• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi Sapi Brahman Cross

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi Sapi Brahman Cross"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Reproduksi Sapi Brahman Cross

Cara Mengukur Pe rformance Reproduksi

Menurut Toelihere (1994) reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan suatu individu tapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Proses reproduksi ini baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas (dewasa kelamin), dimana kejadian ini diatur oleh sistem endokrin (Cole dan Cupps 1977).

Sapi merupakan jenis ternak yang tergolong dalam famili Bovidae atau ruminansia, memiliki siklus reproduksi kompleks dan terintegrasi. Berbagai tingkatan fisiologis yang lebih dikenal dan lebih diperhatikan adalah: pembentukan sel kelamin (gamet) yang sehat dan normal, pelepasan gamet-gamet tersebut dari gametogenik, perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina (fertilisasi), fusi antara kedua pronuklei, pertumbuhan, d iferensiasi dan perkembangan zigot sampai dengan kelahiran normal (Toelihere 1994).

Untuk terjadinya proses reproduksi, dimulai dengan aktifitas organ reproduksi. Hewan jantan memiliki organ reproduksi yang meliputi organ kelamin primer atau gonad yaitu testis, organ kelamin pelengkap yang terdiri dari epididimis, duktus deferens, kelenjar vesikularis, kelenjar prostate dan kelenjar bulbouretralis, kemudian dilengkapi dengan organ untuk kopulasi yaitu penis (Noakes 1988).

Hewan betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari organ kelamin primer dan sekunder. Organ kelamin primer mencakup ovarium yang berfungsi untuk menghasilkan ovum dan hormon kelamin betina. Organ kelamin sekunder mencakup saluran reproduksi yang terdiri dari tuba fallopii (oviduct), uterus, serviks, vagina dan vulva yang berfungsi untuk menyalurkan dan menerima sel kelamin jantan atau betina, serta sangat berperan dalam proses kelahiran (Toelihere 1994).

Seluruh aktifitas reproduksi baik pada hewan jantan maupun betina dipengaruhi oleh daya kerja hormon. Tetapi pada hewan betina kerja hormon ini

(2)

sangat kompleks, mulai dari terjadinya siklus b irahi, ovulasi, fertilisasi sampai dengan proses kelahiran fetus. Cara mengukur performance reproduksi adalah dengan mengukur angka kebuntingan atau Conception Rate (CR), Service per

Conception (S/C) dan Calving Interval (CI) (Salisbury dan Vandemark 1985).

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45 – 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Karena pengaruh ketiga kombinasi tersebut, angka konsepsi dapat mencapai 64%. Dengan teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut.

Service per Conception (S/C)

Nilai S/C diperoleh dari banyaknya servis atau pelayanan IB dibagi dengan jumlah sapi yang bunting (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) nilai S/C normal berkisar antara 1,6 – 2,0. Menurut Vandeplassche (1982) nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

Calving Interval (CI)

Calving Interval (CI) adalah jarak antara dua kelahiran ya ng berurutan yang dapat dihitung dengan menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi konsepsi kembali (Vanderplassche 1982). Vanderplassche melanjutkan bahwa jarak optimum untuk CI sapi adalah 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang.

(3)

Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan Pubertas

Definisi pubertas pada ternak peliharaan adalah bila ternak jantan telah menghasilkan spermatozoa hidup pada semennya dan dapat mengawini betina. Timbulnya pubertas pada hewan jantan ditandai oleh sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan seksual, kesanggupan berkopulasi, dan adanya sperma hidup di dalam ejakulat. Timbulnya pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya (Toelihere 1981).

Tidak ada satu kesamaan tentang definisi pubertas pada ternak jantan, oleh karena itu umur pubertas pada ternak jantan yang dilaporkan pada berbagai laporan ilmiah sangat bervariasi, bergantung pada kriteria yang dipakai untuk mendefinisikan pubertas serta faktor- faktor yang mempengaruhi saat terjadi pubertas. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan pubertas pada ternak jantan, tetapi faktor genetik, nutrisi dan sosial merupakan hal yang terpenting (Tomaszewska et al. 1991).

