• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Temperatur tanah

Temperatur tanah harian pada kedalaman 15 cm selama solarisasi berlangsung, yaitu dari 23 Oktober hingga 3 Desember 2001 tertera pada Gambar 2. Temperatur tanah pada perlakuan solarisasi tanah pembibitan baik dengan pupuk kandang ayam (N3) atau solarisasi tanah pembibitan tanpa pupuk kandang (N 1) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang (N2) atau kontrol (tanpa pupuk kandang dan tanpa solarisasi tanah pembibitan /NO). Temperatur tertinggi 30,32"C terjadi pada pukul 12 siang dicapai dengan perlakuan tanah pembibitan yang diberi pupuk kandang ayam dan diberi solarisasi yaitu rata-rata 4,82"C lebih tinggi dibanding dengan kontrol dan temperatur terendah pada perlakuan tersebut yaitu 23,69"C pada pukul6 pagi atau rata-rata 3,8OC lebih tinggi dibanding dengan kontrol (Tabel Lampiran 2).

Gambar 2. Rata-rata temperatur tanah pada kedalaman 15 cm selama solarisasi berlangsung (23 Oktober - 3 Desember 200 1) pada berbagai perlakuan tanah pembibitan, NO = tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan solarisasi dan pupuk kandang.

(2)

24 Kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada dan produksi kubis

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa tidak terjadi pengaruh interaksi antara kedua faktor yaitu frekuensi tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit dan produksi kubis, tetapi masing-masing faktor menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel Lampiran 3).

Kejadian penyakit akar gada terendah ditemui pada perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap (Fl) berbeda nyata dengan perlakuan tiga kali tanam tanaman perangkap (F3) dan cenderung lebih baik dari pada perlakuan dua kali tanam tanaman perangkap (F2) atau tanpa tanaman perangkap (FO) (Tabel 1). Perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap indeks penyakit akar gada yaitu lebih rendah dibanding dengan perlakuan lainnya. Walaupun antara perlakuan tanpa tanaman perangkap, satu kali tanam tanaman perangkap dan dua kali tanam tanaman perangkap tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi kubis, tetapi perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap cenderung lebih baik dan produksi kubis nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan tiga kali tanam tanaman perangkap.

Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada dan produksi kubis bervariasi tergantung jenis perlakuan (Tabel 2). Walaupun antara ketiga perlakuan tanah pembibitan kubis dan tanpa perlakuan tanah pembibitan kubis tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kejadian penyakit akar gada, tetapi indeks penyakit akar gada nyata lebih rendah ditemui pada perlakuan tanah pembibitan (Nl, N2, N3) dibanding dengan tanpa perlakuan tanah pembibitan (NO). Produksi tertinggi (29,5 1 kglplot) dicapai

(3)

Tabel 1. Pengaruh frekuensi tanam tanaman perangkap terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada (P. brassicae) dan produksi kubis Perlakuan Kejadian Penyakit Indeks Penyakit Produksi

(%) (kg19 m2)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada a = 0,05.

FO = tanpa tanaman perangkap, F1 = satu kali tanam tanaman perangkap, F2 = dua kali tanam tanaman perangkap, dan F3 = tiga kali tanam tanaman perangkap.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada (P. brassicae) dan produksi kubis

Perlakuan Kejadian Penyakit Indeks Penyakit Produksi

(%) (kg19 m2)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada a = 0,05.

NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

oleh perlakuan tanah pembibitan dengan hanya pupuk kandang ayam (N2) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam (N3), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan tanah pembibitan dengan hanya solarisasi (Nl) dan kontrol (NO).

(4)

26

Populasi mikrob rizosfer bibit kubis

Populasi mikrob rizosfer bibit kubis meningkat pada tanah pembibitan yang diberi perlakuan (Tabel 3). Perlakuan tanah pembibitan (Nl, N2 dan N3) dengan nyata meningkatkan populasi cendawan dibanding dengan kontrol dan populasi aktinomisetes nyata lebih tinggi diperoleh dari perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang ayam (N2) dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam (N3) dibanding dengan perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi (Nl). Populasi mikrob rizosfer (bkteri total, bakteri tahan panas, aktinomisetes, dan cendawan) bibit kubis pada berbagai perlakuan tanah pembibitan ditunjukkan pada Gambar 3 dan total populasi cendawan rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan tanah pembibitan pada Tabel 4.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap total populasi mikrob rizosfer bibit kubis

Total populasi (log cfulg akar)

Perlakuan Bakteri

Aktinomisetes Cendawan Total Tahan panas

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada a = 0,05.

NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

(5)

Populasi bakteri total (A), bakteri tahan panas

(B),

aktinomisetes (C) dan cendawan

(D)

rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan tanah pembibitan: NO = tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan hanya dengan solarisai, N2 = perlakuan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan solarisasi dan pupuk kandang.

(6)

Tabel 4. Total populasi cendawan rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan tanah pembibitan Perlakuan Cendawan NO N1 N2 N3 Gliomastix

. .

.

.

.

. . . .

.

.

. populasi (log cfulg akar) . . .

.

.

. . . . ..

0,000 3,456 4,109 4,109

Aspergillus dan

Cladosporium 0,000 3,757 0,000 3,63 1

Chalaropsis 3,933 4,058 4,301 4,234

* = tidak teridentifikasi

NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

(7)

29 Pembahasan

Sistem pertanian intensif dengan penanaman tanaman yang sama secara berulang-ulang dapat menyebabkan peningkatan jumlah inokulum patogen tular tanah yang tinggi, yang dapat mengancam produktivitas tanaman. Salah satu faktor yang sangat penting dalam pengelolaan penyakit yang disebabkan oleh patogen-patogen tular tanah adalah mengurangi tingkat inokulum patogen tersebut hingga tingkat di bawah ambang kritis sebelum suatu tanaman yang peka ditanam. Dalam ha1 ini, sterilisasi tanah dengan bahan kimia umumnya sering digunakan, bagaimanapun cara ini tidak mendukung pertanian berkelanjutan karena berbahaya terhadap lingkungan.

Solarisasi tanah adalah suatu disinfestasi tanah alternatif, merupakan proses pemanasan tanah di bawah mulsa plastik transparan dengan temperatur yang merugikan patogen-patogen tular tanah, telah berhasil mengendalikan berbagai penyakit tanaman ( Stapleton dan DeVay 1 986), tennasuk penyakit akar gada (clubroot) pada tanaman cruciferae (Horiuchi 1984; Horiuchi et al. 1982; Widodo dan Suheri 1995). Solarisasi tanah baik secara tunggal atau kombinasi dengan penambahan bahan organik adalah efektif mengendalikan patogen- patogen tular tanah (Gamliel dan Stapleton 1993; Katan 198 1).

Pada penelitian ini penggunaan tanaman perangkap yang ditujukan untuk mengurangi populasi awal P.brassicae di dalam tanah yang dikombinasikan dengan perlakuan tanah pembibitan ternyata tidak memberikan pengaruh interaksi terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada ataupun produksi tanaman kubis. Walaupun demikian masing-masing perlakuan secara tunggal menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel Lampiran 3).

(8)

30 Penggunaan tanaman perangkap caisin dengan perlakuan satu kali tanam (Fl) secara nyata dapat menurunkan indeks penyakit akar gada dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1). Hal ini berarti tanaman caisin dapat digunakan untuk memerangkap P. brassicae di dalam tanah sebelum tanaman kubis ditanam. Inokulum P. brassicae di dalam tanah diduga sudah berkurang karena sebagian telah menginfeksi tanaman caisin atau sudah terperangkap sehingga inokulum yang dapat menginfeksi tanaman kubis juga menurun dan dengan demikian keparahan penyakit akar gada pada tanaman kubis menurun. Inokulum yang tidak terperangkap diduga tidak terjangkau dengan akar tanaman perangkap yang ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Chupp dalam Karling (1968) melaporkan bahwa pada percobaan rumah kaca, zoospora dan amuba jarang berpindah lebih dari 5 inc secara horisontal selama satu musim dengan adanya inang yang peka.

