• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA BERAS MERAH PADA BEBERAPA SENTRA PRODUKSI BERAS DI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA BERAS MERAH PADA BEBERAPA SENTRA PRODUKSI BERAS DI SULAWESI SELATAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA BERAS MERAH PADA BEBERAPA SENTRA PRODUKSI BERAS DI SULAWESI SELATAN

A. Masniawati 1, Eva Johannes 1, Andi Ilham Latunra 1, Novita Paelongan1. 1. Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

Research about physicochemical characterization of red rice in some rice production of South Sulawesi. physicochemical characteristic is one of the criteria for cooking quality analyzing . Amylose content, protein content, gelatinization temperature, and gel consistency were used as criteria of physicochemical properties. This research was aimed to know characteristic of physicochemical properties of red rice. The research is execute by 1) analyzing the amylose content, 2) measuring the protein content by micro-Kjeldhal Method (1995) was carried out in three stages, destruction , distillation, and titration, 3) analyzing gelatinization temperature with alkali test, and 4) measuring gel consistency. The percentage of amylose content 1,1405 %, the percentage of protein content 7,92 %, high gelatinization temperature, and soft gel consistency were contained in red rice from Tana Toraja. The percentage of amylose content 1,2215 %, the percentage of protein content 8,89 %, high gelatinization temperature, and soft gel consistency were contained in red rice from Enrekang. The percentage of amylose content 15,173 %, the percentage of protein content 7,45 %, high gelatinization temperature, and intermediate gel consistency were contained in red rice from Malino.

Keywords : physicochemical properties, red rice, South Sulawesi

PENDAHULUAN

Beras merupakan bahan makanan sebagai sumber energi bagi manusia. Selain itu, beras juga merupakan sumber protein, vitamin dan juga mineral yang bermanfaat bagi kesehatan.

Berdasarkan warna beras, di Indonesia dikenal beberapa jenis beras seperti beras putih, beras hitam, beras ketan dan beras merah. Beras merah umumnya dikonsumsi tanpa melalui proses penyosohan, tetapi hanya digiling menjadi beras pecah kulit, kulit arinya masih melekat pada endosperm. Kulit ari beras merah ini kaya akan minyak alami, lemak esensial dan serat (Santika, A., dan Rozakurniati., 2010).

Serat tak hanya mengenyangkan, namun juga mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan. Manfaat lain dari serat, yakni dapat meningkatkan perkembangan otak dan menurunkan kolesterol darah. (Andriana, E., 2006).

Walaupun demikian, beras merah masih kalah pamor dibandingkan beras putih

karena beras merah mempunyai masa simpan yang lebih pendek dari beras putih. Padahal beras merah memiliki efek kesehatan yang jauh lebih baik daripada beras putih seperti menyembuhkan penyakit kekurangan vitamin A (rabun ayam) dan vitamin B (beri-beri). Namun, perhatian petani Indonesia terhadap beras merah kurang. Petani lebih fokus menanam padi yang menghasilkan beras putih. Namun, ada juga sebagian petani yang secara turun-temurun menanam beras merah (Astawan, M. 2012) dan menurut Santika dan Rozakurnia (2010), ada juga yang telah dijadikan varietas unggul seperti varietas yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yaitu Buhbatong dan Aek Sibundong.

Masalah besar petani adalah kehilangan hasil, mutu yang rendah dan harga yang relatif mahal. Kehilangan hasil pasca panen masih tinggi yaitu mencapai 20,5%. (Hidju, H. 2011).

Mutu merupakan bagian penting untuk bersaing dalam pasar produk pangan. Untuk

(2)

2

menghasilkan produk akhir yang baik, mutu harus dikendalikan di seluruh rantai pangan. Artinya suatu produk harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. (Widagdo, W., 2007).

Oleh karena itu, mutu beras yang merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu varietas mendapat perhatian penting. Menurut Damardjati (1987) mutu beras dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu sifat genetik, lingkungan dan kegiatan prapanen, perlakuan pemanenan, serta perlakuan pascapanen. Dalam pengelompokan yang lebih luas, mutu beras dikategorikan dalam empat kelompok meliputi: (1) mutu fisik/pasar, (2) mutu tanak dan rasa, (3) mutu gizi dan (4) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji.

