• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Sub Soil Ultisol. bahan organik. Dan lapisan dari sub soil juga dibedakan menjadi dua bagian,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Sub Soil Ultisol. bahan organik. Dan lapisan dari sub soil juga dibedakan menjadi dua bagian,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Sub Soil Ultisol

Menurut Buckman and Brady (1982) sub soil adalah tanah bagian bawah dari lapisan top soil yang mengalami cukup pelapukan, mengandung lebih sedikit bahan organik. Dan lapisan dari sub soil juga dibedakan menjadi dua bagian, terutama dalam tanah yang mengalami pelapukan mendalam yakni tanah-tanah

di daerah lembap, bagian sebelah atasnya disebut daerah transisi (peralihan), dan sebelah bawahnya disebut daerah penimbunan (illuviasi). Dalam daerah

penimbunan ini berangsur-angsur terkumpul oksida besi, oksida aluminium, tanah liat dan juga kalsium karbonat. Winarna dan Sutarta (2003) juga menyatakan bahwa sub soil merupakan lapisan tanah di bawah lapisan top soil, umumnya memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah dibandingkan top soil, terutama sifat kimianya yang kurang baik jika digunakan sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit.

Namun dibalik sifatnya yang kurang baik, sebenarnya sub soil dapat menjadi alternatif untuk menggantikan peran top soil sebagai media tanam bibit kelapa sawit. Hal ini dikarenakan sub soil relatif lebih banyak tersedia dan dijumpai dalam jumlah yang cukup besar serta tidak terbatas di lapangan, dibandingkan dengan top soil yang berangsur-angsur semakin menipis dan sulit didapatkan karena terkikis akibat erosi atau penggunaannya yang terus menerus sebagai media pembibitan (Hidayat, dkk, 2007).

(2)

jenis ini lebih banyak ketersediaannya dibandingkan tanah jenis lain, dan otomatis tanah jenis ini pula yang kebanyakan hilang lapisan atasnya akibat erosi (tingkat erodibilitas tinggi/peka terhadap erosi) atau yang sering digunakan sebagai media tanam bibit kelapa sawit. Koedadiri, dkk (1999) menyatakan bahwa tanah ultisol dicirikan oleh adanya horizon argilik yaitu horizon yang terbentuk akibat penimbunan liat di horizon bawah atau pada lapisan bawah iluvial. Ciri lain yang spesifik dari tanah ini adalah pH tanah dan kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang rendah (<35). Kejenuhan Al dan Fe cukup tinggi merupakan racun bagi tanaman dan mengakibatkan adanya fiksasi P sehingga unsur P kurang tidak tersedia. Kapasitas tukar kation (KTK) yang relatif rendah memperlihatkan kandungan bahan organik yang rendah pada semua horizon kecuali di horizon A yang sangat tipis dan keberadaan liat dengan KTK rendah seperti kaolinit. Disamping ciri tersebut di atas terbatasnya daya simpan air atau rendahnya retensi air dan kemantapan agregat tanah menyebabkan tanah ini rentan terhadap erosi dan menjadi kendala pada areal berlereng. Sebagian tanah ini merupakan tanah Low Activity Clay (LAC) yaitu tanah dengan dominasi koloid liat beraktivitas rendah yang tergolong tanah mineral marjinal yang terbentuk pada Formasi Geologi Tersier.

Konsepsi pokok dari Ultisol (ultimus, terakhir) adalah tanah-tanah berwarna merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut

(ultimate), sehingga merupakan tanah yang berpenampang dalam sampai sangat dalam (>2m), menunjukkan adanya kenaikan kandungan liat dengan

bertambahnya kedalaman yaitu terbentuknya horizon bawah akumulasi liat (disebut horizon B-argilik), dengan reaksi agak masam sampai masam dengan

(3)

kandungan basa-basa yang rendah. Lapisan bawah (sub soil) banyak mengandung Aluminium yang dapat menjadi racun bagi tanaman, miskin bahan organik, dan miskin hara N,P, dan K (Subagyo, et al, 2000).

Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit

Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menghasilkan limbah padat berupa tandan kosong kelapa sawit. Setiap ton tandan buah segar (TBS) yang diolah di pabrik

akan menghasilkan 220 kg TKS, 670 kg limbah cair, 120 kg serat mesocarp, 70 kg cangkang, dan 30 kg palm kernel cake. Tandan Kosong Kelapa Sawit

(TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung 42.8% C, 2.90% K2O,

0.80% N, 0.22% P2O5, 0.30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B,

23 ppm Cu, dan 51 ppm Zn. Setiap ton TKKS mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg urea, 0.6 kg RP, 12 kg MOP, dan 2 kg kiserit (Darmosarkoro dan Winarna, 2001).

Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah organik yang berpotensi

untuk dijadikan sebagai sumber hara bagi tanaman, melalui pengomposan. Cara ini dapat meningkatkan kandungan nutrisi/hara TKKS yang berguna untuk pertumbuhan tanaman, sehingga dapat mensubstitusi kebutuhan pupuk

anorganik/sintetik yang harganya jauh lebih mahal. Salah satu kesulitan yang

dihadapi dalam pengomposan TKKS adalah kandungan selulosa dan lignin yang cukup tinggi sehingga pengomposan memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6 bulan – 1 tahun. Senyawa-senyawa seperti gula, pati, dan asam lemak sangat mudah terdekomposisi, sedangkan lignoselulosa dan lignin sulit

(4)

didekomposisi. Berdasarkan komposisi kimianya TKKS mengandung 22,23% lignin, 67,88% holoselulosa, 26,69% pentosan, dan 6,59% abu (Singh, 1994).

Hasil analisis di laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menunjukkan bahwa kandungan hara dalam kompos TKKS relatif tinggi, salah satu keunggulannya adalah kandungan K yang tinggi, yaitu mencapai 2 – 3%.

Selain itu, kompos dari tandan kosong kelapa sawit juga memiliki pH yang tinggi (mencapai pH 8) sehingga berpotensi sebagai bahan pembenah kemasaman tanah. Kompos TKKS mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang cukup

tinggi (> 66,1 me/100g) dan merupakan sumber unsur mikro Fe dan B (Darmosarkoro dan Winarna, 2001).

Di dalam tahap pembibitan kelapa sawit, kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dapat dimanfaatkan sebagai pembenah media tanam sub soil yang kurang subur menjadi subur seperti sifat media tanam top soil yang umumnya digunakan, jika komposisi keduanya tepat. Penelitian Hidayat, dkk (2007) menyimpulkan bahwa untuk mengatasi kekurangan media top soil di pembibitan utama, dapat digunakan media sub soil yang ditambah dengan kompos tandan kosong kelapa sawit (KTKKS) dengan perbandingan 8 : 2. Penggunaan media tanam sub soil ditambah bahan organik kompos TKKS pertumbuhan tanaman lebih tinggi yaitu 126,4 cm (umur 12 bulan) dibandingkan campuran lain yang telah diuji, untuk parameter jumlah pelepah dan diameter batang juga perlakuan tersebut merupakan yang terbaik. Perlakuan campuran sub soil dengan kompos TKKS berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan tanah top soil, diduga karena kompos TKKS mengandung unsur hara yang dapat digunakan tanaman sebagai pupuk.

(5)

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan industri pengolahan minyak sawit merupakan sisa dari proses pembuatan minyak sawit yang berbentuk cair. Limbah ini tidak langsung dibuang ke badan air karena dapat menimbulkan pencemaran. Oleh karena itu untuk mengurangi pencemaran maka limbah cair yang akan diaplikasikan ke areal perkebunan terlebih dahulu diolah melalui sistem kolam. Limbah ini masih banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan tanah. Limbah cair ini biasanya digunakan sebagai alternatif pupuk di lahan perkebunan kelapa sawit yang sering disebut dengan land application (Anonim, 2007a).

Limbah cair pabrik kelapa sawit memiliki potensi sebagai pencemar lingkungan karena mengandung nilai COD 48.000 mg/l, BOD 25.500 mg/l, padatan tersuspensi 18.750 mg/l, dan padatan total 29.000 mg/l. untuk mengendalikan pencemaran maka dilakukan pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit secara biologi, kimia, atau fisik (Gumbira, 1996).