Frekuensi tanam tanaman perangkap dengan perlakuan dua kali tanam (F2) dan tiga kali tanam (F3) secara nyata meningkatkan indeks penyakit akar gada pada kubis dibanding dengan perlakuan satu kali tanam (Fl). Hal ini diduga populasi P. brassicae di dalam lahan yang digunakan sifat genetik atau patogenitasnya berbeda karena dapat menginfeksi inang yang berbeda. Menurut Tinggal dan Webster 1981; Jones et al. (1982a) dalam Voorrips (1995) bahwa isolat-isolat lahan adalah memiliki sifat genetik yang tidak seragam , sehingga isolat yang berasal dari suatu lahan yang memiliki populasi patogen yang tidak seragam sifat genetiknya dapat menginfeksi inang yang berbeda. Sedangkan Djatnika (1 989) melaporkan bahwa sebahagian besar populasi P. brassicae dari beberapa daerah di Jawa Barat mempunyai kesamaan yaitu dapat menyerang

(9)

3 1

Brassica oleracea, Brassica campestris dan Brassica napus. Selain itu penanaman tanaman perangkap lebih dari satu kali diduga meningkatkan populasi inokulum P. brassicae di dalam tanah. Spora rehat patogen yang kemungkinan terlepas dari akar tanaman perangkap pada saat panen menambah populasi lahan sebelum tanaman utama ditanam sehingga menyebabkan keparahan penyakit meningkat pada perlakuan tanaman perangkap lebih dari satu kali tanam. Naumov (1 928) dalanz Karling (1968) menunjukkan bahwa keberhasilan infeksi P. brassicae tergantung pada jumlah spora di dalam tanah dan infeksi tidak akan terjadi kecuali jika terdapat spora yang relatif tinggi dan jumlah spora yang lebih tinggi menyebabkan infeksi yang lebih parah. Persentase tanaman yang terserang meningkat dengan cepat dengan meningkatnya konsentrasi spora, dan menyebabkan proporsi tanaman yang terinfeksi juga meningkat (MacFarlane dalam Karling 1968). Colhoun (1957) melaporkan bahwa spora rehat P. brassicae (kurang dari 10 spora per gram tanah) menghasilkan "clubroot" yang maksimum apabila kondisi tanah mendukung, tetapi apabila kondisi tanah tidak mendukung, 10 - 10

'

sporalg tanah kadang-kadang tidak cukup clntuk menghasilkan clubroot. Pada penelitian ini, populasi spora rehat P. brassicae di dalam tanah tidak dapat dideteksi dengan menggunakan metode Takahashi dan Yamaguchi (1987). Pada pengamatan di bawah mikroskop flooresens, spora tidak dapat dihitung karena garis skala haemositometer tidak kelihatan. Hal ini mungkin karena kesalahan teknik.

Peningkatan produksi kubis pada perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap berkaitan dengan penurunan indeks penyakit, walaupun produksi tersebut tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini kemungkinan karena adanya

(10)

32 serangan ulat Crocidolomia binotalis Zeller yang cukup tinggi menjelang panen. Keadaan pertanaman kubis di lapang pada awal pembentukan krop yaitu umur 7 minggu setelah tanam belum menunjukkan adanya serangan ulat C. binotalis, tetapi setelah crop tanaman kubis terbentuk hingga tanaman dipanen terserang dengan ulat tersebut. C. binotalis tidak dapat diatasi dengan penyemprotan insektisida 2 kali seminggu karena dalam periode waktu tersebut curah hujan cukup tinggi sehingga insektisida yang diaplikasikan kemungkinan tercuci. Selain itu pengendalian mekanik yang dilakukan sekali seminggu dengan cara mengambil ulat dari crop tanaman juga belum mampu mengatasi serangan karena ulat yang berada di dalam crop sulit diambil. Keadaan pertanaman dari berbagai perlakuan masing-masing ditunjukkan pada Gambar 4a, 4b, 4c, dan 4d.

Perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi (Nl), hanya dengan pupuk kandang ayam (N2), atau dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam (N3) dengan nyata dapat mengurangi keparahan penyakit akar gada dibandingkan dengan tanpa perlakuan (Tabel 2). Pada penelitian ini, solarisasi tanah secara konsisten menyebabkan peningkatan temperatur tanah (Gambar 2), walaupun peningkatan tersebut hanya 3,80°C dan 4,82"C lebih tinggi dibanding tanpa perlakuan solarisasi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Widodo dan Suheri (1995) dimana peningkatan temperatur tanah pada kedalaman yang sama (15 cm) mencapai 2OC dan 8,5"C lebih tinggi dari pada tanah yang tidak disolarisasi. Perbedaan ini karena waktu solarisasi yang berbeda sehingga menghasilkan panas yang berbeda. Pada kedalaman 15 cm, temperatur tanah maksimum yang dicapai adalah rata-rata 30,32'C kemungkinan tidak berpengaruh langsung terhadap patogen, karena ambang temperatur yang dapat mematikan

(11)