Semua kategori tersebut penting digunakan bersama-sama dalam penetapan kriteria beras yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Walaupun demikian, pada akhirnya penggolongan kriteria mutu beras harus mempunyai hubungan langsung dengan penerimaan konsumen akhir yaitu dalam bentuk nasi. Maka penetapan kriteria mutu beras didasarkan atas pola konsumsi tersebut (Damardjati, D. S. dan E.Y. Purwani., 1991). Menurut Indrasari dan Adnyana (2007), komponen mutu yang berperanan pada tingkat penerimaan oleh konsumen adalah mutu tanak beras.

Mutu tanak merupakan salah satu persyaratan mutu beras. Sifat fisikokimia beras yang digunakan sebagai kriteria adalah kadar amilosa, kadar protein, suhu gelatinisasi dan konsistensi gel. Beras yang diperdagangkan dan memiliki mutu pasaran yang tinggi tidak memberi jaminan bahwa mutu tanak juga tinggi karena mutu giling maupun penampakan fisik biji tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap mutu tanak (Damardjati, D. S. dan E.Y. Purwani., 1991).

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakterisasi sifat fisikokimia pada beras merah khususnya yang berasal dari beberapa sentra produksi

beras di Sulawesi Selatan untuk mengetahui sifat fisikokima yang terdapat dalam beras merah tersebut.

METODE PENELITIAN III.1. Alat

Neraca analitik, labu takar, gelas ukur, gelas kimia, batang pengaduk, erlenmeyer, pipet tetes, spektrofotometer, cawan, tabung reaksi, vortex mixer, waterbath, alat dekstruksi, alat destilasi dan alat titrasi.

III.2. Bahan

Beras merah yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, dan Kabupaten Gowa, plastik sampel, amilosa murni, etanol 95%, NaOH 1 N, akuades, asam asetat 0,5 N, larutan iodin 2%, KOH 1,7 %, alkohol 95% (mengandung 0,025% thymol blue), KOH 0,2 N, air es, kertas grafik, katalisator selenium reagent mixture, H2SO4 pekat, indikator PP, NaOH, H3BO3,

indikator BCG, dan HCl 0,02N.

III.3. Metode Kerja III.3.1. Penyiapan Sampel

Sampel beras merah masing-masing 5 g dimasukkan ke dalam plastik sampel. Selanjutnya dilakukan uji mutu dengan parameter yang diamati dan diukur meliputi kadar amilosa, kadar protein, suhu gelatinisasi, dan konsistensi gel.

III.3.2. Analisis Kadar Amilosa

Pada tahap pembuatan Kurva Standar, amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya larutan tersebut juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 0,5 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Setelah itu, larutan

(3)

3

ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warna dengan spektrofotometer. Kurva standar menggambarkan hubungan antara konsentrasi amilosa dan absorbansi. Pada tahap penetapan sampel, sejumlah 200 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel dipanaskan selama 10 menit kemudian didinginkan dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditetapkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 2 ml larutan iod serta 1 ml asetat 0,5 N. Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna dengan spektrofotometer. Kadar amilosa dihitung dengan rumus :

Kadar Amilosa (%) = x x 100% Keterangan :

A= absorbansi sampel

S = slope kemiringan pada kurva standar FP = faktor pengenceran, yaitu 20 W = berat sampel (gram)

III.3.3. Kadar Protein

Pengukuran protein berdasarkan Metode Mikro-Kjeldhal. Sampel sebanyak 150 mg dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditambahkan 1,94 g katalisator selenium reagent mixture, dan 10 ml H2SO4 pekat.

Sampel dididihkan selama 20 menit sampai cairan menjadi jernih. Sampel dididihkan dan air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Ditambahkan akuades sampai tanda tera 200 ml dan 3 tetes indikator PP. Kemudian ditambahkan NaOH sampai berwarna ungu sambil didinginkan menggunakan air mengalir. Setelah itu, didestilasi. Erlenmeyer berisi 20 ml larutan H3BO3 diletakkan di bawah

kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3.

Erlenmeyer yang berisi 100 ml larutan hasil

destilasi ditambahkan 3 tetes indikator BCG. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :

( )

( )

Kadar protein (% basis basah) = %N x faktor konversi

Faktor konversi beras = 5,95

III.3.4. Suhu Gelatinisasi

Letakkan 6 butir beras giling setiap varietas pada wadah yang berisi 10 ml 1,7 % KOH dan susun sehingga tidak bersentuhan. Biarkan selama 23 jam pada suhu 30° C dan diamati kemudian mencatat hasil dengan melihat skor kemekaran beras.

