• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENGANTAR A. Latar Belakang

Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan di berbagai macam media cetak maupun elektronik. Usia pelaku dan korban pun bervariasi, mulai dari anak-anak hingga dewasa. WHO mendefinisikan kekerasan seksual pada anak sebagai keterlibatan anak dalam aktivitas seksual yang tidak ia pahami sepenuhnya, yaitu jika anak tidak dapat memberikan persetujuan atau jika anak tersebut tidak siap dalam tahap perkembangannya, dan jika hal itu melanggar undang-undang ataupun tabu sosial masyarakat (World Health Organization, 2006).

Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, sejak 2010 Indonesia dinyatakan mengalami darurat kekerasan seksual pada anak (KSA) (Merdeka, 2016). Kasus kekerasan sekual meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010, tercatat 2.645 kasus, di tahun 2011 tercatat 4.335 kasus, di tahun 2012 tercatat 3.937 kasus, di tahun 2013 tercatat 5.629 kasus, di tahun 2014 tercatat 4.458 kasus, di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus, dan 5.786 kasus di tahun 2016 (Antara News, 2017).

Berdasarkan Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, di tahun 2016 terdapat 1.389 kekerasan seksual berupa perkosaan dan 1.266 kasus pencabulan pada perempuan yang terjadi di ranah personal, yang artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek) kekerabatan, perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Di samping itu, untuk kekerasan seksual di ranah komunitas mencapai angka 2.290 kasus. Ranah komunitas yang dimaksud adalah jika pelaku

(2)

2 dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, ataupun perkawinan (Komnas Perempuan, 2017).

Hasil Survei Kekerasan Anak Indonesia yang yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) beserta sejumlah lembaga pada tahun 2014 menunjukkan hasil bahwa terdapat kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban yang berusia di bawah 18 tahun, yaitu sebesar 6,36 persen pada anak laki-laki dan 6,28 persen pada anak perempuan dari sekitar 87 juta anak Indonesia (Kompas, 2017).

Kasus KSA juga terjadi di Kabupaten Bangka Tengah yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah pelaporan kasus KSA di tahun 2016 (Antara Babel, 2016). Kepala Dinas BKKBD & PPPA setempat turut menambahkan bahwa terdapat kekhawatiran instansi dan masyarakat mengenai kasus-kasus KSA sehingga diperlukan adanya program terkait pendidikan seksual pada anak-anak.

Penelitian ini difokuskan di Kabupaten Bangka Tengah karena menurut Wakil Bupati Bangka Tengah terdapat peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual di daerahnya (Antara Babel, 2016). Sementara itu, berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bangka Tengah, terdapat lima kasus KSA di tahun 2012, delapan kasus KSA di tahun 2013, delapan belas kasus KSA di tahun 2014, 7 kasus KSA di tahun 2015, dan 10 kasus KSA di tahun 2016 yang ditangani oleh P2TP2A wilayah Kabupaten Bangka Tengah (P2TP2A, 2017).

(3)

3 Salah satu kasus kekerasan seksual di Bangka Tengah terjadi di tahun 2016 dengan korban 5 orang anak di bawah umur. Kasus asusila terhadap korban terjadi di wilayah tempat tinggal para korban dan pelaku. Pelakunya adalah tetangga para korban yang sering mengincar anak-anak dengan berpura-pura mengajak mereka bermain ipad di dalam kontrakan miliknya (Babel Pos, 2016). Selain itu, kasus pencabulan juga dialami oleh seorang anak berusia 10 tahun di Bangka Tengah. Perbuatan menyimpang tersebut dilakukan oleh seorang kakek berusia 60 tahun yang membuat video pencabulan pada korban (Republika News, 2016).

Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh-anak normal, tetapi juga dialami oleh anak berkebutuhan khusus (ABK). Anak normal rentan menjadi korban kekerasan seksual, apalagi anak berkebutuhan khusus yang kadang tidak mengerti bahaya di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011, ABK adalah anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010 menetapkan bahwa ABK terdiri atas individu tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, dan yang memiliki kelainan lain.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Baladerian, Coleman, & Stream (2012) dalam National Survey on Abuse with Disabilities, ditemukan data bahwa lebih dari 70% anak berkebutuhan khusus yang mengikuti survei tersebut

(4)

4 melaporkan bahwa mereka telah menjadi korban berbagai macam bentuk pelecehan. Kemudian sekitar 41,6% dari mereka melaporkan telah mengalami pelecehan seksual.