Umw 7 minggu setelah tanam Umw 10 minggu setelah tanam

Gambar 4a. Keadaan tanaman kubis di lapangan dengan tanpa perlakuan tanaman perangkap dari berbagai perlakuan tanah pembibitan. Pada urnur 7 minggu setelah tanam, beberapa tanaman memperlihatkan gejala layu (L) dan harnpir tidak ada tanam yang mati (M). Pada umur 10 minggu setelah tanam atau menjelang panen, beberapa tanaman tidak membentuk krop (TK) clan mati (M), dan semua tanamani terserang berat Crocidolornia binotalis Zeller ( C ) , FONO = tanpa tanamn perangkap dan tanpa perlakuan tanah pembibitan, FONl = tanpa tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi, FON2 = tanpa tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk kandang, dan FON3 =

(12)

Umur

7

minggu setelah tanam Umur 10 minggu setelah tanam

Gambar 4b. Keadaan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap dengan kombinasi berbagai perlakuan tanah pembibitan. Pada wnur 7 minggu setelah tanam, beberapa tanaman memperlihatkan gejala layu (L) dan hampir tidak ada tanaman yang mati (M). Pada umur 10 minggu setelah tanam atau menjelang panen, hampir tidak ada tanaman yang tidak membentuk krop (TK) dan mati (M), dan sebagian besar tanaman terserang berat Crocidolomia binotalis Zeller, FlNO = satu kali tanam tanaman perangkap dan tanpa perlakuan tanah pembibitan, FIN1 = satu kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi, FIN2 = satu kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk kandang, dan FIN3 = satu kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

(13)

Umur 7 minggu setelah tanam Umur 10 minggu setelah tanam

Gambar 4c. Keadaan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan dua kali tanam tanaman perangkap dengan kombinasi berbagai perlakuan tanah pembibitan. Pada umur 7 minggu setelah tanam, sebahagian tanaman memperlihatkan gejala layu (L) dan beberapa tanaman mati (M). Pada umur 10 minggu setelah tanam atau menjelang panen, beberapa tanaman tidak membentuk h o p (TK) dan mati (M), dan sebagian besar tanaman terserang Crocidolomia binotalis Zeller, F2NO = dua kali tanam tanamn perangkap dan tanpa perlakuan tanah pembibitan, F2N1 = dua kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi, F2N2 = dua kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk kandang, dan F2N3 = dua kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

(14)

Umur 7 minggu setelah tanam Umur 10 minggu setelah tanam

Gambar 4d. Keadan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan tiga kali tanam tanaman perangkap dengan kombinasi berbagai perlakuan tanah pembibitan. Pada umur 7 minggu setelah tanam, sebagian besar tanaman memperlihatkan gejala layu (L) clan beberapa tanaman mati (M). Pada umur 10 minggu setelah tanam atau menjelang panen, sebagian tanaman tidak dapat membentuk krop (TK) dan sebagian besar tanaman terserang berat Crocidolomia binotalis Zeller, F3NO = tiga kali tanam tanamn perangkap dan tanpa perlakuan tanah pembibitan, F3N1 = tiga kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi, F3N2 = tiga kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk kandang, dan F3N3 = tiga kali tanam tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

(15)

3 7 beberapa cendawan mesofilik adalah 37OC selama 2-4 jam secara terus menerus (DeVay dan Katan 199 1). Takahashi dan Yamaguchi (1 989) melaporkan bahwa penyakit akar gada (clubroot) menurun apabila tanah terinfestasi diberi panas minimal 40°C selama 10 hari dan penurunan penyakit lebih besar dan lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi.

Penurunan indeks penyakit akar gada pada penelitian ini diduga karena efek kumulatif dari temperatur tanah harian yang dihasilkan oleh solarisasi yang secara tidak langsung mematikan patogen, tetapi hanya dapat melemahkannya. Disamping itu efek tersebut juga dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah dan aktivitasnya yang diduga secara langsung dapat mempengaruhi P. brassicae di dalam tanah. Pemanasan tanah karena solarisasi secara langsung dapat mempengaruhi propagul-propagul patogen dan juga dapat menyebabkan peningkatan aktivitas mikrob antagonis di dalam tanah (Greenberger et al. 1987; Katan et al. 1976; Stapleton dan DeVay 1984; Tjamos dan Paplomatas 1988). Bahkan Stapleton dan DeVay (1984) telah mengamati adanya peningkatan pertumbuhan tanaman dan penurunan keparahan penyakit pada plot yang diberi solarisasi tanpa peningkatan temperatur.

