• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Tembakau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Tembakau"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Tembakau

Natiabari (2000) dan Basuki dan Prasetijo (2001) mengemukakan bahwa tembakau adalah suatu jenis tanaman yang dapat tumbuh di daerah beriklim panas sampai daerah beriklim dingin. Tanaman tembakau yang ditanam di dataran tinggi (700 - 1.500 m dpl) akan menghasilkan daun yang besar, tebal dan kuat, sedangkan jika ditanam di dataran rendah akan menghasilkan daun yang besar, tipis dan elastis. Tinggi tempat sebagai areal pertanaman akan berpengaruh terhadap kadar nikotin, semakin tinggi tempat penanaman maka kadar nikotin akan semakin tinggi pula.

Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang kering ataupun iklim yang basah. Tembakau dataran rendah sangat baik apabila daerah penanaman memiliki curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, dengan 2 – 3 bulan kering pada saat menjelang pembungaan, sedangkan tembakau dataran tinggi seperti tembakau Temanggung, sangat baik apabila daerah penanaman memiliki curah hujan rata-rata 1.500 mm/tahun dan menjelang masa pembungaan (sekitar bulan Juni – September) cuaca harus kering dan tidak terjadi hujan (Sholeh, 2000).

Selama periode pertumbuhan, suhu rata-rata yang paling baik 26,7 0 C. Pada suhu tersebut, tembakau akan tua sempurna dan dapat dipanen pada umur 70 – 80 hari sejak penanaman. Semakin rendah suhu, tembakau agak semakin lambat tua bahkan dapat mencapai 100 – 120 hari sejak penanaman. pH tanah yang dikehendaki adalah 5.5 – 6.0 dan tanah harus gembur agar akar tanaman mendapat air dan udara secara memadai (Sholeh, 2000).

Secara umum pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama intensitas sinar matahari, suhu, udara, air dan unsur hara dalam tanah (Hardjowigeno, 1995). Produktivitas tanah sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah, dimana kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman dalam keadaan yang cukup dan seimbang, serta memiliki persediaan air dan udara yang optimal.

Dalam keadaan tanah tidak mampu mencukupi jumlah hara yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara normal, maka perlu ditambahkan

(2)

unsur-unsur hara sesuai kebutuhan. Untuk mengetahui kekurangan unsur hara dalam tanah dapat dilakukan dengan menganalisis contoh tanah dari lapangan, terutama berkaitan dengan unsur N, P, K, Ca, Mg, Na, kapasitas tukar kation (KTK), pH dan bahan organik. Kriteria kadar unsur hara tanah telah banyak dikemukakan, antara lain oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) seperti tertera dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Status Unsur-unsur Hara Tanah

Sifat Tanah Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah N – total (%) 0,51 – 0,75 0,21 – 0,50 0,10 – 0,20 < 0,10 C – organik (%) 3,01 – 5,00 2,01 – 3,00 1,00 – 2,00 < 1,00 C/N 16 – 25 11 – 15 5 – 10 < 5 P – tersedia Bray – 1 (ppm) 11 – 15 8 – 10 5 – 7 < 4 KTK (me/100 g) 25 – 40 17 – 24 5 – 16 < 5 K 0,6 – 1,6 0,4 – 0,5 0,1 – 0,3 < 0,1 Ca 11 – 20 6 – 10 2 – 5 < 2 Mg 2,1 – 8,0 1,1 – 2,0 0,4 – 1,0 < 0,3 Na 0,8 – 1,0 0,4 – 0,7 0,1 – 0,3 < 0,1 KB (%) 61 – 80 41 – 60 20 – 40 < 20 Kejenuhan Al (%) 21 – 40 11 – 20 5 – 10 < 5 Reaksi tanah/ pH H2O Netral 6,6 – 7,5 Agak masam 5,6 – 6,5 Masam 4,5 – 5,5 Sangat masam < 4,5 Sumber : Puslittanak (1983)

Lama pengusahaan lahan dapat meningkatkan P terekstrak Bray I, peningkatan tersebut berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P menjadi terlepas. Mineralisasi P dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya nisbah C-organik dan P. Pada nisbah 200 : 1 terjadi mineralisasi P dan pada nisbah 300 : 1 terjadi immobilisasi (Tisdale, et al., 1985).

Satu siklus usahatani tembakau Temanggung memerlukan waktu sekitar 140 – 150 hari, diantaranya 2 – 3 bulan terakhir menghendaki keadaan kering, terutama

(3)

saat pemasakan daun, panen dan pengolahan hasil (Sholeh, 2000). Permulaan musim kemarau biasanya sekitar Juni minggu ketiga sampai Juli minggu kedua (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2000). Hujan yang tidak menentu merupakan masalah dalam usahatani tembakau,sehingga data karakteristik iklim terutama curah hujan dan intensitas matahari menjadi faktor penting dalam merencanakan kapan waktu yang tepat awal penanaman tembakau Temanggung.

Mutu dan produksi tembakau sangat dipengaruhi ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan selama pertumbuhan. Kelebihan dan kekurangan unsur hara akan mempengaruhi mutu dan produksi tembakau. Kelebihan unsur nitrogen akan menyebabkan fase pertumbuhan vegetatif lebih panjang, tertundanya pembungaan dan pemasakan daun, sebagai akibat sintesis protein yang dominan. Sebaliknya kekurangan nitrogen akan menghambat perkembangan kloroplas sehingga jumlah klorofil berkurang dan daun menjadi klorosis, yang akhirnya akan menyebabkan menurunnya berat kering daun (Djajadi dan Murdiyati, 2000). Kandungan bahan organik tanah akan mempengaruhi sifat-sifat tanah, seperti pengerasan lapisan permukaan tanah, kekerasan tanah, daya infiltrasi, evaporasi, aerasi, KTK dan populasi mikroorganisme. Agar produktivitas hasil berkelanjutan, kadar bahan organik tanah tidak boleh kurang dari 2 % (Hairiah, et al.,1992).