Aplikasi limbah cair memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit. Kandungan hara pada 1m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, 3,0 kg MOP, dan 1,2 kg kieserit, dimana kualifikasi limbah cair yang digunakan mempunyai kandungan BOD 3.500-5.000 mg/l yang berasal dari kolam anaerobik primer. Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder (flatbed). Ukuran flatbed

(6)

adalah 2,5 m x 1,5 m x 0,25 m. Dosis pengaliran limbah cair adalah 12,6 mm ekuivalen curah hujan (ECH)/ha/bulan atau 126 m3/ha/bulan (Anonim, 2007b).

Limbah cair yang akan diaplikasikan ke areal perkebunan harus memenuhi kriteria tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 28 pasal 3 tahun 2003 tentang pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit ditetapkan bahwa persyaratan minimal pengkajian pemanfaatan air limbah yaitu pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, pengaruh terhadap kualitas tanah dan air, pengaruh terhadap

kesehatan masyarakat, BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/L, nilai pH berkisar 6-9, dilakukan pada lahan selain lahan gambut, dilakukan pada lahan selain lahan

dengan permeabilitas 1,5 < x < 15 cm/jam, tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter.

Limbah yang biasanya diaplikasikan ke lahan terdapat dalam 3 bentuk,

yaitu 1) Limbah cair (Liquid sludge) 1-10 % padatan, 2) Endapan lumpur (Semi-solid (wet) sludge) 10-25 % padatan 3) Padatan (Solid (dry) sludge) 25-60 % padatan (Thom, 2001).

Hasil penelitian Nuraima (2008) menyimpulkan bahwa aplikasi konsentrat (endapan) LCPKS sampai dosis 25 ton/ha dapat meningkatkan N-total, K-dapat tukar, P-tersedia tanah dan memberikan respon pertumbuhan yang baik terhadap tanaman jagung.

Di dalam tahap pembibitan kelapa sawit, limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) dapat dimanfaatkan sebagai pembenah media tanam sub soil yang kurang subur menjadi subur seperti sifat media tanam top soil yang umumnya

(7)

digunakan, jika komposisi keduanya tepat. Penelitian Hidayat, dkk (2007)

menyatakan bahwa sub soil yang ditambahkan limbah cair kelapa sawit dalam bentuk dry atau wet sludge (lumpur) dengan komposisi 8 : 2 sudah dapat dijadikan alternatif dalam menggantikan fungsi top soil sebagai media

tanam bibit kelapa sawit. `

Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan merupakan langkah awal yang sangat menentukan bagi keberhasilan pertanaman. Hal ini juga berlaku dalam budidaya tanaman kelapa sawit, dimana pertanaman kelapa sawit yang produktivitasnya tinggi selalu berasal dari bibit yang baik. Bibit yang baik hanya akan diperoleh jika benih kelapa sawit yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atau sumber benih lainnya ditangani dengan baik sesuai pedoman. Pembibitan bertujuan untuk menyediakan bibit yang baik dan sehat dalam jumlah yang cukup. Hal ini hanya akan berhasil jika kita menggunakan bahan tanaman (kecambah) yang berasal dari produsen benih resmi, memilih lokasi pembibitan strategis, dan menerapkan kaidah kultur teknis pembibitan (Darmosarkoro, dkk, 2008).

Pembibitan pada perkebunan kelapa sawit merupakan kegiatan menanam kecambah (dari biji) pada suatu media tanam (tanah dalam polybag), sehingga bibit tersebut siap untuk ditanam secara permanen di areal perkebunan. Pembibitan pada perkebunan kelapa sawit pada umumnya dibagi menjadi dua tahap (double stage). Tahap pertama disebut pre nursery dan tahap kedua disebut main nursery. Pre Nursery diawali dengan menanam kecambah kelapa sawit ke dalam tanah pada kantong plastik (polybag) kecil hingga berumur 3 bulan. Main

(8)

Nursery diawali dengan menanam bibit yang sudah berumur 3 bulan (pindahan dari pre nursery) ke dalam polibag yang lebih besar hingga bibit siap ditanam di areal perkebunan, atau kira-kira 9 (sembilan) bulan kemudian. Jadi waktu yang dibutuhkan pada pembibitan mulai penanaman kecambah hingga bibit siap ditanam di areal perkebunan kurang lebih adalah 12 bulan (tiga bulan pre nursery dan sembilan bulan main nursery), (Hadi, 2004).