Walaupun produksi yang diperoleh pada perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi tidak berbeda nyata dengan kontrol (karena adanya serangan Crocidolomia binotalis Zeller yang tidak dapat dikontrol), tetapi dengan solarisasi produksi kubis cenderung lebih baik (Tabel 2). Peningkatan produksi kubis karena solarisasi pada penelitian ini kemungkinan berhabungan dengan peningkatan populasi mikrob rizosfer bibit kubis yang lebih tinggi dari pada kontrol (Tabel 3). Organisme tersebut mengkolonisasi akar bibit kubis sebelum

(16)

38 ditanam di lapangan. Hal ini dapat mengurangi kontak antara tanaman kubis dengan P. brassicae di dalam tanah sehingga dapat mengurangi keparahan penyakit dan kemudian dapat meningkatkan produksi tanaman kubis. Efek kumulatif dari panas yang dihasilkan oleh solarisasi yang menyebabkan perubahan kepadatan populasi dari sejumlah spesies mikrob terjadi selama dan setelah solarisasi tanah sangat berpengaruh terhadap organisme yang bersifat patogenik terhadap tanaman dan juga bakteri rizosfer pada umumnya meningkatkan respon pertumbuhan tanaman atau "Increased Growth Response" (IGR) tanaman pada tanah yang disolarisasi (Stapleton et al. 1985). Perubahan lingkungan tanah yang mengikuti efek solarisasi tidak hanya komposisi biotik, tetapi juga struktur tanah dan bahan mineral yang dapat larut dalam air tersedia untuk tanaman dan untuk pertumbuhan mikrob (Stapleton dan DeVay 1986; Chen dan Katan 1980). Selanjutnya menurut Wood (1967) dalam Katan & DeVay (1991) bahwa solarisasi tanah meningkatkan konsentrasi ion dan kandungan bahan organik yang berperan sangat penting untuk stimulasi pertumbuhan tanaman dan resistensi tanaman terhadap berbagai patogen. Menurut Besri (1 99 1) bahwa perubahan fisik dan kimia, dan juga multiplikasi mikroflora antagonis di dalam tanah pada plot yang diberi mulsa karena kondisi anaerob yang disebabkan oleh mulsa polietilen. Antagonisme meningkat setelah propagul-propagul patogen dilemahkan oleh panas sublethal dari solarisasi dan menjadi lebih sensitif terhadap aktivitas mikrob (Freeman dan Katan 1988). Fenomena IGR ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan tanaman setelah disinfestasi karena bebas dari patogen. Hal ini juga ditunjukkan pada tanah yang disolarisasi (Chen et al. 1991; Gamliel dan Katan 1991). Mekanisme-mekanisme yang menunjukkan IGR adalah secara

(17)

39 kimia seperti pelepasan nutrisi mineral atau faktor-faktor pertumbuhan, melenyapkan toksin atau secara biologi seperti eleminasi patogen, stimulasi mikroorganisme yang berguna (Palti dan Katan 1997). Walaupun demikian pada penelitian ini, efek solarisasi tanah pembibitan terhadap peningkatan populasi mikrob rizosfer bibit kubis (aktinomisetes dan cendawan) nyata lebih tinggi dibanding tanpa perlakuan solarisasi (Tabel 3), tetapi nampaknya belum mampu mengatasi infeksi P. brassicae di lapangan yang diduga populasinya cukup tinggi. Penurunan indeks penyakit akar gada dan peningkatan produksi kubis pada perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk kandang ayam (Tabel 2) juga berkaitan dengan peningkatan populasi mikroflora rizosfer akar kubis, terutama aktinomisetes nyata lebih tinggi dibanding dengan kontrol ataupun dengan perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi (Tabel 3) yang diduga dapat berperan menekan patogen. Penekanan P. brassicae oleh mikrob terjadi secara alami kemungkinan melalui proteksi pada akar yang menyebabkan atau meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap infeksi patogen. Tanah dengan tingkat bahan organik yang tinggi memiliki mikroflora dan fauna yang lebih kompleks dan lebih aktif yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menekan aktivitas patogen (Hoitink et al. 1996). Mikroflora pada substrat yang kondusif menyerupai "niche" pada tanah yang mengalami mineralisasi yang tinggi (Kanazawa dan Filip 1986). Penambahan bahan organik ke dalam tanah menstimulir pertumbuhan mikrob supersif endogenus dengan indikasi bahwa tidak hanya meningkatkan aktivitas biologi tetapi juga keragaman total mikrob yang memegang peranan penting dalam pengendalian biologi (Casale et al. 1995). Aryantha et al. (2000) melaporkan bahwa bahan organik merupakan kapasitas