Potensi produksi, selain ditentukan oleh kondisi lingkungan (tanah dan iklim) dan varietas yang ditanam, juga ditentukan oleh tingkat penerapan teknik budidaya. Budidaya tersebut, antara lain : pembibitan, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pemeliharaan , penyirungan dan penanganan pasca panen (Purlani dan Rachman, 2000). Djajadi dan Murdiyati (2000) mengemukakan bahwa secara intensifikasi, usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi antara lain dengan meningkatkan intensitas pengelolaan lahan, terutama dalam hal pengolahan tanah. Intensitas pengolahan tanah dalam jangka pendek dapat meningkatkan produksi tembakau, sedangkan dalam jangka panjang pengolahan tanah intensif dapat menyebabkan penurunan daya dukung lahan, yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya kadar bahan organik tanah (Jenkinson dan Rayner, 1977).

(4)

2.2. Mutu Tembakau Temanggung

Menurut Padila dalam Hartono et al., (2000) mutu tembakau adalah gabungan dari sifat fisik, organoleptik, ekonomi dan kimia yang menyebabkan tembakau tersebut sesuai atau tidak untuk tujuan pemakaian tertentu. Tso (1972) menyatakan bahwa mutu mempunyai sifat relatif yang dapat berubah karena pengaruh orang, waktu dan tempat. Beberapa penilai mutu dalam melakukan penilaian, selain menggunakan penilaian berdasarkan warna, pegangan dan aroma kadang-kadang membakar dan mengisap asapnya untuk lebih meyakinkan. Manuel dalam Hartono et al. (2000) mengemukakan bahwa mutu tembakau sebagai gabungan semua sifat kimia dan organoleptik yang oleh perusahaan, pedagang atau perokok dapat ditransformasikan kedalam rasa dan nilai ekonomis.

Tembakau tergolong fancy product, karena nilainya sangat ditentukan oleh mutu. Mutu tembakau dipengaruhi oleh faktor benih, lingkungan dan perlakuan. Tidak terpenuhinya faktor-faktor tersebut, akan berakibat buruk terhadap mutu tembakau dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap merosotnya harga bahkan akan sulit mencari pasar (Muzakir, 1999).

Menurut Makfoeld (1982) terdapat 16 faktor dan unsur sebagai indikator mutu tembakau, yaitu : ukuran dan bentuk daun, tulang dan lamina daun, tenunan daun, tebal daun, kepadatan jaringan, bobot per satuan luas, elastisitas, body, gum, butir daun, mutu bakar, warna, kuat fisiologi, aroma, rasa dan sifat higroskopis. Secara morfologis bentuk daun bermacam-macam, khususnya bentuk ujung yaitu runcing atau bulat. Bentuk dan ukuran yang ekstrim tidak menunjukkan mutu yang baik. Panjang daun yang dikehendaki atau bermutu baik adalah yang panjangnya minimal 20 cm.

Tulang daun merupakan bagian rangka daun sebagai pembuluh angkut makanan dari akar ke sel-sel daun maupun hasil fotosintesa dari daun ke jaringan yang membutuhkannya. Lamina daun merupakan jaringan di antara tulang daun yang membentuk daun secara keseluruhan. Zat hijau daun atau klorofil merupakan bagian terbesar pada jaringan lamina. Beberapa pengolah dan pabrik rokok menghendaki

(5)

tembakau yang tidak memiliki atau bobot tulang daun utama yang rendah, terutama untuk memudahkan dalam peranjangan dan mempercepat proses pengomprongan.

Tenunan daun adalah bagian tulang-tulang daun kecil yang terbentuk dalam daun sebagai rangka jaringan daun keseluruhan. Semakin halus tenunan daun akan menghasilkan aroma yang baik dan rasa yang ringan.

Tebal daun bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan tumbuh, budidaya dan letak daun pada batang. Untuk tembakau kretek, tebal daun tidak menjadi faktor utama, tetapi untuk tembakau cerutu terutama untuk pembungkus maupun pembalut diharapkan ketebalan daun yang tipis. Ketebalan daun sering dipakai sebagai petunjuk dari body, daun yang tebal diidentifikasikan dengan body kasar, sedang daun tipis dianggap berbody lunak (Hartono et al., 2000).

Kepadatan jaringan biasa disebut juga densitas struktur, yaitu susunan jaringan yang membentuk struktur daun secara utuh. Kepadatan jaringan dalam membentuk struktur daun terutama dipengaruhi oleh kadar air. Pada keadaan kurang air, apalagi pada keadaan tanah berat, akan terbentuk susunan jaringan yang kompak, jaringan tertutup atau disebut tekstur tertutup (closed grained). Tembakau yang ditanam pada musim kemarau akan menghasilkan struktur tebal, kepadatan jaringan longgar sebagai indikasi kualitas cukup baik.

Bobot daun per satuan luas, biasa dipakai sebagai pengukur produksi. Berat daun erat hubungannya dengan ketebalan maupun densitas struktur. Dengan mempertimbangkan kondisi daun basah dan kering, maka ketebalan daun dapat diduga dengan melihat berat per satuan luas atau produksi.

Elastisitas adalah kemampuan daun sedemikian rupa sehingga tidak akan putus bila daun ditarik dalam keadaan lembab. Namun demikian dalam keadaan kering (kadar air sekitar 10 %) daun akan rapuh, mudah robek atau pecah jika ditarik atau ada tekanan. Pengertian elastisitas termasuk resistensi daun akibat tekanan terutama pada saat pengirisan/perajangan.