Faktor genetik biasanya sebagian bertanggung jawab terhadap variasi waktu terjadinya pubertas pada ternak jantan. Dalam suatu daerah tertentu, galur yang lebih kecil umumnya lebih cepat mencapai pubertas dibandingkan galur yang lebih besar. Sebagai contoh, sapi Jersey mencapai pubertas pada umur yang lebih muda (6-8 bulan) dibandingkan sapi Santa Gertrudis (14-18 bulan) bila dipelihara pada kondisi yang sama. Sapi jantan silangan mencapai pubertas pada umur yang lebih muda daripada sapi jantan murni (Tomaszewska et al. 1991).

Nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang mengatur saat terjadinya pubertas pada ternak. Ternak muda biasanya lebih sensitif terhadap pengaruh nutrisi dibandingkan dengan ternak dewasa sebab ternak muda sedang dalam masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, kekurangan nutrisi terutama energi akan menghambat perkembangan seksual dan pubertas. Pengaruh tersebut melalui pertumbuhan badan secara umum dan melalui fungsi endokrin. Sapi jantan yang diberi pakan masing- masing 100% dan 60% TDN mencapai pubertas pada umur 11 bulan dan 12 bulan pada bobot badan masing- masing 267 kg dan 160 kg (Tomaszewska et al. 1991).

(4)

Libido dan Kemampuan Mengawini

Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa sistem manajemen setelah penyapihan dapat berpengaruh terhadap tingkah laku sosial dan seksual sapi Brahman jantan. Sapi jantan yang dilepas pada padang penggembalaan tampaknya malu- malu dan lambat mendekati sapi betina birahi dengan waktu reaksinya 40,0 ± 26, 3 menit.

Libido yang dinyatakan pada waktu tertentu mungkin tidak menggambarkan potensi pejantan tersebut karena libido sangat tergantung pada faktor- faktor lingkungan disamping faktor- faktor genetika. Misalnya apabila seekor pejantan berulang- ulang berkopulasi dengan betina yang sama pada situasi yang tidak berubah, sikap acuh tak acuh secara seksual mungkin terjadi, suatu keadaan yang disebut satiasi atau kepuasan seksual (Toelihere 1994).

Beberapa cara telah dipergunakan untuk menentukan libido: (a) interval antar kopulasi yang berturut-turut ; (b) jumlah kopulasi untuk mencapai kepuasan seksual apabila stimulus lingkungan tidak berubah; (c) waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali sesudah satiasi seksual terhadap stimulus yang sama; atau (d) derajat peninggian respons seksual terhadap hewan baru sebagai stimulus (Toelihere 1994).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) contoh masalah rendahnya libido dan persentase beranak di Indonesia diperlihatkan dalam tabel 1.

Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat di Indonesia

Bangsa % beranak %pejantan yang tidak aktif

Brahman murni Persilangan Brahman Santa Gertrudis Droughmaster Persilangan Sahiwal 22,4 25,3 23,5 35,4 58,8 20,5 50,8 33,3 9,5 7,1 Sumber: Tomaszewska et al. (1991)

(5)

Faktor yang Mempe ngaruhi Fertilitas Spermatozoa

Hewan jantan setiap harinya dapat memproduksi spermatozoa dalam jumlah yang banyak. Volume ejakulat untuk sapi adalah 5-8 ml/ejakulat, dengan jumlah spermatozoa sebanyak 3 x 109 (Toelihere 1994).

Untuk keberhasilan perkawinan atau inseminasi buatan, semen harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang baik. Kua ntitas, terutama kualitas semen yang menurun memperkecil pula angka konsepsi yang dicapai. Namun demikian tidak semua faktor yang mempengaruhi angka konsepsi pada ternak diketahui dengan gamblang. Beberapa faktor yang dahulu dianggap menentukan kini mungkin tidak berarti. Namun secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas spermatozoa diantaranya adalah pakan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi, penyakit, umur dan herediter (Toelihere 1994).

Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Kunci Kesuburan

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan yang baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupannya. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi pr imer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, cerviks, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu digolongkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan proses reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu (Salisbury dan Vandemark 1985).