Ada 3 hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam menunjang keberhasilan dalam pembibitan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik, yaitu Bahan Tanaman, Media Tanam Bibit, dan Pemupukan Bibit.

Bahan Tanaman ( Benih dan Bibit )

Faktor bibit memegang peranan penting dalam upaya peningkatan produksi dan mutu kelapa sawit mengingat tanaman kelapa sawit baru akan menghasilkan pada 3 – 4 tahun setelah tanam. Hal ini bias terukur dari produksi tandan buah segar (TBS), meningkatkan rendemen minyak (oil extraction rate), kandungan inti sawit, dan karakteristik vegetatif tanaman. Faktor genetik dalam bibit akan mempengaruhi produksi hingga 30% (Sukamto, 2008).

Investasi yang sebenarnya bagi perkebunan komersial berada pada bahan tanaman yang akan ditanam karena merupakan sumber keuntungan pada perusahaan kelak. Seiring dengan filosofi tersebut, pembangunan kebun kelapa sawit komersial harus bisa memberikan jaminan produksi yang tinggi dan keuntungan yang optimal bagi perusahaan. Konsekuensinya, bahan tanaman yang ditanam harus bermutu tinggi dan dapat dijamin (dilegitimasi) oleh institusi penghasil benih. Pemilihan bahan tanaman yang yang tidak tepat akan membawa risiko yang sangat besar. Perusahaan akan menderita kerugian dana, waktu, dan

(9)

tenaga jika bibit yang ditanam ternyata tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Hal ini baru bisa diketahui setelah tanaman mulai menghasilkan, 2 – 4 tahun kemudian (Pahan, 2006).

Kecambah (benih) berlegitimasi didatangkan dari produsen benih yang bersertifikat (legitim), yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, PT Socfindo Medan, PT MP London Sumatera Indonesia Tbk. Medan, PT Bina Sawit Makmur Palembang, PT Tunggal Yunus Estate Pekanbaru, PT Dami Mas Sejahtera Pekanbaru, dan PT Tania Selatan Palembang. Sebanyak 26 varietas (16 diantaranya dihasilkan oleh produsen benih swasta) telah dilepas sebagai varietas unggul yang dapat dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen di seluruh wilayah Indonesia (Pahan, 2008).

Seleksi bibit penting dilakukan karena akan menentukan hasil panen dan kualitas kelapa sawit. Untuk mendapatkan tanaman bersifat unggul, biji yang dipilih sebaiknya berasal dari persilangan varietas unggul. Di Indonesia lebih banyak digunakan bahan tanaman yang berasal dari persilangan Dura dan Psifera. Hasil persilangannya dianggap sebagai persilangan terbaik secara ekonomis, yaitu didasarkan pada kriteria produksi minyak per hektar, mutu minyak, pertumbuhan vegetatif, dan daya tahan terhadap penyakit tajuk serta ganoderma (Fauzi, dkk, 2008).

Bagi orang awam sulit untuk menilai apakah bibit kelapa sawit miliknya tumbuh dengan baik. Untuk mengetahui apakah bibit yang dipelihara di Main Nursery tumbuh secara normal atau tidak, perlu dilakukan pengamatan tinggi, jumlah pelepah, dan ukuran bonggolnya. Jika berdasar hasil pengukuran, bibit yang ada tidak tumbuh normal maka kemudian dapat dilakukan pemeriksaan

(10)

secara rinci terhadap pelaksanaan pembibitannya guna mencari kesalahan yang perlu segera diperbaiki. Standard pertumbuhan bibit kelapa sawit yang tergolong normal menurut Darmosarkoro dkk (2008), yaitu :

Tabel 1. Standard pertumbuhan bibit kelapa sawit D x P yang tergolong normal

Umur (Bulan) Rerata Jumlah Pelepah Tinggi (cm) Diameter Bonggol (cm) 3 3.5 20 1.3 4 4.5 25 1.5 5 5.5 32 1.7 6 8.5 40 1.8 7 10.5 52 2.7 8 11.5 64 3.6 9 13.5 88 4.5 10 15.5 102 5.5 11 16 114 5.8

Untuk penanaman bibit pasca main nursery ke lahan yang telah disiapkan,

sebaiknya dipilih bibit yang telah berumur 12-14 bulan, jika digunakan bibit yang berumur kurang dari 6 bulan tidak akan tahan terhadap hama dan penyakit,

sebaliknya jika melebihi akan menambah biaya penanaman dan waktu tanam. Walaupun umurnya sama, tinggi bibit di pembibitan tidak seragam. Tinggi bibit yang dianjurkan berkisar 70-180 cm. Bibit yang tingginya kurang dari ukuran yang dianjurkan akan menurunkan produksi, sedangkan yang terlalu tinggi, produksinya tidak lebih tinggi dibandingkan tanaman yang berasal dari bibit yang dianjurkan (Fauzi, dkk, 2008).