(18)

40

J

penyangga tanah secara biologi, dapat menurunkan jumlah patogen selama dekomposisi, mempengaruhi nitrifikasi dan bentuk nitrogen, dan melindungi inang dari serangan patogen. Pengendalian biologi yang efektif apabila suatu pertahanan melawan patogen melalui lapisan organisme rizosfer yang ada sebelumnya untuk mencegah penetrasi (Baker dan Cook 1974). Menurut Beaumont dan Staniland (1933) dan Whitehead (1946) dalam Karling (1968) bahwa infeksi P. brassicae kurang berarti dan keparahan penyakit rendah pada tanaman yang dipupuk atau pada tanah yang diberi bahan organik. Peningkatan akar yang bengkak paling tinggi apabila nitrogen atau sulfur defisien, dan peningkatan akar yang bengkak relatif kecil apabila nitrogen atau kalium berlebih (Pryor 1940 dalam Karling 1968). Indeks penyakit akar gada pada tanaman yang disuplai dengan nitrogen lebih rendah dari pada tanaman yang tidak mendapat nitrogen yang cukup (Karling 1968). Pupuk kandang ayam adalah kotoran hewan yang mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium yang cukup tinggi yang dapat larut dalam air (Casale et al. 1995), yang terdiri atas 2-3 % nitrogen, 1,5 % fosfor, dan 1,5 % kalium per berat kering (Gaskell et al. 2000). Tingkat amonia yang tinggi dari pupuk kandang ayam secara langsung bersifat toksik terhadap Phytopthora cinnamomi (Aryantha et al. 2000). Menurut Fellows dan Ficke (1934) dalam Baker dan Cook (1974) bahwa pupuk kandang ayam selalu memberikan pengendalian yang sempurna pada "take-all" karena pengaruhnya terhadap organisme penyebab dari pada terhadap tanaman gandum. Pada penelitian ini tidak diketahui dengan pasti apakah pupuk kandang ayam juga toksik terhadap P. brassicae atau tidak karena tidak diamati.

(19)

41

Perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang ayam atau perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dalam menurunkan indeks penyakit akar gada atau dalam meningkatkan produksi kubis (Tabel 2). Hal ini berbeda dari beberapa laporan terdahulu yang menyatakan bahwa adanya peningkatan efek dari aplikasi ganda, seperti yang dilaporkan oleh Horiuchi (1991) bahwa penambahan bahan organik meningkatkan efek solarisasi walaupun bahan organik tersebut pada awalnya digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan keadaan fisik tanah. Ramirez dan Munnecke (1988) melaporkan bahwa solarisasi meningkatkan efek negatif gas fungitoksik dari residu tanaman cruciferae yang mengalami dekomposisi yang tertahan di bawah mulsa plastik terhadap Fusarium oxysporum f. sp. conglutinans sebagai penyebab penyakit layu pada kubis. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tidak selalu aplikasi ganda dapat meningkatkan efek pengendalian patogen, kemungkinan tergantung pada organisme yang dikendalikan atau bahan organik yang digunakan. Penurunan populasi bakteri total dan aktinomisetes pada perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang dibanding dengan perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk kandang ayam (Tabel 3) diduga karena pertukaran gas seperti O2 lebih rendah pada tanah solarisasi menyebabkan populasi bakteri dan aktinomisetes sedikit menurun. Blok et al. (2000) menunjukkan bahwa kondisi anaerob meningkat dengan cepat pada plot yang ditutup dengan plastik. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi oksigen atmosfir tanah ditentukan oleh difusi dari tanah yang berdekatan (tanpa penutup) yang menembus plastik, dan oleh konsumsi mikroflora tanah dan proses oksidatif lainnya. Menurut Stolzy dan

(20)

42

VanGundy (1968) bahwa efek negatif dari aerasi yang buruk terhadap pertumbuhan dan sporulasi cendawan sering karena C 0 2 yang berlebihan dibanding bila kekurangan oksigen.

