• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis senyawa laktogenin dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dan 2-asetil-gamma butirolakton dalam suasana basa piridin - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sintesis senyawa laktogenin dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dan 2-asetil-gamma butirolakton dalam suasana basa piridin - USD Repository"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS SENYAWA LAKTOGENIN DARI TETRAHIDROFURAN-3-KARBOKSALDEHID DAN 2-ASETIL-γ-BUTIROLAKTON

DALAM SUASANA BASA PIRIDIN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi ilmu Farmasi

Diajukan oleh : Margareth Henrika Silow

NIM : 088114057

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2012

(2)

ii

SINTESIS SENYAWA LAKTOGENIN DARI TETRAHIDROFURAN-3-KARBOKSALDEHID DAN 2-ASETIL-γ-BUTIROLAKTON

DALAM SUASANA BASA PIRIDIN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi ilmu Farmasi

Diajukan oleh : Margareth Henrika Silow

NIM : 088114057

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2012

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Life is an opportunity, benefit from it. Life is beauty, admire it.

Life is a dream, realize it. Life is a challenge, meet it.

Life is a duty, complete it. Life is a game, play it. Life is a promise, fulfill it. Life is sorrow, overcome it.

Life is a song, sing it. Life is a struggle, accept it. Life is a tragedy, confront it.

Life is an adventure, dare it. Life is luck, make it.

Life is too precious, do not destroy it. Life is life, fight for it.”

Mother Teresa

Karya sederhanaku ini kupersembahkan untuk :

Papa dan Mama tercinta

Erol dan Emon tersayang

Almamaterku

(6)

vi

(7)

vii PRAKATA

Puji sembah syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan bimbingan yang melimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SINTESIS SENYAWA LAKTOGENIN DARI TETRAHIDROFURAN-3-KARBOKSALDEHIDA DAN 2-ASETIL-γ-BUTIROLAKTON DALAM SUASANA BASA PIRIDIN ” sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Karya sederhana ini tak lepas dari dukungan, bimbingan, dan saran yang sangat besar artinya bagi penulis. Pada kesempatan yang istimewa ini, penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih dengan tulus kepada :

1. Ipang Djunarko, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Jeffry Julianus, M.Si,. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini sekaligus sebagai dosen penguji atas segala masukan dan sarannya untuk kemajuan skripsi penulis.

3. Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen penguji atas segala masukan, kritik, dan sarannya.

4. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt., selaku dosen penguji atas segala masukan, kritik, dan sarannya.

(8)

viii

5. Rini Dwi Astuti, M.Si., Apt., selaku kepala laboratorium Farmasi, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di laboratorium Farmasi.

6. Semua Dosen di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mendedikasikan waktu dan membagi ilmunya demi kemajuan Farmasi USD. Excellent in Quality, Competitiveness, and Care!

7. Staf Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma secara khusus Pak Parlan, Mas Kunto, dan Mas Bimo yang telah menemani dan membantu penulis selama melakukan penelitian.

8. Keluarga besar Silow dan Ryadi atas doa dan semangat yang selalu penulis rasakan. Terimakasih banyak!

9. Elya Findawati dan Laurensius Widi A.P. atas kebersamaan dalam penelitian ini. Dukungan kalian yang membuat penulis selalu semangat.

10. Helena Angelina, Regina Clarissa, Sandra Ruby, Meyrina Harjani, Prasilya, Agnes Susianti, Florentina Sunaryo, Adi Wirasaputra. Bersama kalian hidup penulis menjadi indah.

11. Anasthasia Mardila, Sari Tambunan, Theresia Wijayanti. Makan siang tanpa kalian rasanya hambar sekali. Terima kasih atas kebersamaan, semangat, dan dorongan yang selalu penulis rasakan.

12. Alaen Shinto Purba. Terimakasih untuk kebersamaan selama ini baik suka dan duka.

13. Alfonsus Heppy, teman sejawat dari TITRASI 2008 hingga sekarang. Semoga sukses dan jaya terus.

(9)

ix

14. Teman kelompok praktikum dari semester 1-6 : Hepi, Elya, Widi, Icha, Dea, Natalia, Fajar, Cynthia, Singgih, Adi Wiro Sableng, Velly, Tia, Paulina, Ayen, Tiwi. Tak akan pernah terlupa praktikum bersama kalian!

15. Teman-teman Farmasi angkatan 2008, baik FST maupun FKK. Jadilah Farmasis yang e-QCC!

16. Teman-teman Farmasi dari angkatan 2009-2010, sukses terus di farmasi! 17. Teman-teman KKN angkatan 42 kelompok 12 desa Plagrak-Cangkringan:

Dita, Sita, Lando, Ika, Novia, Lukas, Dis, Vebri, dan Fajar. Semoga sukses dibidang masing-masing.

18. At least but no least, semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kalian selalu di hati.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan maupun pembaca.

Yogyakarta, Januari 2012

(10)

x

(11)

xi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi

PRAKATA vii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA 5

A. Kanker 5

B. Asetogenin 6

C. Sintesis Senyawa Laktogenin 8

D. Uji Pendahuluan 10

1. Pemeriksaan Organoleptis 10

(12)

xii

3. Spektrofotometri UV 11

4. Kromatografi Gas 12

E. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis 13

1. Spektrofotometri Inframerah 13

2. Spektrometri Massa 15

F. Landasan Teori 17

G. Hipotesis 18

BAB III METODE PENELITIAN 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian 19

B. Variabel dan Definisi Operasional 19

C. Bahan Penelitian 20

D. Alat Penelitian 20

E. Tata Cara Penelitian 20

1. Pembuatan Katalis Piridin 21

2. Sintesis Senyawa Laktogenin dalam suasana basa piridin 21

3. Uji Pendahuluan 21

a) Organoleptis 21

b) Uji Kemurnian Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT) 21

c) Uji Penentuan Panjang Gelombang Maksimum 21

d) Kromatografi Gas 22

4. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis 22

a) Spektrofotometri Inframerah 22

b) Spektrometri Massa 22

F. Analisis Hasil 23

1. Analisis Pendahuluan 23

2. Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis 23

3. Elusidasi Struktur 23

BAB IV PEMBAHASAN 24

A. Sintesis senyawa laktogenin 24

B. Analisis Pendahuluan 27

(13)

xiii

1. Uji Organoleptis 27

2. Uji Kromatografi Lapis Tipis 28

3. Uji Panjang Gelombang Maksimum 30

C. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis 33

1. Spektrofotometri Inframerah 33

2. Spektrometri Massa 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 45

DAFTAR PUSTAKA 46

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel perbandingan organoleptis antara senyawa hasil sintesis

denganstarting material 27

Tabel 2. Nilai Rf senyawa hasil sintesis dan 2-asetil-γ-butirolakton 29

Tabel 3. Data panjang gelombang maksimal 31

Tabel 4. Perbandingan pita vibrasi gugus senyawa hasil sintesis dengan

literatur 34

Tabel 5. Perbandingan interpretasi spektra inframerah senyawa hasil sintesis

danstarting material 38

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Strukur umum asetogenin………... 2

Gambar 2. Interaksi antara asetogenin dengan enzim kompleks I (NADH Ubiquinone oksidoreduktase)………. 6

Gambar 3. Analisis diskoneksi senyawa laktogenin……….…... 9

Gambar 4. Reaksi umum sintesis laktogenin………... 18

Gambar 5. Reaksi pembentukan ion enolat dari 2-asetil-γ-butirolakton………. 25

Gambar 6. Reaksi adisi ion enolat pada gugus karbonil dari tetrahidrofuran-3 karboksaldehid……….. 26

Gambar 7. Reaksi pembentukanβ-OH karbonil sebagai senyawa antara……... 26

Gambar 8. Reaksi dehidrasi dari senyawaβ-OH karbonil ………. 26

Gambar 9. Kromatogram KLT senyawa hasil sintesis……… 29

Gambar 10. Spektra UV 2-asetil-γ-butirolakton ……… 31

Gambar 11. Senyawa hasil sintesis dengan gugus kromofor……….. 31

Gambar 12. Spektra UV senyawa hasil sintesis……….. 32

Gambar 13. Spektra Inframerah senyawa hasil sintesis……….. 34

Gambar 14. Spektra Inframerah 2-asetil-γ-butirolakton ……… 36

Gambar 15. Spektra Inframerah tetrahidrofuran-3-karboksaldehid ………….. 37

Gambar 16. Kromatogram GC senyawa hasil sintesis……… 39

Gambar 17. Hasil spektra massa pada waktu retensi 3,151 menit……….. 40

Gambar 18. Hasil spektra massa pada waktu retensi 18,414 menit……… 40

Gambar 19. Mekanisme reaksi pembentukan senyawa (Z) – 3 - (hidroksi (tetra hidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il)but-2 enoil) dihidro furan-2(3H)-on………... 41

