 kg/hari, dibutuhkan beberapa komponen usaha yang penting antara lain adalah biaya perijinan. Menurut pelaku usaha yang sekarang sedang menggeluti usaha tersebut biaya perijinan untuk usaha makanan ringan adalah sebesar Rp. 200.000,-.

Sedangkan untuk pembelian bahan baku Kentang adalah sebesar Rp. 4.500,- /kg. Harga tersebut adalah merupakan harga Kentang dengan standart medium dengan kualitas yang sudah cocok untuk mendapatkan kripik Kentang yang bagus. Biaya pengolahan lain yang dibutuhkan adalah minyak goreng, dalam penelitian ini diasumsikan 1 kg kentang membutuhkan minyak goreng sebanyak 0,5 kg dengan harga Rp.13.000,-/kg. Sedangkan kebutuhan akan perangkat penggorengan lainnya pada umumnya para pengusaha menggunakan Gas LPG dengan alasan lebih praktis, stabil dalam harga dan kualitas kripik kentang lebih bagus.

Hasil analisis kelayakan usaha Kripik Kentang di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Kripik Kentang di Kota Batu

Uraian Tahun 0 1 2 3 4 5 Investasi 7,601,000 Cost 240,780,800 240,780,800 240,780,800 240,780,800 240,780,800 Pendapatan 429,000,000 429,000,000 429,000,000 429,000,000 429,000,000 Net Profit (7,601,000) 188,219,200 188,219,200 188,219,200 188,219,200 188,219,200 DF (10%) 1.00 0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 NPV (10%) (7,601,000) 171,108,364 155,553,058 141,411,871 128,556,246 116,869,315 705,897,853 DF (13%) 1.00 0.88 0.78 0.69 0.61 0.54 NPV (13%) (7,601,000) 166,565,664 147,403,242 130,445,347 115,438,360 102,157,841 654,409,454 IRR (%) 188.23 BC Ratio 93.87

(24)

Pada Tabel 17 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Kripik Kentang dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7,601,000 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp. 19,950,000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 705,897,853. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 93,87 artinya usaha Kripik Kentang ini memberikan manfaat sebanyak 93,87 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 188,23 % menunjukkan lebih besar dari discount rate 13 %. Dengan nominal keuntungan usaha sebesar Rp. 15,681,600/bulan atau Rp. 603,138/hari, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik.

Usaha produksi Kripik Kentang sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Sehingga, sangat wajar jika masyarakat Kota Batu sangat tertarik untuk membuka usaha produksi Kripik Kentang tersebut. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), asalkan tingkat pengembalian suku bunga tidak melebihi 188,23 %, artinya walaupun modal usaha ini 100 % berasal dari pinjaman Bank, kegiatan usaha masih bisa berkembang secara layak.

5.2.2 Usaha Sari Buah Apel

Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biaya-biaya investasi dan biaya-biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: mesin sealer, panci besar, panci sedang, wajan, sodet, irus, ember, kompor & tabung gas, pisau; serta biaya ijin usaha. Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian apel dan gula, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi.

Dalam memulai usaha pembuatan Sari Buah Apel dengan kapasitas bahan baku sebanyak 20 kg/hari, dibutuhkan biaya perijinan untuk usaha sari buah apel sebesar Rp. 200.000,-. Kemudian untuk pembelian bahan baku Apel (jenis Rom Beauty BS) adalah sebesar Rp. 2.500,-/ Kg. Harga tersebut adalah merupakan harga Apel sortiran dengan kualitas yang sudah cocok untuk mendapatkan sari apel yang diproduksi. Bahan lain yang dibutuhkan adalah gula putih dengan komposisi 20 % dari bahan baku apel, dengan harga Rp.6.800,-/kg. Sedangkan kebutuhan akan

(25)

peralatan dapur sebesar kurang lebih Rp. 1.000.000,- dan pembelian 2 (dua) buah mesin sealer seharga @ Rp. 750.000,-

Usaha pembuatan sari buah apel dengan volume produksi 20 kg setiap harinya membutuhkan 3 orang tenaga kerja dengan upah bersih Rp. 20.000/hari. Biaya

pengemasan @ Rp. 8.500/karton. Biaya Transportasi sekali order sebesar Rp. 100.000 menurut keterangan rata-rata order sebanyak sekali setiap minggunya.