III.3.5. Konsistensi Gel

Sifat konsistensi gel ditentukan dengan menggunakan 100 mg tepung beras. Tepung dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 0,2 ml alkohol 95% (mengandung 0,025% thymol blue) dan 2 ml larutan KOH 0,2 N, lalu dikocok dengan vortex mixer. Tabung reaksi tersebut kemudian dipanaskan menggunakan waterbath dengan suhu 90oC selama 15 menit, diangkat lalu didiamkan selama 5 menit kemudian didinginkan menggunakan air es selama 20 menit. Tabung reaksi diletakkan dengan posisi horizontal/mendatar di atas kertas milimeter selama satu jam. Panjang gel yang mengalir di dalam tabung reaksi diukur dengan satuan mm.

HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Kadar Amilosa

Beras mengandung karbohidrat sekitar 80%-90% yang terdiri atas amilopektin dan amilosa. Peran amilopektin dalam sifat fungsional pati sangat sulit untuk ditentukan karena amilopektin memiliki kecenderungan untuk membentuk

(4)

4

kumpulan tidak larut air. Oleh karena itu, amilosa merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam memperkirakan karakter pati dari beras. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia beras dan dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kepulenan nasi yang dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi selama pemasakan (Aliawati).

Dalam penelitian ini, pengukuran kadar amilosa pada beras merah dilakukan berdasarkan prinsip iodine binding (pengikatan iodin), dimana amilosa akan berikatan dengan iodine pada pH rendah (4.5-4.8) dan pada panjang gelombang 620 nm menghasilkan kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Intensitas warna biru ini kemudian diukur menggunakan spektrofotometer. Semakin tinggi intensitas warna yang terukur, maka kadar amilosa akan semakin tinggi (Juliano,1979).

Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pembuatan kurva standar dan tahap penetapan sampel. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan menggunakan amilosa murni dan diperoleh nilai hubungan antara konsentrasi amilosa dan absorbansinya seperti yang diperlihatkan pada lampiran. Persamaan garis yang diperoleh dari regresi linear antara konsentrasi amilosa dan absorbansi adalah y = 2,9379x + 0,0034, R² = 0,9995. Kurva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3. Dari persamaan regresi diperoleh slope kemiringan kurva standar yaitu 2,9379.

Gambar 3. Kurva Standar Hubungan Konsentrasi Amilosa Standar dengan Absorbansi

Hasil perhitungan kadar amilosa untuk Pare Birrang asal Kabupaten Tana Toraja, Pulu Mandoti Kabupaten Enrekang dan beras Malino Kabupaten Malino dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kadar Amilosa Beras Merah Beras Merah Kadar Amilosa (%) Kelas Keragaman Amilosa Beras Pare Birrang 1,1405 Ketan (0-2%) Pulu

Mandoti 1,2215

Ketan (0-2%)

Beras Malino 15,173 Rendah (10-19%)

Kadar amilosa beras merah yang dianalisis berkisar antara 1,1405 % - 15,173 %. Kadar amilosa tertinggi sebesar 15,173 %, diperoleh dari beras Malino sedangkan kadar amilosa terendah sebesar 1,1405 %, diperoleh dari Pare Birrang dan Pulu Mandoti berkadar amilosa 1,2215 %. Hal ini berarti beras Malino yang berkadar amilosa rendah, dimana apabila dimasak nasinya kurang lengket, agak pulen, tidak mengembang dan tetap menggumpal setelah dingin. Sedangkan Pulu Mandoti asal Kabupaten Enrekang dan Pare Birrang asal Kabupaten Tana Toraja yang berkadar amilosa lebih rendah (ketan), mempunyai sifat sangat mengkilat, tekstur lunak, agak basah, sangat lengket dan kerapuhan antar butir sangat tinggi sehingga kurang menyerap air dan kurang mengembang (Del Mundo, 1979).

