• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Walau pemilihan umum seringkali dijadikan alat legitimasi bagi rezim otoriter.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Walau pemilihan umum seringkali dijadikan alat legitimasi bagi rezim otoriter."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan salah satu instrument terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilihan umum bahkan telah menjadi parameter utama bagi masyarakat internasional untuk mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Walau pemilihan umum seringkali dijadikan alat legitimasi bagi rezim otoriter. Karena pada kenyataannya,masyarakat internasional kini hampir menyepakati bahwa tidak ada Negara yang dapat dikategorikan sebagai Negara demokratis apabila tidak menyelenggarakan pemilihan umum, terlepas dari bagaimana pelaksanaan dan kualitas pelaksanaannya.Prinsip dasar demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta dalam proses pembuatan keputusan politik. Dalam suatu sistem politik yang demokratis para pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, para politisi atau pejabat publik sebagai wakil rakyat akan berbuat maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sebab, pertama, dalam kacamata “mandat”, pilkada yang dilakukan secara regular dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyeleksi kebijakan-kebijakan politik yang baik sesuai dengan dengan keinginan masyarakat luas. Selama kampanye pilkada dan pemilu misalnya, para calon gubernur, para calon bupati maupun para calon walikota menawarkan berbagai isu dan program untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga hal ini menjadi daya tarik bagi pemilih untuk memilihnya.

Kedua, dalam kacamata akuntabilitas, pilkada dan pemilu merupakan sarana bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan berbagai keputusan dan tindakannya di

(2)

masa lalu. Konsekuensinya, pemerintahan dan politisi akan selalu memperhitungkan penilaian masyarakat, sehinggka akan memilih kebijakan atau program yang berdampak pada penilaian positif pemilih terhadap dirinya, agar terpilih kembali pada pilkada atau pemilu berikutnya.1

Pilkada langsung berarti mengembalikan “hak-hak dasar’ masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik local secara demokratis. Dalam konteks itu, negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.2

Ada beberapa argumen penting bagi pilkada langsung terkait dengan kedaulatan rakyat, yaitu:3

1. Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak-haknya secara utuh. Menjadi kewajiban Negara memberkan perlindungan terhadap hak pilih rakyat. Salah satu hak politik rakyat tersebut adalah hak memilih calon pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikansi nilai-nilai demokrasi dalam pilkada langsung namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin pemerintahan daerah. 2. Wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas.

Pertanggungjawaban (responsibility) dan akuntabilitas (accountability) public seorang pemimpin merupakan landasan amat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik. Melalui pilkada langsung, maka seorang Kepala Daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat kepada Kepala Daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Kepala Daerah yang tak dapat memenuhi asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas akan ditinggalkan rakyat, bahkan rakyat akan menghukumnya dengan jalan tidak akan memilihnya lagi. Karena itu, dalam beberapa system pemilihan, calon Kepala Daerah harus memiliki

trade mark, yakni cirri khas dan prioritas program kerja, yang dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

1 Ahmad Nadir. 2005. Pilkada Langsung, dan Masa Depan Demokrasi. Malang: Averroes Press. hlm. viii 2 Joko J. Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 21 3Ibid., hlm. 128-129.

(3)

3. Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara pemerintahan dan rakyat. Pemerintahan akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara keduanya akan membawa pengaruh yang sangat menentukan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. Oleh sebab itu, bilamana sebuah pemerintahan telah “ditinggalkan” rakyatnya, maka ambruknya pemerintahan tersebut tinggal menunggu waktu dalam hitungan yang tak lama.

Kehendak agar pilkada digelar secara langsung dilakukan di Indonesia bisa terakomodasi setelah lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disusul dengan keluarnya PP No.6 Tahun 2005 yang mengatur Pilkada. Pilkada langsung adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Di sini, kehendak rakyat akan diwujudkan secara langsung dengan memilih pemimpinnya pada tingkat provinsi yaitu untuk memilih gubernur dan wakil gubernur dan pada tingkat kabupaten/kota untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.4

Pemilihan umum kepala daerah Sumatera Utara tahun 2013 yang dilaksanakan pada 7 Maret 2013 merupakan salah satu wujud dari demokrasi dimana seluruh masyarakat provinsi Sumatera Utara memiliki hak untuk memilih sendiri pemimpinnya selama 5 tahun ke depan secara langsung.

