• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS

PETANI

Reforma Agraria di Desa Sipak

Reforma agraria adalah program pemerintah yang melingkupi penyediaan

asset reform dengan melakukan redistribusi tanah dan penyediaan access reform

untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Reforma agraria yang dilaksanakan di Kecamatan Jasinga berlangsung pada tahun 2007. Penerima program ini merupakan 10 desa di Jasinga yang dilalui areal bekas perkebunan PT. PP. Jasinga, salah satunya adalah Desa Sipak. Sesudah diadakan pengukuran dari pihak BPN, desa ini memperoleh hak sebanyak 407 bidang tanah dengan 402 hak milik dan dua hak pakai.

Berita mengenai hal ini disambut antusias oleh warga desa, khususnya warga yang telah menggarap tanah di perkebunan tersebut selama bertahun-tahun. warga mengaku senang karena akan dibagi-bagikan tanah dan sertifikat oleh pemerintah. Program reforma agraria yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu penyediaan asset reform dan access reform. Asset reform terdiri dari tersedianya lahan untuk dibagikan kepada rakyat dan adanya sertifikasi gratis terhadap lahan yang dibagikan, sedangkan access reform terdiri dari tersedianya infrastruktur dan sarana produksi, pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, tersedianya dukungan permodalan, dan tersedianya dukungan distribusi pemasaran.

1. Penyediaan Asset Reform

Penyediaan asset reform adalah penyediaan objek reforma agraria, dalam penelitian ini ada dua variabel yang termasuk asset reform, yaitu penyediaan tanah redistribusi dan sertifikat terhadap tanah tersebut. Penyediaan tanah redistribusi dalam penelitian ini yaitu berupa lahan bekas HGU perkebunan PT. PP. Jasinga yang dibagikan kepada petani. Data mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan tanah redistribusi disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan tanah

redistribusi di Desa Sipak tahun 2012 Penerimaan tanah

redistribusi Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 0 0

Tinggi 32 100

Total 32 100

Tabel 5 menunjukkan jumlah responden yang menerima tanah redistribusi bekas HGU sebanyak 100% responden berada pada kategori tinggi. Ini berarti masyarakat mengakui bahwa memang pernah ada pembagian tanah bekas HGU perkebunan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Kepala Desa Sipak menerangkan bahwa awalnya jumlah penerima tanah di desa ini hanya 100 orang saja, yakni para petani yang telah menggarap lahan tersebut. Akan tetapi, kepala desa ingin

(2)

agar semua rakyatnya menerima tanah meskipun tidak pernah ikut menggarap sebelumnya karena ingin agar kesejahteraan rakyatnya dapat meningkat semua, tidak setengah-setengah. Hal tersebut menuai pro dan kontra dari para penggarap. Warga yang menggarap merasa itu tidak adil karena yang tidak menggarap dapat dengan mudah memperoleh tanah, sedangkan mereka yang susah payah menggarap jatahnya harus berkurang. Akhirnya, sebanyak 406 warga Desa Sipak dipilih untuk menerima tanah bekas perkebunan tersebut, terdiri dari penggarap dan non-penggarap. Luas tanah yang diterima tergantung dari luas mereka menggarap tanah tersebut sebelum diadakan program ini. Jika terlalu besar akan dibagikan beberapa bagiannya untuk warga yang tidak menggarap. Meskipun sudah sedemikian rupa diatur oleh kepala desa agar adil, tetap saja keputusan tersebut menuai protes, baik dari warga yang tanahnya harus rela dibagi maupun dari warga yang tidak kedapatan tanah.

Variabel kedua dari penyediaan asset reform yaitu sertifikasi tanah. Sertifikasi tanah dalam penelitian ini berarti sertifikat yang diberikan secara gratis untuk tanah redistribusi yang dibagikan. Data mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan sertifikat tanah disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan sertifikat tanah di Desa Sipak tahun 2012

Penerimaan sertifikat

tanah Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 0 0

Tinggi 32 100

Total 32 100

Tabel 6 menunjukkan hal yang sama seperti pada Tabel 5, yakni sebanyak 100 persen responden berada pada kategori tinggi untuk penerimaan sertifikat tanah dari pemerintah. Memang benar pada tahun 2007 selain diberikan tanah, warga juga dibagikan sertifikat atas tanah tersebut. Hal ini merupakan pemenuhan harapan warga yang kuatir jika sewaktu-waktu tanah mereka akan kembali diambil karena tidak kuat secara hukum.