Anak-anak dengan disabilitas lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Penyalahgunaan kerentanan tersebut seringkali dilakukan oleh orang-orang terdekat anak seperti orangtua, saudara, guru, pegawai penitipan anak, atau pelatih anak. Oleh karena itu, program pencegahan kekerasan seksual dan program intervensi dinilai sangat penting untuk diberikan pada anak-anak dengan disabilitas. Sekolah dinilai mampu menjadi komponen kolaboratif bagi program intervensi terkait pendidikan seksual pada anak dengan disabilitas (Skarbek, Hahn, & Parrish, 2009).

Perubahan pola hidup dan norma di masyarakat telah meningkatkan kesempatan bagi ABK untuk dapat hidup selayaknya anak normal di lingkungan masyarakat. Namun masih banyak pihak-pihak yang belum memahami bahwa ABK juga memiliki hasrat dan kebutuhan seksual, terlepas dari kemampuan fisik dan mentalnya.

Stigma masyarakat umum yang salah mengenai seksualitas pada ABK telah menyebabkan adanya pengabaian risiko dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab dan kekerasan seksual pada kelompok anak tersebut. Oleh karena itu, banyak ABK yang tidak mendapatkan pendidikan seksual baik di sekolah maupun di rumah. Padahal seharusnya mereka dapat ditangani dengan lebih spesifik di lingkungan sekolah dengan bimbingan dari para profesional yang ahli dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Bimbingan yang terstruktur dan konsisten akan bermanfaat bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus.

(5)

5 Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan kepala sekolah dan guru kelas sekolah luar biasa (SLB) di Bangka Tengah menunjukkan bahwa pencegahan terhadap KSA penting dilakukan. Hal tersebut tercermin dalam pernyataan berikut:

Penting sekali ya untuk anak-anak ini karena sebenarnya kalau nggak ada pendidikan sejak usia dini itu mereka jadi gak tahu ya mana yang bahaya dan mana yang tidak bahaya. Jadi penting sekali ya. (S1,80-83)

Sebenarnya penting ya karena kalau anak gak tahu ya terus malah dilakuin padahal itu gak boleh, jadi memang seharusnya perlu sekali dikenalkan sesuai dengan kebutuhan. Tapi disini disesuaikan ya karena bisa saja misalnya dia usianya anak kelas 6 SD tapi perkembangannya masih kayak anak TK. (S2,70-74)

Wilayah Kabupaten Bangka Tengah memiliki SLB dengan jumlah siswa sebanyak 63 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan autis. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada guru SLB tersebut juga ditemukan bahwa guru-guru kurang memiliki pengetahuan terkait penyampaian materi pencegahan KSA pada ABK di sekolah. Selain itu, hasil wawancara juga menunjukkan rendahnya keyakinan guru dalam menyampaikan materi terkait pencegahan kekerasan seksual (KSA). Hal-hal tersebut tertuang dalam hasil wawancara berikut:

Kalau gurunya ya dari pengalaman sendiri kalau menyampaikan itu kita sering tidak mengerti bahasa anak ya akhirnya dia sulit paham dan berkali-kali tanya ke kita. Misalnya pas pakai bahasa isyarat ya bahasa dia sama bahasa kita sangat berbeda, lalu isyarat dia di sekolah dan di rumah juga berbeda, jadinya sulit bagi dia untuk bisa dengan mudah memahami. (S1,98-103)

Mungkin ini ya masih ada perasaan kayak pendidikan seksual itu tabu disampaikan ke anak, takut anak-anak itu malah niru atau gimana, jadi istilahnya kami mengenalkannya hanya tentang kalau megang atau dipegang ini gak boleh, ya jadi menerangkannya tidak secara vulgar. Saya sendiri masih merasa tabu dalam mengenalkan seks ke anak. (S2,44-49)

(6)

6 Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa banyak guru SLB yang merasa kurang yakin terhadap kemampuannya dalam memberikan penjelasan mengenai seksualitas pada ABK. Efikasi guru perlu ditunjang oleh pengetahuan yang adekuat melalui pemberian pelatihan pada guru. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan pengetahuan guru terkait pencegahan kekerasan seksual pada anak sehingga sejalan dengan hal tersebut efikasi guru dalam menyampaikan materi pencegahan KSA pun juga akan meningkat. Pengetahuan mengenai pencegahan KSA penting dimiliki oleh guru supaya dapat mengembangkan intervensi pencegahan yang efektif, terutama bagi ABK.

Upaya pencegahan KSA dapat dilakukan pada tingkatan berbeda, yakni pada tingkatan primer, sekunder, dan tersier. Pada tingkatan primer, pencegahan berfokus pada komunitas secara umum. Sementara itu, pada tingkatan sekunder, pencegahan berfokus pada individu yang berisiko sehingga dapat dilakukan identifikasi dan intervensi sedini mungkin. Kemudian pada tingkatan tersier, pencegahan berfokus pada perawatan pada korban untuk mengurangi dampak jangka panjang dari kekerasan (McMahon, 2000).