Ukuran diameter bonggol juga menjadi prioritas utama yang seharusnya dipertimbangkan dalam memilih bibit yang unggul, karena berdasarkan Hidayat dkk (2007) diameter bonggol (batang) berkaitan erat dengan kesuburan tanaman secara keseluruhan, dimana semakin besar diameter batang dapat dikatakan bahwa semakin suburlah tanaman tersebut. Besarnya diameter bonggol (batang) kelapa

(11)

sawit juga berkaitan erat dengan besarnya tandan, jadi semakin besar diameter batang maka tandan buah sawit yang akan dihasilkan diasumsikan semakin besar.

Media Tanam Bibit

Selain kualitas benih yang digunakan, kualitas media tanam pada fase pembibitan yang digunakan juga merupakan faktor penentu keunggulan bibit yang akan ditanam di lahan perkebunan. Berdasarkan (Darmosarkoro, dkk, 2008) kesalahan dalam pengisian polibeg sering menyebabkan kematian benih yang baru disemaikan, sehingga tidak jarang petani mengeluh dan mencurigai kualitas benih yang jelek. Padahal kesalahan terjadi akibat pemilihan tanah isian yang tidak tepat sehingga bibit membusuk atau tumbuh kerdil.

Meskipun kelapa sawit tidak berbeda jauh dengan tumbuhan dari familia palmae lain (misalnya pinang, palem, kelapa, aren dan lainnya) yang dapat tumbuh di hampir semua jenis tanah (Hadi, 2004), namun hanya tanah yang berkualitas baik sebaiknya dipakai untuk pembibitan. Sifat-sifat tanah untuk pembibitan menurut Rankine and Fairhurst (2001) yaitu :

a) Tidak kedap air, lempung gembur dengan kadar pasir tidak melebihi 60 %. Jangan menggunakan pasir atau liat sebagai pengisi polibeg.

b) Bebas kontaminasi (pelarut, residu, naham kimia dan inokulum penyakit). Tanah harus disaring untuk menghilangkan kotoran, batu, ranting tanaman dan gumpalan besar (berdiameter > 1 cm). Gambut jangan digunakan untuk pengisi polibeg. Jangan menggunakan tanah yang mengandung sejumlah besar bahan organik yang belum berdekomposisi. Jangan menggunakan tanah yang telah terpengaruh temperatur (seperti pembakaran). Kriteria sifat tanah yang baik untuk

(12)

Tabel 2. Kriteria sifat tanah yang baik untuk media tanam bibit Sifat Kisaran pH dalam air >4,5 Kandungan pasir (%) 30 – 60 Kandungan liat (%) 25 – 45 Karbon organik (%) 2 – 3 N total (%) 0,15 – 0,20 P (Bray I) (mg/kg) >25

K dapat ditukar (Cmol/kg) >0,2

Mg dapat ditukar (Cmol/kg) >0,4

Medium tanam bibit yang umum digunakan adalah tanah yang diambil dari bagian top soil, karena bagian ini memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan dengan bagian sub soil. Namun penggunaan top soil yang terus menerus telah menimbulkan masalah ketersediaannya yang semakin terbatas (Winarna dan Sutarta, 2003).

Tanah yang dibutuhkan untuk mengisi polybag besar pada main nursery jumlahnya cukup besar karena satu polybag membutuhkan kurang lebih 12 kg tanah. Kebutuhan akan tanah ini bersifat terus menerus selama pembibitan masih dilaksanakan karena tanah yang telah digunakan akan turut serta ditanam di areal perkebunan bersama dengan bibitnya sehingga tanah tidak dapat dipergunakan lagi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dengan baik dari mana tanah harus diambil mengingat jumlahnya yang sangat besar. Pada umumnya, tanah diambil dari perbukitan disekitar areal perkebunan yang kondisi kesuburannya cukup baik tetapi topografinya tidak memungkinkan untuk ditanami (Hadi, 2004).