(3)

Gambar 5 Sertifikat tanah

BPN Kabupaten Bogor menegaskan bahwa pemberian sertifikat ini gratis tanpa dipungut biaya apapun dari warga. Hal yang sama juga diakui oleh Kepala Desa Sipak. Akan tetapi, temuan di lapangan berkata lain. Dari 32 responden yang ditemui peneliti, 100% mengatakan bahwa warga harus membayar uang sejumlah Rp150 000 untuk menebus sertifikat tanahnya di kantor desa. Ketika ditanya uang sebesar itu untuk apa, warga tidak ada yang tahu pasti. Meskipun harus membayar sejumlah uang, warga merasa tidak keberatan karena uang tersebut dirasa masih wajar jumlahnya.

“Ngambil sertipikatnya di balai desa neng, disuruh bayar 150 ribu. Katanya mah buat nebus sertipikatnya. Ya waktu itu mah Ibu usahain jual apa aja yang bisa

dijual biar bisa nebus sertipikatnya” (AS, 60 tahun).

“Bapak ngga keberatan disuruh bayar 150 ribu buat nebus sertifikatnya. Segitu mah masih wajar, mungkin buat uang capek yang udah pada ngurusin ini. Coba kalo ngurus sendiri udah mah capek sendiri, bayarnya bisa

lebih dari 150 (ribu)” (AB, 35 tahun).

Saat pembagian sertifikat, terlihat ada hal yang bertolak belakang dengan prosedur yang telah ditetapkan. Prosedurnya adalah warga yang menggarap lahan dengan jumlah yang sangat luas hingga ribuan meter persegi harus rela membagi tanahnya dengan warga yang tidak menggarap sehingga tanah seluas itu tidak hanya memiliki satu buah sertifikat atas nama satu orang. Akan tetapi, kenyataannya ada warga yang melakukan kecurangan. Memang benar tanah seluas itu tidak bersertifikat atas nama satu orang, tetapi dibuat sertifikat atas nama anak-anak si pemilik tanah tersebut padahal anak-anaknya masih di bawah umur. Ada juga yang membuat sertifikat atas nama saudara dan kerabatnya

(4)

sendiri. Hal tersebut sebenarnya diketahui oleh pemerintah desa, tetapi dibiarkan begitu saja seperti sudah ada kongkalingkong sebelumnya. Ada juga salah seorang penerima bernama bapak SM (50 tahun) yang mengaku telah membayar untuk dua buah sertifikat, tetapi hanya diberikan satu buah dan satu buahnya lagi masih ditahan oleh kepala desa hingga saat ini. Beliau mengaku tidak tahu alasan mengapa sertifikatnya ditahan padahal sudah membayar. Awalnya, Bapak SM berusaha menanyakan hal tersebut kepada kepala desa, tetapi tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan hingga akhirnya Bapak SM memilih untuk merelakannya.

2. Penyediaan Access Reform

Penyediaan access reform yaitu adanya aktifitas yang saling terkait dan berkesinambungan, dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu (1) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (2) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (3) dukungan permodalan, dan (4) dukungan distribusi pemasaran. Data mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan penyediaan access reform disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyediaan access reform

di Desa Sipak tahun 2012

Penyediaan acces reform Jumlah (n) Persentase (%) 1. Penyediaan infrastruktur dan sarana

produksi a. Rendah b. Tinggi 15 17 46.9 53.1 2.Pembinaan dan bimbingan teknis

a. Rendah b. Tinggi 29 3 90.6 9.4 3.Dukungan permodalan a. Rendah b. Tinggi 29 3 90.6 9.4 4. Dukungan distribusi pemasaran

a. Rendah b. Tinggi 15 17 46.9 53.1

Tabel 7 memperlihatkan bahwa penyediaan access reform pada program reforma agraria di Desa Sipak dikategorikan masih rendah karena menurut BPN sendiri pihak pemerintah memang hanya menyediakan tanah dan sertifikat saja tanpa menyediakan acces reform. Akan tetapi, BPN memberikan dukungan untuk menunjang keberlanjutan PPAN di Kecamatan Jasinga dengan cara bekerja sama dengan Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perdagangan, koperasi,

dan stakeholder lainnya yang dapat menjembatani penjualan hasil produksi. Salah

satu bentuk kerja sama dengan Dinas Pertanian yaitu dengan memberikan bibit manggis, sengon, nangka, dan mahoni gratis kepada penerima program.