Body adalah sifat lunak atau lembut karena adanya komponen setengah cair yang berpengaruh pada berat, tetapi tidak karena pengaruh tebal dan struktur kepadatan jaringan. Suatu daun dikatakan berbody ringan apabila daun dalam

(6)

keadaan kering sebagai sekam dan terasa dalam pegangan enteng (chaffy nature). Daun berbody berat apabila dalam keadaan tidak begitu kering nampak becak berminyak kalau ditekan dengan jari biasanya lunak dan supel (kaya akan minyak). Pada tembakau sigaret body identik dengan pegangan, sedangkan pada tembakau cerutu body identik dengan ketebalan daun.

Berdasarkan morfologi permukaan daun tembakau mempunyai rambut-rambut. Rambut-rambut tersebut, merupakan glandula yang mengeluarkan sebangsa getah sebagai gum. Gum tersusun dari minyak-minyak eteris dan resin yang berfungsi sebagai lapis pelindung daun dari serangan luar dan berpengaruh terhadap kekuatan daun. Gum akan mudah tercuci jika terkena air hujan, sehingga panen pada musim hujan relatif daun tidak mengandung gum.

Butir daun adalah butiran halus yang terjadi karena timbulnya sel-sel yang mengembang dan mengeras. Butir daun berisi bahan kristalin yang terbentuk selama proses curing maupun fermentasi. Bahan kristalin tersebut tersusun dari garam kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan kalium (K) dengan asam-asam sitrat dan malat. Bahan kristalin cenderung memperbaiki daya bakar tembakau. Kadar Ca yang cukup akan menghasilkan warna abu putih yang dikehendaki, karena mencerminkan terjadinya pembakaran sempurna. Terbentuknya butir daun dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tanaman, antara lain unsur hara (pemupukan) dan kecepatan pengeringan dalam curing.

Mutu bakar atau burning qualities merupakan aspek penting dalam rokok, karena merokok artinya membarakan serta mengisap asap tembakau yang ditimbulkan. Mutu bakar terkait dengan tiga hal, yaitu : daya pijar, kecepatan pembakaran dan kesempurnaan pembakaran.

Daya pijar adalah berpijarnya tembakau terus menerus tanpa menimbulkan suatu nyala. Hal tersebut tergantung sejauhmana tembakau dapat menahan panas api (fire holding capacity), yang dipengaruhi oleh struktur dan komposisi kimia tembakau serta tersedianya oksigen selama pembakaran.

Kecepatan pembakaran yaitu cepat atau lambatnya tembakau habis terbakar, biasanya diukur dalam satuan detik per satuan jarak cm, pada struktur rokok tertentu.

(7)

Kecepatan pembakaran yang dikehendaki adalah yang lambat/lama dan merata ke segala jurusan.

Kesempurnaan pembakaran yaitu hilangnya bahan yang terbakar menjadi bentuk abu yang sempurna sebagai hasil pembakaran. Pembakaran yang sempurna ditandai dengan terdapatnya abu yang putih merata atau abu warna kelabu muda merata. Abu hitam dengan berbintik-bintik mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna.

Warna merupakan sifat dasar setiap jenis tembakau, baik dalam bentuk basah maupun krosok. Warna krosok jenis virginia umumnya kuning emas sampai kuning limau, sedangkan jenis lainnya berwarna agak kekuningan (orange). Warna biasa dipakai sebagai indikator mutu tembakau.

Kuat fisiologi erat hubungannya dengan dayaguna tembakau bagi konsumen, terutama sebagai perangsang atau stimulan. Fungsi stimulan timbul karena kandungan alkaloid khususnya kadar nikotin. Tembakau dengan kadar nikotin rendah (kurang dari 1 %) dikategorikan kuat fisiologi ringan (mild), sedangkan yang berkadar nikotin tinggi dikategorikan berat (strong).

Aroma berfungsi sebagai indikator penting dari mutu tembakau. Tembakau dikategorikan baik apabila mengandung bau yang sedap, wangi dan aromatik, sedangkan tembakau kualitas buruk ditandai dengan bau apek dan tidak enak. Aroma sangat dipengaruhi oleh proses fermentasi dan proses pengolahan.

Rasa berperan sebagai faktor penentu mutu walaupun belum mempunyai pedoman yang jelas, rasa sangat tergantung selera konsumen. Tembakau setelah proses curing umumnya terasa mentah, agak masam dan sedikit terasa pahit. Setelah proses fermentasi rasa pahit dan bau mentah akan hilang, walaupun rasa tembakau tergantung selera konsumen.

Sifat higroskopis sangat tergantung dengan kadar air tembakau, yaitu berkisar 10 % , sehingga dalam keadaan udara lembab mudah menarik air dari sekitarnya. Sifat higroskopis sangat dipengaruhi oleh jenis tembakau terutama kandungan senyawa organik dan mineral

(8)

Permasalahan utama yang sering terjadi di lapangan adalah bagaimana agar penilaian mutu dapat segera dilakukan pada saat transaksi antara petani dengan pembeli tembakau. Penilaian mutu dengan uji kimia memerlukan waktu lama dan biaya mahal sehingga penilaian dilakukan melalui uji sensori yang lebih cenderung subyektif. Standar Nasional melalui uji sensori didasarkan pada kenampakan warna, pegangan dan aroma. Penilaian warna meliputi warna dasar (value) dan tingkat kecerahannya (chroma) yang ditentukan secara visual. Warna sebagai indikator dari : tingkat kemasakan waktu panen, baik buruknya proses pemeraman, kesempurnaan proses pengeringan, serta posisi daun pada batang. Warna yang baik adalah cerah tidak kusam. Makin baik kualitas warna makin cerah dan bercahaya.