Gambar 20. Usulan mekanisme fragmentasi dari senyawa hasil sintesis……... 43

Gambar 21. Hasil Perhitungan C karbonil pada 2-asetil-γ-butirolakton dengan programMarvin Sketch………... 44

Gambar 22. Hasil Perhitungan C karbonil pada tetrahidrofuran-3-karboksal dehid dengan programMarvin Sketch……….……… 44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan mol tetrahidrofuran-3-karboksaldehid ……… 50

Lampiran 2. Perhitungan bahan 2-asetil-γ-butirolakton ………. 50

Lampiran 3. Perhitungan larutan piridin……….. 51

Lampiran 4. Persamaan reaksi………. 51

Lampiran 5. Kromatogram KLT senyawa hasil sintesis ……… 52

Lampiran 6. Perhitungan nilaiRfsenyawa hasil sintesis ……… 53

Lampiran 7. Perhitungan kepolaran fase gerak KLT dan log P senyawa hasil sintesis ………….………..……… 54

Lampiran 8. Kromatogram GC senyawa hasil sintesis ………...……….. 55

Lampiran 9. Kondisisettingalat GC-MS …...……...…………...….. 56

Lampiran 10. Spektra massa senyawa hasil sintesis pada waktu retensi 3,151 menit ………...…………...…... 57

Lampiran 11. Spektra massa senyawa hasil sintesis pada waktu retensi 18,414 menit………...…………... 57

Lampiran 12. Spektra inframerah (IR) senyawa hasil sintesis...…… 58

Lampiran 13. Spektra inframerah (IR) 2-asetil-γ-butirolakton...…… 60

Lampiran 14. Spektra inframerah (IR) tetrahidrofuran-3-karboksaldehid...… 61

Lampiran 15. Hasil perhitungan C karbonil pada 2-asetil-γ-butirolakton menggunakan programMarvin Sketch……….. 62

Lampiran 16. Hasil perhitungan C karbonil pada tetrahidrofuran-3-karboksal dehid menggunakan programMarvin Sketch………... 62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(17)

xvii INTISARI

Telah dilakukan sintesis senyawa laktogenin dengan mereaksikan tetrahidrofuran-3-karboksaldehida 5,53 mmol (1 mL) dan 2-asetil-γ-butirolakton 5,53 mmol (0,5943 mL) melalui reaksi kondensasi aldol silang dalam suasana basa piridina. Analisis hasil sintesis dilakukan dengan uji organoleptis, uji kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase gerak CCl4: etil asetat (4 : 1) dan fase diam silika gel GF254, dan elusidasi struktur dengan spektrofotometri inframerah dan spektrometri massa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis berupa larutan berwarna kuning pekat dan berbau menyengat. Uji kromatografi lapis tipis menghasilkan bercak dengan harga Rf senyawa hasil sintesis sebesar 0,380. Elusidasi struktur menggunakan spektra Inframerah dan spektra MS menunjukkan bahwa senyawa laktogenin tidak terbentuk melainkan senyawa hasil reaksi self-condentation antar 2-asetil-γ-butirolakton dan diikuti reaksi dengan tetrahidrofuran-3-karboksaldehid yaitu (Z)-3-(hidroksi(tetrahidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il)but-2 enoil) dihidrofuran-2(3H)-on dengan persen kemurnian sebesar 10,25% secara kromatografi gas.

Kata kunci: 2-asetil-γ-butirolakton, tetrahidrofuran-3-karboksaldehida, piridin, reaksi kondensasi aldol silang.

(18)

xviii ABSTRACT

Synthesis of laktogenin has been carried out by reacting tetrahydrofuran-3-karboksaldehida 5.53 mmol (1 mL) and 2-acetyl-γ-butirolakton 5.53 mmol (0.5943 mL) through cross-aldol condensation reaction in alkali condition of pyridine. Analysis of the results of synthesis is done by organoleptis test, Thin Layer Chromatography (TLC) test with mobile phase CCl4: ethyl acetate (4:1) and stationary phase use silica gel GF254, and structure elucidation by infrared spectrophotometry and mass spectrometry.

The research results showed that the synthetic product was dark yellow and smelly. Thin-layer chromatography test gave spots with Rf value of product by 0,380. Structure Elucidation using spectra IR and MS showed that laktogenin was not formed rather it was by reaction of self condentation between 2-acetyl-γ-butyrolactone and followed by reaction with tetrahydrofuran-3-carboxaldehyd namely (Z)-3-(hydroxyl(tetrahydrofuran-3-yl)methyl)-3-(3-(2-oxotetrahydrofuran-3-yl)but-2-enoil)dihydrofuran-2-(3H)-on with the purity 10,25% by gas chromatography.

Key words: 2-acetyl-γ-butyrolactone, tetrahydrofuran-3-carboxaldehyde, pyridine, cross aldol condensation reaction.

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan penyakit mematikan yang ditandai dengan kumpulan

sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak

terbatas, dan tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi

fisiologis. Kumpulan sel tersebut akan menyebar dan merusak jaringan sekitar

hingga bagian tubuh lainnya. Hal ini sejalan dengan definisi dari American

Cancer Society yang mengatakan bahwa kanker merupakan kelompok penyakit

yang ditandai oleh pertumbuhan dan penyebaran sel abnormal yang tidak

terkendali (Colleenet al., 2006).

Pertumbuhan sel kanker akan menyebabkan jaringan menjadi besar dan

disebut tumor. Tumor merupakan istilah yang dipakai utuk semua pembengkakan

atau benjolan dalam tubuh. Sel kanker yang tumbuh cepat akan menyebar melalui

pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Penjalarannya ke jaringan lain

disebut metastasis. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna dan maligna. Benigna

yaitu neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan sekitarnya.

Sedangkan maligna merupakan tumor yang melakukan metastasis, yaitu menyebar

dan menyerang jaringan lain (Benchimol and Minden, 1998).

Asetogenin yang biasa disebut Annonaceous Acetogenins (ACGs)

merupakan senyawa alam yang berasal dari tanaman golongan Annoaceae (Oasa,

(20)

2

dengan jumlah atom C sebanyak 35-37, dan memiliki cincin tetrahidrofuran atau

tetrahidropiran, gugus hidroksil, keton dan epoksi, dan diujung rantai alifatik

terdapat terminalα,β-unsaturated γ-lactone.

Gambar 1. Struktur umum asetogenin (Anonim, 2010)

Efek biologis dari asetogenin yaitu menghambat NADH-ubiquinone

oksidoreduktase pada rantai respirasi sel atau kompleks I mitokondria dari sel

kanker (Villo, 2008; Oasa et al., 2010; Tormo et al.,2001). Hasil penghambatan

tersebut menyebabkan menurunnya produksi ATP dan pada akhirnya sel-sel

kanker akan mengalami apoptosis. Selain itu asetogenin juga memiliki

kemampuan dalam menghambat Multi Drug Resistant (MDR) sel-sel kanker

(Kojima and Tanaka, 2009 ; Yang, Zhang, Zeng, Yu, Ke, Li, 2010). Dua gugus

fungsi yang penting dan memiliki peran penting sebagai anti kanker adalah cincin

tetrahidrofuran danα,β-unsaturated γ-lactone(Tormoet al., 2001).

Dilihat dari bentuk strukturnya yang meruah dan sifat lipofilisitas yang

tinggi dengan log P.8,44, kelarutan asetogenin sangat rendah sehingga susah

diformulasikan dalam bentuk sediaan per oral. Dengan demikian, dilakukan

modifikasi struktur dengan memperpendek rantai alkilnya namun tetap

mempertahankan gugus aktifnya yaitu tetrahidrofuran dan γ-lakton. Laktogenin

(21)

3

dengan log P 0.90 sehingga dapat diformulasikan ke dalam bentuk sediaan per

oral. Sediaan dengan jalur pemberian paling menyenangkan, murah, dan paling

aman bagi pasien dan dokter adalah sediaanper oral(Anief, 2007).

Sintesis senyawa laktogenin dilakukan berdasarkan reaksi kondensasi

aldol silang yaitu dengan mereaksikan 2-asetil-γ-butirolakton dan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehida dalam suasana basa piridin. Prosesnya meliputi : pembentukan

ion enolat dari 2-asetil-γ-butirolakton, ion enolat bereaksi dengan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehida dengan mengadisi pada karbon karbonil untuk membentuk

β-hidroksi karbonil, dan terjadi reaksi dehidrasi dimana β-β-hidroksi karbonil merebut

sebuah proton dari dalam air untuk menghasilkan produk target laktogenin.