Tabel 7 memperlihatkan 53.1% responden yang menyatakan mendapat infrastruktur dan sarana produksi yang tinggi. Penyediaan infrastruktur dan sarana

(5)

produksi dalam penelitian ini yaitu ada alat-alat produksi atau media penunjang lainnya yang disediakan pemerintah yang menjadi nilai tambah untuk keberlanjutan pengolahan tanah. Responden yang menjawab ya untuk pernyataan mengenai penyediaan infrastruktur dan sarana produksi mengaku telah mendapatkan bibit manggis gratis dari pemerintah tidak lama setelah pembagian tanah dan sertifikat berlangsung, tepatnya tahun 2008. Akan tetapi, pemberian bibit manggis gratis ini hanya ada di RW 09 saja, tidak demikian di RW lainnya.

“Dukungan dari pemerintah selain tanah dan sertifikat yaitu berupa bibit manggis tahun 2008. Tapi adanya cuma di RW 09 aja. Waktu itu ada ratusan bibit manggis yang dibagikan secara gratis untuk warga RW 09. Masing-masing dapetnya beda-beda, ada yang dapet sampe 25 polybag, ada

juga yang cuma dapet 11 polybag” (HM, 50 tahun).

Variabel penyediaan access reform lainnya yaitu pembinaan dan bimbingan teknis. Pembinaan dan bimbingan teknis adalah usaha, tindakan, atau kegiatan dari instansi tertentu untuk mengarahkan responden dalam pengolahan tanah yang berkelanjutan dan mengolah hasil produksi pertanian yang lebih baik. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang berada pada kategori rendah untuk pembinaan dan bimbingan teknis sebanyak 90.6% dan kategori tinggi sebanyak 9.4%. Ketiga responden yang mengaku mendapatkan pembinaan dan bimbingan teknis adalah mereka yang juga menerima infrastruktur dan sarana produksi berupa bibit manggis dari pemerintah.

“Waktu pas dibagiin manggu di balai desa, Ibu sendiri yang dateng ke sana. Sekalian dikasih tau cara nanemnya gimana, jarak tanemnya harus berapa, terus tanahnya harus diapain biar subur. Ada petugasnya neng dari dinas pertanian kalo ngga salah” (AN, 50 tahun).

“Kalo kayak penyuluhan gitu pernah ada pas lagi bagiin manggis. Orang dari dinas yang dateng. Tapi cuma sekali itu

aja, abis itu ngga pernah ada lagi” (HM, 50 tahun).

Variabel selanjutnya adalah dukungan permodalan dan dukungan distribusi pemasaran. Dukungan permodalan yaitu dukungan berupa uang yang dipinjamkan atau diberikan oleh instansi tertentu untuk keberlanjutan pengolahan tanah, sedangkan dukungan distribusi pemasaran yaitu dukungan penyaluran nilai jual hasil produksi pertanian dari tanah hasil redistribusi. Tabel 7 memperlihatkan jumlah responden yang menerima dukungan permodalan yang berada pada kategori rendah sebanyak 90.6%, sedangkan yang berada pada kategori tinggi sebanyak 9.4%. Selanjutnya, untuk variabel distribusi pemasaran, 46.9% responden berada pada kategori rendah, sedangkan 53.1% berada pada kategori tinggi.

Warga yang mengatakan bahwa pernah tersedia dukungan permodalan di desanya mengaku pernah ditawarkan sejumlah uang untuk modal berusaha tani ketika pembagian bibit manggis. Akan tetapi, warga mengaku takut untuk

(6)

menerimanya dan memilih untuk menolak tawaran modal terebut. Selanjutnya, dalam hal distribusi pemasaran, seluruh warga yang menerima bibit manggis mengaku telah menerima dukungan distribusi pemasaran, yakni dengan cara sudah ada yang membawa hasil panen manggis warga ke pasar menggunakan mobil pick up.