Mutu berdasarkan standar SNI, meliputi : warna, pegangan/body, aroma, posisi daun yang dipanen, kemurnian dan kebersihan. Pegangan berkaitan dengan tingkat kesupelan dari daun tembakau. Pegangan ditentukan oleh beberapa hal, yaitu : ketebalan daun, keantepan, kekenyalan, kelekatan dan keberminyakan. Semakin supel daun tembakau menunjukkan mutu semakin baik. Aroma tembakau bermutu baik harum, antep, halus, gurih dan manis. Kandungan gula dapat memberikan aroma yang harum pada tembakau sehingga dapat memberikan rasa yang dikehendaki sesuai spesifikasi persyaratan. Mutu berdasarkan standar SNI (Hartono et al., 2000) dapat dilihat pada Lampiran 11

Secara umum tembakau terbagi kedalam tiga perumpamaan, yaitu : sebagai lauk, sebagai sayur dan sebagai nasi. Tembakau Temanggung berperan sebagai lauk atau pemberi rasa, yang dicirikan oleh kandungan nikotin yang tinggi. Kandungan nikotin yang tinggi dipengaruhi oleh : ketinggian tempat dari permukaan laut, radiasi sinar matahari yang tinggi tetapi suhu rendah. Sebagai sayur adalah tembakau Bojonegoro yang mempunyai kekhasan aromatik atau pemberi aroma, sedangkan sebagai nasi adalah tembakau madura yang berfungsi sebagai pengisi (Hartono et al., 2000).

Mutu tembakau Temanggung sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim pada saat menjelang berbunga sampai proses pengeringan tembakau. Pada saat tersebut yaitu sekitar bulan Juli – September cuaca harus kering dan tidak boleh hujan

(9)

(Mukani et al., 1995). Pada kondisi demikian, proses pemasakan daun terjadi dengan sempurna sehingga kandungan nikotin tinggi, aroma harum dan warna cerah. Sebaliknya, jika turun hujan, proses pemasakan daun terhambat, sehingga kadar nikotin rendah, warna gelap aroma nyegrak (nyengat) dan mudah rusak pada saat disimpan. Selanjutnya Mukani et al., (1995) mengemukakan bahwa dalam kasus tembakau Temanggung, mutu sangat menentukan terhadap harga jual petani, sedangkan total produksi atau jumlah penawaran tembakau Temanggung tidak berpengaruh terhadap harga yang terjadi. Dengan kondisi tersebut maka teori keseimbangan pasar, yang menyatakan bahwa harga merupakan fungsi dari penawaran dan permintaan tidak sesuai. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar tembakau Temanggung bersifat monopsonistik.

Tembakau Temanggung mempunyai ciri aromatik dengan kadar nikotin tinggi (3 – 8 %), hal tersebut diperlukan karena peranan tembakau Temanggung sebagai pemberi rasa dalam rokok kretek erat kaitannya dengan kadar nikotin yang tinggi, yang sulit dicari penggantinya. Meskipun sudah ditetapkan standar mutu, tetapi pada kenyataannya tidak mudah untuk dioperasionalkan, karena dalam penentuan mutu evaluasi yang bersifat kualitatif lebih menonjol. Spesifikasi persyaratan mutu meliputi : warna, pegangan/body, aroma, posisi daun, kemurnian dan kebersihan secara umum diukur secara sensori. Harga tembakau Temanggung setiap tahun mengalami fluktuasi, mengikuti permintaan pasar pada saat itu dan yang paling berpengaruh terhadap harga adalah mutu (Isdijoso dan Mukani, 2000). Selain itu, struktur pasar tembakau Temanggung yang monosonistik, mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) pabrik rokok sebagai pembeli sangat kuat, harga yang terjadi ditentukan oleh pabrik rokok.

Berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah nomor 525.2/96/1993 tanggal 17 Juli 1993 (Basuki dan Prasetijo, 2001), klasifikasi tembakau rajangan di Jawa Tengah dibagi kedalam lima kelas, yaitu : tembakau Temanggung, Muntilan, Boyolali, Mranggen dan Weleri. Khusus kualitas tembakau rajangan Temanggung, pabrik rokok membedakan menjadi tujuh kelas berdasarkan wilayah, yaitu : (1) Tembakau Lamuk, terletak di lereng Gunung Sumbing sebelah timur, meliputi Desa Losari,

(10)

Tlilir, Legoksari Kecamatan Tlogomulyo. Tembakau Lamuk mempunyai mutu dan harga yang paling baik. (2) Tembakau Lamsi, terletak di sebelah utara dan timur Gunung Sumbing. (3) Tembakau Paksi, terletak di lahan tegal sebelah utara dan timur Gunung Sindoro. (4) Tembakau Toalo, terletak di sebelah selatan Gunung Sindoro dan sebelah barat Gunung Sumbing sekitar jalan ke Wonosobo, mulai Desa Tlahap sampai Parakan. (5) Tembakau Kidul, terletak di sebelah timur Gunung Sumbing, berbatasan dengan Tembakau Lamsi dan Tembakau Tionggang/sawah. (6) Tembakau Tionggang/sawah, terletak di lahan persawahan sebelah selatan dan timur Gunung Sindoro. (7) Tembakau Swanbing, terletak di sebelah selatan Gunung Perahu.

2.3. Usahatani Berkelanjutan

Usahatani berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan atau implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Keraf (2002) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai sesuatu yang terkait erat dan tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan. Hal yang ingin dicapai dengan pembangunan berkelanjutan adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi menjadi pembangunan yang mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan hidup.

Dalam kasus tembakau temanggung hal tersebut menjadi penting, mengingat usahatani tembakau temanggung menghadapi tiga masalah penting, yaitu : tembakau Temanggung merupakan fancy product, struktur pasar monopsonistik dan tembakau Temanggung diusahakan pada kondisi lahan dengan kemiringan lereng yang relatif curam, bahkan ada yang melebihi 45 %, sehingga penanganan erosi tanah menjadi sangat penting. Erosi tanah antara lain terjadi karena aliran permukaan (run-off) yang mengakibatkan degradasi lahan yang akhirnya dapat berakibat pada penurunan produktivitas lahan maupun mutu produk.

(11)

Sebagai suatu sistem dinamis, lahan akan selalu mengalami perubahan, baik fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi akibat berbagai hal, antara lain karena pengaruh iklim, maupun akibat tindakan manusia. Di sisi lain kegiatan pembangunan pertanian sedang gencar mengembangkan konsep usahatani berkelanjutan. Dalam konsep tersebut terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu : (a) Mantap secara ekologi, artinya sumberdaya lokal digunakan sedemikian rupa, sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi dapat ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Penekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui. (b) Berlanjut secara ekonomis, keberlanjutan ekonomis bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usahatani yang langsung, namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. (c) Adil, artinya sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pasar terjamin. (d) Manusiawi, berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. (e) Luwes, artinya bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dll (Reijntjes et al., 1999).

Conway dalam Salikin (2003) mengemukakan bahwa usahatani berkelanjutan harus memenuhi empat indikator, yaitu : produktivitas, stabilitas, sustainabilitas dan ekuitabilitas. Produktivitas usahatani merupakan upaya peningkatan produksi per satuan luas dan per satuan waktu. Produktivitas hasil panen diperoleh dengan cara menambah input atau inovasi teknologi. Stabilitas usahatani menggambarkan kestabilan produksi hasil panen dengan upaya menjaga agroekosistem dan pencegahan serangan hama-penyakit pengganggu tanaman. Sustainabilitas merupakan gambaran ketahanan sistem budidaya pertanian terhadap perubahan lingkungan atau ekonomi. Ekuitabilitas menggambarkan bahwa produksi pertanian

(12)

dapat memberikan keuntungan yang merata atau tinggi terhadap sebagian besar masyarakat.

OECD (1993) dan Kay dan Alder (1999) menyebutkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, yaitu menyangkut aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya serta hukum dan kelembagaan. Menurut Susilo (2003) kriteria atau atribut pada setiap aspek tersebut merupakan hal penting, dalam menilai status keberlanjutan secara cepat (rapid appraisal), dengan menggunakan metode multivariabel non-parametrik yang disebut multidimentional scaling (MDS).

2.4. Pengelolaan dan Degradasi Lahan

Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah,air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya, sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad, 2000). Pengelolaan lahan secara umum terdiri atas kegiatan penyusunan rencana penggunaan lahan, konservasi tanah, pengolahan tanah, sistem pergiliran tanaman dan pemupukan. Arsyad (2000) berpendapat bahwa produksi optimum suatu tanaman dapat dicapai dengan pemupukan dan usaha-usaha perbaikan sifat-sifat fisik tanah. Lebih jauh dikatakan bahwa pemupukan tidak akan berhasil dan menguntungkan sebelum dilakukan usaha-usaha pencegahan erosi, perbaikan udara dan air, pemeliharaan bahan-bahan organik tanah yang telah rusak atau perlakuan perbaikan drainase tanah.

Menurut Nasoetion dan Saefulhakim (1994), dinamika penggunaan lahan di Indonesia antara tahun 1961 – 1982 pada dasarnya dapat dibedakan dalam 3 dekade sebagai berikut: Periode 1961 – 1975 perluasan areal pertanian lebih cepat dari urbanisasi dan industri. Pada periode ini pasokan lahan pertanian diperoleh dari alih fungsi lahan padang penggembalaan dan belukar serta alang-alang. Periode 1975 – 1982 tingkat urbanisasi dan industri lebih cepat. Pada periode ini pasokan lahan untuk areal pertanian baru diperoleh dari alih fungsi hutan. Sedangkan sejak tahun 1982 perluasan areal pertanian kembali lebih cepat dari perluasan urbanisasi dan industri. Pada periode terakhir ini telah banyak dibuka lahan-lahan perkebunan dan pertambakan (perikanan air payau) untuk mendukung kegiatan agroindustri.

(13)

Memperhatikan fenomena tersebut, Nasoetion (1994) menafsirkan bahwa selama 3 dekade terakhir telah terjadi degradasi lahan yang disebabkan oleh alih fungsi hutan dan menurunnya kualitas lahan pertanian. Hal ini juga disebabkan tanah dari areal hutan yang dialih fungsikan sebagian besar kualitasnya relatif rendah, karena pada umumnya tanah tersebut terbentuk dari bahan induk berumur tua (tersier), yaitu berupa batuan sedimen yang kurang subur. Selain itu, konservasi tanah belum sepenuhnya diterapkan, terutama pada lahan berlereng yang tanahnya labil dengan curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun yang sangat memungkinkan terjadinya erosi dan banjir. Penyebab lain terjadinya degradasi lahan secara tidak langsung adalah akibat tekanan pertumbuhan penduduk dan transformasi ekonomi dari struktur ekonomi yang lebih agraris ke arah struktur ekonomi yang lebih industrialistik (Nasoetion, 1994).

Dalam hubungan dengan kerusakan tanah, terdapat empat (4) langkah utama dalam menanggulangi degradasi tanah, yaitu : (1) Menilai kondisi aktual permasalahan degradasi tanah termasuk faktor-faktor penyebab dan dampaknya, (2) Pemantauan degradasi tanah, apakah meningkat, menurun atau tetap, (3) Pengendalian degradasi dan (4) Tindakan perbaikan atau remedial measures (Sitorus, 2003b).

Selanjutnya FAO dalam Sitorus (2003a) mengelompokkan tindakan perlakuan kedalam empat kelompok, yaitu : (1) Tindakan pengelolaan lahan (land management practices = LMP) : meliputi strategi pengelolaan lahan termasuk pengolahan tanah mengikuti kontur dan tindakan pengelolaan padang penggembalaan. (2) Bangunan pengelolaan lahan (land management work = LMW) : bangunan pengelolaan lahan diperlukan pada areal dimana tindakan pengelolaan lahan saja tidak cukup untuk mencegah degradasi tanah dengan intensitas penggunaan lahan yang sedang diusulkan, termasuk bangunan berukuran besar/luas seperti pembuatan saluran air (water ways), tanggul. (3) Bangunan pengendalian erosi (erosion control works = ECW) : bangunan pengendalian erosi diperlukan apabila tindakan satu dan dua diatas tidak dapat mengendalikan degradasi tanah yang sedang terjadi, yaitu dengan membuat bangunan konservasi dan tindakan vegetatif

(14)

khusus. (4) Perubahan penggunaan lahan (land use change = LUC) : khusus untuk lokasi yang tingkat degradasi tanahnya tinggi dan tetap ada, meskipun tiga tindakan diatas telah dilakukan.

Dari aspek adopsi teknologi, mengintroduksi suatu teknologi konservasi tanah sehingga dapat diadopsi oleh petani ternyata memerlukan proses dan waktu. Pengalaman di Bungoma, penerapan pengelolaan lahan dalam upaya meningkatkan konservasi melalui tanaman penahan erosi menunjukkan bahwa 53 % petani dapat menerima asal tanaman dimaksud sudah dikenal di daerahnya, sedangkan 47 % petani menyatakan menerima tanaman yang bersifat introduksi asal relatif sama dengan tanaman yang sudah ada (Backes, 2001).

Hasil penelitian konservasi tanah yang dilakukan di Dominica oleh Hwang et al. (1993), menunjukkan bahwa perlakuan penanaman rumput penahan teras, pembuatan guludan dan pembuatan teras pada kemiringan lereng 12 % mampu menahan erosi tanah dibandingkan dengan pola konvensional petani. Hasil lebih terinci pada setiap komoditas dan perlakuan konservasi tanah tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Erosi Tanah Dihitung dengan Pendekatan USLE (ton/tahun) Besar erosi dengan perlakuan : Komoditas yang Diusahakan Penanaman rumput penguat teras (ton/ha) Pembuatan guludan (ton/ha) Pembuatan teras (ton/ha) Pola konvensional petani (ton/ha) Kentang Ketela pohon Jagung Buncis Tembakau 47,04 – 58,24 122,24 27,36 – 31,68 28,64 – 39,52 28,64 44,96 – 55,52 116,64 26,08 – 30,24 27,52 – 37,76 27,52 28,64 – 35,52 74,40 14,36 – 16,64 14,36 – 19,68 17,60 131,20 – 161,24 340,64 76,32 – 88,32 80,16 – 110,08 80,16

Dari Tabel 2 tersebut, terlihat bahwa model konservasi dengan pembuatan teras paling baik dalam menahan erosi tanah. Komoditi yang paling rendah erosinya dari lima komoditi yang diusahakan adalah tembakau.

Sitorus (2003b) mendefinisikan degradasi tanah adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan perubahan

(15)

kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. FAO dalam Sitorus (2003,b) mengemukakan bahwa degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan. Terdapat dua (2) kategori degradasi tanah, yaitu degradasi erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah akibat kekuatan air dan angin. Degradasi erosif menyebabkan : (1) hilangnya lapisan atas tanah (top soil) yang sering disebut erosi permukaan atau erosi lembar, (2) perubahan bentuk terrain yang disebabkan erosi parit atau erosi alur. Degradasi non-erosif merupakan deteriorasi (kerusakan) tanah insitu yang merupakan proses degradasi tanah, antara lain sebagai akibat limbah industri. Degradasi non-erosif meliputi degradasi kimia dan degradasi fisika tanah.

Degradasi kimia meliputi : (1) Hilangnya unsur kimia atau bahan organik, terjadi dalam penggunaan lahan untuk pertanian dengan masukan rendah, pada tanah dengan tingkat kesuburan rendah sampai sedang, termasuk hilangnya bahan organik lapisan atas tanah setelah pembukaan lahan. (2) Salinisasi, yang disebabkan oleh pengelolaan irigasi yang kurang tepat terutama di daerah arid dan semi-arid. (3) Asidifikasi, di daerah pantai, setelah tanah yang mengandung pyrit didrainasikan, juga dapat terjadi karena penggunaan pupuk (seperti ZA) yang berlebihan sehingga bereaksi masam. (4) Polusi dari industri atau akumulasi sisa buangan dan penggunaan pestisida secara berlebihan.

Degradasi fisika tanah, meliputi : (1) Pemadatan, pengerakan dan penutupan. Pemadatan pada umumnya disebabkan oleh alat atau mesin-mesin berat. Penutupan terjadi apabila lapisan atas tanah tidak cukup terlindungi dari pengaruh butiran hujan. (2) Penjenuhan air, akibat sistem drainase yang mengakibatkan banjir oleh air sungai dan perendaman oleh air hujan. (3) Penurunan permukaan tanah (subsidence) yang disebabkan oleh perbaikan drainase dan oksidasi bahan organik.

Barrow ( 1991 ) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Menurut Barrow (1991) faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah : (1) bahaya alami, (2) perubahan jumlah populasi manusia, (3) marjinalisasi tanah, (4)

(16)

kemiskinan, (5) status kepemilikan tanah, (6) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (7) kondisi sosial ekonomi, (8) masalah kesehatan, (9) praktek pertanian yang tidak tepat, (10) aktivitas pertambangan dan industri.

Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah meliputi : (1) mencegah kerusakan oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari (Arsyad, 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa konservasi tanah erat kaitannya dengan konservasi air. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air untuk musim kemarau. Renne dalam Arsyad (2000) mengemukakan bahwa tanggung jawab sektor pertanian dalam masalah air adalah : (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air sejauh mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan lahan yang baik, (2) memaksimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara yang efisien.

Hasil penelitian Djajadi et al. (2002) di Desa Glapansari Kecamatan Parakan, Temanggung menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi tanah pada lahan tembakau temanggung dapat menurunkan tingkat erosi sebesar 44,8 % dan mengurangi penurunan kadar bahan organik dan hara N, P dan K. Sifat fisik tanah cenderung lebih baik pada perlakuan konservasi. Perlakuan konservasi tanah dikombinasi dengan pengendalian penyakit lincat dengan galur tahan dan mikroba antagonis dapat menekan perkembangan populasi patogen lincat dan mengurangi kematian tanaman tembakau 46,7 % bahkan produksi daun tembakau meningkat 41,7 % daun basah dan 42,1 % daun kering. Perlakuan teras bangku dan rorak mampu menekan erosi cukup besar, yaitu teras bangku mampu menurunkan tingkat erosi sebesar 61,69 % (dari 21,77 ton/ha/4 bulan menjadi 8,34 ton/ha/4 bulan) dan rorak mampu menurunkan tingkat erosi sebesar 53,10 % (dari 21,77 ton/ha/4 bulan menjadi 10,21 ton/ha/4 bulan) (Djajadi et al., 1992)

(17)

Hasil pengamatan Kawara (2002) untuk kasus di Jepang menunjukkan bahwa perhatian terhadap upaya konservasi tanah kalah prioritas oleh kepentingan yang mendesak saat ini, antara lain upaya memenuhi kebutuhan pangan. Hal yang sama terjadi di beberapa sentra pertanian, termasuk di Kabupaten Temanggung. Artinya upaya konservasi tanah harus mempertimbangkan kondisi kebutuhan masyarakat yang mendesak, terutama kebutuhan pokok khususnya pangan.

Seta (1987) mengemukakan empat hal penting yang erat kaitannya dengan upaya konservasi tanah. Keempat hal penting itu adalah : kapasitas hujan, karakter fisik tanah, panjang dan kemiringan lereng dan kondisi tanaman. Hujan, sangat berkaitan dengan erosivitas hujan atau kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi. Erosivitas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : jumlah curah hujan, frequensi hari hujan, ukuran butir hujan yang jatuh ke tanah dan kecepatan jatuhnya butir hujan.

Karakter fisik tanah sangat berkaitan dengan erodibilitas atau tingkat kemudahan tanah untuk mengalami erosi. Karakter fisik tanah meliputi : tekstur, struktur, bahan organik dan infiltrasi. Tekstur adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat. Tanah yang bertekstur kasar atau tanah berpasir mempunyai kapasitas dan laju infiltrasi yang tinggi, sehingga jika tanah tersebut mempunyai solum dalam maka akan tahan terhadap erosi. Richter dan Nagendank dalam Seta (1987) mengemukakan bahwa tekstur dengan kandungan debu 40 – 60 % merupakan tanah yang sangat peka erosi. Tekstur tanah dengan kandungan liat 9 – 35 % merupakan tanah yang peka terhadap erosi dan tanah dengan kandungan liat diatas 35 % merupakan tanah yang tahan terhadap erosi.

Struktur tanah berkaitan dengan dua hal penting, yaitu : sifat fisiko kimia tanah dan keberadaan bahan pengikat yang dapat membentuk butir-butir primer (pasir, debu dan liat) menjadi agregat yang mantap (Arsyad, 2000). Hasil penelitian Bennet (1926) dan Midleton, (1930) dalam Seta (1987) menunjukkan bahwa liat yang mempunyai rasio antara silika dengan sesquioksida maksimal dua (jenis kaolinit) lebih tahan terhadap erosi dan yang rasionya lebih dari dua (jenis montmorillonit) merupakan tanah yang mudah tererosi. Pembentukan struktur tanah dipengaruhi juga oleh jenis kation yang teradsorbsi oleh liat dan adanya bahan pengikat. Liat

(18)

yang jenuh dengan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) akan berflokulasi dengan baik, karena Ca dan Mg sebagai pengikat, sedangkan yang jenuh dengan natrium (Na) mudah terdispersi.

Bahan organik berupa daun dan ranting sebagai mulsa dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butir hujan dan sekaligus menghambat aliran permukaan. Bahan organik yang telah lapuk mempunyai kemampuan memegang air yang tinggi. Bahan organik mampu menyerap air sebesar 2 – 3 kali beratnya. Karena bahan organik mampu meningkatkan kemantapan agregat, maka bahan organik berpengaruh juga terhadap kemantapan pori tanah yang berarti dapat meningkatkan infiltrasi tanah. Infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kemantapan struktur (ukuran pori, kemantapan pori dan bentuk profil), kedalaman efektif dan lapisan kerak yang terbentuk pada permukaan tanah.

Panjang dan kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap erosi tanah. Panjang lereng merupakan panjang mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai titik dimana aliran permukaan masuk ke dalam saluran. Sedangkan kemiringan lereng merupakan curamnya lereng yang berakibat semakin curam berarti erosi semakin tinggi. USDA dalam Seta (1987) mengelompokkan kemiringan lereng kedalam tujuh (7) kelompok, yaitu :

• L0 : datar (0 – 3 %) • L1 : landai/berombak (> 3 – 8 %) • L2 : agak miring/bergelombang (> 8 – 15 %) • L3 : miring/berbukit (> 15 – 30 %) • L4 : agak curam (> 30 – 45 %) • L5 : curam (45 – 65 %) • L6 : sangat curam (> 65 %)

Tanaman atau vegetasi dalam kontek erosi tanah berkaitan dengan tiga fungsi, yaitu : intersepsi air hujan oleh tajuk, mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan agregasi tanah. Proses intersepsi air berkaitan dengan air hujan yang ditahan tajuk tanaman lain dan diuapkan (proses evaporasi) secara langsung melalui daun, batang sehingga air hujan tidak mencapai tanah. Kaitan kedua adalah peran

(19)

tajuk yang mengurangi pukulan butir hujan (energi kinetik), dimana energi kinetik ditentukan oleh tinggi tajuk tanaman dan lebar daun tanaman yang menampung air hujan sebelum jatuh ke tanah.

Agar tidak terjadi kerusakan tanah, harus ada keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, dengan cara membatasi melalui penggunaan tekknologi yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang (Hiroshi, 2001).

Soemarwoto (1997) mengemukakan bahwa dalam kehidupan yang berbasis pertanian, perkembangan penduduk dengan kapasitas lahan merupakan suatu sistem. Pada dasarnya daya dukung lingkungan alamiah tergantung pada persentasi lahan yang dapat dipakai untuk pertanian dan produktivitas hasil pertanian per satuan luas dan per satuan waktu. Persentasi lahan itu ditentukan oleh kesesuaian lahan untuk usaha pertanian, dan kebutuhan lahan untuk keperluan lain diluar sektor pertanian seperti pemukiman, jalan dan fasilitas lainnya.

2. 5. Pendekatan Model

Penyederhanaan atau abstraksi dari sistem yang sebenarnya dikenal dengan istilah model. Mize dan Cox (1968) mendefinisikan model sebagai gambaran abstrak dari suatu sistem, yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara beberapa variabel. Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan tetapi tidak sama dengan sistem. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci terhadap komponen atau unsur dan proses interaksinya antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem (Hairiah et al., 2002). Menurut Muhammadi et al. (2001), model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dikelompokkan menjadi model kuantitatif, model kualitatif dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik yang menyatakan hubungan antar unsur. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik menirukan bentuk aslinya, dalam skala diperkecil atau diperbesar.

(20)

Pendekatan sistem merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno, 1999).

Menurut Manetsch dan Park (1997), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Secara teoritis komponen-komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk mencapai tujuan. Sebuah sistem mempunyai masukan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan keluaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki.

Dalam ilmu manajemen, secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu kesatuan antara input, proses dan output. Sistem akan membentuk suatu siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering dihadapi atau dalam mengintegrasikan berbagai elemen sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Untuk menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan sistem harus dilakukan identifikasi

(21)

terhadap semua komponen yang terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan dari masing-masing komponen tersebut.

Sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono, 1993).

Menurut Manetsch dan Park (1997) model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata, yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ekonik (Aminullah, 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.

Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al., (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk kinerja (level) dari suatu model sistem dinamis.

Menurut Muhammadi et al., (2001), untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal, digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi.

Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program

(22)

model sistem dinamis misalnya Program Powersim. Program Powersim akan dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun. Setelah itu, dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi.

Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan mendefinisikan (secara tentatif) atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno,1999).

Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer (Eriyatno, 2002) untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Manetch dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini.

1. Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan.

2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya.

3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan.

Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu : (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholders dalam sistem; (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem; (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam sistem; (4) pemodelan sistem, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang

(23)

menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.

Menurut Muhammadi et al., (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut.

1. Penyusunan konsep.

Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan.

2. Pembuatan model

Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian , gambar atau rumus.

3. Simulasi

Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model.

4. Validasi hasil simulasi.

Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.

Gambar

Tabel 2.  Erosi Tanah Dihitung dengan Pendekatan USLE (ton/tahun)  Besar erosi dengan perlakuan : Komoditas  yang  Diusahakan  Penanaman  rumput  penguat teras  (ton/ha)  Pembuatan guludan (ton/ha)  Pembuatan teras (ton/ha)  Pola  konvensional  petani (ton

Referensi

Dokumen terkait

menyimpulkan bahwa penampilan produksi ayam pedaging yang dipelihara pada lantai 3 lebih baik dibandingkan pada lantai 1 dengan indikator konsumsi dan konversi pakan pada

Dengan memanfaatkan penyedot debu portebel sebagai mesin utama penghisapnya ditunjang dengan motor DC sebagai motor penggerak roda belakang alat ini, servo

………(5) adalah struktur yang dicirikan oleh ketidakhadiran skistositas, porfiroklas umumnya runcing serta fragmen litik tertanam dalam matriks yang berukuran lebih halus

Alur penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan segmentasi, tahapan pengukuran fitur dan

[ŋ] menduduki peringkat pertama dalam kesulitan pelafalan bunyi, yakni sebanyak 38 kasus, menyusul tertukarnya bunyi [ǝ] dengan [u] sebanyak 32 kasus, sulit melafalkan suku

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Melihat potensi kitosan dan silika, keduanya merupakan bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan membran sel bahan bakar karena silika dapat meningkatkan

Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan intensitas serangan CMV pada tanaman tomat hasil penularan virus dari empat gulma yang sakit sebagai sumber inokulum