Hasil analisis kelayakan usaha Sari Apel di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Sari Apel di Kota Batu

Uraian Tahun 0 1 2 3 4 5 Investasi 7,460,500 Cost 192,994,100 192,954,100 192,954,100 192,954,100 192,954,100 Pendapatan 327,600,000 327,600,000 327,600,000 327,600,000 327,600,000 Net Profit (7,460,500) 134,605,900 134,645,900 134,645,900 134,645,900 134,645,900 DF (10%) 1.00 0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 NPV (10%) (7,460,500) 122,369,000 111,277,603 101,161,458 91,964,961 83,604,510 502,917,033 DF (13%) 1.00 0.88 0.78 0.69 0.61 0.54 NPV (13%) (7,460,500) 119,120,265 105,447,490 93,316,363 82,580,852 73,080,400 466,084,870.49 IRR (%) 187.51 BC Ratio 68.41

Sumber: Kuisioner dan Data Sekunder (diolah)

Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Sari Apel dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7,460,500 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp.15,994,000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 502.917.033. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 68,41 artinya usaha Sari Apel ini memberikan manfaat sebanyak 68,41 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 187,51 % menunjukkan lebih besar dari discount rate 13 %, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik.

Usaha produksi Sari Apel sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), usaha Sari Apel masih sangat layak berkembang dan menguntungkan. Asalkan tingkat suku bunga tidak melebihi 187,51% dan pada

(26)

kenyataannya tingkat suku bunga Bank saat ini adalah 13 % sampai 24 %, artinya walaupun usaha ini 100% berasal dari pinjaman Bank bisa berkembang secara layak.

5.2.3 Usaha Jenang Apel

Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biaya-biaya investasi dan biaya-biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: wajan besar, ember, mesin giling, sodet kayu besar, baki tatakan, sealer kecil, kompor & tabung gas, pisau; serta biaya ijin usaha. Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian apel, gula, danm tepung terigu, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi.

Dalam memulai usaha pembuatan Jenang Apel dengan kapasitas bahan baku sebanyak 30 kg/hari, dibutuhkan biaya perijinan untuk usaha Jenang Apel sebesar Rp. 200.000,-. Kemudian untuk pembelian bahan baku Apel kualitas sedang adalah sebesar Rp. 2.500,-/ Kg. Bahan lain yang dibutuhkan adalah gula putih dengan harga Rp.6.800,-/kg. Dan tepung dengan harga Rp. 4.000,-/kg.

Usaha pembuatan Jenang Apel dengan volume produksi 30 kg setiap harinya membutuhkan 3 orang tenaga kerja dengan upah bersih @ Rp.20.000,-./hari. Biaya pengemasan @ Rp.781/pak (1 karton = 48 pak). Biaya Transportasi sekali order sebesar Rp. 100.000,- menurut keterangan rata-rata order sekali setiap minggunya.

Hasil analisis kelayakan usaha Jenang Apel di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jenang Apel di Kota Batu

Uraian Tahun 0 1 2 3 4 5 Investasi 7,038,000 Cost 106,337,600 106,297,600 106,297,600 106,297,600 106,297,600 Pendapatan 152,100,000 152,100,000 152,100,000 152,100,000 152,100,000 Net Profit (7,038,000) 45,762,400 45,802,400 45,802,400 45,802,400 45,802,400 DF (10%) 1.00 0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 NPV (10%) (7,038,000) 41,602,182 37,853,223 34,412,021 31,283,655 28,439,687 166,552,768 DF (13%) 1.00 0.88 0.78 0.69 0.61 0.54

(27)

NPV (13%) (7,038,000) 40,497,699 35,869,998 31,743,361 28,091,470 24,859,708 154,024,234.90

IRR (%) 182.84 BC Ratio 24.66

Sumber: Kuisioner dan Data Sekunder (diolah)

Pada Tabel 19 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Jenang Apel dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7.038.000 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp. 8.779.000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 166.552.768. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 24,66 artinya usaha Sari Apel ini memberikan manfaat sebanyak 24,66 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 182,84 % menunjukkan lebih besar dari discount rate 13 %, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik.