Produksi hormon oleh ovarium merupakan sebagai peranan penting yang kedua. Fungsi ini sangat penting dalam memelihara aktifitas kelamin sapi betina. Keinginan untuk kawin, ovulasi dan banyak proses lainnya sehubungan dengan pengembangan, pemeliharaan dan pengeluaran anak semuanya adalah fungsi yang dipengaruhi aktifitas hormon dari ovarium. Proses produksi hormon ovarium

(6)

dikendalikan terutama oleh hormon gonadotropin dari hipofisa. Hormon- hormon ini terdiri dari FSH (Follicle Tropic Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan LTH (Luteo Tropic Hormone) atau prolactin, merangsang pertumbuhan folikel-folikel, menyebabkan ovulasi dan pembentukan corpus luteum, dan meyebabkan corpus luteum bersekresi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Siklus Reproduksi Siklus Estrus

Siklus estrus adalah jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus yang berikutnya, dan estrus itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk menerima pejantan untuk aktivitas reproduksi (Partodiharjo 1987). Interval ini disertai dengan perubaha n fisiologis di dalam saluran kelamin betina. Aktifitas siklus estrus diatur oleh suatu mekanisme endokrin, dimana fase estrus ditandai dengan banyaknya hormon estrogen yang disekresikan oleh folikel de graff preovulatorik (Hafez 1980).

Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) siklus estrus dapat diklasifikasikan menjadi empat fase, periode tersebut dikenal dengan fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Disamping fase tersebut juga dapat dikelompokan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus. Waktu terjadinya pada hari ke nol fase estrus diikuti oleh fase metestrus pada hari ke 1-4, kemudian untuk fase diestrus pada hari ke 5-8 bersamaan dengan terjadinya fase luteal. Sedangkan fase proestrus terjadi pada hari ke 18-20 sebelum estrus, dimana siklus estrus pada sapi dapat terjadi dalam waktu 21 hari setelah beranak (Lech et al. 2000).

(7)

Ga mbar 1. Siklus Estrus (Su mber: http://cal.vet.upenn.edu/projects/fieldservice/Dairy/ Graph2.jpg )

Proestrus merupakan fase sebelum estrus yang ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem reproduksi dan terjadi perkembangan folikel atas pengaruh follicle stimulating hormon (FSH) (Arthur et al. 1989). Fase ini merupakan fase persiapan yang berlangsung 2-3 hari (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada akhir fase ini hewan betina biasanya memperlihatkan perhatian pada hewan jantan (Toelihere 1994) dan juga terjadi perubahan tingkah laku seperti gelisah dan mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa didengar (Partodihardjo 1987).

Estrus adalah suatu periode dimana adanya keinginan untuk kawin yang ditandai oleh manifestasi birahi secara fisik, seperti sapi kelihatan tidak tenang, vulva membengkak serta mengeluarkan lendir jernih dan kental (Salisbury dan Vandemark 1985). Keadaan ini akan terlihat pada sikap betina yang siap menerima pejantan untuk melakukan kopulasi. Ovulasi pada sapi terjadi sekitar 12 jam setelah akhir estrus (Arthur et al. 1989).

Metestrus atau postestrus terjadi segera setelah fase estrus berakhir. Fase ini ditandai dengan berakhirnya birahi puncak, dimana bekas folikel setelah proses ovulasi mengalami penyusutan dan pengeluaran lendir terhenti (salisbury dan Vandemark 1985), pada fase ini dapat terjadi pendarahan pada awal metetrus, hal

(8)

ini terjadi karena pada epithel karunkula uterus sangat hiperemis sehingga dapat terjadi hemoragis kapiler karena berkurangnya jumlah estrogen (Toelihere 1994).

Diestrus merupakan periode corpus luteum (CL) mulai berkembang sempurna dan dipengaruhi oleh hormon progesteron yang dihasilkan dan tampak pengaruhnya pada dinding uterus (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada fase ini kelenjar-kelenjar pada uterus mengalami hiperplasia dan hipertropia (Arthur et al. 1989).

Lamanya siklus estrus pada sapi menurut Chapman dan Caside dalam Salisbury dan Vandemark (1985), berkisar antara 18-24 hari. Sedangkan lama estrus pada sapi menurut Hammond dalam Salisbury dan Vandemark (1985) antara 6-30 jam dengan rataan sekitar 17 jam. Menurut Perry (1960) dalam Toelihere (1993) menyatakan lamanya estrus pada sapi adalah 18 jam.

Musim Kawin

Hewan- hewan betina beberapa spesies memperlihatkan siklus reproduksi yang terus-menerus sepanjang tahun apabila tidak terjadi kebuntingan. Pada hewan-hewan betina spesies lain, kejadian siklus berahi yang berturut-turut pada betina yang tidak bunting hanya terbatas pada musim tertentu dalam satu tahun, yang disebut “musim kawin” atau breeding season (Toelihere 1994).