Pemilihan umum kepala daerah Sumatera Utara tahun 2013 diikuti oleh lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Kelima pasangan tersebut masing-masing mencalonkan diri berdasarkan dukungan partai dan tidak ada calon perseorangan (independent). Mereka adalah pasangan Drs. H. Amry Tambunan – Dr. Rustam Effendy Nainggolan yang didukung oleh Partai Demokrat, Dr. H. Chairuman

4 Lihat Samsul Wahidin. 2008. Hukum Pemerintahan Daerah: Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah.

(4)

Harahap, SH, MH – H. Fadly Nurzal, S.Ag yang didukung oleh beberapa partai politik yaitu Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia dan Partai Republik Nusantara, Drs. Effendi M.S. Simbolon- Drs. Djumiran Abdi yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Peduli Rakyat Nasional dan Partai Damai Sejahtera, H. Gatot Pujo Nugroho, ST – Ir. H. T. Erry Nuradi yang didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Partai Patriot dan Partai Persatuan Nasional dan pasangan H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM – Ir. H. Soekirman yang didukung oleh 22 partai politik diantaranya adalah Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Bintang Reformasi dan partai politik lainnya.5

Berikut ini adalah Nomor Urut Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 :6

• Nomor Urut 1 : H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM – Ir. H. Soekirman

• Nomor Urut 2 : Drs. Effendi M.S. Simbolon- Drs. Djumiran Abdi • Nomor Urut 3 : Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH – H. Fadly

Nurzal, S.Ag

• Nomor Urut 4 : Drs. H. Amry Tambunan – Dr. Rustam Effendy Nainggolan

• Nomor Urut 5 : H. Gatot Pujo Nugroho, ST – Ir. H. T. Erry Nuradi

5 Data Diperoleh dari SK KPU Provinsi Sumatera Utara 6Ibid., hlm 1

(5)

Dari kelima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan umum kepala daerah Sumatera Utara tersebut, pasangan Nomor Urut 5 H. Gatot Pujo Nugroho, ST – Ir. H. T. Erry Nuradi yang merupakan calon Incumbent berhasil memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2013-2018 dengan perolehan suara sebesar 1.604.337 atau 33% dari total suara sah diikuti dengan pasangan calon Nomor Urut 2 Drs. Effendi M.S. Simbolon- Drs. Djumiran Abdi dengan perolehan suara 1.183.187 atau 24,34% dari total suara sah serta urutan ketiga yaitu pasangan calon Nomor Urut 1 H. Gus Irawan Pasaribu, SE Ak, MM – Ir. H. Soekirman memperoleh suara sebanyak 1.027.433 atau 21,13% dari total suara sah. Selanjutnya, pasangan Nomor Urut 4 Drs. H. Amry Tambunan – Dr. Rustam Effendy Nainggolan memperoleh 594.414 atau 12,23% dari total suara sah dan urutan terakhir adalah pasangan calon dengan Nomor Urut 3 Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH – H. Fadly Nurzal, S.Ag yang memperoleh 452.096 suara atau 9,30% dari total suara sah.7 Secara keseluruhan, total suara yang masuk di Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara berjumlah 5.001.430 suara yang meliputi 4.861.467 suara sah dan 139.963 suara tidak sah.8

7 Data diperoleh dari Surat Keputusan KPU Provinsi Sumatera Utara Nomor : 19/Kpts/KPU Prov- 002/2013

Sementara itu, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara kali ini adalah sebanyak 10.310.872 jiwa. Dari total perolehan suara tersebut, maka Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara periode 2013-2018 dilaksanakan satu putaran. Dari jumlah DPT yang terdaftar, ada 5.309.442 pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau 51,5% dari total DPT.