Usaha produksi Jenang Apel sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Sehingga, sangat wajar jika masyarakat Kota Batu sangat tertarik untuk membuka usaha produksi Jenang Apel tersebut. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), usaha Jenang Apel masih sangat layak berkembang dan menguntungkan. Asalkan tingkat pengembalian suku bunga tidak melebihi 182,84 % dan pada keyataannya tingkat suku bunga Bank saat ini adalah 13 % sampai 24 %, artinya walaupun usaha ini 100% berasal dari pinjaman Bank masih bisa berkembang secara layak. Tingginya nilai Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa komoditas pangan olahan tersebut memiliki daya saing yang tinggi.

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu

Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai coeffisients, p-value dan odds rasio-nya. Dan yang paling utama odds rasio. Rasio Odds adalah ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas (variabel bebas) terhadap respon jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio odds-nya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio odds-nya akan lebih kecil dari satu (Hosmer, 1989).

(28)

Selanjutnya, hasil regresi logit faktor yang mempengaruhi peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Regresi Logit Faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu

Variabel

bebas Keterangan Variabel

Coefficients Sig Odd Ratio Penduga β SE Coef Konstanta Konstanta 6 7212 0.999 X1 Umur 0.1975 0.1146 0.085 1.22 X2 Jenis Kelamin 1.934 1.500 0.197 6.92 X3 Pendidikan Formal 2.139 1.093 0.050 8.49 X4 Pendidikan Informal -0.825 1.338 0.537 0.44 X5 Lama Usaha 0.03316 0.09329 0.722 1.03

X6 Jumlah Tenaga Kerja -0.19638 0.09738 0.044 0.82

D1 Dummy Status Kepemilikan 2.204 1.380 0.110 9.06 D2 Dummy Informasi Harga 4.454 1.939 0.022 85.97 D3 Dummy Prosedur Transaksi -1.144 1.244 0.358 0.32

D4 Dummy Resiko Tidak

Terjual

-24 7212 0.997 0.00

Sumber : Data Primer Diolah, 2006.

Keterangan : Variabel terikat: Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu *) Signifikan pada α <5 % **) Signifikan pada α <10 % ***) Signifikan pada α <1 %

Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 20 diketahui bahwa peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu secara signifikan dipengaruhi oleh: Umur, Pendidikan Formal, Jumlah Tenaga Kerja, dan Informasi Harga.

Hasil analisis pada variabel bebas pertama (umur), bahwa umur secara signifikan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Senioritas (tingginya umur) cenderung mendorong peningkatan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Dengan demikian, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan yang terjadi akibat pertambahan umur cenderung meningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya pada usaha-usaha yang dikelola pengusaha-pengusaha muda, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu cenderung rendah.

(29)

Hal ini adalah suatu konsekuensi logis, karena semakin bertambah umur anggota kelompok usaha maka akan mempengaruhi secara signifikan terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila umur semakin bertambah maka peran seseorang anggota kelompok usaha terhadap kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan semakin berperan. Apabila terjadi peningkatan umur maka akan mempengaruhi terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Karena umur bersifat inelastis terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebagai karakteristik individu pelaku usaha, dengan meningkatnya umur berarti memiliki korelasi positif terhadap partisipasi pelaku usaha dalam kelembagaan formal.

Pendidikan formal pelaku usaha secara signifikan akan meningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila terjadi peningkatan pendidikan formal, maka akan terdapat peningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu sebanding dengan meningkatnya pendidikan formal. Dengan demikian, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan yang terjadi akibat pendidikan formal cenderung meningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya setiap berkurangnya tahun pendidikan formal, maka akan menurunkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu.

Hal ini adalah suatu konsekuensi logis, karena dengan semakin meningkatnya strata pendidikan formal anggota kelompok usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu menyebabkan semakin tingginya produktivitas, sehingga peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu menjadi lebih efisien dan efektif. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam inovasi usaha agroindustri. Semakin tinggi strata pendidikan formal yang dimiliki oleh anggota agroindustri pangan olahan di Kota Batu, mencerminkan kemampuan yang dimiliki oleh anggota kelompok usaha dalam menerapkan inovasi dan manajemen usaha yang lebih baik.

Hasil analisis terhadap variabel jumlah tenaga kerja, bahwa jumlah tenaga kerja secara signifikan akan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila jumlah orang tenaga kerja meningkat, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan peningkatan.

(30)

Dengan demikian jumlah tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya setiap berkurangnya jumlah orang tenaga kerja, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan mengalami penurunan.