Pada sintesis senyawa laktogenin digunakan basa piridin dimana

merupakan suatu basa amina yang lemah. Alasan dipilih basa piridin (pKb 8,75)

karena diharapkan senyawa 2-asetil-γ-butirolakton yang merupakan ester siklik

tidak mudah terhidrolisis dan nukleofilisitas dari C alfa pada

2-asetil-γ-butirolakton semakin meningkat. Menurut Jose´ A et al. (2005) lakton mudah

terhidrolisis oleh basa kuat terutama basa golongan hidroksida. Maka dari itu

diharapkan dengan kondisi seperti itu dapat memberikan hasil akhir berupa

rendemen yang optimal.

(22)

4

1. Permasalahan

Apakah senyawa laktogenin dapat disintesis dari

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dan 2-asetil-γ-butirolakton dalam suasana basa piridin?

2. Keaslian Penulisan

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang sintesis laktogenin sebagai

senyawa analog asetogenin dalam suasana basa piridin belum pernah dilakukan

sebelumnya. Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Oasa et al., (2010) dengan

judul “Synthesis of Annonacin Isolated fromAnnona densicoma”.

3. Manfaat Penelitian a) Manfaat teoritis

Untuk menambah faedah bagi perkembangan dunia farmasi terkait sintesis

senyawa laktogenin dalam suasana basa piridin.

b) Manfaat metodologis

Untuk memberikan pengetahuan tentang cara sintesis senyawa laktogenin

dengan reaksi kondensasi aldol silang.

c) Manfaat praktis

Untuk memberikan informasi adanya senyawa yang berpotensi sebagai

antikanker.

B. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui sintesis senyawa laktogenin dari

(23)

5 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kanker

Salah satu penyakit penyebab kematian utama di dunia terutama di

negara berkembang adalah kanker yang merupakan kumpulan sel abnormal yang

terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak terbatas, tidak

terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis. Kanker

terjadi karena timbul dan berkembang biaknya jaringan sekitarnya (infiltratif)

sambil merusaknya (dekstrutif), dapat menyebar kebagian lain tubuh, dan

umumnya fatal jika dibiarkan (Dalimartha, 2004).

Mutasi pada DNA sel menyebabkan kemungkinan terjadinya neoplasma

sehingga terdapat gangguan pada proses regulasi homeostasis sel. Karsinogenesis

akibat mutasi materi genetik ini menyebabkan pembelahan sel yang tidak

terkontrol dan pembentukan tumor atau neoplasma (Ramalakshmi and

Muthuchelian, 2011).

Pada sel neoplasma terjadi perubahan sifat, sehingga sebagian besar

energi digunakan untuk berkembang biak. Neoplasma atau tumor dapat dibedakan

menjadi dua tipe yaitu benigna dan malignan (Ramalakshmi and Muthuchelian,

2011). Tumor jinak biasanya tidak menginvasi dan tidak menyebar ke jaringan

sekitar sehingga tidak mengancam jiwa kecuali bila ia terletak pada area vital.

Sedangkan tumor ganas dapat menginvasi jaringan lain dan beranak sebar ke

(24)

6

mempunyai sifat resisten terhadap apoptosis, tidak sensitif terhadap faktor anti

pertumbuhan.

B. Asetogenin

AnnonaceousAcetogenin(ACGs) merupakan senyawa alam yang berasal

dari tanaman golongan Annoaceae dimana memiliki efek biologis seperti

sitotoksik, antitumor, pestisida, anti-infeksi dan aktivitas antifedant. Asetogenin

merupakan inhibitor yang paling kuat terhadap enzim kompleks I

(NADH-ubiquinone oksireduktase) pada rantai respirasi sel mitokondria. Sebagian besar

asetogenin memiliki sebuah cincin tetrahydropyran (THP) atau tetrahydrofuran

(THF), gugus hidroksil, gugus keto dan gugus epoksi dua sampai tiga ikatan yang

dihubungkan dengan α,β-unsaturated γ-lactone yang menyatu dalam rantai

panjang C-35 atau C-37 (Makabe, 2008; Li et al., 2008; McLaughlin, 2008).

Penelitian sebelumnya dikatakan bahwa dua gugus fungsi yang ada pada

asetogenin yaitu tetrahidrofuran dan gugus lakton memiliki andil paling besar

terhadap penghambatan enzim kompleks I (Tormoet al., 2001).

tetrahidrofuran lakton

Gambar 2. Interaksi antara asetogenin dengan enzim kompleks I (NADH-ubiquinone oksidoreduktase) (Hongda, 2006)

(25)

7

Tetrahidrofuran yang diapit oleh gugus hidroksil dipercaya berperan

sebagai jangkar hidrofilik pada permukaan membran sel, sedangkan γ-lakton

berinteraksi langsung dengan sisi target kompleks I dan menuju ke reseptor

melalui difusi lateral (Hongda, 2006).

Mekanisme kerja asetogenin sebagai anti kanker, yaitu :

1. Menghambat atau bahkan menghentikan produksi ATP sehingga

menyebabkan menurunnya persediaan energi, dan akhirnya mengalami

apoptosis (kematian sel yang terprogram). Hal ini menyebabkan berhentinya

tahapan metastasis pada kanker (Alali, Liu, and McLaughlin, 1999).

2. ATP juga diperlukan dalam produksi DNA dan RNA. Maka apabila ATP

tidak diproduksi, maka akan menyebabkan penurunan produksi sel baru

yaitu dengan memblokir proses replikasi sel kanker (Alali, Liu, and

McLaughlin, 1999).

3. Menyebabkan penurunan tingkat angiogenesis, sehingga akan mengurangi

laju pembentukan tumor karena tumor memerlukan banyak pembuluh darah

dimana fungsi pembuluh darah sebagai penyuplai energi untuk membentuk

sel tumor yang baru (Alali, Liu, and McLaughlin, 1999).

4. Menghambat Multi Drug Resistance (MDR) sel-sel kanker, sehingga

mengembalikan sensitivitas terhadap obat kanker, karena inhibitor MDR

dapat memblokir P-glikoprotein (pompa yang memberi perlawanan

obat-obat kanker seperti kemoterapi). Apabila P-glikoprotein tidak dihambat

(26)

8

kanker tidak akan mampu membunuh sel kanker (Oberlies, Croy, Harrison,

and McLaughlin, 1997).

C. Sintesis senyawa laktogenin

Senyawa laktogenin merupakan senyawa analog asetogenin yang tetap

memiliki gugus lakton dan tetrahidrofuran pada strukturnya yang diharapkan

mempunyai aktivitas biologis sebagai antikanker dengan menghambat enzim

kompleks I mitokondria. Selain itu senyawa laktogenin memiliki sifat

hidrofilisitas yang lebih tinggi daripada asetogenin dengan log P = 0,90. Dengan

sifat hidrofilisitas yang tinggi berarti memiliki sifat kelarutan yang baik sehingga

akan mudah terdisolusi, terabsorpsi, dan menimbukan efek farmakologi yang

diinginkan.

Sintesis senyawa laktogenin dilakukan berdasarkan reaksi kondensasi

aldol silang, dimana prinsipnya adalah suatu aldehid yang tidak memiliki

hidrogen alfa bila direaksikan dengan suatu aldehid atau keton yang memiliki

hidrogen alfa, maka akan terjadi dimerisasi (Fessenden and Fessenden, 1994).

Starting material yang digunakan 2-asetil-γ-butirolakton sebagai golongan keton

dan tetrahidrofuran-3-karboksaldehida sebagai golongan aldehida dalam suasana

basa piridin.

Dalam suasana basa, hidrogen alfa pada 2-asetil-γ-butirolakton akan

terdeprotonasi membentuk ion enolat yang berperan sebagai nukleofil.

Pembentukan ion enolat akan meningkatkan nukleofilisitas dari C alfa

(27)

9

menyerang atom C karbonil dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehida yang bersifat

elektrofil. Dari reaksi tersebut akan terbentuk produk senyawa yang mudah

terdehidrasi secara spontan sehingga menghasilkan senyawa laktogenin.

Suatu kondensasi aldol silang dengan karbonil yang mempunyai

hidrogen alfa dapat dilakukan dalam suasana asam maupun basa. Dalam suasana

asam, suatu karbonil akan membentuk enol. Sedangkan dalam suasana basa, ion

OH- akan mengambil hidrogen alfa yang bersifat asam sehingga akan terbentuk ion enolat yang lebih reaktif dan nukleofilik. Oleh karena itu digunakan basa

piridin. Penggunaan basa lemah diharapkan dapat memberikan kondisi optimum

pada proses sintesis yang dapat menjaga agar lakton tidak terhidrolisis

membentuk cincin ester yang terbuka sehingga didapatkan rendemen yang

optimal.