Pada areal pembibitan yang luas dan permanen, pemanfaatan tanah yang subur secara terus menerus dan berulang kali untuk media tanam akan mengakibatkan ketersediaan tanah tersebut semakin berkurang sehingga untuk mendapatkan top soil dalam jumlah yang relatif besar menjadi sulit dan terbatas.

(13)

Diperkirakan bahwa keterbatasan ketersediaan top soil menjadi kendala utama dalam mempersiapkan media tumbuh pengisi polibeg terutama untuk pembibitan dalam sekala besar (Hidayat, dkk, 2007).

Pemupukan Bibit

Salah satu tindakan perawatan tanaman yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman adalah pemupukan. Pemupukan bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara di dalam tanah terutama agar tanaman dapat menyerapnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan pemupukan dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Fauzi, et al, 2008).

Hadi (2004) menyebutkan bahwa masalah utama yang harus diperhatikan dalam pemupukan adalah sebagai berikut :

1) Tepat Jenis, pupuk yang diberikan merupakan pupuk yang unsur haranya memang diperlukan oleh tanaman.

2) Tepat Dosis, jumlah atau takaran pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, tidak kurang atau tidak lebih. Apabila dosis

pemupukannya kurang, bibit tidak bisa tumbuh sesuai harapan, demikian juga jika dosisnya berlebih. Dosis berlebih bahkan dapat menyebabkan tanaman mati, misalnya jika tanaman kelebihan pupuk Urea.

3) Tepat Waktu, pemberian pupuk harus sesuai dengan jadwal yang telah dibuat karena jadwal pemberian pupuk sudah disesuaikan dengan umur bibit dan rotasi jenis pupuk yang akan diberikan. Perlu diketahui bahwa beberapa

pupuk yang diberikan secara bersamaan dapat bersifat sinergis atau antagonis. Jika sifat sinergis muncul, zat-zat hara yang dikandung oleh pupuk dapat

(14)

muncul, pupuk yang telah diberikan tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagainya mestinya.

Ada beberapa jenis pupuk yang umum digunakan pada perkebunan kelapa sawit menurut Sutarta dan Darmosarkoro (2001), antara lain adalah :

1) Pupuk Nitrogen (N), yang umum digunakan adalah Urea, karena pupuk ini mempunyai harga per satuan hara yang lebih murah. Namun pemilihan pupuk ini hendaknya mempertimbangkan jenis tanah dalam kaitannya dengan kehilangan akibat penguapan.

2) Pupuk Fosfor (P), yang umum digunakan untuk tanaman kelapa sawit adalah rock phosphate (RP). Penggunakan RP dianggap lebih murah dibandingkan dengan pupuk superfosfat (SP 36) yang merupakan pupuk pabrik.

3) Pupuk Kalium (K), sumber hara yang banyak digunakan adalah pupuk MOP (KCl), sedang jenis pupuk kalium lainnya seperti kalium sulfat dan kalium nitrat jarang digunakan karena keduanya relatif mahal.

4) Pupuk Magnesium (Mg), sumber hara Mg yang banyak dipakai adalah Dolomit yang mempunyai harga per satuan hara lebih rendah dibanding kiserit, sedangkan kiserit umumnya digunakan pada tanaman belum menghasilkan yang memerlukan hara Mg yang segera tersedia.

5) Pupuk Campur, dibuat dengan cara mencampur beberapa pupuk tunggal dengan perbandingan sesuai dengan kebutuhan pekebun. Adanya beberapa unsur hara diharapkan dapat mengurangi biaya aplikasi khususnya bagi perkebunan yang kesulitan tenaga kerja.

6) Pupuk Majemuk, merupakan produk butiran yang seragam, terbentuk dari kombinasi beberapa sumber hara melalui proses kimiawi. Saat ini berbagai

(15)

produsen pupuk mencoba mengembangkan teknologi pupuk majemuk dengan mengkombinasikan bahan pupuk tunggal sehingga diperoleh pupuk majemuk sesuai dengan kebutuhan tanaman dan mudah penanganannya. Pupuk majemuk yang yang banyak beredar pada perkebunan kelapa sawit mempunyai beragam komposisi hara, dan biasanya dilakukan penambahan beberapa unsur mikro. Mengingat harganya yang relatif lebih mahal dibanding pupuk tunggal, pemakaian pupuk majemuk biasanya dilakukan pada pembibitan dan tanaman belum menghasilkan.