Tanaman yang ditanam di kebun warga cukup beragam, selain manggis ada juga tanaman albasia, afrika, sengon, jabon, ambon, manggis, kecapi, rambutan, pisang, singkong, dan durian. Tanaman kayu-kayuan seperti albasia, afrika, sengon, jabon, dan ambon adalah tanaman yang bisa dipanen jika usia tanaman sudah mencapai kurang lebih lima tahun. Oleh sebab itu, terhitung dari tahun 2007 hingga saat ini warga mengaku baru menebang pohon (panen) sebanyak satu kali bahkan ada pula yang belum memanen. Ketika panen, menurut penuturan beberapa warga, sudah ada calo yang menawar kayu mereka. Jika tidak, mereka akan menjualnya melalui pengumpul atau tengkulak. Untuk tanaman buah musiman seperti manggis, kecapi, rambutan, dan durian ketika panen tiba pemiliknya akan membuat saung-saung di pinggir jalan raya untuk menjual hasil panennya.

Variabel-variabel asset reform dan access reform apabila dijumlahkan skornya dan dibuat kategori baru untuk penerimaan reforma agraria, diperoleh hasil seperti dalam tabel berikut.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pelaksanaan program reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012

Pelaksanaan program

reforma agraria Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 15 46.9

Tinggi 17 53.1

Total 32 100.0

Tabel 8 menunjukkan sebanyak 53.1% persen responden mendapatkan program reforma agraria kategori tinggi. Ini berarti pelaksanaan reforma agraria di Desa Sipak telah mencakup penyediaan asset reform dan access reform. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang mengaku hanya mendapat tanah dan sertifikatnya, tidak ada access reform sama sekali yang mereka terima. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah seorang responden sebagai berikut.

“Ngga ada neng yang lainnya yang dikasih dari pemerintah, cuma tanah sama sertipikat aja. Tapi segitu juga udah Alhamdulillah ibu mah bersyukur dari yang ngga punya

tanah sekarang mah jadi punya” (JN, 70 tahun).

Pernyataan ibu JN juga diperkuat oleh seorang informan yang menyatakan bahwa program reforma agraria yang diusung oleh pemerintah Kabupaten Bogor hanyalah pembagian tanah bekas perkebunan PT. PP. Jasinga dan pemberian sertifikat gratis atas tanah tersebut. Pelaksanaan reforma agraria yang tergolong tinggi ini telah sesuai dengan konsep reforma agraria yang dicetuskan oleh Wiradi (2009). Menurutnya, istilah reforma agraria tidak sama seperti land reform yang

(7)

merujuk pada program-program redistribusi tanah untuk menata ulang struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, tetapi menyangkut berbagai program pendukung yang dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian pasca redistribusi tanah dengan maksud agar mereka yang semula tunakisma atau petani gurem itu kemudian mampu menjadi pengusaha tani yang mandiri dan tidak terjerumus ke dalam jebakan hutang. Dengan demikian, tujuan dari reforma agraria dapat tercapai.

Tingkat Kapasitas Petani

Peningkatan kapasitas petani adalah upaya meningkatkan kemampuan petani untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidupnya sehingga memperoleh hak yang sama terhadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Tingkat kapasitas petani itu sendiri adalah tingkat kemampuan petani dalam mempertahankan kegiatan usaha taninya. Penelitian ini menggunakan tiga variabel untuk mengukur tingkat kapasitas petani, yaitu tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi, tingkat kemampuan memanfaatkan peluang, dan tingkat kemampuan mengatasi masalah. Kapasitas petani dikatakan tinggi apabila petani mampu mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, dan mengatasi masalah yang terjadi pada usaha taninya.

1. Kemampuan Mengidentifikasi Potensi

Kemampuan mengidentifikasi potensi yaitu tingkat pengetahuan petani terhadap keberadaan program reforma agraria, baik dalam hal penyediaan asset

reform maupun access reform. Jumlah dan persentase responden berdasarkan

kemampuannya mengidentifikasi potensi disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan

mengidentifikasi potensi Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 0 0

Tinggi 32 100

Total 32 100

Variabel kemampuan mengidentifikasi potensi diukur berdasarkan sembilan pernyataan mengenai pengetahuan tentang program reforma agraria di Desa Sipak. Tabel 9 menunjukkan 100% responden berada pada kategori tinggi dalam hal kemampuan mengidentifikasi potensi. Artinya, seluruh warga dikatakan mampu mengetahui potensi apa saja yang terdapat di desanya untuk menunjang keberlanjutan usaha taninya. Potensi-potensi yang dianalisis pada penelitian ini di antaranya: (1) mengetahui adanya tanah yang dibagikan, (2) mengetahui adanya sertifikat yang diberikan untuk penerima tanah, (3) mengetahui luas lahan yang diberikan, (4) mengetahui adanya penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (5) mengetahui adanya penyuluhan mengenai pemanfaatan tanah, (6) mengetahui adanya penyuluhan mengenai pengolahan hasil produksi, (7) mengetahui adanya

(8)

pasar untuk mendistribusikan hasil produksi, (8) mengetahui adanya koperasi simpan pinjam untuk dukungan permodalan, (9) dan mengetahui adanya bank untuk dukungan permodalan.