Jumlah tenaga kerja produktif merupakan faktor utama dalam bidang usaha agroindustri pangan olahan. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu, akan menunjukkan kapasitas produksi usaha agroindustri, nilai investasi usaha serta seberapa besar produksi yang dapat dihasilkan dalam kegiatan usaha agroindustri pangan olahan tersebut.

Sedangkan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki berkorelasi negatif terhadap keterlibatan pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Sesuai dengan fakta di lapangan bahwa jumlah tenaga kerja yang semakin banyak memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas jaringan pemasaran, sehingga dengan pertimbangan ini biasanya membuat pelaku usaha menolak terlibat dalam kelembagaan formal yang biasanya justru membuat batasan jumlah kapasitas produksi bagi anggota-anggotanya.

Selanjutnya, hasil analisis terhadap informasi harga secara signifikan akan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila akses terhadap informasi harga semakin mudah diperoleh, maka akan mempengaruhi terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu yang mengalami peningkatan. Dengan demikian akses terhadap informasi harga merupakan salah satu faktor penting yang mendukung dalam peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya apabila akses terhadap informasi harga semakin sulit, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan menurun.

Keadaan ini menunjukkan jika akses terhadap informasi harga semakin sulit diperoleh, akan mempengaruhi terhadap rendahnya tingkat partisipasi anggota kelompok usaha. Dan sebaliknya jika akses terhadap informasi harga mudah didapat maka akan mempengaruhi terhadap tingkat partisipasi anggota kelompok usaha dan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu.

Selanjutnya, dummy informasi harga (tahu/tidak tahu) sebagai salah satu karakteristik biaya transaksi, menunjukkan bahwa informasi harga termasuk faktor

(31)

yang mendorong pelaku usaha untuk terlibat dalam kelembagaan formal kelompok usaha agroindustri pangan olahan. Sangat masuk akal jika pelaku usaha bersedia terlibat dalam kelembagaan formal, ini diharapkan dapat memberikan kepastian adanya informasi harga yang mereka butuhkan dalam memasarkan produk-produk agroindustri yang dihasilkan.

Di sisi yang lain, dari observasi langsung di lokasi penelitian menunjukkan adanya gambaran telah meningkatnya kemandirian pelaku usaha dalam menjalankan usaha agroindustri pangan olahan tanpa terlalu bergantung kepada kelompok usaha/koperasi yang ada. Keterlibatan pelaku usaha agroindustri dalam kelembagaan formal berlangsung secara terbatas, terlihat dari sedikitnya keberadaan kelompok usaha/koperasi yang ada di Kawasan Agropolitan Kota Batu.

Gambar

Tabel 15. Perkembangan Kelembagaan Agroindustri Kota Batu tahun 2003-2004
Gambar 3. Jalur Pemasaran Agroindustri Pangan Olahan
Tabel 16. Distribusi Marjin Tataniaga Agroindustri Pangan Olahan
Tabel 17. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Kripik Kentang di Kota Batu
+4

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun media sosial adalah platform yang sangat baik untuk mempromosikan musik Anda, Anda harus benar-benar memiliki situs web sendiri.. Ini akan membantu

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek, baik yang bersifat interen maupun eksteren sehingga manifestasi

Harga beras telah turun dari nilai puncaknya pada akhir tahun 2010 tetapi peningkatannya hingga bulan Maret 2011 tampaknya akan menghalangi manfaat pertumbuhan ekonomi

Pada 4 Desember meskipun flare M6.1 yang terjadi tidak berasosiasi dengan peristiwa CME tetapi karena keberadaan flare pada daerah yang sangat memungkinkan terjadinya

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah persepsi mahasiswa tentang implementasi undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang mengemukakan

Berdasarkan hasil analisis data berupa hasil tes yang diberikan kepada siswa dapat ditarik kesimpulan bahwa kesalahan- kesalahan siswa dalam menyelesaikan

Analisa Keseluruhan Dimensi Asosiasi Merek Dari Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa Tunjungan Plaza menjadi shopping mall yang diasosiasikan paling positif oleh

(3) Berdasarkan hasil penelitian terkait implementasi kantin kejujuran dalam melatih karakter jujur peserta didik di SMA Negeri 6 Manado di nilai belum sepenuhnya