Analisis diskoneksi senyawa laktogenin sebagai berikut :

Gambar 3. Analisis diskoneksi senyawa laktogenin

(28)

10

D. Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari senyawa

hasil sintesis, uji tersebut meliputi :

1. Pemeriksaan organoleptis

Uji organoleptis merupakan uji pendahuluan yang bertujuan untuk

mengetahui sifat fisik dari senyawa hasil sintesis yang meliputi bentuk, warna,

dan bau. Untuk beberapa hal dilengkapi dengan sifat kimia atau fisika

dimaksudkan untuk dijadikan petunjuk dalam pengelolaan peracikan dan

penggunaan. Uji ini merupakan uji yang sangat sederhana, bisa dilakukan tanpa

bantuan alat, dan dilakukan dengan membandingkan antara senyawa hasil sintesis

denganstarting materialyang digunakan (Dirjen POM RI, 1995).

2. Uji kemurnian menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan untuk menguji kemurnian

secara kualitatif dari campuran suatu senyawa untuk pembuktian ada tidaknya

komponen yang dicari atau kemurnian komponen tersebut. Senyawa yang murni

akan memberikan bercak tunggal pada berbagai fase gerak dengan berbagai

tingkat kepolaran dan mempunyai harga Rf yang sama dengan senyawa

standarnya (Gasparic and Churacek, 1978). Nilai Rf diperoleh dari perbandingan

jarak yang ditempuh oleh bercak senyawa yang diidentifikasi dengan jarak yang

ditempuh pelarut (jarak pengembangan) (Gritter, Bobit, and Schwarting, 1991).

Teknik ini sering dilakukan dengan lempeng kaca atau plastik yang

(29)

11

lempengan yang dilapisi dengan fase diam dan dielusi dengan fase gerak yang

akan bergerak naik oleh karena daya kapilaritas (Bresnick, 2004).

Fase diam yang digunakan berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai

permukaan penyerap atau berfungsi sebagai permukaan penyangga untuk lapisan

zat cair. Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel (asam silika), alumina

(aluminium oksida), selulosa. Sedangkan untuk fase gerak dapat digunakan

berbagai macam pelarut, didasarkan pada pustaka yang ada atau dari hasil

percobaan dengan variasi tingkat kepolaran (Gritter, Bobit, and Schwarting,

1991).

Jika fase diam bersifat polar maka senyawa yang bersifat polar akan

melekat lebih kuat pada lempeng daripada senyawa non polar dikarenakan

interaksi tarik-menarik dipol-dipol. Senyawa non polar kurang melekat pada fase

diam melainkan ikut fase gerak sehingga terelusi lebih cepat. Maka dari itu jarak

tempuh kertas lempengan merupakan cerminan polaritas senyawa (Bresnick,

2004).

Proses kromatografi lapis tipis dapat diubah-ubah dengan memodifikasi

sifat permukaan fase diam atau dengan mengubah polaritas fase gerak yaitu

dengan cara menambahkan fase gerak lain sehingga diperoleh kepolaran yang

tepat untuk memisahkan campuran senyawa (Gritter, Bobit, and Schwarting,

1991).

3. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektra ultraviolet dan visibel

(30)

12

dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat dengan transisi diantara

tingkat-tingkat tenaga elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan

atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti

ikatan. Oleh karena itu, serapan radiasi ultraviolet atau visibel sering dikenal

sebagai spektroskopi elektronik (Sastrohamidjodjo, 2001).

Panjang gelombang serapan merupakan ukuran pemisahan tingkat

tenaga dari orbital-orbital suatu molekul. Pemisahan tenaga yang paling tinggi

diperoleh bila elektron-elektron dari ikatan sigma (σ) tereksitasi yang

menimbulkan serapan pada daerah dari 120 hingga 200 nm. Daerah ini dikenal

sebagai daerah ultraviolet vakum dan tidak memberikan keterangan. Diatas 200

nm, eksitasi elektron dari orbital-orbital p, d, dan orbital phi (π) terutama sistem

terkonjugasi dapat diukur dan spektra yang diperoleh memberikan banyak

keterangan. Dalam praktek, spektrofotometri ultraviolet digunakan terbatas pada

sistem-sistem terkonjugasi (Sastrohamidjodjo, 2001).

3. Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan instrumen analitis yang memberikan

informasi kualitatif dan kuantitatif mengenai komponen dalam sampel. Sampel

akan mengalami proses pemisahan dalam kolom, lalu dideteksi, dan direkam

sebagai pita elusi (Day and Underwood, 1996).

Data kromatografi gas biasanya terdiri atas waktu retensi berbagai

komponen campuran. Waktu retensi diukur mulai dari titik penyuntikan sampai

titik maksimum puncak dan sangat khas untuk senyawa tertentu pada kondisi

(31)

13

tertentu data diidentifikasi dengan cara spiking apabila tersedia senyawa

murninya. Senyawa murni ditambahkan ke dalam cuplikan yang diduga

mengandung senyawa yang diinginkan dan dikromatografi. Jika puncak yang

sesuai diperkuat secara simetris pada dua sistem fase diam yang berlainan dan

kepolarannya berbeda, komponen itu mungkin ada (Gritter, Bobit, and

Schwarting, 1991).

E. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis

Data spektra dapat digunakan untuk memperoleh keterangan tentang

senyawa yang tidak diketahui. Spektra inframerah digunakan untuk

menginterprestasikan ada tidaknya gugus fungsional. Dari spektra resonansi

magnetik inti proton dapat diketahui jumlah, sifat, dan lingkungan hidrogen dalam

molekul. Spektra massa menghasilkan data bobot molekul dan perumusan tentang

tatanan gugus-gugus spesifik dalam molekul. Berbagai data yang berbeda ini dan

digabungkan dengan sifat-sifat kimia dan fisika sangat efektif digunakan untuk

mengindentifikasi dan menentukan struktur senyawa (Sastrohamidjojo, 1994).

1. Spektrofotometri Inframerah

Spektrofotometri inframerah biasanya digunakan untuk mengetahui

gugus fungsional yang terdapat dari suatu senyawa (Bresnick, 2004). Sinar

inframerah mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang sehingga

energinya lebih rendah dengan bilangan gelombang antara 600-4000 cm-1 atau sekitar 1,7 x 10-3cm sampai dengan 2,5 x 10-4cm (Sitorus, 2009).

(32)

14

Semua ikatan mempunyai frekuensi khas yang membuat ikatan mengulur

dan menekuk. Bila frekuensi energi elektromagnetik inframerah yang dilewatkan

pada suatu molekul sama dengan frekuensi mengulur atau menekuk ikatan, maka

energi tersebut akan diserap. Serapan inilah yang dapat direkam oleh spektrometer

inframerah. Semakin tinggi frekuensi maka semakin besar energi yang

dibutuhkan. Dengan demikian, ikatan yang memerlukan energi yang lebih besar

untuk mengulur dan menekuk akan mempunyai frekuensi serapan yang tinggi

dalam spektroskopi inframerah (Bresnick, 2004).

Setiap jenis ikatan kimia mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda.

Jenis ikatan yang sama juga mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda bila diikat

oleh senyawa yang berlainan. Dengan demikian tidak ada molekul yang berbeda

strukturnya yang mempunyai pola serapan inframerah atau spektra inframerah

yang sama (Fatah, 1998).

Ikatan yang berbeda-beda (C-C, C=C, C≡C, C-O, C=O, O-H, N-H)

mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda-beda dan hal tersebut dapat

mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam suatu molekul organik, yaitu

dengan cara mendeteksi frekuensi-frekuensi kharakteristiknya sebagai pita

serapan dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo, 2001).

Semua ikatan kimia memiliki frekuensi khas yang dapat membuat ikatan

mengulir (stretch) atau menekuk (blend). Bila frekuensi energi elektromagnetik

inframerah yang dilewatkan pada suatu molekul sama dengan frekuensi mengulur

atau menekuknya ikatan maka energi tersebut akan diserap. Serapan inilah yang

(33)

15

2. Spektroskopi Massa

Spektroskopi massa merupakan teknik yang digunakan untuk mengetahui

berat molekul suatu senyawa. Untuk mendapatkan informasi yang mungkin

mengenai struktur suatu senyawa dapat dilakukan dengan mengukur bobot

molekul dari fragmen-fragmen ketika molekul mengalami pemecahan (Mc.Murry,

2008).

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan ion

molekul yaitu : ionisasi dengan electron impact (EI), chemical ionization (CI),

field desorption (FD), fast atom bombardment (FAB), electrospray ionization

(ESI), dan matrix assisted loaser desorption ionization (MALDI). Dari beberapa

teknik tersebut yang paling umum digunakan adalah teknik EI, yaitu dengan

menembakkan berkas elektron pada suatu molekul organik menghasilkan ion

molekul bermuatan positif yang dapat pecah menjadi ion-ion yang lebih kecil

(Siverstein and Webster, 1998).

Dalam spektrometri massa, molekul-molekul organik ditembak dengan

elektron berenergi tinggi. Penembakan elektron pada suatu molekul menyebabkan

pelepasan elektron dan terbentuk ion molekul. Energi yang dibutuhkan untuk

penembakan dapat divariasikan, namun umumnya digunakan 70 eV. Pemecahan

molekul degan elektron berkekuatan 7-15 eV tidak menghasilkan

pecahan-pecahan molekul yang dapat diidentifikasi, sedangkan dengan elektron diatas 70

eV akan dihasilkan fragmen yang sulit diidentifikasi, karena masa relatif

(34)

16

spesies yang kehilangan satu elektron sehingga bermuatan positif parsial (Bruice,

1998).

Spektra massa adalah grafik antara kelimpahan relatif fragmen

bermuatan positif lawan perbandingan massa/muatan (m/z). Muatan ion dari

kebanyakan partikel yang terdeteksi dalam spektra massa adalah +1. Nilai m/z ion

semacam ini sama dengan massanya. Dari segi praktis, spektra massa adalah

rekaman dari massa partikel lawan kelimpahan relatif partikel tersebut (Fessenden

dan Fessenden, 1986).

Tabrakan antara sebuah molekul organik dengan salah satu elektron

berenergi tinggi yang menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul

tersebut akan membentuk ion molekul. Ion molekul yang dihasilkan dari

penembakan elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi fragmen

kecil baik berbentuk radikal bebas, ion positif dan ion negatif. Dalam sebuah

spektroskopi massa, hanya fragmen bermuatan positif yang akan dideteksi.

Suatu molekul atau ion pecah menjadi fragmen-fragmen bergantung pada

kerangka karbon dan gugus fungsional yang ada. Oleh karena itu, struktur dan

massa fragmen memberikan petunjuk mengenai struktur molekul induknya

(Fessenden dan Fessenden, 1986).

Suatu zat analit yang dianalisis dengan EI akan bermuatan positif dengan

kehilangan satu elektron. Jika terdapat atom yang elektronegatif dalam struktur

molekul zat analit seperti atom nitrogen, oksigen atau sulfur, muatan positif ini

(35)

17

elektronegatif dalam struktur molekul zat analit makan muatan ini sulit untuk

ditentukan secara pasti letaknya (Watson, 2003).

Proses terjadinya fragmentasi adalah sebagai berikut :

1. Pemutusan ikatan secara homolitik diawali dengan adanya heteroatom seperti

nitrogen, oksigen, atau sulfur.Base peak atau peak dasar biasa diberikan oleh

molekul yang mengandung heteroatom.

2. Satu elektron dalam ikatan akan terpisah, suatu radikal akan dibentuk.

Elektron satunya lagi akan bergabung dengan elektron tanpa berpasangan dari

heteroatom, maka akan terbentuk ikatan rangkap ; heteroatom ini akan

bermuatan positif.

3. Kehilangan molekul radikal terbesar adalah yang paling disukai dalam

fragmentasi (Watson, 2003).

F. Landasan Teori

Reaksi kondensasi aldol silang merupakan reaksi antara senyawa

karbonil dengan sedikitnya satu hidrogen α dengan senyawa karbonil lain yang

tidak memiliki hidrogen αdalam suasana basa. Dengan starting material

2-asetil-γ-butirolakton yang memiliki hidrogen α dan tetrahidrofuran-3-karboksaldehida

yang tidak mempunyai hidrogen α dalam suasana basa lemah piridin sehingga

senyawa laktogenin dapat dibuat dengan reaksi kondensasi aldol silang.

Basa piridin yang memiliki pasangan elektron bebas pada atom nitrogen

akan mengambil hidrogen alfa yang bersifat asam dan akan terbentuk ion enolat.

(36)

18

butirolakton dan beresonansi membentuk karbanion yang kemudian menyerang

atom C karbonil dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid sehingga laktogenin dapat

dihasilkan.

Gambar 4. Reaksi umum sintesis laktogenin

G. Hipotesis

Senyawa laktogenin dapat disintesis dari 2-asetil-γ-butirolakton dan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dalam suasana basa piridin.

(37)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental deskriptif

non-analitik. Pada penelitian ini tidak ada perlakuan pada subjek uji dan hanya

dipaparkan fenomena yang terjadi yang tidak terdapat hubungan sebab akibat.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

a) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perbandingan mol padastarting

materialyang digunakan.

b) Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah jumlah rendemen senyawa

laktogenin karena merupakan obyek yang kehadirannya akibat reaksi

antara 2-asetil-γ-butirolakton dan tetrahidrofuran-3-karboksaldehid.

c) Variabel pengganggu terkendali pada penelitian ini adalah suhu

pencampuran dan kondisi peralatan.

2. Definisi Operasional

a) Starting material adalah senyawa awal yang digunakan dalam proses

sintesis dengan tujuan untuk mendapatkan senyawa hasil sintesis. Starting

material yang digunakan dalam penelitian ini adalah

2-asetil-γ-butirolakton dan tetrahidrofuran-3-karboksaldehid.

(38)

20

b) Senyawa target adalah senyawa yang diharapkan terbentuk dari reaksi.

Senyawa target yang diharapkan terbentuk adalah senyawa

3-(3-(tetrahidrofuran-3-il)akriloil)dihidrofuran-2(3H)-on yang bisa disebut

senyawa laktogenin.

C. Bahan Penelitian

2-asetil-γ-butirolakton (for synthesis, Merck),

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid (for synthesis,Sigma-aldrich), piridin (p.a.,Merck), metanol (p.a.,

Merck), aquadest.

D. Alat Penelitian

Pendingin Alihn, pemanas listrik (Herdolph MR 2002), pengering

(Memmert Oven Model 400), neraca analitik (Mextler PM 100), seperangkat alat

gelas, klem, statif, termometer, corong Buchner, kromatografi gas-spektrometer

massa (Shimadzu QP 2010 SE), spektrometer IR (IR Shimadzu Prestige-21),

lampu UV254nm, mikropipet, baskom, kertas saring.

E. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan piridin

Piridin sebanyak 0,476 mL dilarutkan dengan aquadest 10 mL hingga

larut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL. Tambahkan aquadest hingga

batas tanda.

(39)

21

2. Sintesis senyawa laktogenin dalam suasana basa piridin

2-asetil-γ-butirolakton 5,53 mmol (0,5943 mL) dimasukkan ke dalam

labu erlenmeyer. Piridin sebanyak 25 mL (5,53 mmol) ditambahkan dalam larutan

tersebut. Tetrahidrofuran-3-karboksaldehid 5,53 mmol (1 mL) ditambahkan ke

dalam campuran tetes demi tetes. Campuran senyawa tersebut direfluks selama 3

jam dengan suhu 80-90˚C.

3. Uji Pendahuluan

a. Organoleptis

Senyawa hasil sintesis diamati sifat-sifat fisiknya, meliputi bentuk,

warna, dan bau. Kemudian hasil pengamatan dibandingkan dengan starting

material yang digunakan dalam penelitian yaitu 2-asetil-γ-butirolakton dan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid.

b. Uji kemurnian menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Masing-masing larutan tersebut ditotolkan sebanyak 1,0 μL dengan

menggunakan mikropipet pada lempeng silika gel GF254 yang sudah diaktifkan

pada suhu 1000C selama 30 menit. Pengembangan dilakukan dengan fase gerak

CCl4: etil asetat (4:1) dan jarak rambat 15 cm.

c. Uji penentuan panjang gelombang maksimum

Senyawa hasil sintesis dan masing-masing starting material sebanyak 1

mL 0,001% (v/v) dilarutkan dalam metanol lalu di masukkan ke dalam kuvet.

Larutan tersebut discanpada rentang panjang gelombang 190-380nm. Ditentukan

panjang gelombang maksimumnya pada area peak dengan absorbansi tertinggi

(40)

22

starting material dibandingkan dan dilihat perbedaannya dari profil spektra dan

panjang gelombang maksimum yang dihasilkan.

d. Kromatografi Gas (GC)

Pemeriksaan kemurnian senyawa hasil sintesis dilakukan dengan

kromatografi gas dengan kondisi alat: suhu injektor 310°C, jenis kolom Rastek

Rxi-5MS, panjang kolom 30 meter, suhu kolom diprogram 80°C, gas pembawa

helium, tekanan 16,5 kPa, kecepatan alir fase gerak 0,5 ml/menit, dan detektor

ionisasi nyala. Cuplikan senyawa hasil sintesis dilarutkan dalam kloroform,

kemudian diinjeksikan ke dalam injektor pada alat kromatografi gas. Aliran gas

dari gas pengangkut helium akan membawa cuplikan yang sudah diuapkan masuk

kedalam kolom RXi-5MS yang dilapisi fase cair dimetilpolisiloksan. Selanjutnya

cuplikan diukur oleh detektor hingga diperoleh suatu kromatogram.

4. Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis

a. Spektrofotometri inframerah

Senyawa yang berwujud cairan ditempatkan dalam film tipis di antara

dua lapis NaCl yang transparan terhadap inframerah. Cahaya inframerah dari

sumber dilewatkan melalui cuplikan, kemudian dipecah menjadi

frekuensi-frekuensi individunya dalam monokromator dan intensitas relatif dari frekuensi-frekuensi

individu diukur oleh detektor hingga didapat spektra inframerah dari senyawa

yang bersangkutan. Bilangan gelombang yang digunakan 400-4000 nm.

b. Spektrometri massa

Uap cuplikan senyawa hasil sintesis yang keluar dari kolom kromatografi

(41)

23

dengan seberkas elektron hingga terfragmentasi. Jenis pengionan yang digunakan

adalah EI (Electron Impact) 70 eV. Fragmen-fragmen akan melewati lempeng

mempercepat ion dan didorong menuju tabung analisator, dimana partikel-partikel

akan dibelokkan dalam medan magnet dan menimbulkan arus pada kolektor yang

sebanding dengan kelimpahan relatif setiap fragmennya. Kelimpahan relatif setiap

fragmen akan dicatat dan menghasilkan data spektra massa.

F. Analisis Hasil

1. Analisis Pendahuluan

Analisis pendahuluan senyawa hasil sintesis berdasarkan data organoleptis

dan spektra UV.

2. Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis

Pemeriksaan kemurnian senyawa hasil sintesis berdasarkan data

kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi gas.

3. Elusidasi Struktur

Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis berdasarkan data spektra

inframerah (IR) dan spektra massa (MS).

(42)

24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sintesis senyawa laktogenin

Sintesis senyawa laktogenin dengan nama IUPAC

3-(3-(Tetrahidrofuran-3-il)akriloil)dihidrofuran-2(3H)-on dapat dilakukan dengan mereaksikan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehida dan 2-asetil-γ-butirolakton melalui reaksi

kondensasi aldol silang. 2-asetil-γ-butirolakton merupakan suatu senyawaan keton

yang mempunyai hidrogenalfa (H-alfa) yaitu hidrogen yang terikat pada karbon

posisialfadimana bersifat asam sehingga dengan adanya suatu basa maka H-alfa

akan tertarik pada basa dan akan terbentuk suatu ion enolat atau karbon alfa

bermuatan parsial negatif. Dan karena adanya resonansi, ion enolat yang terbentuk

relatif stabil. Dengan adanya pemanasan dengan waktu tertentu, maka

pembentukan ion enolat menjadi optimal.

Tetrahidrofuran-3-karboksaldehida merupakan suatu senyawaan aldehida

yang bertindak sebagai elektrofil. Ion enolat yang terbentuk merupakan suatu

nukleofil yang baik, sehingga akan menyerang elektrofil yaitu gugus karbonil

pada tetrahidrofuran-3-karboksaldehida yang bermuatan parsial positif akibat

adanya penarikan elektron ikatan π oleh atom oksigen yang lebih elektronegatif

daripada atom karbon, sehingga membentukintermediet β-hidroksi karbonil yang

mudah terdehidrasi membentuk senyawa laktogenin.

Tahapan pertama kali yang dilakukan adalah pembentukan ion enolat

(43)

25

Penggunaan basa lemah piridina yang diberikan secara tetes demi tetes untuk

mencegah terbukanya cincin ester dari 2-asetil-γ-butirolakton yang dapat

menyebabkan terbentuknya produk samping.

Gambar 5. Reaksi pembentukan ion enolat dari 2-asetil-γ-butirolakton

Ketika salah satu H-alfa terikat pada basa piridin maka akan terjadi ion

enolat yang berada dalam kondisi resonansi. Dari struktur resonansi, muatan

negatif diemban oleh oksigen karbonil dan karbonalfa, namun ion enolat dengan

karbon alfa yang bermuatan parsial negatif lebih reaktif sehingga ion tersebut

yang akan menyerang gugus karbonil dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid.

Karbon alfa tersebut memiliki orbital yang terisi penuh sehingga lebih mudah

untuk mendonorkan elektronnya. Beda halnya dengan atom O, elektron yang

berlebih akan digunakan untuk mengisi orbitalnya yang kosong sehingga sukar

untuk mendonorkan elektronnya.

Setelah ion enolat terbentuk, kemudian direaksikan dengan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehida dengan tujuan untuk membentuk senyawa

β-OH-karbonil. Pemberian tetrahidrofuran-3-karboksaldehid di akhir dan secara

tetes demi tetes bertujuan agar piridina yang bersifat basa tidak akan menyerang

H-α dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid. Kemudian campuran larutan direfluks

selama tiga jam. Pada proses refluks, uap dari starting material akan

(44)

26

sehingga kestabilan termodinamika dari sistem terjaga dan maka dari itu dapat

menjaga kesempurnaan proses reaksi.

Gambar 6 . Reaksi adisi ion enolat pada gugus karbonil dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid

Penyerangan ion enolat terhadap tetrahidrofuran-3-karboksaldehid akan

dihasilkan suatu senyawa antara yaitu β-OH karbonil. Proses tersebut merupakan

awal dari proses pembentukan molekul yang lebih besar.

Gambar 7. Reaksi pembentukanβ-OH karbonil sebagai senyawa antara

Setelah itu terjadi proses kehilangan molekul air dari senyawa yang baru

terbentuk. Proses tersebut dinamakan dehidrasi.

Gambar 8. Reaksi dehidrasi dari senyawaβ-OH karbonil

(45)

27

Setelah direfluks selama tiga jam, dilakukan pengecekan pH larutan, dan

didapatkan pH sebesar enam untuk larutan hasil sintesis replikasi satu dan

replikasi dua. Selanjutnya dilakukan uji organoleptis, uji pendahuluan berupa uji

kromatografi lapis tipis, spektrofotometri ultraviolet, kromatografi gas, dan

elusidasi struktur dengan IR dan MS.

B. Analisis Pendahuluan

1. Uji Oganoleptis

Hasil pemeriksaan organoleptis yang meliputi warna, bentuk, dan bau dari

senyawa hasil sintesis dibandingkan dengan starting material, yaitu

tetrahidrofuran-3-karboksaldehida dan 2-asetil-γ-butirolakton ditunjukkan pada

tabel I.

Tabel I. Perbandingan organoleptis antara senyawa hasil sintesis denganstarting material Bau Menyengat Tidak berbau Tidak berbau

Dari hasil pemeriksaan organoleptis di atas, dapat disimpulkan telah

terbentuk senyawa baru, hal ini dapat dilihat dari warna dan bau yang berbeda

antara senyawa hasil sintesis denganstarting material.

(46)

28

2. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Tujuan dilakukan uji kromatografi lapis tipis (KLT) adalah untuk melihat

kemurnian senyawa hasil sintesis dan untuk mengindentifikasi Rf senyawa hasil

sintesis. Parameter untuk uji ini adalah harga Rf yang dibandingkan antara Rf

starting materialdenganRf senyawa hasil sintesis.

Uji KLT menggunakan fase diam silika gel GF254nm dan fase gerak CCl4

: etil asetat (4:1). Sebagai pembanding digunakan starting material

2-asetil-γ-butirolakton dengan jarak pengelusian 15 cm. Hasil bercak diamati di bawah sinar

UV karena pada cahaya tampak (visible) bercak yang dihasilkan tidak terlihat oleh

mata.

Fase diam berupa silika gel GF254 yang digunakan mengandung CaSO4

yang berfungsi untuk melekatkan silika pada lempeng dan mengandung indikator

yang dapat berfluorosensi pada panjang gelombang 254 nm sehingga

memudahkan untuk mendeteksi adanya peredaman pada bercak. Peredaman

terjadi karena starting material 2-asetil-γ-butirolakton dan senyawa hasil sintesis

memiliki gugus kromofor. Sinar UV akan diabsorpsi oleh gugus kromofor dari

kedua senyawa tersebut, senyawa hasil sintesis dan 2-asetil-γ-butirolakton.

Fase gerak yang digunakan adalah CCl4 : etil asetat (4:1) dengan indeks

polaritas (IP) 2,16. Fase gerak tersebut didapatkan dari hasil optimasi pemilihan

(47)

29

A= 2-asetil-γ-butirolakton

B= senyawa hasil sintesis replikasi 1 C= senyawa hasil sintesis replikasi 2

Gambar 9. Kromatogram KLT senyawa hasil sintesis

Tabel II. NilaiRf senyawa hasil sintesis dan 2-asetil-γ-butirolakton

Bercak Senyawa Rf

Dari hasil kromatogram tersebut, dapat dilihat bahwa setelah dilakukan

penotolan dan dielusi di dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak

dihasilkan bercak tunggal. Selain itu didapat harga Rf yang berbeda antara

2-asetil-γ-butirolakton dengan senyawa hasil sintesis. Untuk senyawa hasil sintesis

replikasi satu dan dua memiliki harga Rf yang hampir sama menunjukan bahwa

hasil sintesisreproducible.

Perbedaan nilai faktor retensi disebabkan adanya perbedaan afinitas

(48)

30

sintesis. Interaksi silika sebagai fase diam dengan 2-asetil-γ-butirolakton dan

senyawa hasil sintesis adalah interaksi hidrogen yang terbentuk karena pada silika

terdapat gugus –OH dimana atom hidrogen mudah untuk berinteraksi dengan

atom oksigen yang memiliki pasangan elektron bebas. Interaksi hidrogen yang

terjadi antara senyawa hasil sintesis lebih banyak dibandingkan dengan

2-asetil-γ-butirolakton, sehingga afinitas senyawa hasil sintesis terhadap fase diam lebih

besar daripadastarting material-nya.

Perbedaan Rf antara 2-asetil-γ-butirolakton dan senyawa hasil sintesis

menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki struktur yang berbeda. Namun

hasil kromatografi lapis tipis tersebut tidak dapat dijadikan tolak ukur bahwa

dengan harga Rf berbeda, telah terbentuk senyawa laktogenin. Selain itu dengan

dihasilkan bercak tunggal belum dapat dipastikan bahwa senyawa yang ditotolkan

merupakan senyawa murni atau tidak, maka perlu dilakukan uji selanjutnya. Hasil

uji ini hanya sebagai hasil kualitatif bahwa telah terbentuk senyawa baru yang

berbeda daristarting material-nya.

3. Uji Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Tujuan dilakukan uji pendahuluan menggunakan spektrofotometri

ultraviolet adalah untuk mengetahui panjang gelombang maksimal (λ maks) dari

starting material dan senyawa hasil sintesis, yang kemudian dibandingkan

panjang gelombang maksimal senyawa hasil sintesis dengan panjang gelombang

maksimal starting material. Pengecekan dilakukan pada panjang gelombang

daerah UV (200-380 nm).

(49)

31

Tabel III. Data panjang gelombang maksimal

Senyawa Panjang

Gelombang maksimal

Absorbansi

2-asetil-gamma-butirolakton sebagai starting material

251 nm 0,285 A

Tetrahidrofuran-3-karboksaldehid sebagai starting material

207 nm 0,517 A

Senyawa hasil sintesis 267 nm 0,462 A

Gambar 10. Spektra UV 2-asetil-γ-butirolakton

Spektra di atas menunjukkan bahwa panjang gelombang

2-asetil-gamma-butirolakton adalah 251 nm. Senyawa starting material tersebut berwarna kuning

pucat.

(50)

32

Dilihat dari struktur perkiraan senyawa hasil sintesis yakni (Z) – 3

-(hidroksi (tetrahidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il)but-2 enoil)

dihidro furan-2(3H)-on mempunyai gugus kromofor. Gugus kromofor merupakan

suatu gugus yang mampu menyerap sinar UV-VIS. Dalam orbital molekul,

elektron-elektron π mengalami delokalisasi dengan adanya ikatan terkonjugasi.

Adanya efek delokalisasi ini akan menyebabkan penurunan tingkat energi π*

sehingga untuk melakukan transisi π → π* membutuhkan energi yang lebih kecil.

Energi yang dibutuhkan untuk melakukan transisi elektronik berkaitan dengan

panjang gelombang, berdasarkan persamaan :

E

=

E = energi dari foton (erg)

h = konstanta Planck

Persamaan ini menunjukkan semakin kecil energi maka akan semakin

besar panjang gelombang yang diserap.

Gambar 12. Spektra UV senyawa hasil sintesis

(51)

33

Senyawa hasil sintesis menyerap pada panjang gelombang 267 nm

sehingga warna yang terlihat adalah warna kuning pekat menuju orange. Hal ini

dikarenanakan memiliki gugus kromofor.

Dari hasil panjang gelombang dan profil spektra UV, dapat diambil

kesimpulan sementara bahwa senyawa hasil sintesis telah berbeda dari starting

material-nya, karena panjang gelombang antarastarting materialdengan senyawa

hasil sintesis berbeda. Namun kesimpulan tersebut hanya bersifat kualitatif

sehingga butuh pengujian selanjutnya untuk memperkuat kesimpulan yang

diambil.

C. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Sintesis

Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis dilakukan dengan spektroskopi

infrared(IR) dan spektroskopi massa (MS).

1. Spektrofotometriinfrared

Spektroskopi IR dapat digunakan untuk mengindentifikasi keberadaan

gugus-gugus fungsional yang terdapat pada senyawa hasil sintesis. Gambar 13,

14, dan 15 menunjukan hasil spektra IR dari senyawa hasil sintesis dan starting

material. Data interprestasi kromatogram senyawa hasil sintesis dan starting

materialditunjukkan pada tabel V.

(52)

34

Gambar 13. Spektra Inframerah senyawa hasil sintesis

Dari hasil analisis spektra IR senyawa hasil sintesis, didapatkan enam

profil pita reprensentatif yang menunjukkan gugus-gugus fungsional yang

terdapat pada senyawa hasil sintesis.

Tabel IV. Perbandingan pita vibrasi gugus senyawa hasil sintesis dengan literatur

No

Pita vibrasi Intensitas

Bilangan gelombang (cm-1) Literatur

(53)

35

Pita B merupakan pita vibrasi dengan itensitas kuat pada 1643,35 cm-1

yang menunjukkan adanya gugus karbonil. Dan pita vibrasi ulur dengan intensitas

sedang pada 1550,77 cm-1 (pita C) menunjukkan adanya gugus C=C aromatik.

Pita C diperkuat dengan adanya pita D yang merupakan pita overtonedari pita C

dengan intensitas sedang pada bilangan gelombang 1018,41 cm-1. Gugus ester

yang terdiri dari gugus C-O terlihat pada pita E dan F dengan bilangan gelombang

1219,01 dan 1172,72 cm-1yang memiliki intensitas lemah. Dari data-data tersebut

terlihat bahwa senyawa hasil sintesis memiliki gugus fungsional seperti yang

diharapkan. Namun, pada hasil spektra IR tersebut terdapat dua pita vibrasi, yaitu

pita A dan G, yang menunjukkan bahwa adanya gugus –OH pada bilangan

gelombang 3055,24 cm-1 dengan intensitas sedang dan pita yang melebar, dan

gugus metil (-CH3 bending) pada bilangan gelombang 1381,03 cm-1 dengan

intensitas sedang. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi reaksi

self-condensation antar senyawa 2-asetil-γ –butirolakton dan diikuti reaksi dengan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid karena gugus metil dan gugus hidroksi

merupakan dua gugus yang ada pada produk hasil reaksi tersebut.

Pada penelitian ini digunakan pembanding 2-asetil-γ-butirolakton dan

tetrahidrofuran-3-karbosaldehid sebagai starting material. Hal ini dilakukan

dengan tujuan untuk memastikan bahwa senyawa hasil sintesis memiliki

gugus-gugus fungsional yang berbeda daristarting material-nya.

(54)

36

Gambar 14. Spektra Inframerah 2-asetil-γ-butirolakton

Pada spektra IR di atas, terdapat lima buah pita yang mempresentasikan

gugus fungsi dari 2-asetil-γ-butirolakton. Pita C dan D menunjukkan adanya

ikatan C=O yang khas pada gugus ester dan lakton, yang ditunjukkan pada

bilangan gelombang 1776,80 dan 1712,79 cm-1. Lalu pada pita E pada bilangan

gelombang 1026,13 cm-1dengan intensitas kuat menunjukkan adanya gugus C-O

ester. Sedangkan untuk pita A dan B pada bilangan gelombang 2993,52 dan

(55)

37

Gambar 15. Spektra inframerah tetrahidrofuran-3-karboksaldehid

Sedangkan untuk spektra IR diatas memperlihatkan empat pita yang

menginterpretasikan adanya gugus fungsi pada senyawa

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid. Pada pita A dan B dengan bilangan gelombang 2978,09 dan

2885,51 cm-1 dan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-H alkana

alifatik. Gugus C=O aldehid ditunjukkan pada bilangan gelombang 1712,19 cm-1

dengan intensitas kuat. Lalu pada pita D menunjukkan adanya gugus C-O dengan

(56)

38

Tabel V. Perbandingan interpretasi spektra IR senyawa hasil sintesis danstarting material

Berdasarkan tabel di atas, terdapat perbedaan gugus fungsi pada senyawa

hasil sintesis dan starting material. Adanya ikatan C=C, C=O yang terkonjugasi

pada suatu alkena dan gugus OH pada senyawa hasil sintesis yang tidak dimiliki

oleh kedua starting material.

Akan tetapi, hasil interpretasi spektra IR tersebut belum merupakan suatu

pegangan yang kuat untuk menyatakan bahwa senyawa yang dihasilkan dari hasil

sintesis merupakan senyawa yang diinginkan. Maka dari itu, untuk lebih

menyakinkan dan memastikan lagi, dibutuhkan data spektra MS yang dapat

mendukung hasil akhir tersebut.

2. Spektrometri massa

Pengujian senyawa hasil sintesis dengan alat kombinasi antara

(57)

39

memisahkan kemungkinan adanya senyawa pengotor atau senyawa yang tak

diinginkan dengan senyawa hasil sintesis. Proses elusi akan terjadi pada saat

sampel dideteksi dengan kromatografi gas. Kemudian hasil dari elusi ini akan

dideteksi oleh spektrometri massa dan dihasilkan spektra senyawa hasil sintesis.

Dengan adanya proses pemisahan terlebih dahulu, diharapkan spektra massa yang

muncul benar-benar spektra milik senyawa hasil sintesis.

Spektra massa yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan bobot

molekul senyawa hasil sintesis. Spektra massa juga dapat dimanfaatkan untuk

penyelidikan kerangka molekul senyawa hasil sintesis melalui interpretasi

fragmen-fragmennya.

Dari hasil pengujian dengan alat GC-MS didapatkan data kromatogram

GC dan spektra MS. Kromatogram GC senyawa hasil sintesis ditunjukkan pada

gambar 16, sedangkan gambar 17 menunjukkan spektra MS senyawa hasil

sintesis.

Gambar 16. Kromatogram GC senyawa hasil sintesis

Senyawa hasil sintesis menghasilkan sepuluh peak dengan waktu retensi

(58)

40

murni dan tidak hanya mengandung senyawa yang diinginkan, tetapi juga

mengandung senyawa lain yang mungkin berasal dari reaksi samping.

Dari gambar kromatogram GC di atas, peak dengan Area Under Curve

(AUC) terbesar, yaitu 39269839 ada pada waktu retensi 3,151 menit (peaknomor

3), diikuti denganpeaknomor 7 dengan waktu retensi 18,414 dan AUC 3143029.

Gambar 17. Hasil spektra massa pada waktu retensi 3,151 menit

Peak dengan retensi 3,151 menit memiliki ion molekul dengan m/z = 79,

dimana m/z tersebut sesuai dengan bobot molekul piridina. Hal ini menunjukkan

bahwa setelah selesai bereaksi, piridina terbentuk kembali.

Gambar 18. Hasil spektra massa pada waktu retensi 18,414 menit

Pada gambar 18 menunjukan spektra MS dengan waktu retensi 18,414

menit memiliki ion molekul dengan m/z = 337, oleh karena itu senyawa ini

(59)

41

10,25%. Peak tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi reaksi self-condensation

antar senyawa 2-asetil-γ –butirolakton dan diikuti reaksi dengan

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid. Perkiraan struktur senyawa hasil proses self-condentationseperti

pada gambar 11.

Gambar 19 . Mekanisme reaksi pembentukan (Z)-3-(hidroksi(tetrahidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il)but-2 enoil)dihidrofuran-2(3H)-on

Dari gambar spektra MS tersebut terdapat beberapa nilai m/z dengan

intensitas yang bervariasi. Dalam spektrometer massa, fragmen-fragmen yang

akan terdeteksi hanya fragmen yang bermuatan positif, sedangkan fragmen

dengan muatan netral atau radikal tidak akan terdeteksi.

(60)

42

Peak A dengan m/z 152 merupakan fragmen dari ion molekul yang

mengalami pelepasan ion C9H13O4• sehingga menghasilkan ion C8H8O3.

selanjutnya peak B berasal dari fragmen ion molekul C8H8O3 yang mengalami

pelepasan molekul C2H4O sehingga ion C7H9O2+ terbentuk. Ion tersebut muncul

pada m/z 125.

Ion C4H5O2+ merupakan ion hasil fragmentasi dari ion C7H9O2+ dengan

melepaskan molekul C4H8 mempunyai m/z sebesar 85 (peak C). Kemudian ion

C4H5O2+ akan melepaskan molekul C2H3O sehingga menghasilkan ion C3H5O+

yang tampak sebagai peak D dengan m/z 57. Ion C3H5O+ yang terbentuk

mengalami fragmentasi kembali menjadi ion C3H5+ dengan melepaskan molekul

CH5O. Ion tersebut memiliki m/z 41 (peak E) yang merupakan ion dengan

kelimpahan yang paling besar dan yang paling stabil. Fragmen-fragmen dengan

intensitas 100 % merupakan ion yang paling stabil dan biasa disebut base peak.

Lalu fragmen dengan m/z 28 (peak F) merupakan fragmen dari ion C2H3+ yang

melepaskan molekul C2H6.

(61)

43

Keterangan tesebut dapat dilihat dari gambar mekanisme fragmentasi

berikut ini :

Gambar 20. Usulan mekanisme fragmentasi dari senyawa hasil sintesis

Senyawa (Z)3( hidroksi ( tetrahidrofuran 3il) metil ) – 3 ( 3 ( 2

-oksotetrahidrofuran – 3 - il ) but-2 enoil) dihidrofuran -2(3H)-on terbentuk karena

terjadinya reaksi self-condentation antar senyawa 2-asetil-γ-butirolakton. Dapat

(62)

44

terdapat sisi elektrofil pada atom C karbonilnya. Menurut analisis menggunakan

program Marvin sketch, elektrofil pada C karbonil dari 2-asetil-γ-butirolakton

lebih kuat daripada elektrofil dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dengan nilai C

karbonil pada 2-asetil-γ-butirolakton 11,62 dan C karbonil pada

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid sebesar 10,92. Sehingga dapat menyebabkan ion enolat yang

terbentuk akan lebih sering menyerang atom C karbonil dari

2-asetil-γ-butirolakton. Setelah terjadi reaksi self-condentation, atom karbon α lain pada

2-asetil-γ-butirolakton akan menyerang atom C karbonil dari

tetrahidrofuran-3-karboksaldehid, sehingga terbentuk senyawa hasil reaksi samping.

Gambar 21. Hasil perhitungan C karbonil pada 2-asetil-γ-butirolakton dengan program

Marvin Sketch

Gambar 22. Hasil perhitungan C karbonil pada tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dengan programMarvin Sketch

(63)

45 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sintesis dari tetrahidrofuran-3-karboksaldehid dan 2-asetil-γ-butirolakton

dalam suasana basa piridin tidak menghasilkan laktogenin melainkan

menghasilkan senyawa

(Z)-3-(hidroksi(tetrahidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il)but-2 enoil)dihidrofuran-2(3H)-on dengan persen

kemurnian 10,25 % secara kromatografi gas.

B. Saran

1. Perlu dilakukan sintesis laktogenin dengan optimasi mengenai perbandingan

mol, pemilihan katalis, penggunaan suhu kamar , dan variasi waktu untuk

bereaksi.

2. Perlu dilakukan uji aktivitas senyawa

(Z)-3-(hidroksi(tetrahidrofuran-3-il)metil)-3-(3-(2-oksotetrahidrofuran-3-il) but-2-enoil) dihidrofuran-2(3H)-on

sebagai anti kanker.

Gambar

Tabel 2. Nilai Rf senyawa hasil sintesis dan 2-asetil-γ-butirolakton
Gambar 1. Struktur umum asetogenin (Anonim, 2010)
Gambar 2. Interaksi antara asetogenin dengan enzim kompleks I (NADH-ubiquinone oksidoreduktase) (Hongda, 2006)
Gambar 3. Analisis diskoneksi senyawa laktogenin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemanfaatan modal sosial dilakukan melalui pemanfaatan kepercayaan, jaringan, dan norma sosial untuk menjaga komponen ketahanan pangan. Melalui kepercayaan, jaringan, dan norma

Oleh yang demikian, hakikat dan kebenaran hukum Islam terhadap masyarakat, realiti dan kekuatan perlu dipahami dengan jelas. Dasarnya adalah dua sumber utama

Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan diteliti lebih lanjut adanya faktor-faktor yang menjadi pertimbangan minat beli dalam mengkonsumsi produk yang ada pada

Ketika di negaranya sendiri over produksi, dan masyarakat negaranya tidak ada yang, mau beli barang hasil produksi para kapitalis itu, maka barang-barang itu mereka jual ke

Dari hasil-hasil pengamatan ini maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi penekanan plunger , kekuatan tarik coran die casting Al-Mg-Si semakin meningkat yang

Pertimbangan mengenai aspek ekonomi serta aktifitas sosial yang mempengaruhi konsep pengembangan Revitalisasi Kawasan pada Kampung Cina di Kota Ternate.. Ruang

Bagaimana'un juga kucing da'at mem'roduksi <at asam dalam 'erut &ang sangat kuat( sehingga da'at membuat mereka menjadi lebih mudah untuk mencerna daging(

Dalam perspektif proses pembelajaran di sekolah, guru mempunyai peranan penting, disamping faktor-faktor lain seperti sarana, kurikulum, peserta didik, evaluasi, serta