Santrock (2003) menerangkan bahwa pengembangan lingkungan sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa akan memberikan kesempatan pada siswa untuk berkembang secara kompeten dalam situasi yang bebas dari kekerasan seksual. Sementara itu, menurut Bloom (1996), terdapat dasar pencegahan dan intervensi kasus-kasus penyimpangan individu, yaitu:

a) Meningkatkan kekuatan individu (increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation).

b) Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses).

(7)

7 c) Meningkatkan kemudahan yang muncul dari lingkungan fisik dan

mengurangi kesulitan yang ditimbulkan oleh lingkungan fisik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhang, Chen, dan Liu (2015) pada prasekolah di China menemukan bahwa pelatihan guru prasekolah mengenai pencegahan kekerasan seksual pada anak merupakan faktor penting yang dapat melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Selain itu, melalui program edukasi mengenai pencegahan kekerasan seksual pada anak yang diberikan di sekolah dinilai efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan menjaga diri (self-protective skills) pada anak-anak (Walsh, Zwi, Woolfenden, & Shlonsky, 2015).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpukan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan KSA, baik dalam lingkup komunitas, individu, maupun yang hanya terfokus pada korban KSA, yakni sebagai berikut: (1) pengembangan lingkungan sekolah, (2) pelatihan guru mengenai pencegahan KSA, dan (3) edukasi mengenai pencegahan KSA dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan menjaga diri. Sementara itu, terdapat pula dasar-dasar yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan KSA seperti upaya dalam meningkatkan kekuatan individu serta mengurangi kelemahan individu, meningkatkan dukungan sosial serta mengurangi tekanan sosial, dan meningkatkan kemudahan serta mengurangi kesulitan pada lingkungan yang bersangkutan.

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti menggunakan program “Jari Peri” (Guru Ajari Perlindungan Diri) sebagai intervensi yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Dasar utama dalam modul “Jari Peri” adalah meningkatkan kekuatan individu (increasing individual strengths) dan

(8)

8 mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation). Prevensi primer diterapkan pada lingkup sekolah yang dilakukan melalui psikoedukasi yang diberikan pada guru sebagai agen pengubah dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak (KSA). Prevensi primer pada lingkup sekolah dianggap penting karena sekolah merupakan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswanya.

Melalui program ini, guru akan diberikan pengetahuan terkait pencegahan KSA dalam bentuk psikoedukasi pelatihan. Psikoedukasi pelatihan dalam penelitian ini berfokus pada pemberian pemahaman pada guru mengenai penyampaian materi pencegahan KSA kepada ABK. Materi yang disampaikan dalam psikoedukasi berupa aspek-aspek pencegahan KSA, yaitu pengetahuan mengenai KSA, cara perlindungan diri terhadap KSA, dan peran guru sebagai agen pencegahan KSA sebagai bentuk pencegahan munculnya kasus KSA pada ABK.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan KSA penting dilakukan pada masyarakat Bangka Tengah. Namun demikian, terdapat kesenjangan dalam hal peran guru sebagai agen pencegahan KSA yang seharusnya memiliki pengetahuan dan efikasi yang memadai dalam menyampaikan materi pencegahan KSA. Atas dasar tersebut, psikoedukasi pencegahan KSA melalui program “Jari Peri” (Guru Ajari Perlindungan Diri) penting dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada tabel 4.1, maka profil kemampuan dasar siswa di SMK Pembangunan Nasional Purwodadi yang muncul melalui

Pedagang tingkat kabupaten (supra lokal) bertindak sebagai bapak buah (Patron) dan pedagang pengumpul di pasar nagari bertindak sebagai anak buah (klien), yang sebagian

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi kecepatan aliran masuk, maka watercut pada underflow yang dihasilkan akan semakin rendah pada nilai split-.. ratio

Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dikaji dan diketahui struktur tembang dan leksikonnya dalam satu kegiatan pada wacana mideur dan kemudian akan diungkap

PPB pernikahan adat yang menjadi fokus pada penelitian ini berlokasi di Kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta

iv. Nisbah pembahagian keuntungan yang baru adalah sama rata. Sebagai tambahan, Cindy akan dibayar gaji RM500 sebulan. Beliau juga dijamin oleh dua orang rakan kongsi yang lain

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tradisi upacara adat Babore sebagai sarana pengobatan tradisional bagi Masyarakat suku Dayak Kanayatn Desa Hilir Tengah di

Sekiranya masih kurang jelas tentang maklumat yang disediakan di dalam Buku Garis panduan tersebut, pemohon bolehlah berhubung terus dengan mana-mana pegawai TASKA di