Suatu survei telah dilakukan oleh IRRI untuk mengetahui kandungan amilosa dari varietas-varietas padi yang ditanam di beberapa negara. Hal ini ternyata dapat memberikan gambaran tentang kesukaan penduduk akan golongan beras yang dikonsumsi. Misalnya di daerah beriklim subtropis seperti Korea, Jepang, dan Taiwan memiliki beras dengan kandungan amilosa sedang sampai rendah karena penduduk negara tersebut menyukai nasi yang pulen, basah dan lengket. Sedangkan di daerah tropis misalnya Indonesia, Pakistan dan sebagian Filipina memiliki beras dengan kandungan amilosa sedang

y = 2,9379x + 0,0034 R² = 0,9995 0 0,5 1 0 0,1 0,2 0,3 A b sor b an si Konsentrasi Amilosa

(5)

5

sampai tinggi karena penduduk tersebut menyukai sifat nasi pulen, tidak terlalu basah maupun kering.

Wang et al. (2010) mengatakan bahwa beragamnya kandungan amilosa kemungkinan dipengaruhi oleh genetik, zona pertumbuhan, dan lingkungan.

IV.2. Kadar Protein

Pada penelitian ini, penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan Metode Mikro-Kjeldhal. Secara umum, metode ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu destruksi, distilasi dan titrasi. Metode ini digunakan secara luas dalam penentuan protein kasar dalam makanan atau material lainnya karena reagen yang digunakan mudah didapatkan (Ensminger, 1994). Pada tahap dekstruksi, penambahan K2SO4 berfungsi

sebagai katalisator yang dapat meningkatkan titik didih 1 gram K2SO4

dapat meningkatkan titik didih hingga 30C (Sudarmadji dkk., 1997). Peningkatan titik didih akan mengefektifkan reaksi antara asam sulfat (H2SO4) dengan sampel

(destruksi berjalan efektif). Hal tersebut disebabkan oleh lamanya waktu yang dibutuhkan oleh asam sulfat (H2SO4) untuk

menguap (semakin tinggi titik didih, maka waktu yang dibutuhkan asam sulfat untuk menguap akan semakin lama). Setelah tahap didestruksi, kemudian dilanjutkan dengan proses destilasi. Sampel yang telah dingin ditambahkan dengan akuades agar endapan dapat larut. Destilasi merupakan suatu proses memisahkan cairan maupun larutan yang berdasarkan pada perbedaan titik didih. Tujuan dari proses destilasi adalah memisahkan zat yang akan dianalisa dengan cara memecah ammonium sulfat menjadi ammonia (NH3) yang dihasilkan

pada tahap dekstruksi. Pemecahan tersebut melibatkan peran NaOH yang ditambahkan ke dalam sampel. Penambahan NaOH bertujuan untuk mempercepat pelepasan ammonia dengan cara menciptakan suasana basa. Amonia (NH3) yang dihasilkan dalam

destilati berupa gas. Gas amonia (NH3)

tersebut ditangkap oleh asam borat (H3BO3). Perubahan warna dari bening

menjadi hijau setalah penambahan indikator BCG menunjukkan adanya asam dalam keadaan berlebihan. Kemudian dilajutkan dengan titrasi HCl hingga warnanya berubah menjadi ungu seperti yang terlihat pada gambar 7. Pada tahap pembuatan blanko dengan menggunakan metode yang sama seperti sampel, diperoleh volume untuk titrasi blanko sebesar 0,2 ml.

Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati, mempunyai ukuran granula 0.5-5 µm terdiri dari 5% fraksi albumin (larut dalam air), 10% globulin (larut dalam garam), 5% prolamin (larut dalam alkohol), dan 80% glutelin (larut dalam basa). Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin, yang bersifat tidak larut dalam air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan volume pengembangan butir pati selama pemanasan (Juliano, 1972). Kandungan protein dalam beras menurut Ishima et al. (1984) bisa mempengaruhi tekstur nasi yang dihasilkan. Beras dengan kadar protein tinggi biasanya menghasilkan nasi yang kurang lunak (cenderung keras). Selain itu, protein bersama-sama suhu gelatinisasi mempengaruhi pula waktu tanak. Beras yang mempunyai kadar protein lebih tinggi membutuhkan air yang lebih banyak dan waktu tanak lebih lama.

Menurut Juliano (1972) kadar protein beras berada pada kisaran 7 %. Beras dengan kadar protein lebih kecil dari 8,5 % cenderung pulen. Hal ini berhubungan dengan sifat polaritas protein terhadap air. Protein beras bersifat menghambat penyerapan air dan pengembangan granula pati ketika beras ditanak, sehingga membatasi kemampuan membentuk gelatinisasi secara optimal.