Perlakuan tanah pembibitan apakah hanya dengan solarisasi, hanya dengan pupuk kandang ayam, atau dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam dapat meningkatkan populasi mikroflora rizosfer bibit kubis dibanding dengan kontrol, terutama aktinomisetes. Aktinomisetes dilaporkan dapat mendegradasi material yang mengandung kitin (Broadbent et al. 1971; Lin et al. 1990 dalam Widodo dan Suheri 1995), sedangkan komponen utama dinding sel P. brassicae adalah kitin (Karling 1968) sehingga diduga bahwa aktinomisetes berperan secara langsung menyerang P. brassicae. Selain itu mikrob rizosfer bibit kubis seperti cendawan (teridentifikasi) lebih beragam diperoleh dari perlakuan tanah pembibitan dibanding dengan tanpa perlakuan tanah pembibitan (Tabel 4) yang juga diduga berperan penting dalam pengendalian patogen tersebut. Keragaman total mikrob berperan penting dalam pengendalian biologi (Baker dan Cook 1974; Casale et al. 1995). Pengendalian biologi patogen tular tanah dengan menggunakan cendawan antagonis telah banyak dilaporkan. Namun demikian untuk P. brassicae masih sedikit. Djatnika (1 989) melaporkan bahwa Mortierella dapat menurunkan intensitas serangan P. brassicae walaupun tidak menyebabkan peningkatan bobot daun kubis yang nyata. Narisawa et al. (1998) menemukan 16 dari 322 isolat cendawan pengkolonisasi akar yang dapat menurunkan kejadian penyakit akar gada pada caisin yafig ditanam pada tanah steril. Selanjutnya dikatakan bahwa dari isolat tersebut, 2 isolat Heteroconiurn chaetospira (Hyphomycetes) dapat menekan penyakit akar gada pada tanah yang

(21)

43 tidak steril (Narisawa et al. 1998). H. chaetospira dapat menurunkan kejadian penyakit akar gada hingga 97 % dan layu Verticillium 67 % pada tanaman sawi putih dan kemungkinan berpotensi untuk mengendalikan penyakit-penyakit tular tanah yang penting lainnya seperti yang disebabkan oleh Fusarium dan Rhizoctonia (Narisawa et al. 2000). Cendawan-cendawan rizosfer bibit kubis yang ditemukan pada penelitian ini kemungkinan juga berpotensi untuk pengendalian P. brassicae.

Gambar

Gambar 2.  Rata-rata temperatur tanah  pada kedalaman  15 cm selama  solarisasi  berlangsung (23 Oktober  -  3 Desember 200 1) pada berbagai perlakuan  tanah  pembibitan,  NO  =  tanpa  perlakuan  solarisasi  dan  pupuk  kandang,  N1  =  perlakuan  hanya
Tabel 2. Pengaruh  perlakuan  tanah pembibitan  terhadap  kejadian  penyakit,  indeks penyakit akar gada (P
Tabel  3.  Pengaruh perlakuan tanah pembibitan  terhadap  total populasi  mikrob  rizosfer bibit kubis
Tabel 4.  Total  populasi  cendawan  rizosfer  bibit  kubis  pada  berbagai  perlakuan  tanah pembibitan  Perlakuan  Cendawan  NO  N1  N2  N3  Gliomastix
+5

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk madrasah yang dikenal dari sistem pendidikan Islam di Timur Tengah sebagai lembaga pendidikan setelah Kuttab dan halaqah di masjid agaknya berbeda dengan madrasah yang

Tradisi rokat pandhaba juga mengandung konsepsi bahwa masyarakat Madura sangat menerima hal-hal yang metafisis, bahwa kekuatan metafisis yang tidak tampak

Terdapat proses komunikasi transendental yang terjadi dalam aktivitas yoga yang dilakukan dengan penuh kesadaran diri dilakukan dengan memerhatikan diri sendiri

Maka balk derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan pengaruh diklat (pendidikan dan pelatihan), kepemimpinan, dan penerapan budaya organisasi, secara

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu : (1) Peningkatan hasil belajar siswa di pengaruhi oleh penggunaan media jam dinding yang digunakan

Hasil penelitian ini berbentuk hasil penelitian kepustakaan yang mengkaji dari dokumen-dokumen untuk menjawab segala perihal mengenai pertimbangan Hukum Hakim dalam

Proses level 0 (Gambar 2) ini menjelaskan alur keseluruhan proses yang terjadi pada aplikasi untuk sistem Kamus Bahasa Indonesia ke Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa