SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Elisabeth Endah Retnoningrum 024314018
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
• “Tuhanku Yesus Kristus” yang selalu mendampingi aku disaat sedih maupun senang. Terimakasih ya Tuhan karena kemampuanku tidak terlepas dari anugerah dan karunia yang Kau berikan padaku.
• Mami dan Papiku yang selalu mendampingi dan bersabar support aku.
• Putraku Bonaventura Fajar P.N …..my son your is my inspiration”
• Saudara-saudaraku yang selalu mendukung aku disaat aku rapuh dan tidak menentu, thanks to my big familiys.
• Teman-teman dan Jurusan ilmu sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, thanks there give me the lot of experience n sience in this real word.
• Segala kepanatan, kemarahan, kesulitan, kekacauan, kekecewaan, penghianatan,kebahagian, keceriaan dan juga keramaian yang tak kunjung usai dan segala masalah yang mendera aku, thanks karena mereka juga bagian dari hidup aku yang penuh dengan konflik. Tanpa semua ini aku tidak pernah selesai.
“ Hidup Penuh Dengan Tantangan Maka Berjuanglah “
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka seperti layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 Juli 2009 Penulis
Elisabeth Endah Retnoningrum
Tahun 1966-1998
Elisabeth Endah Retnoningrum
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Penulisan skripsi ini ditulis untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1966-1998, dimana awal peristiwa 1 Oktober merupakan awal dan suatu peng-hancuran PKI dan Gerwani. Hal itu digunakan untuk memberi stigma yang baik bagi perkembangan Orde Baru dan ingin mengatakan bahwa pemerintahan Soeharto telah berhasil memberantas komunisme di Indonesia dan kebejatan asusila yang telah dilakukan Gerwani.
Tulisan ini untuk memberi wacana baru mengenai peristiwa 1 Oktober dimana peristiwa itu memberi dampak yang buruk bagi suatu pergerakan perempuan selanjutnya. Dimana pada masa pemerintahan Soeharto mulai membatasi ruang gerak organisasi perempuan karena pengaruh citra buruk yang telah dilakukan Gerwani. Hal ini dilakukan atas tinjauan kembali atas latar belakang pelaku serta rekonstruksi dan bukti atas peristiwa tersebut. Tulisan ini juga bertujuan untuk menganalisa dan mendeskripsikan posisi Gerwani pada saat peristiwa 1 Oktober itu mulai meletus sampai pada masa pemerintahan diambil-alih oleh Soeharto. Teori yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan teori Althuser dan teori Otoritas Birokrasi dan Korporatisme. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis. Selain memaparkan peristiwa secara mendetail juga mengkaji dan menganalisa kausalitas dan peristiwa yang terkait. Penulisan ini didasarkan pada sumber yang didapatkan melalui studi pustaka berupa buku, suratkabar, artikel dan internet.
Kesimpulan yang didapat dari penulisan ini beranggapan bahwa peristiwa 1 Oktober merupakan penculikan para jenderal yang dilakukan oleh G 30 S/PKI dan dianggap bahwa Gerwani menari-nari telanjang, menyilet serta memotong penis yang dianggap sebagai tindakan asusila adalah “tidak benar”. Stigma ini diberikan untuk melegalkan pemerintahan Orde Baru.
ABSTRACT
The Influence of Bad Image of Gerwani to the Expansion of Indonesian Female Movement in 1966-1998
Elisabeth Endah Retnoningrum SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
The minithesis process of writing weas conducted to know what happen-ings in 1966-1998, where in the beginning of October 1st happenings was the initial and a destruction of PKI and Gerwani. It was used for providing good stigma the development of New Order and would state that the Soeharto’s administration had been successfully eliminated communism in Indonesia and the immoral depravity conducted by Gerwani.
This writing was to give the new articles concerning on the happenings of October 1st, whereas this happenings gave bad impact for the further female movement. While in the era of Soeharto’s administration started to limit the motional space of the female organization by reason of the influence of bad image conducted by Gerwani. It was conducted by the reviewing on the background of the perpetrator and also reconstruction and verifying material of these happenings. This writing purposed to analyze and describe the Gerwani’s position in the happenings of October 1st, from the initial explosion up to the era of government of which was handed over by Soeharto. The theory used by the author was using Althuser theory and Authoritarian Bureaucracy and Corporation. The method used was descriptive analysis method. In addition of describe this happenings in detail it also purposed to study and analyze the causality and the related happenings. This writing based on the sources of which was gained from the literatures study by the shape of books, newspapers, articles, and internet.
The conclusion gained from this writing considered that the happenings of October 1st was the kidnapping of the Generals of which was conducted by G 30 S/PKI and considered that Gerwani conducted nudity dance, slashing onto, and also cutting off the penis that was perceived as immoral action was “Untrue”. This stigma was given to legalize the government of New Order.
Nama : Elisabeth Endah Retnoningrum Nomor Mahasiswa : 024314018
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“ PENGARUH CITRA GERANI TERHADAP PERKEMBANGAN PERGERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA TAHUN 1966-1998 “
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 11 September 2009
Yang menyatakan
( E. Endah Retnoningrum )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas anugerah, kasih dan karunia yang Tuhan Yesus Kristus berikan, sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan. Skripsi ini disusun sebagai syarat akhir untuk memperoleh gelar sarjana Sastra, Jurusan Ilmu Sejarah.
Skripsi ini tidak akan pernah selesai tanpa bantuan dari orang-orang yang membimbing, mengarahkan, mendukung dan memberikan bantuan serta perhatian kepada penulis. Maka dari itu dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, terima kasih atas berkat dan anugerah yang KAU berikan kepada kami dan selalu setia mendampingi aku dalam suka dan duka. 2. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
telah memberi tempat bagi penulis untuk belajar dan berkarya.
3. Bpk Drs. Hb. Hery Santosa selaku Kepala Jurusan Ilmu Sejarah, trima kasih ya pak sudah memberi support dan nasehat yang mendalam, supaya skripsi cepat diselesaikan dan mengesampingkan segala masalah.
4. Bpk Drs. Silverio R.L Aji Sampurna. M. Hum, selaku pembimbing tunggal yang telah bersedia membimbing dengan sabar membimbing penulis yang hilang dan pergi begitu saja dan muncul tiba-tiba lagi. Terima kasih atas pengarahan dan gurauan-gurauan baik berupa semangat atau saran kepada penulis untuk memberi waktu dan kesempatan kepada penulis.
5. Romo Dr. F.X. Baskara Tulus Wardaya, S.J. yang telah mendukung pada saat seminar dan membuat proposal sehingga judul ini disetujui walau melalui proses yang lama pembuatannya. Terima kasih telah mengijinkan untuk
Suharso, Bpk (alm) G. Moedjanto, Bpk. Prof. Dr.P.Y. Suwarno, S.H., Bpk Drs Manu Joyoatmojo, Bpk Drs Anton Haryono, Bpk Dr St. Sunardi, Dra Lucia Juningsih M.Hum., terima kasih telah membagikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Kedua orang tuaku, Mami Nunung dan Papi Budi, terima kasih atas doa dan cintamu. Walau dalam keadaan sakit orang tuaku selalu tetap memberikan semangat dan ingin melihat anaknya jadi sarjana.
8. Adik-adikku Dimas dan Vivi, makasih udah beri support pada penulis “kapan mbak lulusnya? dan jangan kecewakan semua orang yang menyayangimu” terima kasih atas kata-kata yang begitu pedasnya ya he…he.
9. Putraku Bonaventura Fajar P.N, makasih ya anakku kamu menjadi bagian terindah dalam hidupku dan dan menjadi inspirasiku dan membuatku untuk menjadi seorang ibu yang tegar.
10. Tanteku Caecilia dan Budhe Endang semua yang kuanggap sebagai Ibu Angkatku telah mencurahkan waktu, tenaga, pikiran baik secara moral maupun mareriil untuk aku. Terima kasih support dan dukungannya kebaikan kalian gak aku lupakan. Tapi beri kebebasan ya te dalam bertindak karena aku dah dewasa he…he.
11. Om Desman dan Tante Wiwiek terima kasih atas bantuan dan dukungan supaya aku cepet lulus (maaf ya om, te udah repotin he..he), makasih juga untuk dek Dewi dan Dika.
12. Untuk Sigit Priyadi, kamu sudah pernah mencintai aku, dan terima kasih atas dukungan, kekacauan, nasehat, penghianatan yang telah kamu berikan. Akan aku tunjukan aku bisa menjadi seseorang yang dibanggakan.
13. Seluruh keluarga besar St. Moentardjo, om Menot, te Wina, om Jojon, te Hani, mb. Astrid, Susi, Rilis, Rika, Amik, (Alm) Pakde Prapto dan adik-adik sepupuku Adit, Bram, Dita, Cindy, Ivan, Nanda, Cepot, Yogi, Maya dan yang lain yang belum penulis sebutkan terima kasih atas doa dan dukungannya. 14. Sahabatku Mamik dan Yosi, terima kasih ya mik atas nasehat dan dukungan
dan hari-hari saat kita kuliah, kapan kita curhat lagi mik? Dan untuk Yosi makasih atas support dan doanya sudah banyak dengar keluh kesahku yang semakin kompleks. Thanks guys.
15. Teman-temanku yang ada di Sadhar Vila, Daniel, Eva, Eka,Eko, Gusti, Yudha, Opet, Vianey, Roger, Elang, Karno dan temen-temen angkatan 2002 yang temani aku saat seminar,2003 Ndari, Qeke, Iren, thanks dah tunggu waktu pendadaran, dan juga adik-adik kelasku. Untuk Usriex dari Batam makasih juga kasih semangat aku terus ya. Thanks for their supports.
Penulis menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan pernah selesai. Skripsi ini juga jauh dari sempurna dan terdapat kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar karya ini bisa lebih baik.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama bagi perkembangan sejarah Indonesia.
HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN……….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv
HALAMAN MOTTO ………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
ABSTRAK ……….. vii
ABSTRACT ……… viii
KATA PENGANTAR ……… ix
DAFTAR ISI ……….. xiii
BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ……….. 7
C. Tujuan Penelitian ……… 8
D. Manfaat Penelitian ……….. 9
E. Tinjauan Pustaka ………. 10
F. Landasan Teori ……… 11
G. Metode Penelitian ……… 12
H. Sistematika Penulisan ……….. 18
BAB II. ORIENTASI GERAKAN PEREMPUAN DAN GERWANI DI INDONESIA SAMPAI TAHUN 1965 ………. 20
A. Embrio-embrio Gerakan Perempuan di Indonesia ………….. 22
B. Orientasi Perkembangan Gerakan Gerwani ……….. 24
C. Pengaruh Gerwani Dalam Pergerakan Nasional ……… 41
BAB III. GERWANI DAN PERJUANGAN GERAKAN ORGANISASI
PEREMPUAN PADA MASAORDE BARU ………. 55
A. Gerwani Masa Peralihan Kekuasaan Pemerintah Soekarno kepada Pemerintahan Soeharto ………. 56
B. Upaya Pencitraan Negatif Organisasi Gerwani Dalam Gerakan Organisasi Perempuan ……… 67
BAB IV. GERAKAN ORGANISASI PEREMPUAN INDONESIA PADA MASA ORDE BARU ………... 81
Sistem dan Pola kebijaksanaan Orde Baru Pada Pembinaan Organisasi Perempuan di Indonesia……….. 82
BAB V. PENUTUP ……… 100
A. Kesimpulan ………. 100
B. Saran ……… 101 DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang
Pergerakan perempuan Indonesia mengalami pergeseran dari yang kritis ke statis hingga dibungkam oleh kekuasaan. Tapi, gerakan perempuan terus berkembang mencari jati diri sesuai perkembangan kekuasaan dan tuntutan akan keadilan bagi perempuan. Perjuangan gerakan perempuan lebih dilandasi untuk menyikap kebenaran yang hingga sekarang diingkari, disembunyikan, diputarbalikkan dan dibusukkan oleh pemerintah yang berkuasa dari penjajahan pemerintah Belanda, pra revolusi kemerdekaan, sampai Orde Baru .1
Embrio munculnya gerakan perempuan pada masa perintahan Belanda dipelopori oleh bangsawan perempuan yang bernama RA. Kartini. Ia seorang perempuan ningrat yang lahir pada 21 April 1879 dari seorang Bupati Jepara. Ayahnya adalah seorang yang maju sehingga ia memberi izin pada putri-purtinya masuk sekolah dasar Eropa sampai mereka berumur 12 tahun. Pendidikan mereka hanya dibatasi karena menurut adat istiadat feodal Jawa harus dipingit sampai mereka dijodohkan dan menikah.
1 Saskia Eleonora Wieringa, 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya. Hal.66
2
Pada masa pingitan Kartini ia terus membaca dan belajar dan bukan hanya berdiam diri saja. Kartini mulai berkomunikasi dengan teman-temannya yang berada di Belanda yaitu Stella Zeehandelaar seorang sosio-feminis dan Nyonya Abendanon, istri Direktur pendidikan colonial yang berpikiran maju.2 Komunikasi dengan temannya, pemikiran Kartini semakin maju. Namun, Kartini mengalami dilema dengan adat jawa yang patriarki. Ilmu dan pendidikannya, tidak mampu diterapkan dalam kehidupan sehar-hari terutama bagi kaum perempuan.
Kartini dijodohkan oleh orang tuanya pada saat usianya masih belia harus dipingit. Ia merasakan pergolakan batin yang serius. Keputusan Kartini untuk menikah dengan.. bukan tanpa alasan tapi juga proses yang panjang. Kartini mulai menyadari, keinginan untuk memajukan kaum perempuan tidak akan tercapai kalau tidak ada yang berkuasa yang mampu menopangnya.
Pernikahannya, membuat Kartini berjuang dengan mendirikan sekolah, cita-cita luhurnya yaitu memerdekakan perempuan dari perbudakan budaya patriarki, menjadi manusia yang merdeka untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan. Pendidikan akan melahirkan kaum ibu yang cakap dan pandai sehingga juga dapat membantu kemajuan rakyat secara keseluruhan.
Semangat gerakan perempuan menjelang revolusi kemerdekaan tak kalah luhur dengan cita-cita RA. Kartini. Perempuan mulai menyadari akan kemerdekaan dan keikutsertaan perempuan dalam politik. Gerakan perempuan pra revolusi
kemerdekaan berkembang pesat dan mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya mencapai kemerdekaan dan persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki.
Bahwa 200 orang wanita telah bangkit dengan semangat: kami juga hendak memenuhi kewajiban membela tanah air dan berseru kita tak hendak ketinggalan dengan kaum laki-laki.3
Munculnya kesadaran akan kemerdekaan diawali dari munculnya organisasi perempuan yang arah orientasi kearah kegiatan politik. Seperti organisasi Putri Merdiko di Batavia (1912) tujuan dari organisasi ini yaitu mendorong emansipasi perempuan dengan cara memberikan beasiswa bagi perempuan Bumi Putra dengan harapan menikmati pendidikan. Ternyata gerakan perempuan tidak hanya berada di Batavia tetapi juga sudah masuk ke desa-desa sebut saja organisasi Pawiyata Perwita (1915) di Magelang, Wanita Hado (1915), Wanita Susila (1918) di pemalang, dan
Putri Sejati di Surabaya.
Pada Kongres Indonesia I, tanggal 22 desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasil Kongres adalah membentuk PPI (Perserikatan Perempuan Indonesia), Kongres ke II diadakan di Jakarta tahun 1929 yang salah satu hasilnya menubah nama PPI menjadi PPII (Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia). Organisasi ini tidak berjalan seperti oraganisasi lainnya mereka memposisikan diri untuk tidak mengandalkan kedudukan suaminya. Pada tahun1930, berdirilah asosiasi perempuan
3 Ani Widiyani Soetjipto,2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta:
4
bernama Istri Sedar yang dipimpin oleh Soewani Djojosepoetra. Pada pertemuan di Bandung, Istri Sedar menegaskan bahwa organisaisnya merupakan organisasi perempuan yang aktif dalam kegiatan politik. Dalam prakteknya, Istri Sedar kegiatan politiknya yaitu membuat lembaga-lembaga pendidikan untuk meningkatkan kecerdasan perempuan.4 Orientasi kegiatan gerakan perempuan yang bergerak di dalam pendidikan, politik dan sosial dalam rangka mencerdaskan perempuan bertujuan mencapai kemerdekaan.
Awal abad XX muncul gerakan perempuan seperti Aisyah, Nyi Achmad Dalan dan perempuan Katolik dan Bhayangkari juga lahir. Orientasi organisasinya lebih sistematis dan mempuanyai tujuan yang tegas yakni mewujudkan cita-cita politik perempuan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan. Aisyah merupakan organisasi perempuan non-politik, semula merupakan bagian dari Muhammadiyah tetapi bersifat otonom. Khususnya mendidik kaum wanita dan para gadis remaja menjadi wanita mislim yang sejati dan juga menggalakkan pendidikan. Aisyah memandang Kartini sebagai utusan Allah bagi perempuan Indonesia, tanpa menyebut-nyebut perjuangan Kartini tentang poligami.5 Sedangkan Wanita Katolik merupakan organisasi perempuan kelas atas dan menengah yang aktif dalam bidang sosial dan ikut berjuang melawan feodalisme, imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Bhayangkari merupakan organisasi perempuan mendukung kaum kiri
dengan menjadi anggota Golkar. Tetapi mereka tetap mempertahankan sebagian agenda feminisnya tentang permaduan dikalangan perwira laki-laki.6
Gerakan perempuan periode revolusi kemerdekaan organisasi perempuan mendeklarasikan diri bahwa peran dan posisi perempuan cukup seimbang. Berkat perjuangan perempuan sejumlah perempuan yang mengikuti pendidikan formal tahun 1950-1960 terus bertambah secara proporsional dan progresif kaum perempuan mulai terjun ke partai politik. Pada saat itu juga tanggal 4 Juni 1950 terjadi penyatuan 6 organisasi yang bernama Gerwis organisasi itu antara lain Rukun Putri Indonesia(Rupindo) dari Surabaya, Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, Perjuangan Putri Indonesia dari Pasuruan.7 Para tokoh perempuan pendiri gerwis ini mempunyai latar belakang sosial yang berbeda-beda tetapi sama-sama terjun dalam pergerakan nasional. Pada tahun 1954 pada Kongres I Gerwis dirubah menjadi Gerwani. Hal itu dirubah karena dengan tidak adanya lagi pendirian sektarisme dari Gerwis baik didalam organisasi ataupun cara kerja, Gerwani akan mempunyai kemungkinan lebih besar lagi untuk mengemban tanggungjawabnya sebagai gerakan perempuan yang harus menggalang massa luas dan berjuang demi hak-hak perempuan dan anak-anak.8 Gerwani mulai mengembangkan sayapnya
6
Ibid, hal 272
7 Ratna Mustikasari,2007. Gerwani Stigmatissasi dan Orde Baru. Yogyakarta:
Lab. Jurusan Ilmu pemerintahan Fakultas Fisipol, UGM, hal 23.
6
dengan menambah para kader-kader perempuan untuk ditempatkan pada setiap wilayah karena mempunyai target ingin menambah keanggotaanya menjadi satu juta orang. Gerwani menjadi titik nadir gerakan perempuan. Sebab, ideologisnya sebagai gerakan perempuan yang sosialis menghantarkanya pada peristiwa 1965.
Namun demikian orgnanisasi seperti itu (Gerwani) biasanya disusus secara sentralisme-demokratis. Perempuan tingkat bawah tidak terlibat dalam proises pembangkitan kesadaran feminis. Terkadang mereka melaksanakan sejumlah program yang mereka setujui, tapi terkadang sekedar memenuhi sasaran yang telah ditetapkan organisasi dari atas.9
Kekuasaan memang tidak memadang siapa melainkan bagaimana mempertahankan atas kekuasaan. Peristiwa 65. Gerwani sebagai gerakan perempuan yang membunuh jenderal dianggap sebagai pukulan berat. Hingga akhir kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Gerwani masih dipandang sebagai gerakan perenpuan yang kejam dan bertanggungjawab atas terbunuhnya tujuh jenderal. Gerakan perempuan menjadi lumpuh, setelah peristiwa G30S.
Sistem Parlementer berjalan 1950-1957 perempuan-perempuan tergabung dalam partai-patai Islam. Orientasi kegiatan didalam pendidikan, politik dan sosial dalam rangka mencerdaskan perempuan dalam mencapai kemerdekaan. Secara umum, gerakan mereka merupakan gerakan perempuian borjuis. Anggotanya berasal dari kalangan elit dan bangsawan. Gerakan perempuan tidak dapat berkembang, sebab gerakan mereka merupakan gerakan perempuan borjuis. Anggotanya berasal
dari kalangan elit dan bangsawan yang perjuangannya hanya untuk kepentingan mereka bukan untuk memperjuangkan nasib perempuan.
Masa pemerintahan Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya, gerakan perempuan berangsur-angsur mengalami kelesuan yang dimulai sekitar tahun 1970. hal ini ditunjukkan kemendirian di dunia publik atau politik sangat minim. Hal ini seiring dengan sistem politik yang represif dan otoriter yang diterapkan oleh pemerintahan saat itu. Dalam konteks gerakan perempuan tahun 1999 gerakan perempuan mulai bangkit lagi di ranah politik dengan kuota 30% perempuan berada di lembaga legislatif. Yang tertuang dalam UU no 31/2002 tentang Partai politik dan UU no 12/2003 tentang Pemilu.
Dari uraian diatas menunjukkan karakteristik gerakan perempuan masih didominasi oleh kaum elit atau bangsawan perempuan. Dari permasalahan-permasalahan gerakan perempuan diatas dibahas secara mendalam dalam skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998”.
B. Rumusan Masalah
Untuk menganalis mendalam “Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun 1966-1998” , skripsi ini membahas tiga pokok persoalan:
1. Apa orientasi gerakan Gerwani di Indonesia?
8
tentang organisasi Gerwani ?
3. Bagaimana perkembangan gerakan perempuan masa reformasi?
C. Tujuan Penelitian
Skrispsi ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis “Pengaruh Citra Gerwani Terhadap Perkembangan Pergerakan Perempuan di Indonesia Tahun
1966-1998”. Dengan kata lain, penulis akan mengkaji dari dua segi yaitu tujuan akedemis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis yaitu penulis menganalisis dan mengkaji pergerakan perempuan di Indonesia dalam menghadapi hegemoni pemerintahan pada zamannya. Dengan tulisan ini, penulis berharap membuka cakrawala baru perjuangan pergerakan perempuan bagi aktivis perempuan, mahasiswa yang mendalami gerakan perempuan tentang bagaimana perempuan bangsawan dan perempuan pada umumnya memperjuangkan haknya baik dalam bidang politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan skripsi ini mampu menyumbangkan pemikiran dan pemahaman baru mengenai perkembangan gerakan perempuan di Indonesia. Secara akademis, gerakan perempuan berkisar tumbuh, berkembang, membela kaum perenmpuan dan berteriak diketiak kekuasaan, maka skirpsi ini menyuguhkan gerakan kaum borjuis perempuan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Skripsi ini juga mengupas habis, bagaimana perjuangan perempuan ditikam oleh kekuasaan yaitu stigmasi politik yang menindas, sehingga gerakan perempuan menjadi rapuh. Lihat saja, Pemerintahan Soeharto membuat hegemoni hitam terhadap gerakan perempuan Gerwani dan menciptakan gerakan perempuan yang tunduk kekuasaan. Kesemuanya itu adalah bunga-bunga pergerakan perempuan.
Manfaat Praktis
Skripsi ini tidak terlepas dari subyektifitas penulis sebagai kaum perempuan. Namun demikian, penulis mengedepankan obyektivitas yang tinggi. Berharap, gerakan perempuan yang berkembang di masa yang akan datang tidak sebatas pada tataran perjuangan perempuan borjuis. Saatnya perempuan bergerak menjadi pembela diri sendiri yang sejati. Skripsi ini berharap, perempuan Indonesia tidak cengeng menghadapi kultural bangsa ini yang patriarki. Tapi bagaimana kaum perempuan bertahan dilemahkan kekuatan kultural.
10
memperjuangkan haknya bukan menangisi haknya yang hilang karena keadaan. Berjuang mempersembahkan karya, bukan air mata. Berjuang tidak harus di medan perang, berjuang dapat diwujudkan melalui pena, wiraswasta, politikus, seniman.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mengkaji dan menganalisis Gerwani, Gerakan Perempuan dan pemerintahan, penulis mennggunakan buku sebagai studi leraturnya. Buku pertama yang digunakan karya Saskia Eleonora Weirenga yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan & Indonesia, diterbitkan oleh Garba Budaya dan Kalyanamitra. Buku ini berisi realitas sejarah yang telah ditutupi oleh Orde Baru dimana gerakan perempuan mulai dibredeli sehingga apalagi yang berhaluan dengan komunisme. Kedua, Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto diterbitkan oleh Demos ditulis oleh X.E. Priyono, Stanley Adi Praseryo, Olle Tornguist, tahun 2003. Buku ini berisi tentang sejumlah kajian gerakan pro demokrasi juga berisi tentang bagaimana para demokrasi berjuang terus-menerus dalam masyarakat sipil dan melawan negara dan politik, seperti di masa Soeharto. Perjalanan perjuangan pergerakan perempuan sampai pada masa Soeharto lengser.
Keempat, Naiknya Para Jendral, diterbitkan oleh Sumatera Human Rights Watch Networks (SHRWN) dan ditulis oleh M.R. Siregar tahun 2000. Buku ini berisi tentang peristiwa tahun 1965 telah menjadi sejarah terpahit bangsa, Indonesia untuk mengingat begitu penting dan traumatiknya peristiwa 1965 di Indonesia.
Kelima, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia editor Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein, diterbitkan Perpustakaan Yayasan Hatta, Yogyakarta, tahun 1993. Buku ini berisi tentang perjuangan perempuan untuk tampil di wilayah publik. Sejak dahulu selalu menghadapi sejumlah kendala dan dikotomi, serta menjelaskan perempuan pertama kali sampai sekarang seperti apa.
Keenam, Politik Jawa dan Presiden Perempuan, diterbitkan oleh Yayasan untuk Indonesia yang ditulis oleh Darmanto tahun 1999. Buku ini berisi tentang lengser keparabonnya sang Jenderal Besar yang telah loncat sepeninggal istrinya. Bagaimanakah pula presiden baru, hasil reformasi pantas diemban perempuan yang tidak tamat perguruan tinggi, sedangkan pesaingnya seorang cendekiawan nomor satu dengan sederet gelar.