Tabel 6. Kadar Protein Beras Merah Beras Merah Kadar Protein

(%) Pare Birrang 7,92 Pulu Mandoti 8,89 Beras Malino 7,45

Hasil perhitungan kadar protein dari Pare Birrang, Pulu Mandoti dan beras Malino dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar protein

(6)

6

beras merah yang dianalisis berkisar antara 7,45 % - 8,89 %. Pulu Mandoti memiliki kadar protein tertinggi sebesar 8,89 % sedangkan beras Malino memiliki kadar protein terendah sebesar 7,45 %. Hal ini berarti beras Malino, Pare Birrang dan Pulu Mandoti bersifat pulen. Namun, beras Malino membutuhkan air lebih sedikit serta waktu tanak yang lebih sedikit dari pada Pare Birrang. Sedangkan, Pulu Mandoti membutuhkan air lebih banyak serta waktu tanak yang lebih lama dari pada Pare Birrang dan beras Malino karena lapisan protein ini melapisi granula pati dan butiran protein mengisi ruang-ruang antar granula pati dalam endosperm.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gealy dan Bryant (2009), kandungan protein beras merah di Amerika Utara bervariasi dari 9,9% hingga 14,0%. Sedangkan Sompong et al (2011) melaporkan bahwa sejumlah varietas beras merah di daerah Thailand, Sri Lanka dan Cina mengandung protein bervariasi dari 7,16% hingga 10,36%. Kadar protein dalam beras merah relatif lebih tinggi dari pada dalam beras putih biasa, walaupun beras tersebut mengalami proses penggilingan minimal (beras pecah kulit/brown rice). Heinemann et al (2005) melaporkan bahwa beras pecah kulit di Brazil mengandung 7,42% protein dan beras putih hanya mengandung sekitar 5,71% protein. Penelitian lain juga dilakukan oleh Puwastien et al (2009) yang menunjukkan bahwa beras pecah kulit di Thailand mengandung protein sebesar 7,92%.

IV.3. Suhu Gelatinisasi

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula

menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Menurut teori Harper (1981), mekanisme terjadinya gelatinisasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, granula pati mulai berinteraksi dengan molekul air dan dengan peningkatan suhu suspensi terjadilah pemutusan sebagian besar ikatan intermolekul pada kristal amilosa. Kemudian pada tahap kedua terjadi pengembangan granula pati. Tahap akhir adalah mulai berdifusinya molekul-molekul amilosa keluar dari granula sebagai akibat dari meningkatnya suhu panas dan air yang berlebihan, hal ini menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Proses gelatinisasi terus terjadi sampai seluruh molekul amilosa terdifusi keluar granula dan hanya menyisakan amilopektin

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa hal yakni karakteristik granula, terdapatnya komponen protein, lemak, dan juga gula pada tepung. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu gelatinisasi dari beras yang diteliti berkisar antara 35-40 menit. Menurut Juliano (1972), hubungan suhu gelatinisasi dengan waktu pemasakan beras menunjukkan bahwa peningkatan suhu gelatinisasi akan memperlama waktu pemasakan beras menjadi nasi. Beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah akan menyerap air dan mengembang pada suhu yang lebih rendah dibandingkan beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi.

Adapun hasil pengamatan suhu gelatinisasi dari Pare Birrang, Pulu Mandoti dan Beras Malino dapat dilihat pada Tabel 7. Suhu gelatinisasi beras merah dari ketiga Kabupaten tersebut diperoleh >74 % dengan keadaan beras tidak terpengaruh tetapi memutih. Hasil penelitian

(7)

7

menunjukkan beras merah yang dihasilkan mempunyai suhu gelatinisasi tinggi. Menurut Damardjati (1987), beras dengan suhu gelatinisasi yang tinggi memerlukan lebih banyak air dan lebih lama waktu pemasakan dari beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah. Selain itu, beras dengan suhu gelatinisasi tinggi jika ditanak kurang mengembang bila dibandingkan dengan beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah.

Tabel 7. Suhu Gelatinisasi Beras Merah Beras

Merah Keadaan Beras

Suhu Gelati nisasi Kriteri a Suhu Gelatin isasi Pare Birran g Tidak terpengaruh tetapi memutih >740C Tinggi Pulu Mando ti Tidak terpengaruh tetapi memutih >74 C Tinggi Beras Malino Tidak terpengaruh tetapi memutih >74 C Tinggi (A1) (A2) (B1) (B2) (C1) (C2)

Gambar 4 : Suhu Gelatinisasi (A1). Pare Birrang sebelum 23 jam (A2). Pare Birrang sesudah 23 jam (B1). Pulu Mandoti sebelum 23 jam (B2). Pulu Mandoti sesudah 23 jam (C1). Beras Malino sebelum 23 jam (C2). Beras Malino sesudah 23 jam

IV.4. Konsistensi Gel

Konsistensi gel merupakan indeks yang baik untuk menentukan tekstur nasi. Selain itu, konsistensi gel merupakan pelengkap dari uji kadar amilosa. Beras yang memiliki kandungan amilosa yang sama mungkin berbeda dalam kelembutan setelah dimasak menjadi nasi. Hal ini dapat dibedakan dengan melakukan pengujian konsistensi gel (Cagampang et al., 1973).

Tang et al (1991) mengemukakan bahwa pembentukan gel terjadi oleh interaksi antarmolekul yang melibatkan molekul amilosa dan amilopektin selama pati menjadi dingin dan terjadi peningkatan viskositas. Konsistensi gel yang diukur dari viskositas pasta dingin dari pati adalah indikator yang baik dalam menentukan tekstur nasi yang dihasilkan. Pada gel yang mengandung amilosa sekitar 25% akan menghasilkan gel yang keras karena molekul pati membentuk jaringan, sebaliknya pada gel dengan amilosa yang rendah bertekstur lembut dan tidak memiliki jaringan (Copeland, 2009). Perez dan Julianto dalam Damardjati et al. (1989) menyatakan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai konsistensi gel lunak akan lebih disukai karena nasinya empuk. Beras yang memiliki nilai konsistensi gel diatas 50 mm berarti beras tersebut menghasilkan nasi bertekstur lunak.

Gambar 5 : Panjang Gel yang mengalir Pada Beras Merah (A). Pare Birrang (B). Pulu Mandoti (C). Beras Malino

(8)

8

Tabel 8. Konsistensi Gel Beras Merah Beras Merah

Panjang Gel yang

mengalir

Tekstur nasi Pare Birrang 81 mm Lunak Pulu Mandoti 108 mm Lunak Beras Malino 50 mm Sedang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsistensi gel dari Pare Birrang, Pulu Mandoti dan beras Malino berkisar antara 50-108 mm. Pulu Mandoti memiliki nilai konsistensi gel tertinggi sebesar 108 mm sedangkan Malino memiliki nilai konsistensi gel terendah sebesar 50 mm. Hal ini berarti Pulu Mandoti mempunyai tekstur nasi yang lebih lunak dan lebih lengket dibandingkan Pare Birrang. Sedangkan beras merah asal beras Malino mempunyai tekstur nasi kurang lunak dan kurang lengket.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian karakterisasi sifat fisikokimia beras merah pada beberapa sentra beras di Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa kadar amilosa dari nilai tertinggi hingga terendah yang diperoleh dari ketiga sampel beras yang diujikan berturut-turut yaitu beras Malino, Pulu Mandoti dan Pare Birrang dengan nilai kadar amilosa 15,173%, 1,2215%, 1,1405%. Kadar protein dari nilai tertinggi hingga terendah yang diperoleh dari ketiga sampel beras yang diujikan berturut-turut yaitu Pulu Mandoti, Pare Birrang dan beras Malino dengan nilai kadar protein 8,89%, 7,92% dan 7,45%. Suhu gelatinisasi dari ketiga jenis beras merah diperoleh > 740C (tinggi). Konsistensi gel yang diperoleh dari ketiga sampel beras yang diujikan mulai dari nilai tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu Pulu Mandoti, Pare Birrang dan beras Malino dengan nilai kadar protein 108 mm, 81 mm dan 50 mm.

DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta.

Aliawati, G., 2003. Teknik Analisis Kadar

Amilosa Dalam Beras. Buletin

Teknik Pertanian Vol. 8. Nomor 2; 82.

Andriana, E., 2006. Beras Merah Kaya

Vitamin dan Mineral.

http://health.groups.yahoo.com/grou p/anakku/message/19257. Diakses pada tanggal 4 Maret 2012.

Argasasmita, T. U., 2008. Karakterisasi

Sifat Fisikokimia dan Indeks

Glikemik Varietas Beras

Beramilosa Rendah dan Tinggi.

Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arini, 2012. Beras Merah.

http://ranririn.blogspot.com/2012/02 /beras-merah.html. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012.

Astawan, M. 2012. Beras Merah Tangkal

Kanker dan Diabetes.

http://library.monx007.com/health/b eras_merah_tangkal_kanker_dan_di abetes/1. Diakses pada tanggal 4 Maret 2012.

Cagampang, C.D., C.M. Perez., and B. O. Juliano., 1973. A gel consistency

test for eating quality of rice (Oryza sativa). Sci. Food. Agric.

Copeland, L., Jaroslav B., Hayfa S., dan Mary C. T., 2009. Form and

Functionality of Starch. Food

Hydrocolloids.

Damardjati, D. S., dan E.Y. Purwani., 1991.

Padi Buku 3. Penyunting Edi

Soenarjo, D.S. dan Mahyudin Syam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor.

Damardjati, D.S., and I. Made O., 1989.

Evaluation on consumer

preferences for rice quality characteristics at urban area in

(9)

9 Indonesia. Paper presented at 12th

Asean Seminar on Grain Post Harvest Technology. Surabaya, Indonesia.

Damardjati, D. S., 1987. Prospek Peningkatan Mutu Beras di Indonesia. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 6. Bogor. Del M. A. M., 1979. Sensory Assessment

of Cooked Milled Rice. In :

Proceding of Workshop on Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI. Los Banos. Philipines Dela, N.C., and G.S. Khush., 2000. Rice

Grain Quality Evaluation

Procedures. In Singh, R.K., U.S.

Singh., G.S. Khush., 2000.

Aromatic Rices. International Rice

Research Institute. Los Banos. Philipines.

Ensminger, A., 1994. Foods and Nutrition

Encyclopedia Volume 1 2nd Edition. CRC Press LLC. Boca

Raton.

Gealy, D, R., dan Bryant, R, J., 2009. Seed

Physicochemical Characteristics of Field-grown US Weedy Rice (Oryza sativa) Biotypes: Contrasts with Commercial Cultivars.

Journal of Cereal Science.

Genisa, J., 2001. Teknologi Pengolahan

Legum dan Serelia. Fakultas Pertanian Dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Harjosentono, M., Wijanto, E. R., I. W.

Badra., R. Dadang Tarnama., 2002.

Mesin-Mesin Pertanian. PT. Bumi

Aksara. Jakarta.

Harper, J.M., 1981. Extrusion of Food Vol

II. CRC Press Inc. Bota Raton.

Florida.

Heinemann, R. J. B., et al., 2005.

Comparative Study of Nutrient Composition of Commercial Brown, Parboiled and Milled Rice from Brazil. Journal of Food

Composition and Analysis.

Hidju, H., 2011. Pengujian Mutu Beras

Berdasarkan SNI 6128 : 2008.

Prodi D III Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Agroteknologi Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo.

Hutagalung, R. E., 2005. Mempelajari

Kualitas Fisik dan Kimia Beras Hasil Pengkabutan. Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Indrasari, S. D., dan Adnyana, M. O., 2007.

Preferensi Konsumen terhadap Beras Merah sebagai Sumber Pangan Fungsional. Iptek Tanaman

Pangan Vol. 2 No. 2.

Indrasari, S. D., 2006. Kandungan

Mineral Padi Varietas Unggul dan Kaitannya dengan Kesehatan.

Iptek Tanaman Pangan No. 1. Ishima, T., Taira, H., and Mikoshiba, K.,

1984. Effect Nitrogenous Fertilizer Application and Protein Content in Milled Rice on Organoleptic quality of Cooked Rice. In : Kawamura, S. et al., 2003.

Development of an automatic rice-quality inspection system. Computer and Electronics in Agriculture. Jide, 2011. Jenis Beras di Pasar.

http://tokoberasbagus.wordpress.co m/. Diakses pada tanggal 23 February 2012.

Juliano, B. O., 2003. Rice Chemistry and

(10)

10

Juliano, B.O., 1979. Amylose Analysis in

Rice. Di dalam : Proceedings of the

Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI. Los Banos.

Juliano, B.O., 1972. The Rice Caryopsis

and Its Composisition. In : Rice,

Chemistry and Technology. DF. Houston (ed). American Association of Cereal Chemist. Inc. St. Paul. Minnesota.

Juliano, B.O., 1971. A Simplified Assay

for Milled Rice Amylose

Measurement. J. of Cereal Sci.

Today.

Kusmiadi, R., 2008. Varietas Beras

dengan Komposisi Kimiawi Zat Penyusunnya.

http://www.ubb.ac.id/menulengkap. php?judul=Varietas%20Beras%20d engan%20Komposisi%20Kimiawi% 20Zat%20Penyusunnya&&nomorur ut_artikel=136. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012.

Khush, G. S., and N. D. Cruz., 2000. Rice

Grain Quality Evaluation

Procedures. In : Aromatic Rices.

Oxford & IBH Pub.Co.Pvt.Ltd. New Delhi.

Lestari, A. P., 2008. Evaluasi Mutu Beras

18 Galur Padi Hasil Kultur Anter.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Lestari, A. P., 2003. Uji Daya Hasil

Pendahuluan dan Uji Mutu Beras 21 Varietas Padi Hibrida Hasil Pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Padi. Jurusan Budi Daya

Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Manza. H., 2011. Manfaat Beras Merah

Melebihi Beras Putih.

http://teknikdiet.com/menu-

sehat/manfaat-beras-merah-melebihi-beras-putih. Diakses tanggal 3 Maret 2012.

Nurmala, T., 1998. Serealia Sumber

Karbohidrat Utama. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Organic, 2012. Kandungan Nutrisi dan

Manfaat Beras Merah.

http://www.md-organic.com/Kandungan%20Nutrisi %20dan%20Manfaat%20Beras%20 Merah/. Diakses pada tanggal 4 Maret 2012.

Portal berita terkini. 2012. Beras-Fungsi

dan Khasiat Beras.

www.poztmo.com/2012/03/beras. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012.

Puwastien, Prapasri, et al., 2009.

Development of Rice Reference Material and Its Use for

Evaluation of Analytical

Performance of Food Analysis Laboratories. Journal of Food

Composition and Analysis.

Santika, A., dan Rozakurniati., 2010.

Teknik Evaluasi Mutu Beras dan Beras Merah Pada Beberapa Galur Padi Gogo. Buletin Teknik

Pertanian vol. 15. No 1. 2010: 1-5. Setyono, A., dan Suparyono., 1997. Padi.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Somantri, A. S., 2010. Menentukan

Klasifikasi Mutu Fisik Beras Dengan Menggunakan Teknologi Pengolahan Citra Digital Dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal

Standardisasi Vol. 12, No. 3 Tahun 2010: 3.

Gambar

Gambar  4  :  Suhu  Gelatinisasi  (A1).  Pare  Birrang sebelum 23 jam (A2). Pare Birrang  sesudah  23  jam  (B1)

Referensi

Dokumen terkait

Proses pemindahan data dari basisdata yang lama yaitu basisdata Merapi ke basisdata yang baru yaitu New Merapi banyak memanfaatkan query select karena pada

‡ Para petani merasakan jika produksi kopi mulai menurun karena para pengusaha kopi lokal juga mulai minim permintaan terhadap biji-biji kopi yang akan di olah..

Jika perubahan data yang dimasukkan lengkap maka proses simpan berhasil dan menampilkan pesan “Proses Simpan Berhasil”, jika data perubahan tidak lengkap proses

Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial guru fisika terhadap perilaku sosial siswa SMP Negeri

Kuantitas dan kualitas air di daerah pengguna sumur yang masih tergolong baik serta, pendapatan masyarakat pengguna sumur yang rendah dan pelayanan PDAM yang cukup baik

Orang lain 2 Penyajian  Menyajikan presentasi,  Menyampaikan pertanyaan baik pertanyaan retorik maupun pertanyaan terbuka  Memperhatikan keterlibatan siswa di kelas

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan manajemen dalam penelitian haji dan umrah, peneliti meminjam teori-teori yang telah mapan dalam bidang disiplin ilmu manajemen

Contoh tumbuhan yang dapat dikembang biakkan dengan cara seperti pada gambar di samping adalah.. Tujuan tumbuhan jati menggugurkan daun pada musim kemarau