2. Kemampuan Memanfaatkan Peluang

Kemampuan memanfaatkan peluang yaitu tingkat kemampuan petani dalam mengakses program reforma agraria yang tersedia serta sumber-sumber perkreditan, pasar, informasi, dan teknologi yang ada. Tabel 10 memperlihatkan jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuannya memanfaatkan peluang.

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan memanfaatkan peluang di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan

memanfaatkan peluang Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 31 96.9

Tinggi 1 3.1

Total 32 100.0

Kemampuan memanfaatkan peluang dalam penelitian ini yaitu bagaimana petani memanfaatkan potensi-potensi yang terdapat di desanya untuk menunjang keberlanjutan usaha taninya, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Tabel 10 menunjukkan bahwa sebanyak 96.9% responden berada dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, banyak di antaranya yang tidak memanfaatkan potensi-potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk menunjang usaha taninya, seperti memanfaatkan tanah redistribusi, memanfaatkan pasar untuk menjual hasil pertanian, dan memanfaatkan bank untuk sumber perkreditan mereka atau menyimpan uang hasil produksi pertanian. Ada berbagai alasan mengapa warga tidak memanfaatkan peluang-peluang yang ada, salah satunya adalah takut. Warga takut kalau tanah yang digarapnya akan diambil lagi oleh pemerintah sehingga mereka lebih memilih menjualnya karena akan mendapat uang lebih banyak dari hasil penjualan tersebut. Sebenarnya wacana tersebut hanyalah kabar burung yang tidak jelas sumbernya dari mana dan tidak dapat dipastikan kebenarannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang responden sebagai berikut.

“Dulu sempet digarap lahan itu, yah paling cuma setahun lah ngegarapnya abis itu dijual. Soalnya denger kabar kalo tanahnya bakalan diambil lagi sama pemerentah. Kan sayang kalo udah capek-capek ngegarap terus dihargainnya cuma sedikit. Ya udah lah mending dijual aja, kebetulan waktu itu

ada yang nawar empat juta” (AR, 45 tahun).

“Belum lama juga saya ngejual tanah itu, sekitar tahun 2009 lah kira-kira. Saya ngejual tanah itu karena ikut-ikutan yang lain, yang lainnya pada ngejual, ya saya ikutan. Abis katanya tanahnya mau diambil lagi sama yang punya

(9)

(pemerintah). Takutnya kan nanti ngga dikasih uang ganti rugi kalo beneran diambil, jadi lebih baik saya jual” (AB, 35 tahun).

Alasan mengapa warga tidak mau memanfaatkan pasar sebagai tempat untuk menjual hasil produksi pertanian adalah karena sudah ada pengumpul yang akan membawanya ke pasar. Warga lebih mempercayakan kepada para pengumpul daripada menjualnya sendiri ke pasar, padahal keuntungan yang didapatkan dengan cara seperti itu justru lebih kecil dibandingkan jika menjualnya sendiri. Dalam hal mengakses bank untuk sumber perkreditan, warga mengaku takut jika tidak bisa mengembalikannya lagi sehingga warga memilih untuk mengolah lahan pertanian seadanya saja, tidak diberi pupuk atau pestisida untuk mengusir hama.

3. Kemampuan Mengatasi Masalah

Kemampuan mengatasi masalah yaitu tingkat kemampuan penggunaan informasi dan inovasi dalam memecahkan masalah mengenai pengolahan tanah yang dihadapi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan mengatasi masalah disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan mengatasi masalah di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan

mengatasi masalah Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 10 31.2

Tinggi 22 68.8

Total 32 100.0

Tabel 11 menunjukkan jumlah responden yang berada dalam kategori rendah untuk kemampuan mengatasi masalah sebanyak 31.2% responden, sedangkan yang berada dalam kategori tinggi sebanyak 68.8% responden. Petani sebagai pelaku usaha tani tidak pernah lepas dari permasalahan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Menurut Subagio (2008), kapasitas petani dalam mengatasi masalah meliputi: (1) penggunaan informasi dan inovasi yang sesuai dengan masalah yang akan diselesaikan, (2) dapat menggunakan suatu pengalaman, baik yang berhasil maupun yang gagal sebagai modal untuk pencapaian tujuan usaha tani, (3) mampu membuat suatu tindakan alternatif yang menguntungkan, dan (4) selalu memiliki rencana sebagai tindakan antisipatif.