Ketujuh, Perempuan dan Ketidakadilan, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial dan jaringan mitra perempuan. Buku ini berisi tentang masalah perempuan baik di media masa, hukum pembangunan, dan juga keprihatinan perempuan yang telah terjadi.
12
hubungan baru antara kaum perempuan dan laki-laki serta implikasinya terhadap aspek-aspek kehidupan sosial sesungguhnya merupakan proses dekonstruksi peran gender dalam seluruh aspek kehidupan, di mana terefleksi perbedaan perbedaan gender yang telah melahirkan ketidakadilan gender.
F. Landaasan Teori
Pergerakan perempuan yang ada di Indonesia dengan dipelopori RA. Kartini . menjadi awal dimana perempuan mulai berani belajar melakukan suatu kegiatan yang bersifat pengetahuan. Kegiatan-kegiatan pergerakan perempuan mulai bermunculan. Gerakan Gerwani masih pada tataran gerakan perempuan burjuis. Orientasi gerakan lebih pada untuk memperjuangkan hak suara dan hak-hak perempuan. Dengan kata lain, gerakan yang berkembang hingga kini belum mampu menyentuh pada tataran untuk memperjuangkan dan meringankan beban perempuan pekerja. Kepeloporan RA. Kartini masih sebatas untuk menghilangkan dominasi adat patriarki, memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan belum sepenuhnya, serta perjuangan untuk membebaskan kaum perempuan tertindas secara ekonomi.
Indonesia. Wacana itu merupakan versi dari penguasa Orde Baru yang sanggup memberikan kebenaran bagi hampir seluruh penduduk Indonesia.
Penghancuran itu dilakukan secara sistematis dan teratur dengan dihadirkannya jargon-jargon anti komunis pasca G30S. penghancuran lebih jauh bukan sekedar menghilangkan terhadap suatu golongan, tetapi sebagai upaya untuk mengganti sistem lama menuju ke sistem yang baru berdasarkan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, dengan prasyarat stabilitas politik.10
Pergantian sistem lama yang memberi peluang kebebasan bagi gerakan perempuan berperan dalam pertarungan politik kenegaraan menuju sistem baru yang menempatkan perempuan pada wilayah domestik. Perubahan posisi perempuan disebabkan sistem baru berdasarkan pada stabilitas politik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Melalui stabilitas itulah Orde Baru menggiring seluruh kelompok kepentingan dan elemen masyarakat memasuki kehidupan yang akan diciptakannya melalui poitik termasuk didalamnya adalah golongan perempuan.
Landasan teori yang dibangun untuk menganalisa suatu permasalahan telah diuraikan diatas berdasarkan pada kekuasaan Orde Baru, yang berlandaskan pada paradigma pembangunan dengan syarat stabilitas politik, mengandalkan kekuatan militer untuk mewujudkan dan melanggengkan kekuasaanya. Stabilitas politik itu ditempuh Orde Baru dengan dua cara yaitu, pertama penumbangan Orde Lama
14
melalui peristiwa G30S, kedua dengan menciptakan musuh bersama terhadap pihak-pihak yang dianggap terlibat peristiwa tersebut.
Untuk menganalisa suatu kekuasaan itu didirikan dan dilanggengkan maka perlu adanya suatu teori. Teori yang digunakan pertama, adalah teori oleh Althuser. dalam rangka membangun kekuasaan melalui peran hakiki negara yang bersifat represif dan idiologis dan yang kedua adalah teori otoriter birokratis dan korporatisme negara sebagai upaya preventif resim dalam rangka menjaga stabilitas politik.11
Louis Althuser adalah seorang filsuf Perancis yang lahir di Algeria pada tahun 1918. Semasa hidupnya ia lebih dikenal sebagai seorang teorisi dan kritikus marxis. Ia juga merupakan intelektual yang bergabung dengan Partai Komunis Perancis. Argumen-argumennya kebanyakan adalah tanggapan terhadap serangan-serangan yang ditujukan pada dasar-dasar ideologi partai itu. Termasuk diantaranya empirisme yang mempengaruhi tradisi demokrat yang dipandangnya sebagai sebuah ancaman yang mulai mereduksi kemurnian orientasi partai-partai komunis Eropa. Jadi, Louis Althusser dikategorikan sebagai seorang filsuf Marxis yang lebih ortodoks. Karena mencoba mempertahankan dasar-dasar pemikiran Marx dan melihatnya sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat yang harus mengikuti dasar-dasar ilmiah.
Althusser mengajukan suatu konsep State Apparatus (Aparatus Negara) dan idiological State Apparatus (Aparatus Idiologi Negara). Aparatus negara memusatkan
11 Ratna Mustika sari, 2007, Gerwani Stigmatisasi Orde Baru, Yogyakarta:Lab.
pada wilayah publik, sementara Aparatus Idiologi Negara memusatkan pengaruhnya pada wilayah dan sifatnya privat. Hal yang lebih penting bukan itu saja tapi kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu berfungsi.
Althusser juga mempunyai dua tesis tentang ideologi. Tesis pertamanya mengatakan bahwa ideologi adalah representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan dimana mereka hidup didalamnya. Tesis yang kedua menyatakan bahwa representasi gagasan yang membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tetapi juga material. Jadi bisa dikatakan bahwa aparatus ideoligis negara adalah realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam bentuk aparatus. Eksistensi yang bersifat material dijelaskan sebagai berikut: kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal-hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut. Misalnya jika kita percaya keadilan maka kita akan tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Orang yang percaya akan keadilan maka yang bersangkutan akan tunduk pada aturan hukum yang diyakini mencerminkan rasa keadilan, sebaliknya akan protes jika ketidakadilan menimpa pada orang itu.
16
fase awal dalam kekuasaan yang dibangun. Hal itu dilakukan melalui berbagai bentuk rekayasa sosial lainnya untuk mendeskriditkan seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan bernegara.
Teori otoriter birokratis muncul akibat terjadinya krisis ekonomi. Masuknya modal asing dan teknologi menjadi prasyarat hadirnya stabilitas politik dan mantap. Tindakan pemerintah yang secara terus menerus menolak tuntutan politik dari para pemimpin masyarakat, yang berasal dari kelas bawah dan menyingkirkan pemimpin rakyat dari kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan dalam negara.12 Korporatisme adalah suatu sistem perwakilan kepentingan unit-unit membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, tidak saling bersaing, diatur secara hierarkis yaitu diakui dan sesuai izin oleh negara. Mereka diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingannya dalam bidangnya sendiri dan masing-masing akan diberi imbalan karena mematuhi peraturan yang ada. Hal itu bertujuan untuk menindas konflik kelas dan kelompok demi kepentingan serta menciptakan keselarasan , kesetiakawanan, dan kerjasama dalam hubungan anrata negara dan masyarakat.13
Perpaduan beberapa teori diatas didasarkan pada keyakinan bahwa penciptaan sebuah realitas yang diyakini bersama oleh penguasa menjadi faktor-faktor penting
dalam penyusunan perangkat politis guna membangun dan melanggengkan kekuasaan.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Hal ini bermanfaat bagi sejarawan untuk merekontruksi masa lampau secara imajinatif berdasarkan fakta - fakta yang diperoleh melalui proses historiografi.
Sejarah menjadi sangat penting karena studi gender yang mengharuskan seseorang untak melihat "naskah" atau script sosial budaya yang ada Naskah itu paling tersedia dalam studi sejarah meskipun penelitian sosial budaya juga dapat mencapainya. Dalam hal ini penelitian sejarah dan penelitian sosial budaya tetap ada bedanya. "Naskah" penelitian sejarah menjangkau naskah-naskah lama, dan bahan-bahan arsip, sedangkan penelitian social budaya secara formal tidak dituntut sampai kesana. Penelitian sejarah dan penelitian sosial budaya dapat tumpuk atau bertemu misalnya dalam penelitian arsip kontemporer, tradisi lisan dan penggunaan metode lisan yang dalam penelitian budaya disebut metode interview.
Metode penelitian sejarah mempunyai 4 tahap yaitu : heuristik, kritik sumber, interprestasi dan historiografi.14 Tahap pertama yaitu, heuristik atau suatu proses pengumpulan data untuk kepentingan subyek yang diteliti. Sedangkan menurut
14 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan, (Jakarta : Yayasan
18
bentuknya, sumber sejarah dibedakan menjadi 3 yaitu : sumber tertulis, sumber benda dan sumber lisan. Dalam penelitian ini, data ditulis dari sumber tertulis. Sumber tertulis berupa buku-buku pustaka, dokumen-dokumen resmi, majalah dan lain-lain. Sumber data tertulis diperoleh dan literatur perpustakaan Sanata Dharma, perpustakaan perpustakaan daerah dan di toko-toko berapa buku-buku pustaka, dokumen resmi dan majalah.
Kedua adalah kritik sumber yang merupakan tahap penelitan selanjutnya setelah pengumpulan data. Kritik bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kredibilitas dan otentitas sumber. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kritik adalah uji terhadap data yang terdapat pada penelitian sejarah. Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan, hal itu untuk menghindari adanya kepalsuan dan keberpihakan suatu sumber.
Data yang diseleksi dan diuji kebenarannya kemudian dianalisis. Hasil dari anatisis ini menunjukkan tingkat keberhasilan suatu penelitian sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dari sebuah historiografi, sebab sejarah dalam arti obyektif jika diamati dalam pikiran subyektif tidak akan pernah murni tetapi telah diberi warna sesuai kacamata subyek.
Sintesis dalam hal ini adalah kemampuan untuk menghasilkan unsur baru yang belum pernah diungkapkan dalam karya ilmiah terdahulu.
H. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagi-bagi dalam lima bab. Tiap bab memuat beberapa sub bab. Adapun pembagiannya adalah BAB I berisikan Pendahuluan, antara lain sub babnya berisi, latar belakang masalah, identiftasi dan pembatasan masalah, perunumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II berisikan tentang Awal Pergerakan Perempuan masa Pra Revolusi, meliputi munculnya embrio-embrio gerakan perempuan menuntut hak memperoleh pendidikan bagi perempuan, munculnya gerakan perempuan Gerwani yang berhaluan sosialis dan sepak terjang. Dan bagaimana Gerwani bergerak dalam politik.
BAB III berisikan tentang Gerwani, Gerakan Perempuan di bawah pemerintahan Orde Baru. Bab ini membahas politik stigmasi politik Gerwani dan organisasi perempuan yang lainnya pada pemerintahan Soeharto.
BAB IV membahas tentang pergerakan perempuan masa Orde Baru dimana masa pemerintahan itu mulai membentuk pergerakan perempuan sendiri yaitu Dharma Wanita dan PKK. Membatasi ruang gerak perempuan yang lain.
BAB II
ORIENTASI GERAKAN PEREMPUAN DAN GERWANI
DI INDONESIA TAHUN 1966-1968
Perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia pada mulanya bersifat
apolitis, yaitu tidak mencampuri soal politik, dan bersifat ekonomi. Akan tetapi,
pada perkembangan selanjutnya gerakan mereka dilakukan atas dasar kesadaran
nasional dikalangan sendiri.
Perkumpulan perempuan pertama didirikan di Jakarta dengan
menggunakan nama Putri Merdika. Perkumpulan itu bertujuan memajukan
pendidikan anak-anak perempuan. Kemudian menyusul berbagai perkumpulan
perempuan lainnya. Diantaranya terdapat perkumpulan perempuan yang berdiri
sendiri dan ada perkumpulan perempuan yang menjadi bagian dari partai politik
atau perkumpulan lainnya yang anggotanya kaum laki-laki. Perkumpulan
perempuan yang selanjutnya adalah Partai Sarekat Islam bagian perempuan, Jong
Islamiten Bond bagian perempuan, Jong Java bagian perempuan, Muhamaddyah
bagian perempuan (Aisyah). Aliran politik dengan sendirinya akan sama dengan
aliran politik kelompok induknya. Meskipun demikian sifat sosial ekonomis akan
lambat laun hilang setelah perkumpulan perempuan menjadi bagian dari gerakan
nasional. Semula perkumpulan-perkumpulan itu juga membicarakan masalah
sosial. Hal itu terjadi pada perkumpulan seperti Perkumpulan Wanita Katolik,
Aisiyah,Wanita Utomo, dan lain-lain.
Perkumpulan Wanita Katolik, banyak di bahas soal-soal sumbangan
amal dan lain-lain. Itulah yang menjadi perhatian perkumpulan-perkumpulan
perempuan. Sejak timbulnya gagasan kulit berwarna untuk dihadapkan pada
pemerintahan kolonial sifat perkumpulan perempuan ikut berubah. Perkumpulan
perempuan ikut terbawa arus politik.1
Pada tanggal 22 Desember perkumpulan-perkumpulan berkumpul dalam
satu badan federatif yang bernama Perserikatan Perempuan Indonesia. Sejak tahun
1929 nama Perserikatan Perempuan Indonesia diganti dengan Perserikatan
Perhimpunan Istri Indonesia. Kongres pertama diselenggarakan pada tanggal
22-25 Desember 1928 di kota Yogyakarta. Penyelenggaranya adalah Wanito Utomo,
Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanito Mulyo, Sarekat Islam Bagian
perempuan, Jong Islamieten Bond, Jong Java bagian perempuan dan Wanita
Taman Siswa.
Tanggal 22 Desember merupakan tanggal fusi perkumpulan perempuan
seluruh Indonesia, kemudian setelah Indonesia merdeka dijadikan hari Ibu. Pada
hakikatnya, tanggal 22 Desember 1928 adalah hari kelahiran kesadaran nasional
dalam perkumpulan kaum perempuan. Dua tahun kemudian dalam Kongres tahun
1930 diputuskam bahwa gerakan perempuan merupakan bagaian dari gerakan
nasional. Sesuai bakat dan kemampuannya masing-masing, kaum perempuan
wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa. Keputusan ini bagi
beberapa perkumpulan perempuan seperti, Serikat Islam bagian perempuan
22
merupakan sesuatu yang baru. Serikat Islam bagian perempuan sudah bagian dari
partai politik. Sedangkan perkumpulan perempuan yang bergerak dibidang sosial,
keputusan itu merupakan hal yang baru. Dalam perjuangan nasional, perempuan
wajib membantu laki-laki untuk mengakat martabat nusa dan bangsa. Gerakan
perempuan wajib menjadi bagian dari gerakan nasional. Dalam hal ini gerakan
perempuan sudah berorientasi untuk perbaikan kehidupan ke masyarakat
Pada tahun 1938, gerakan perempuan mulai aktif dalam bidang politik
yang dipelopori oleh Pasundan Istri yang diketuai Ny. Puradiredja. Pada saat itu
Pasundan Istri menuntut agar kaum perempuan diberi hak dalam pemilihan
anggota dewan baik hak memilih dan hak dipilih. Tuntutan ini terbukti
dikabulkan. Dalam tahun itu telah ada perempuan-perempuan Indonesia yang
terpilih sebagai anggota dewan.
A. Embrio-embrio Gerakan Perempuan di Indonesia.
Organisasi formal perempuan pertama pada masa pra kemerdekaan ialah
Puteri Mahardika, yang didirikan di Jakarta pada Tahun 1912. Organisasi
perempuan ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong
perempuan agar tampil didepan umum, membuat rasa takut, dan mengangkat
perempuan pada kedudukan yang sama seperti laki – laki2.
Organisasi perempuan Islam pada Tahun 1930an yang berdasarkan pada
keagamaan telah mengalami kemajuan. Diantaranya adalah organisasi perempuan
pertama adalah bernama Nyai Ahmad Dahlan dari sejak awal yang menjadi tujuan
pokok organisasi perempuan Aisyah adalah untuk menyebarluaskan Islam
dikalangan kaum perempuan, yaitu untuk memimpin, menjaga dan menuntun
anggota perempuan dalam Muhammadiyah hingga mereka mampu membimbing
perempuan Indonesia pada umumnya untuk mempunyai keinsyafan terhadap
agama dan hidup berorganisasi.
Organisasi perempuan Aisyah mempunyai aturan–aturan yang
memperlihatkan adanya jarak yang penting antara kepentingan gender menurut
organisasi perempuan yang independen dengan kepentingan gender menurut
Aisyah. Aturan-aturan tersebut pada pokoknya agar para anggota Aisyah taat
“melaksankan perintah – perintah Allah”.
Pada Tahun 1918, berdiri pula organisasi bagian kewanitaan Sarikat
Islam I Garut. Kemudian pada Tahun 1920 di Yogyakarta juga didirikan
organisasi perempuan yang bernama Wanoedyo Oetomo (wanita utama)
selanjutnya tidak diketahui kapan waktunya, kedua organisasi tersebut berfusi
kedalam Sarekat Putri Islam atau Sarekat Perempuan Indonesia.
Di Indonesia juga muncul organisasi perempuan yang bersifat sosialis,
yang bernama Sarekat Rakyat. Organisasi perempuan ini melebarkan sayap
merahnya Sarekat Islam dan banyak diantara para anggota Sarekat Rakyat yang
dikemudian hari masuk kedalam organisasi Partai Komunis Indonesia. Menurut
Saskia Eleonora Wieringa, pada bulan Juni 1924 PKI mangadakan Kongres sehari
24
perempuan dalam perjuangan melawan Kapitalis dan Kolonialisme, dan dalam
Kongres ini juga dihadiri oleh dua orang anggota perempuan Sarekat Rakyat,
yaitu Raden Sukaesih dan Munapsiah3.
Pada Tahun 1924 di Yogyakarta telah didirikan pula organisasi
perempuan yang bernama “Wanita Katolik” yang merupakan organisasi
perempuan Katolik Eropa dan Indonesia. Organisasi perempuan ini bergerak
dibidang sosial, terutama yang berkaitan denagn kondisi kerja bagi para gadis dan
perempuan yang bekerja di Pabrik Rokok di Yogyakarta.
Dari berbagai organisasi perempuan yang ada pada era pra kemerdekaan
telah mencapai puncaknya pada fase Tahun 1920 – 1930, dimana pada saat itu
pada kaum perempuan Indonesia telah timbul rasa nasionalisme didalam
kehidupan gerakan organisasi perempuan, ini ditandai dengan adanya Kongres
Wanita Indonesia pada Tahun 1928, yang mengawali adanya suatu tradisi
kerjasama antara berbagai organisasi perempuan yang tetap hidup sampai dengan
sekarang.
B. Orientasi Perkembangan Gerakan Gerwani
Mengenai apa dan bagaimana pergerakan organisasi Gerwani ini harus
dilihat sebagai proses kelanjutan dari pergerakan organisasi Gerwis. Sebab adanya
Gerwani karena kuputasan Kongres Gerwis yang ke I pada bulan Desember 1951.
Dimuka telah disebutkan, bahwa keberadaan Gerwis merupakan fusi dari enam
tersebut adalah Rukun Putri Nasional (Rupindo), Persatuan Wanita Sedar, Isteri
Sedar, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo), Wanita Madura, dan Perjuangan
Putri Republik Indonesia. Para tokoh dari keenam organisasi perempuan itu
meskipun berbeda latar belakang sosial, tetapi mereka mempunyai kesamaan yaitu
pernah aktif dalam pergerakan kemerdekaan nasional. Tokoh – tokohnya antara
lain SK Trimurti, Salawati Daud, serta tokoh – tokoh muda lainnya seperti
Sujinah dan Sulami.
Bagaimana setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945? Menurut Saskia Eleonora Wieringa, periode setelah
bangsa Indonesia merdeka telah terjadi persaingan antara kaum laki – laki dan
perempuan, bahkan kaum laki – laki menganggap perempuan sebagai pesaing
yang harus ditakuti. Oleh karena kaum perempuan telah mampu menangani secara
baik urusan umum maupun urusan sendiri4.
Adanya keadaan tersebut telah menjadikan konfigurasi politik Indonesia
mengalami perubahan dan memberikan dampak kepada sejumlah organisasi
perempuan non-komunis. Perjuangan untuk reform perkawinan pada masa
sebelum kemerdekaan telah menimbulkan konflik sejumlah kepentingan gender,
namun pada saat terjadinya perang kemerekaan konflik itu dapat ditekan,
kemudian menjadi terbuka lagi setelah kemerdekaan dapat dicapai. Konflik antara
kaum laki-laki dan perempuan telah terjadi selama 15 tahun dan merupakan
26
konflik yang paling sengit sepanjang abad ke XX. Yaitu pada masa periode
1945-1950, para aktifis perempuan yang berjiwa revolusiner tidak puas dengan
organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari, Organisasi Perempuan Sosialis,
Aisiyah, Muslimat MU. Musuh bersama mereka sudah tidak ada lagi disini kaum
laki-laki mengaku lahan bidang politik merupakan lahannya kaum laki-laki, dan
lahan kaum perempuan adalah urusan sosial.
Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan pada umumnya dapat
menerima pembagian kerja tersebut karena telah dianggap oleh organisasi
perempuan ini sesuai dengan kodratnya. Satu-satunya organisasi perempuan yang
berani mengatakan bahwa lahan politik pada umumnya adalah lahan yang sah
untuk perempuan, adalah organisasi perempuan Gerwani.
Karena telah terjadi konflik antara laki-laki dan perempuan selama 15
tahun, yaitu sejak Indonesia merdeka, maka pada tanggal 4 Juni 1950 muncul
organisasi perempuan yang bernama Gerwis. Sebagaimana yang telah disebutkan
dimuka Gerwis ini berubah menjadi Gerwani berdasarkan keputusan Kongres I
Gerwis pada bulan Desember 1951.
Pada bulan Maret 1954, Gerwis menyelenggarakan Kongres II di Jakarta,
jumlah anggotanya saat itu mencapai 80.000 orang dan mempunyai 830 cabang.
Kongres II Gerwis ini merealisasikan dan menindak lanjuti keputusan Kongres I,
yaitu melaksanakan perubahan nama organisasi menjadi Gerwani. Perubahan
nama ini dimaksudkan untuik menghilangkan karakteristik sempit dari Gerwis.
Organisasi perempuan ini yang sebelumnya sebagai organisasi kader diubah
lagi pendirian sektarisme baik didalam organisasi maupun didalam cara kerja
Gerwani akan mempunyai kemungkinan lebih besar lagi untuk mengemban
tanggung jawabnya sebagai gerakan perempuan, yang harus menggalang massa
luas dan berjuang demi hak-hak perempuan dan anak-anak. Dalam laporan
Suwarti didepan Kongres II ini telah memberikan gambaran menarik tentang
kepentingan Gerwani yang diperjuangkan sejak awal dan tentang bagaimana
organisasi mengaitkan kedua urusannya, yaitu sosialisme dan feminisme.
Posisi ideologi Gerwani dapat dilihat dari hasil Kongres II tahun 1954,
yang dapat disimpulkan diantaranya adalah keputusan untuk menjadi organisasi
massa. Juga dari anggaran organisasinya yang menyatakan bahwa:
a. Bahwa Gerwani adalah organisasi untuk pendidikan dan perjuangan,
tidak menjadi bagian dari partai politik apapun.
b. Bahwa keanggotaan Gerwani terbuka untuk semua perempuan
Indonesia yang telah berumur 16 tahun atau lebih (kecuali telah
bersuami).
c. Bahwa keanggotaan rangkap diperbolehkan.5
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa Gerwani telah
menggabungkan antara alasan-alasan esensialisme dan kontruktifvisme, yaitu
dengan memberi tekanan pada persaudaraan. Selanjutnya menurut pandangan
Gerwani pada hakekatnya perempuan adalah manusia, sehingga harus berjuang
28
bersama laki-laki melawan imperialisme. Di samping itu harus menyadari
hakekatnya sebagai perempuan, jadi sepantasnya memprotes adanya pencabulan
dan penyalahgunaan terhadap Lembaga Perkawinan.
Pendidikan kader-kader Gerwani terhadap semua aktivis harus
menginformasikan mengenai apa yang menjadi posisi ideologi organisasi,
pernyataan-pernyataan penting dalam anggaran dasar organisasi serta
alasan-alasan apa yang penting dalam organisasi itu. Salah satu tujuan yang utama dalam
organisasi perempuan Gerwani adalah menjadikannya sebagai suatu gerakan
massa yang sebenar-benarnya dengan sasaran keanggotaan mencapai satu juta
orang per akhir 1955.
Mengenai perkembangan keanggotaan Gerwani ini pada bulan April
1955 tercatat 400.000 anggota, pertengahan 1956 tercatat 640.460 anggota. Pada
bulan Desember 1957 ketika berlangsungnya Kongres III organisasi Gerwani
menyatakan beranggota 663.740 orang.6 Target yang dicanangkan oleh organisasi
Gerwani ini tidak memenuhi angka yang ditetapkan. Oleh karena itu disini perlu
pendidikan kader yang menjadi prioritas utama. Sehubungan dengan kendala
keuangan kursus-kursus kader tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan
sebagai gantinya pimpinan Gerwani menyebarkan garis-garis pedoman untuk
kader-kadernya, yaitu setiap kader wajib mempelajari kondisi daerah dan
kebudayaan penduduk diwilayahnya. Informasi ini diperlukan untuk menyusun
program kerja, Penjelasan tentang tujuan dan sifat organisasi, Dibentuk
kelompok-kelompok kecil. Dari sinilah kaum perempuan didorong agar menjadi
perkawinan.
Cara-cara pendekatan terhadap anggota baru Gerwani dapat diketahui
melalui sebuah kisah sebagai berikut:
“sebagai seorang kader di Semarang, saya harus turun ke massa. Kegiatan utama kami pada tingkat kerumahtanggaan, misalnya mengadakan arisan, membantu mendistribusikan beras, mengunjungi kelahiran dan kematian, membantu anak-anak cacat, mengadakan penitipan anak-anak di kampong, dengan imbalan sesuai kemampuannya. Membantu pekerjaan kaum perempuan, membantu memperbaiki rumah tinggal seorang janda yang tidak mampu. Berusaha menyelesaikan soal-soal perkawinan, melakukan komunikasi dengan banyak pihak. Bila terjadi pemukulanm terhadap seorang perempuan, kami mendatangi dan berbicara dengan suaminya dan jika tidak mau menghentikan perbuatan menyakiti terhadap istrinya, kami akan membantu istri untuk bercerai dengan suaminya.”7
Para kader yang bekerja ditengah masyarakat, dimana kaum perempuan
memandang tidak senang terhadap perempuan yang melepaskan diri apa yang
dianggap sebagai kodrat atau sifat kewanitaan maka si kader menganjurkan
kewajiban rumah tangga tidak boleh dikalahkan oleh perjuanggan didalam
organisasi. Para kader Gerwani sering menghadapi kendala seperti agama,
kebudayaan, sikap feodal pada umumnya dan ketidakpercayaan yang disebabkan
karena hubungan mereka dengan politik komunis. Kepada para kader didorong
agar setia, cinta kerja, dan bertanggung jawab. Disisi lain para kader Gerwani
diberitahu untuk berusaha tidak cekcok dengan suami, mengatur waktu secara
30
berimbang sehubungan adanya peranan rangkap, dan bila dimungkinkan
mengajak suami untuk ikut terlibat dalam pekerjaan istri sebagai kader Gerwani.
Pada tahun 1956 setelah pemilihan umum, Umi Sarjono melaporkan
kepada Sidang Pleno DPP Gerwani tentang banyaknya persoalan yang dihadapi
kader Gerwani dilapangan. Diantaranya adalah, adanya provokasi, adanya fitnah,
adanya ancaman, adanya perceraian, karena perbedaan pendirian politik antara
suami dan istri, adanya beban rangkap rangkap tanggung jawab organisasi dan
rumah tangga, pandangan rendah dari masyarakat, serangan dari suami sendiri8.
Sidang Pleno, Umi Sarjono memperingatkan untuk dapat membantu
kaum perempuan agar kegiatannya dalam organisasi jangan sampai mengabaikan
tugas – tugas perempuan dalam rumah tangga, atau mencegah terjadinya erosi
cinta untuk keluarga dan tetangga. Olehnya ditegaskan, bahwa aktifis Gerwani
harus menghargai “sifat kewanitaan” yang menuntut kecintaan pada suami dan
anak, tanggung jawab pada tugas rumah tangga, pakaian sederhana dan sopan dan
berjuang demi hak – hak perempuan dan anak – anak9.
Pada Tahun 1957, diselenggarakan Kongres III Gerwani dimana Umi
Sarjono menamakan Kongres III ini adalah “Kongres Konsolidasi”. Umi Sarjono
dalam pidato pembukaannya merumuskan sendiri arah organisasi Gerwani. Ada
22 butir program perjuangan baru antara lain : tentang persamaan hak perempuan
dalam perkawinan, hukum adat, dan perburuhan, mengenai pelayan sosial seperti
sekolahan, penitipan anak dan pelayanan kesehatan, adanya larangan film porno,
8 Ibid. Hal 307.
pajak tinggi, kenaikan harga bahan pokok, pembasmian gerombolan subversive,
dan menuntut agar percobaan nuklir semata –mata demi tujuan perdamaian.
Kongres juga telah menetapkan resolusi– resolusi mengenai pembebasan Irian
Barat dan tuntutan adanya undang – undang perkawinan yang demokratis,
pengadaan buku sekolah dengan harga murah, kesetiaan pada Pancasila
memberikan hukuman yang berat untuk pemerkosa, usaha mengatasi kenakalan
anak – anak, merubah peraturan – peraturan yang diskriminatif .
Resolusi Kongres III Gerwani dapat diketahui, bahwa organisasi
perempuan Gerwani semakin mengarah kedalam persoalan politik nasional
mengenai demokrasi terpimpin. Keadaan semacam ini berlangsung sampai
Kongres IV.
Pendirian Gerwani tentang politik nasional semakin sesuai dengan
retorika populis Soekarno, meskipun Gerwani pada bulan Oktober 1958 pada
konferensi kerjanya menyatakan keprihatinannya dengan ditundanya pemilu 1959.
Berselang sebulan setelah itu pimpinan Gerwani menyatakan bahwa Gerwani
mendukung adanya Demokrasi Terpimpin. Keadaan ini ditandai adanya
kecenderungan kearah Soekarno dan adanya perhatian yang besar terhadap
masalah politik nasional. Hal ini dikatakan oleh pimpinan Gerwani pada
peringatan hari Kartini Tahun 1961, bahwa gerakan perempuan harus menjadi
“gerakan revolusioner yang sejati” dan mengenai emansipasi itu harus
32
Dukungan organisasi perempuan Gerwani mengenai rencana 8 tahun
pemerintah Soekarno. Ini disampaikan dalam pidato pimpinan Gerwani pada
bulan Maret 1961. Isinya adalah menyatakan partisipasinya dalam usaha
meningkatkan produksi pangan dan sandang dan juga pembentukan koperasi
namun menurut Gerwani rencana Pemerintah itu akan terwujud bila pemerintah
harus diritul seperti yang ditetapkan oleh manipol. Jika rakyat diberi pengertian,
harga distabilkan dan korupsi diberantas, maka organisasi Gerwani memberi
dukungan kepada Pemerintah Soekarno karena sejalan dengan harapan kaum
perempuan, dilaksanakan menurut cara yang anti kolonial dan anti feodal.
Organisasi perempuan Gerwani pada Tahun 1961 ini orientasi
perjuangannya telah mengabaikan masalah feminis, seperti penyalahgunaan
perkawinan dan perkosaan seksual.
Pada bulan April 1961 telah diselenggarakan sidang pleno DPP Gerwani
dengan mencatat sejumlah sukses yaitu terselenggaranya seminar perempuan tani
dan intensifikasi pekerjaan dikalangan perempuan tani pada umumnya, Gerwani
telah berusaha keras menunaikan tugas nasionalnya dalam perjuangan untuk Irian
Barat dan membentuk Front Persatuan Perempuan, dengan diterimanya manipol
oleh MPRS sebagai garis haluan negara, dimana Gerwani telah bekerja keras
untuk usaha ini, dan telah mengadakan berbagai tempat penitipan anak, karena
tanpa ini perempuan tidak mungkin ikut serta dalam semua tugas nasional.10
kegiatan mendesak, yaitu menyelenggarakan pendidikan lebih lanjut, membentuk
biro konsultasi nasional untuk membantu para kader diluar Jawa. Juga membantu
kader – kader yang giat dalam masalah perkawinan dan perceraian dan menarik
lebih banyak lagi kaum ibu rumah tangga.11
Kongres IV Gerwani pada Desember 1951 telah disimpulkan adanya
pelaksanaan program – program yang sukses dan ada juga yang belum berhasil,
seperti : masyarakat Indonesia masih setengah feodal, peraturan IGO/B belum
dicabut parlemen belum memutuskan adanya undang–undang perkawinan. Pada
Kongres ini Presiden Soekarno ikut meyampaikan pidato pembukaan yang isinya
menekankan agar organisasi perempuan Gerwani mempunyai peranan dalam
melaksanakan persatuan mutlak seluruh bangsa berdasarkan Nasakom dan
ketidaksukaannya pada “ladies movement”, mengenai emansipasi perempuan dan
perlunya reform perkawinan, harga – harga yang membumbung yang sangat
dirasakan oleh kaum perempuan. Tetapi ini menurut Soekarno merupakan bagian
penting dari perjuangan untuk membebaskan Irian Barat.12
Resolusi yang ditetapkan oleh Kongres IV Gerwani adalah mengenai
Irian Barat, membantu pelaksanaan land reform, undang – undang perkawinan
yang demokratis, keamanan nasional, penurunan harga dan perdamaian. Pada
Kongres IV ini tidak terjadi perubahan penting dalam pimpinan organisasi
11 Ibid. Hal 309
34
perempuan Gerwani. Disisi lain terjadi amademen peraturan dasar, yaitu
menambahkan dengan pernyataan kesetiaan pada Manipol didalam mukadimah.13
Program perjuangan yang ditetapkan oleh Kongres meliputi masalah –
masalah perempuan, hak anak – anak, demokrasi dan keamanan, kemerdekaan
dan perdamaian. Dalam program perjuangan yang pertama adalah mengenai hak –
hak perempuan yang tercakub didalamnya kesamaan hak dalam perkawinan dan
pekerjaan, kegiatan dalam berpolitik, kesamaan hak atas tanah. Yang kedua
Gerwani ikut bersama perempuan tani untuk mengatasi masalah – masalah terkait.
Yang ketiga mencantumkan perjuangan untuk penurunan harga dan
diperbanyaknya balai kesehatan.
Menurut Saskia Eleonora Wieringa didalam bukunya menyebutkan :
“Gerwani tidak pernah menukar perjuangannya untuk hak – hak perempuan
dengan partisipasi politik sepenuhnya didalam poros Soekarno – PKI. Ideologi
resmi Gerwani selama ini ialah :
“Perjuangan demi hak – hak perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan demi masyarakat sosialis, atau perjuangan melawan imperalisme, maka dari itu Gerwani harus mengambil bagian dalam perjuangan untuk land reform dan konfrontasi dengan Malaysia.”14
13 Ratna Mustika Sari,2007. Gerwani Stigmatisasi Orde Baru. Yogyakarta: Lab. Jurusan ilmu pemerintahan Fakultas Fisipol UGM, Hal 31.
kegiatan politik Gerwani berangsur – angsur disesuaikan dengan perkembangan
politik pemerintah Soekarno yang semakin menjadi kiri. Ini terlihat dari kegiatan
– kegiatan politik Gerwani yang berkobar – kobar, seperti kegiatan yang
berhubungan dengan Dwikora, yaitu konfrontasi dengan Malaysia, aksi – aksi
menentang Amerika Serikat. Suasana politik anti imperalisme melawan Amerika
Serikat itu menyebabkan kekuatan – kekuatan kanan pro imperalis menjadi
semakin kalab.
Organisasi perempuan Gerwani mempunyai keyakinan, bahwa
perempuan Indonesia harus berjuang demi mencapai Indonesia yang sosialis, dan
harus mendukung Manipol, meskipun menurut anggaran dasar organisasi Gerwani
tetap merupakan merupakan organisasi pendidikan, dan berjuang tanpa
mengikatkan diri pada sesuatu partai politik manapun. Organisasi Gerwani tidak
pernah mengidentifikasi diri dengan PKI sepenuhnya, dan sampai saatnya yang
terakhir mempunyai anggota baik yang berasal dari komunis maupun
non-komunis.
Pimpinan organisasi Gerwani merasa bahwa langkahnya itu akan
memperluas peranan sosial dan politik perempuan dengan memperlihatkan
perempuan tidak sekedar sebagai istri dan ibu rumah tangga, tapi juga sebagai
pejuang, perempuan bersemangat Srikandi. Organisasi Gerwani yakin, jika kaum
36
nasional dan tidak ketinggalan dari perjuangan umum, maka kaum laki – laki
tidak akan dapat terus - menerus mengingkari hak – hak penuh perempuan.15
Pandangan tersebut diatas lahir karena faktor latar belakang pimpinan
Gerwani yang pada periode Tahun 1945 – 1950 yang terlibat langsung dalam
peran keerdekaan nasional, disamping itu mereka adalah para tokoh nasionalis
yang militan.
Kegiatan terpenting organisasi Gerwani sepanjang Tahun 1962 sampai
Oktober 1965 dikuasai oleh persoalan – persoalan yang berhubungan dengan
politik nasional, walau sejumlah persoalan feminis tetap diperhatikan. Bentuk
kongkrit usaha perempuan Gerwani dalam mewujudkan peran politik
perempuannya, yaitu dengan mengusahakan melatih sukarelawati, tentu saja ini
tidak perlu menimbulkan ketakutan pada organisasi – organisasi perempuan atau
golongan masyarakat lainnya.
Berikutnya pada bulan September 1962, organisasi perempuan Gerwani
membuka pusat latihan Trikora yang pertama. Dalam kegiatan ini perempuan
dilatih bagaimana menggunakan senjata dan pertahanan rakyat. Kepada peserta
latihan juga diberikan ceramah – ceramah yang berkaitan dengan materi Manipol,
Front nasional, Land reform, pemberantasan butu huruf, Irian Barat, pengetahuan
umum.
Gerwani inilah yang telah menimbulkan ketakutan pada organisasi masyarakat
lainnya dengan tuduhan Gerwani hendak membentuk angkatan V.
Sehubungan pada Tahun 1963 keadaan ekonomi Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Soekarno sudah memasuki masa sulit, maka pimpinan
Gerwani memfokuskan perhatiannya kepada permasalahan ekonomi. Organisasi
Gerwani telah mencanangkan dengan semboyannya ialah : dengan Manipol
memperkuat front persatuan perempuan untuk demokrasi, emansipasi pangan dan
sandang.
Terhadap adanya semboyan tersebut dapat terlihat masih adanya orientasi
perjuangan untuk kepentingan hak – hak perempuan. Pada saat dicanangkan
semboyan tersebut organisasi Gerwani menyatakan telah beranggotakan
1.750.000 orang dan berkehendak mencapai 3000.000 orang pada akhir Tahun
1965.
Demikian juga dalam Rapat Pleno DPP Gerwani pada tahun 1964,
dimana Umi Sarjono menghimbau organisasi agar berjuang menuju integrasi total
dengan perempuan pekerja dan tani. Aksi – aksi politik yang dibahas termasuk
tuntutan mengenai hak – hak perempuan dan persyaratan hidup yang lebih baik,
nasionalisasi semua perusahaan milik Inggris, land reform dan mendesak
peraturan 26 Mei, serta pembenahan kabinet Nasakom.
Pada tanggal 8 Maret 1964 organisasi perempuan Gerwani pada saat
memperingati hari perempuan internasional bertema konfrontasi Malaysia dan
38
1.750.000 orang dan menghendaki mencapai 3.000.000 orang pada akhir Tahun
1965. Selanjutnya pada bulan Maret 1964 itu juga Gerwani menginstruksikan
pada anggotanya untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawati dalam rangka
konfrontasi dengan Malaysia. Pada kesempatan itu Gerwani dalam perjuangannya
tetap memberi tekanan kepada kepentingan – kepentingan perempuan pada saat
Presiden Soekarno telah memberikan amanatnya pada Hari wanita internasional
tersebut, dimana Presiden dengan tegas mengencam kekuatan – kekuatan
imperalisme. Sehari berselang kemudian istana tempat kediaman Soekarno dibom
orang. Selanjutnya pada saat memperingati hari Kartini pada tanggal 21 April
1964 organisasi Gerwani menuntut agar pendidikan dan kebudayaan untuk kaum
perempuan agar lebih mendapat perhatian.
Pada bulan September 1964 organisasi Gerwani membuka lagi pusat
latihan untuk sukarelawati Dwikora. Pusat latihan dinamakan Training Center
Tavip dan pada November 1964 organisasi Gerwani menyelenggarakan seminar
ibu – ibu rumah tangga.
Pada bulan Januari 1965 organisasi perempuan Gerwani
menyelenggarakan sidang pleno DPP Gerwani. Dalam sidang pleno tersebut
termasuk juga dibicarakan tentang Dwikora, peningkatan produksi, dukungan
program ekonomi Presiden Soekarno dan land reform, Nasakomisasi masyarakat.
Dalam situasi kehidupan politik Indonesia pada saat itu dimana semua
ormas harus bergabung dengan salah satu partai dalam Nasakom. Hal ini
disebabkan pada Tahun 1964 pemerintah telah menginstruksikan semua ormas
Sikap organisasi Gerwani yang selalu mengikuti dan mendukung politik nasional
Soekarno, berakibat Gerwani mandapat tuduhan tidak konsekwen lagi
memperjuangkan kepentingan perempuan. Persoalan inilah yang melatarbelakangi
penolakan Gerwani untuk bekerja sama dengan organisasi perempuan Perwari,
yang sudah sejak lama melawan Soekarno. Gerwani menilai Perwari tidak secara
aktif membela hak – hak perempuan miskin didesa. Karena adanya keharusan
untuk memilih partai ini, maka menurut Saskia Eleonora Wieringa, organisasi
perempuan Gerwani merasa sudah dekat dengan PKI maka diambil keputusan
untuk secara resminya yaitu nanti pada Kongres V Gerwani bulan Desember 1965
menyatukan diri dengan Partai Komunis Indonesia16. Melalui Umi Sarjono pada
sidang pleno bulan januari 1965 tersebut, sidang pleno memutuskan perubahan
status organisasi, dari organisasi nonpolitik atas dasar pendidikan dan perjuangan,
menjadi organisasi massa perempuan komunis dan nonkomunis progesif. Lebih
lanjut sidang pleno memutuskan menjadikan marxisme sebagai pelajaran dasar
dalm sejumlah sekolah Gerwani. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada
organisasi perempuan Gerwani pada sayap feminis telah kalah sama sekali. Sejak
itu SK Trimurti meninggalkan organisasi Gerwani, dengan mengatakan bahwa ia
tidak bisa mengayuh dua perahu dan ingin membantu suaminya yang terlibat
dalam gerakan Badan Pendukung Soekarnoisme yang anti komunis17.
16 Ibid. Hal 341.
40
Pada bulan Juni 1965, pada saat organisasi Gerwani memperingati hari
ulang tahunnya yang ke-15, disini permasalahan perempuan hampir menghilang
dan tidak dibicarakan sebagai prioritas, karena peringatan itu lebih ditujukan
untuk masalah Dwikora, Malaysia dan soal – soal anti imperalis dan mengenai
berbagai masalah politik kiri nasional.
Pada bulan Agustus 1965 para anggota Gerwani juga turut serta ambil
bagian dalam berbagai demonstrasi massa terhadap Kedutaan Besar Amerika
Serikat dan Marshall Green. Disisi lain organisasi perempuan Gerwani tetap
mempersiapkan pelaksanaan Kongres V pada bulan Desember 1965.
Dikota Surabaya pada akhir bulan September 1965 itu terjadi
demonstrasi besar – besaran yang diikuti oleh ribuan kaum perempuan yang
menuntut penurunan harga.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadilah peristiwa penculikan dan
pembunuhan sejumlah Jenderal TNI-AD yang dilakukan oleh G 30 S (Gerakan 30
September) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, dan sejak tanggal itulah
perjalanan sejarah yang panjang dari organisasi perempuan Gerwani akhirnya
terhenti karena dituduh oleh rezim Orde Baru pimpinan Soeharto terlibat didalam