Sapi adalah pekawin terus- menerus (continuous breeders) sepanjang tahun. Manusia kini dapat mengendalikan msim kawin pada sapi untuk kepentingan ekonominya. Sapi-sapi betina biasanya dikawinkan untuk menghasilkan anak pada musim semi karena rumput yang berlimpah selama musim tersebut dan selama musim panas, dan anak-anak sapi tersebut sudah cukup besar untuk disapih pada musim gugur (Toelihere 1994).

Menurut Toelihere (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi musim kawin diantaranya karena suhu udara, lamanya siang hari dan jumla h makanan yang berbeda-beda dari satu musim ke musim yang lainnya.

Program B reeding

Potensi untuk meningkatkan potensi reproduksi ternak betina lebih rendah daripada ternak jantan. Hal ini karena jumlah sel telur yang tersedia sangat

(9)

terbatas dan setelah beranak tidak ada lagi produksi sel telur baru seperti halnya produksi spermatozoa yang terus- menerus selamahidup ternak jantan. Lebih lanjut, proses yang perlu dikontrol pada ternak betina adalah lebih rumit (Tomaszewska et al. 1991).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) terdapat 9 aspek fisiologis betina dalam batas-batas tertentu yang dapat dikontrol, diantaranya:

(1) mengurangi interval generasi dengan jalan mempercepat pubertas dan/atau memperpendek periode laktasi tanpa berahi.

(2) meningkatkan ovulasi untuk alih janin atau kawin alam. (3) sinkroniasi berahi dan ovulasi pada kelompok ternak. (4) Deteksi berahi.

(5) Diagnosis kebuntingan.

(6)Pengendalian waktu beranak dan menurunkan tingkat kematian sekitar kelahiran.

(7) Mengurangi kematian embrio

(8) Induksi berahi dan ovulasi di luar musim kawin.

(9) pembuahan secara invitro, alih janin, dan teknik mutakhir lainnya.

Manaje men Kelompok Body Condition Scores (BCS)

Body Condition Scores (BCS) adalah angka yang dipergunakan untuk

mengukur kegemukan atau komposisi tubuh sapi. Peternak perlu untuk mengkalibrasi sistem yang mereka pergunakan dalam peternakan dengan ternaknya sendiri untuk melihat BCS lebih tepat guna (Glaze 2009).

BCS umumnya dipakai angka 1-9 untuk mengukur dari yang paling kurus hingga yang paling gemuk. Angka 1-3 untuk ukuran kurus, 4 untuk ukuran sedang, 5-7 untuk ukuran optimum dan 8-9 untuk ukuran gemuk (Glaze 2009).

Menurut Glaze (2009) terdapat hubungan antara BCS dengan interval beranak, persentasi kebuntingan, persentasi keb untingan pasca penyapihan dan kekuatan anak untuk berdiri segera setelah lahir (Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5).

(10)

Tabel 2 Efek dari BCS terhadap Postpartum Interval

Skor Postpartum Interval (hari)

3 4 5 6 7 88,5 69,7 59,4 51,7 30,6 Sumber: Glaze (2009)

Tabel 3 Efek BCS terhadap persentasi kebuntingan

Skor Kebuntingan (%) 4 5 6 7 50,0 81,0 88,0 90,0 Sumber: Glaze (2009)

Tabel 4 Hubungan BCS dengan rata-rata sapi bunting kembali setelah penyapihan

Skor Persentasi 3 atau kurang 4 5 6 7 atau lebih 75,5 85,4 93,8 95,6 95,6 Sumber: Glaze (2009)

(11)

Tabel 5 Hubungan BCS dengan kekuatan anak untuk berdiri pada kelahiran

Skor Kekuatan untuk berdiri (menit)

3 4 5 6 59,9 63,6 43,3 35,0 Sumber: Glaze (2009)

Energi Untuk Breeding

Masalah gangguan reproduksi disebabkan oleh banyak kasus, dan sering mengalami kesulitan bila peneliti dihadapkan pada manfaat pakan yang digunakan untuk reproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Energi. Pemberian energi yang tidak cukup (kekurangan pakan) barangkali

merupakan penyebab terbesar terjadinya gangguan reproduksi pada sapi karena faktor makanan. Percobaan pertama di Missouri yang menunjukan bahwa sapi-sapi dara tipe perah dengan pemberian makan yang berlebih, mencapai dewasa kelamin lebih awal daripada sapi dara yang diberi makanan lebih ringan. Pengaruh yang menguntungkan dari pemberian konsentrat yang kaya akan protein dan karbohidrat dan campuran mineral kepada sapi dara di daerah lapangan pengembalaan yang miskin di Nigeria Utara, telah dilaporkan. Pada penelitian ini 27 dari 32 sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai dewasa kelamin dan menjadi bunting pada tahun percobaan, sedangkan hanya 3 dari 19 sapi dara sebagai kontrol yang hanya digembalakan saja mencapai masak kelamin dan menjadi bunting. Kenaikan berat badan selama tahun percobaan bagi sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai 2x lipat dibandingkan dengan pada kelompok yang hanya digembalakan dan kelompok yang digembalakan dengan diberi tambahan campuran mineral (Salisbury dan Va ndemark 1985).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) pakan dan sistem pemberian pakan tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi ternak. Penampilan reproduksi ternak di seluruh dunia bervariasi sangat luas disebabkan oleh banyaknya perbedaan genetika jenis ternak, beragamnya sistem pengelolaan, kondisi iklim, dan sosial ekonomi.

(12)

Kontrol Perkawinan

Manusia memanipulasi proses reproduksi ternak untuk meningkatkan kemampuan reproduksi dan menggunakan seleksi genetika untuk memperoleh ternak yang mempunyai kemampuan produksi tertinggi dan paling menguntungkan. Untuk melaksanakan hal ini, beberepa faktor yang tercakup dalam pubertas, proses perkawinan, dan saat mulainya musim kawin (di negara-negara sub-tropis) harus dimengerti dengan jelas. Reproduksi dikontrol oleh faktor- faktor dari eksternal dan internal (Tomaszewska et al. 1991).

Penggunaan pewarna ekor untuk mendeteksi berahi telah mulai dugunakan. Cat luminous dioleskan pada ekor sapi betina pada salah satu sisi ekornya. Sapi betina yang dalam keadaan berahi akan sering dinaiki dan cat akan kabur dari salah satu sisi ekornya. Dengan menggunakan metode ini kejadian berahi yang tidak dideteksi lebih rendah dari 5% (Tomaszewska et al. 1991).

Manaje men Dara

Pada tahap awal kehidupan sapi dara, pertumbuhan fisik nya telah diarahkan untuk tujuan produksi susu atau produksi di kemudian hari. Pada sapi dara yang masih muda perkembangan organ reproduksi sangat tergantung pada perkembangan fisik. Karena periode menjelang pubertas dan beberapa waktu sesudahnya tak produktif, banyak kalangan para peternak memandang bahwa periode itu tidak penting untuk diperhatikan di bidang pemeliharaan sapi bertumbuh kurang baik, tidak berkembang dan terlambat mencapai umur yang produktif dan reproduktif. Selain itu pakan yang berlebihan dapat berakibat terlalu gemuk, tidak ekonomis dan dianggap sebagai bahaya potensial terhadap alat reproduksi dan kemampuan bereproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Pertumbuhan Normal

Bila sapi dara diberi makan dan dipelihara sewajarnya, ia akan tumbuh sesuai dengan sifat-sifat bangsanya. Terdapat perbedaan angka pertumbuhan diantara bangsa sapi, dan garis keturunan tertentu di dalam bangsa akan bervariasi dari nilai rata-rata yang diketemukan (Salisbury dan Vandemark 1985).

(13)

Pengaruh Asupan Pakan

Telah diketahui bahwa pertumbuhan sapi dara dikendalikan oleh kualitas dan sifat makanan yang diberikan. Penelitian muthakhir yang lebih mendetil menyimpulkan dari laporan- laporan terdahulu dan menunjukan bahwa meskipun angka pertumbuhan terganggu karena kurang makan, tetapi besar badan akhir akan sama bila sapi itu diberi makan cukup untuk melanjutkan pertumbuhan dan produksi sesudah beranak pertama.

Umur Pube rtas

Bangsa, tingkat makanan, iklim dn mungkin faktor- faktor lainnya mempengaruhi umur pubertas. Karena begitu banyak faktor- faktor yang mempengaruhinya, maka umur berahi pertama yang normal dapat mencakup kisaran yang luas (Salisbury dan Vandemark 1985).