Sebanyak 68.8% responden mengaku mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada pertanian mereka karena telah bertahun-tahun menjadi petani meskipun dulu belum memiliki lahan sendiri. Masalah mengenai hama dan penyakit tanaman telah menjadi makanan sehari-hari mereka sehingga dianggap bukan masalah lagi. Mengenai masalah keuangan, tanah yang mereka miliki dapat dijadikan sebagai solusi, misalnya dengan cara menjual hasil tanam seadanya, atau sewaktu-waktu menjual tanah tersebut jika benar-benar sangat mendesak.

Sebanyak 31.2% responden yang tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada usaha taninya mengaku tidak berusaha mencari tahu dan

(10)

menganalisis apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya. Warga yang tidak mampu mengatasi masalahnya mengaku bahwa mereka hanya membiarkan saja tanamannya diserang hama dan penyakit karena tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Pada akhirnya tanamannya mati dan jumlahnya menjadi berkurang. Peningkatan kapasitas petani diukur berdasarkan jumlah skor dari ketiga variabel di atas. Kapasitas petani meningkat apabila ketiga variabel tersebut berada pada kategori tinggi, sedangkan kapasitas petani tidak meningkat apabila ketiga variabel menunjukkan hal yang sebaliknya. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peningkatan kapasitasnya disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kapasitas di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kapasitas Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 14 43.8

Tinggi 18 56.2

Total 32 100.0

Tabel 12 menunjukkan jumlah responden yang memiliki tingkat kapasitas tinggi sebesar 56.2%. Ini berarti sebagian besar dari mereka telah mampu mengidentifikasi potensi yang terdapat di desa mereka, kemudian mampu menjadikannya sebagai peluang, dan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam usaha tani mereka.

Pelaksanaan Reforma Agraria dan Hubungannya dengan Tingkat Kapasitas Petani

Reforma agraria pada intinya bukan hanya sekadar untuk membagi-bagikan tanah kepada para tunakisma atau petani gurem, melainkan juga untuk merombak struktur penguasaan dan kepemilikan atas tanah agar tidak terjadi lagi ketimpangan dalam hal penguasaan dan kepemilikan tanah. Dengan diimplementasikannya reforma agraria diharapkan petani meningkat kesejahteraannya. Asumsinya adalah dengan memiliki tanah sendiri maka petani akan lebih semangat menggarap tanahnya. Jika semangatnya bertambah maka kondisi perekonomiannya akan membaik. Akan tetapi, reforma agraria tidak serta-merta langsung meningkatkan kondisi kesejahteraan mereka. Akses-akses terhadap dukungan atau penunjang dari program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas para penerimanya, di antaranya berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan atau penyuluhan, memiliki akses terhadap sumber agraria berupa tanah garapan, mampu memiliki modal produksi, serta memiliki dan memahami penggunaan teknologi pertanian (Alfurqon 2009).

Alfurqon (2009) menambahkan meningkatnya kapasitas petani sebagai komponen penting dalam produksi pertanian berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Kondisi ini akan mendorong peningkatan hasil produksi. Selanjutnya, keterampilan yang diperoleh dari pelatihan maupun penyuluhan akan dimanfaatkan untuk membuat suatu produk olahan yang lebih bernilai. Jika sasaran program dapat mendistribusikan (memasarkan) hasil

(11)

produksi olahan tersebut dengan baik, maka ini akan berdampak pada kondisi perekonomian rumah tangganya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sipak ini mencoba mencari hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kapasitas petani. Dengan menggunakan teknik tabulasi silang, diperoleh informasi mengenai hubungan pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani seperti pada tabel-tabel berikut.

1. Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan Mengidentifikasi Potensi

Informasi mengenai hubungan pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi disajikan dalam Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan mengidentifikasi

potensi

Pelaksanaan reforma agraria

Rendah Tinggi

Jumlah (n) Persen (%) Jumlah (n) Persen (%)

Rendah 0 0 0 0

Tinggi 15 100 17 100

Total 15 100 17 100

Tabel 13 menunjukkan bahwa 100% petani berada pada kategori tinggi dalam hal kemampuan mengidentifikasi potensi, tidak peduli pelaksanaan reforma agraria berada pada kategori rendah atau tinggi. Ini berarti petani sepenuhnya mengetahui bahwa di desa mereka pernah dilaksanakan reforma agraria dan mengetahui keberadaan-keberadaan sarana penunjang yang dapat mendukung keberlanjutan usaha tani mereka, atau setidaknya petani menjadi tahu apa yang dimaksud dengan reforma agraria, terlepas dari ada atau tidaknya sarana penunjang selain tanah dan sertifikat yang akan mendukung keberlanjutan usaha tani mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa pelaksanaaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi.

2. Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan Memanfaatkan Peluang

Kenyataan yang terjadi di Desa Sipak yaitu para petani yang menerima program reforma agraria telah mampu mengidentifikasi potensi yang terdapat di desa mereka untuk menunjang keberhasilan usaha taninya. Potensi-potensi yang tersedia di desa akan menjadi peluang yang sangat bagus jika petani mampu memanfaatkannya dengan baik. Tabel 14 menyajikan jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungannya antara reforma agraria dengan tingkat kemampuan memanfaatkan peluang.

(12)

Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan memanfaatkan peluang di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan memanfaatkan

peluang

Pelaksanaan reforma agraria

Rendah Tinggi

Jumlah (n) Persen (%) Jumlah (n) Persen (%)

Rendah 15 100 16 94.1

Tinggi 0 0 1 5.9

Total 15 100 17 100.0

Tabel 14 menunjukkan sebanyak 94.1% petani yang mendapatkan akses reforma agraria tinggi tidak mampu memanfaatkan peluang yang terdapat di desanya. Sama halnya dengan petani yang mendapatkan akses reforma agraria rendah yang juga tidak mampu memanfaatkan peluang.

Analisis korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara reforma agraria dengan tingkat kapasitas petani. Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman dengan SPSS 16.0, didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.169 lebih kecil dari nilai koefisien korelasi pada tabel r (0.3494) dan nilai Sig. sebesar 0.356 lebih besar dari nilai kritis (0.05). Hasil perhitungan tersebut diperkuat dari data kualitatif temuan di lapangan. Meskipun petani mendapat reforma agraria tinggi, banyak di antaranya yang tidak memanfaatkan peluang yang terdapat di desanya dengan alasan takut. Petani yang tidak menggarap tanahnya dan malah menjualnya mengatakan takut jika tanahnya diambil lagi oleh pemerintah. Petani yang tidak menerima bantuan permodalan mengatakan takut tidak bisa mengembalikannya lagi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan memanfaatkan peluang.

3. Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan Mengatasi Masalah

Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh koefisien korelasi sebesar -0.498, jelas lebih kecil daripada angka pada tabel r (0.3494). Hasil ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan reforma agrarian tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kemampuan mengatasi masalah yang terjadi pada usaha tani para penerimanya. Secara ringkas, hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kapasitas petani ditunjukkan dalam Tabel 15.

(13)

Tabel 15 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengatasi masalah di Desa Sipak tahun 2012

Tingkat kemampuan mengatasi masalah

Pelaksanaan reforma agraria

Rendah Tinggi

Jumlah (n) Persen (%) Jumlah (n) Persen (%)

Rendah 1 6.7 9 52.9

Tinggi 14 93.3 8 47.1

Total 25 100.0 17 100.0

Pelaksanaan reforma agraria tidak berhubungan dengan tingkat kemampuan mengatasi masalah. Hal tersebut dibuktikan dari temuan di lapangan bahwa lebih dari 50% petani telah mampu mengatasi permasalahannya sendiri meskipun saat tanah tersebut belum resmi menjadi miliknya. Para petani menyatakan hal tersebut sudah merupakan nalurinya sebagai petani.

4. Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Tingkat Kapasitas Petani

Tabel 13, 14, dan 15 masing-masing telah menunjukkan hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, serta mengatasi masalah. Terlihat bahwa hanya satu dari tiga variabel peningkatan kapasitas petani, yaitu tingkat kemampuan mengidentifikasi potensi, yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pelaksanaan reforma agraria, sedangkan tingkat kemampuan memanfaatkan peluang dan tingkat kemampuan mengatasi masalah tidak berhubungan dengan pelaksanaan reforma agraria. Apabila secara keseluruhan ketiga variabel tersebut dianalisis, maka didapat hasil sebagai berikut.

Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kapasitas petani di Desa Sipak tahun 2012

Peningkatan kapasitas petani

Pelaksanaan reforma agraria

Rendah Tinggi

Jumlah (n) Persen (%) Jumlah (n) Persen (%)

Rendah 5 33.3 9 52.9

Tinggi 10 66.7 8 47.1

Total 24 100.0 8 100.0

Tabel 16 menunjukkan bahwa 47.1% petani yang termasuk dalam kategori pelaksanaan reforma agraria tinggi mengalami peningkatan kapasitas, sedangkan 52.9% sisanya tidak mengalami peningkatan kapasitas. Pada kategori pelaksanaan reforma agraria rendah, justru sebanyak 66.7% petani mengalami peningkatan kapasitas, sisanya 33.3% yang tidak mengalami peningkatan kapasitas. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani tidak berhubungan secara signifikan.

(14)

Uji korelasi Rank Spearman dengan nilai kepercayaan 0.05 (α = 5%) juga dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani. Adapun Ho dari penelitian ini yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani, sedangkan Ha dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani.

Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar (-0.197) lebih kecil dari nilai koefisien korelasi pada tabel r (0,3494) dan nilai Sig. sebesar 0.279 lebih besar dari nilai kritis (0.05). Jadi, ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani. Kemungkinan adanya faktor lain yang menyebabkan peningkatan kapasitas petani sangat besar, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Subagio (2008) bahwa kapasitas petani sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik, lingkungan ekonomi dan sosial budaya, ketersediaan inovasi, karakter pribadi petani, dan akses terhadap informasi. Karakter pribadi petani itu sendiri ditunjukkan oleh pendidikan, umur, pengalaman berusaha tani, kekosmopolitan, dan keberanian mengambil risiko. Marlina (2008) menambahkan bahwa peningkatan kapasitas petani juga dilihat dari motivasi dan komitmennya. Motivasi adalah semangat petani untuk meraih prestasi, sedangkan komitmen adalah keterikatan jiwa petani terhadap kemajuan usaha taninya. Faktor-faktor inilah yang luput dari penelitian sehingga hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan.

Faktor lain yang menyebabkan tidak ada korelasi antara pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kapasitas petani adalah tidak meratanya ketersediaan access reform. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, access

reform hanya menjangkau penerima program yang tinggal di RW 09, itupun tidak

semua merasakan keberadaan access reform tersebut. Petani penerima program yang tinggal selain di RW 09 mengaku hanya mendapatkan tanah dan sertifikat saja, tidak ada access reform sama sekali.

Waktu pelaksanaan reforma agraria dengan waktu pelaksanaan penelitian yang terlampau dekat (2007-2012) juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa reforma agraria tidak berhubungan dengan tingkat kapasitas petani. Dalam kurun waktu 5 tahun tersebut, tepatnya setelah tanah resmi menjadi milik petani, tidak ditemui adanya pengorganisasian lokal dari pemerintah desa atau secara independen dari kelompok tani untuk meningkatkan kapasitas petani. Setelah tanah menjadi hak milik, perjuangan seolah berakhir karena yang diminta sudah dipenuhi.

Gambar

Gambar 5  Sertifikat tanah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi hama wereng hijau Nephoettix virescens pada tanaman padi sawah di Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon, tertinggi

Bimbingan Konseling Islami adalah pelayanan bantuan yang diberikan oleh konselor agama kepada manusia yang mengalami maslah dalam Hidup keberagaman, ingin mengembangkan dimensi

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh dapat penulis simpulkan bahwa, interaksi sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh perorangan maupun

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Jenis penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah

[r]

Tabel 1. Kemudian sikap yang memiliki hubungan langsung secara negatif terhadap perilaku berwirausaha sebesar -0,280 atau -28%. Nilai yang dihasilkan cukup menjadi

Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan maka guru hendaknya memperhatikan beberapa hal yaitu guru sebaiknya mengunakan pembelajaran model pembelajaran

Maka dari uraian diatas dapat diartikan bahwa ikterus dan jaundice adalah perubahan warna kuning yang masing terjadi pada mata (sklera) dan kulit akibat penimbunan pigmen