7) Pupuk Organik, merupakan pupuk yang berasal dari bahan organik, khususnya berupa limbah dari pabrik dan perkebunan kelapa sawit. Bahan organik yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit, yang selama ini masih sering dianggap sebagai limbah merupakan sumber hara yang potensial bagi tanaman kelapa sawit, selain berfungsi sebagai bahan pembenah tanah.

Darmosarkoro, dkk (2008) menyatakan bahwa Pemupukan di Pre Nursery pada umumnya tidak dilakukan sampai dengan bibit berumur 2 bulan. Bahkan jika digunakan media isian polibeg berupa tanah yang subur, pemupukan tidak perlu dilakukan hingga bibit pindah ke pembibitan utama. Aplikasi pemupukan di Main Nursery dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk majemuk NPKMg 15:15:6:4, NPKMg 12:12:17:2 dan Kiserit/Dolomit, sedangkan pada kondisi khusus dapat diberikan ekstra N (Urea) apabila helai daun kelihatan memucat, dengan dosis disesuaikan kebutuhan umur bibit.

Oleh karena hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian pupuk adalah tepat jenis, tepat dosis, dan tepat waktu, maka berdasarkan rekomendasi

(16)

pemupukan PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) Medan pada bibit tahap main nursery adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Standard dosis pemupukan bibit kelapa sawit di Main Nursery

Umur (minggu)

Pembibitan Utama (Main Nursery)

Jenis dan Dosis Pupuk Pupuk Majemuk Kieserite (g/bibit) 15 : 15 : 6 : 4 (g/bibit) 12 : 12 : 17 : 2 (g/bibit) 13 2,5 0 0 14 2,5 0 0 15 5,0 0 0 16 5,0 0 0 17 7,5 0 0 18 7,5 0 0 20 10 0 0 22 10 0 0 24 0 10 0 26 0 10 5 30 0 10 0 32 0 10 5 34 0 15 0 36 0 15 7,5 38 0 15 0 40 0 15 7,5 42 0 20 0 44 0 20 10 46 0 20 0 48 0 20 10 50 0 25 0 52 0 25 10

Gambar

Tabel 1. Standard pertumbuhan bibit kelapa sawit D x P yang tergolong normal
Tabel 2. Kriteria sifat tanah yang baik untuk media tanam bibit   Sifat  Kisaran  pH dalam air  &gt;4,5  Kandungan pasir (%)  30 – 60  Kandungan liat (%)  25 – 45  Karbon organik (%)  2 – 3  N total (%)  0,15 – 0,20  P (Bray I) (mg/kg)  &gt;25  K dapat dit
Tabel 3. Standard dosis pemupukan bibit kelapa sawit di Main Nursery

Referensi

Dokumen terkait

Next, the local community from Bandar Penggaram, Batu Pahat had exposed me to a wide spectrum of opinion and advice on topics like public market scenario, user preference,

Berdasarkan penelitian Bank Indonesia dalam Kajian Stabilitas Sistem Keuangan (2014), ketika Indonesia diterpa krisis tahun 2005 dan 2008, indikasi perilaku prosiklikalitas perbankan

Berdasarkan dari ukuran distribusi pendapatan, maka distribusi pendapatan masyarakat di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan berada dalam keadaan merata, sedangkan

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara hasil belajar fisika siswa SMA pada kelas yang diterapkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan dengan gaya belajar field independent memiliki tingkat penguasaan integral yang lebih tinggi dari mahasiswa dengan dengan

Untuk mengetahui apakah perubahan opini audit mempengaruhi reaksi pasar. Untuk mengetahui apakah perubahan laba mempengaruhi

Besarnya reduksi volume yang nyata, terlihat sampai akhir minggu ke 5 (besarnya reduksi volume sampai 80%). Setelah itu, reduksi volume tidak lagi terlihat secara nyata.

Wiroatmodjo dan Zulkifli (1988), dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembenah tanah mampu memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga memacu pertumbuhan akar sekaligus dapat