Program Breeding dan Non Breeding Untuk Pe rbaikan Produksi Daging Nilai Genetik Sapi Brahman Cross

Menurut Tunner (1997) sapi Brahman Cross pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford dan Shorthorn. Sapi Brahman Cross mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25 % darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi Brahman Cross lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir lebih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya.

Sapi Brahman Cross memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%; (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan mencapai 295 kg; (3) angka mortilitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dari mortalitas dewasa sebesar 0,6%; (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif; (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit

(14)

sangat baik; serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Tunner 1997).

Ga mbar 2. Sapi Brah man Cross (sumber: Arsip PT WMP c ianju r)

Inseminasi Buatan Pada Sapi

Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknik untuk perbaikan mutu genetika. Semen dari seekor sapi jantan dapat dipergunakan untuk menginseminasi sampai 1000 ekor sapi betina. Di Selandia Baru, seekor sapi jantan yang telah diketahui unggul secara genetika dapat menghasilkan 100.000 anak per tahun. Dibandingkan dengan data tersebut, perbaikan melalui superovulasi pada ternak betina dan embrio transfer (alih janin) tidak ada artinya (Tomaszewska et al. 1991).

Tehnik Inseminasi buatan telah diperkenalkan di Indonesia sejak permulaan tahun 50an (Toelihere 1994).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) keuntungan IB antara lain: hanya pejantan yang baik yang dapat dipergunakan meningkatkan seleksi diferensial yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan genetika yang lebih cepat, dapat menghemat biaya pemeliharaan pejantan lain, penularan penyakit kelamin dari ternak yang di-IB dapat dibatasi atau dicegah.

Sistem Breeding

(15)

Walaupun ternak sudah memasuki masa puber, tetapi belum boleh dilakukan tindakan-tindakan perkawinan, mengingat ternak yang baru masuk masa puber masih memerlukan pertumbuhan tubuh untuk mencapai dewasa tubuh, sehingga apabila dikawinkan dan terjadi kebuntingan akan mengakibatkan kerugian-kerugian baik terhadap pertumbuhannya maupun terhadap keturunannya. Perkawinan baru boleh dilakukan terhadap ternak-ternak muda beberapa waktu kemudian dari timbulnya masa puber, dan untuk menjaga agar tidak terjadi perkawinan yang terlalu muda maka pada penempatan anak-anak jantan dan betina, harus sudah diadakan pemisahan menjelang memasuki masa puber (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990)

Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan menghindarkan kerugian-kerugian maka perkawinan pertama hendaknya dilakukan pada umur 1,0 - 1,75 tahun untuk sapi jantan eropa dan 1,5 – 2,0 tahun untuk sapi betina eropa dan 1,5 – 2,0 tahun untuk sapi brahman jantan dan 2,5 – 3,0 tahun untuk sapi brahman betina.

Umur dan Kesuburan Ternak

Tiap-tiap jenis ternak mempunyai masa- masa tertentu dimana ia dapat memproduksi dengan sebaik-baiknya, baik itu produksi anak, maupun produksi- lain, dan pada umur tertentu pula ia mulai menurun dalam berproduksi dan bahkan pada suatu saat tidak mempunyai kemampuan lagi. Demikian halnya dengan ternak bibit. Bibit betina umumnya keturunan yang terbaik, yaitu anak yang kedua sampai anak keempat yang digunakan sebagai bibit (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990).

Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) bibit jantan dapat digunakan sampai umur sekitar 15 tahun dan ternak betina masih bisa diambil keturunannya hingga umur sekitar 18 tahun. Karena pertimbangan ekonomis, umumnya penggunaan bibit, baik jantan maupun betina tidak sampai batas-batas umur tersebut.

(16)

Memilih Bibit

Memilih bibit adalah suatu keharusan di dalam usaha peternakan, karena bibit merupakan salah satu kunci untuk berhasilnya usaha peternakan. Pemilihan bibit dapat dilakukan dengan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara: (1) menilai bentuk eksteriurnya dan dihubungkan dengan tipenya; (2) seleksi berdasarkan silsilah dengan perkiraan bahwa ternak dari keturunan ternak-ternak yang baik akan baik pula sifat-sifatnya; (3) seleksi berdasarkan hasil penilaian dan kontes; serta (4) seleksi berdasarkan apa yang disebut dengan istilah “production test” yaitu penilaian berdasarkan catatan produksi yang dihasilkan (Sosroamidjojo 1990).

Sistem Perbibitan

Ada beberapa sistem perbibitan yang biasa dilakukan untuk memperbaiki keturunan (generasi). Sistem yang diambil disesuaikan dengan tujuan dari pada usaha peternakan yang dilakukan atau perbaikan ternak yang direncanakan di daerah tertentu (Sosroamidjojo 1990).

Menurut Sosroamidjojo (1990) sistem perbibit yang dikenal antaranya adalah: (1) Purebreeding, ialah suatu cara dengan mengawinkan ternak jantan dan betina yang sama bangsanya. Contohnya peternakan sapi Bali di Bali dan sapi Madura di Pulau Madura. Sistem ini dimaksudkan untuk mempertinggi homozigot dari gen-gen sehingga diharapkan terjadinya sifat-sifat yang uniform dan menurun, tetapi sistim ini bila tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan dalam perkawinan secara ketat mudah menjurus terjadinya sistem yang di sebut

inbreeding; (2) Inbreeding, yakni suatu cara dimana dilakukan perkawinan antara

ternak-ternak jantan dan betina yang masih ada hubungan famili; (3) Outcrosing, adalah cara yang dilakukan dengan cara mengawinkan seekor pejantan dari suatu kelompok dengan betina-betina dari kelompok lain, tetapi kesemuanya masih dalam satu ras yang sama; (4) Crossbreeding, ialah perkawinann silang dari dua bangsa ternak yang berdarah murni; serta (5) Upgrading, ialah suatu cara untuk memperbaiki mutu ternak rakyat dengan mempergunakan pejantan dari bangsa ternak yang dikenal mutunya, yang umumnya didatangkan dari luar negeri.

(17)

Pejantan yang didatangkan tersebut dikawinkan dengan ternak-ternak betina setempat.

Pengebirian/Kastrasi

Pengebirian pada ternak adalah suatu tindakan untuk menghentikan fungsi kelenjar kelamin atau membuangnya dari dalam tubuh sehingga ternak yang bersangkutan tidak dapat menghasilkan keturunan. Pengebirian erat hubungannya dengan pemuluia-biakan, karena pengebirian dilakukan sebagai tindak lanjut daripada seleksi, guna memperbaiki mutu ternak. Selain sebagai tindakan perbaikan mutu, dengan kastrasi dapat diperoleh perbaikan dari mutu daging, yaitu dapat menghilangkan bau pada daging yang kurang disenangi oleh konsumen misalnya bau pada kambing jantan yang sangat merangsang/ tajam dapat dihilangkan (Sosroamidjojo 1990).

Gambar

Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat       di Indonesia
Tabel 2 Efek dari BCS terhadap Postpartum Interval

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis data yang digunakkan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan tiga tahap yaitu 1) mengoreksi hasil tes,

Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat menyusun petunjuk pelaksanaan lomba dengan mengacu pada Pedoman Lomba Cipta Menu Beragam, Bergizi Seimbang, dan

Nyala pada 7-segment dapat diatur sedemikian rupa sesuai yang diinginkan, pada percobaan ini penyalaan yang terjadi ialah hitung mundur angka dari 9 ke 0

16 1.20.03 SETDA (BAGIAN ASET DAERAH) Belanja Penggandaan dan Penjilidan 39.017.400 SETDA APBD Januari 2013 Desember 2013 Sensus Barang Milik Daerah, Penyusunan Pelaporan

Untuk mengetahui pengaruh Quality Control terhadap jumlah Produk Cacat pada Perusahaan Penggilingan Padi “TR” Singaparna Tasikmalaya periode Januari – Desember 2012

6em#uatan kurva dilakukan untuk 3 titik yang di#uat plot hingga diperoleh luas  plot minimal masing-masingc. (ari plot minimal yang di dapat dari masing-masing tegakan"

Disebut juga sebagai icing technique, merupakan kemampuan membuat sebuah pesan komunikasi memiliki imbauan emosional (emotional appeal) sehingga menyentuh rasa

Faktor kedua yang mempengaruhi adalah Debt to Equity Ratio, DER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan modal sendiri karena semakin tinggi penggunaan