(6)

Pada masa kampanye pemilihan umum kepala Sumatera Utara 2013 kemarin, masing-masing tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur berlomba-lomba untuk memenangkan hati dan suara para pemilih. Mulai dari kampanye terbuka, ikut dalam acara-acara masyarakat, pemberian sumbangan ataupun hadiah, melakukan money politic dan sebagainya. Hal itu dilakukan oleh para tim sukses untuk memenangkan pasangan yang mereka usung.

Fenomena politik diatas merupakan bentuk dari pola pemberian suara masyarakat dalam pemilihan umum. Selanjutnya pola pemberian suara ini dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan perilaku lebih tepatnya perilaku pemilih. Perilaku pemilih sendiri menurut Ramlan Surbakti adalah :

“keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y… .”

Perilaku pemilih dalam pemilihan umum kepala daerah merupakan hal yang sangat penting. Karena di dalam menentukan apakah pemilihan umum kepala daerah berhasil, maka perilaku pemilih masyarakatnya akan menjadi factor penentu yang penting pula. Bila di dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ternyata dapat dilihat bahwa masyarakat tidak terlalu ikut ambil bagian di dalamnya, misalnya dengan tingginya angka golput, berarti pemilihan umum kepala daerah tersebut dapat dikatakan kurang berhasil dilaksanakan. Terbukti dengan masyarakatnya yang kurang member perhatian pada pesta demokrasi local itu. Karena pentingnya perilaku pemilih di dalam pemilihan umum kepala daerah, maka perlu diadakan kajian intensif terhadap perilaku pemilih itu sendiri.

(7)

Pemilihan umum kepala daerah merupakan satu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Mengapa saya mengkaji perilaku pemilih dalam pemilihan umum kepala daerah adalah karena saya ingin melihat bagaimana antusiasme masyarakat dalam menyambutnya, karena dalam pemilihan umum kepala daerah kita akan memilih orang nomer satu di daerah kita nantinya.

Menyadari akan pentingnya penelitian tentang perilaku pemilih, maka di dalam karya ilmiah ini saya akan menjelaskan dan meneliti tentang perilaku pemilih di Kecamatan Medan Helvetia. Kecamatan Medan Helvetia merupakan wilayah administratif dari Kotamadya Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Helvetia merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk tertinggi di Kotamadya Medan. Tingginya jumlah penduduk diikuti dengan komposisi masyarakat yang heterogen.

Penulis memilih Kecamatan Medan Helvetia sebagai tempat penelitian karena terdapat fenomena yang cukup menarik, yaitu tingginya antusiasme masyarakat dalam mengikuti kampanye yang dilaksanakan di Kecamatan Medan Helvetia ternyata tidak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat terhadap pemilihan umum kepala daerah itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah masyarakat yang ikut dalam kampanye, namun tingkat partisipasi di dalam pemilihan umum kepala daerah cenderung rendah. Dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terdaftar di Kecamatan Medan Helvetia sebanyak 143.258 jiwa, hanya 52.475 orang yang menggunakan haknya untuk memilih, jumlah tersebut terdiri dari 51.335 suara sah dan 1.140 suara tidak sah.

(8)

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perilaku permilih dalam pilkada Sumatera Utara tahun 2013. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan pemecahannya. Perumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Dengan kata lain, perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 9

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan suatu masalah yang akan menjadi bahasan dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah perilaku pemilih Kecamatan Medan Helvetia dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 khususnya masyarakat Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan.

(9)

2. Untuk mengetahui faktor apakah yang paling dominan dalam membentuk perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu mengembangkan kempuan berpikir dan mengasah kemampuan penulis dalam mebuat karya ilmiah untuk selanjutnya dapat menyelesaikan pendidikan di Strata Satu (S-1) Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan terhadap ilmu politik, yaitu dalam analisis perilaku pemilih. 3. Menambah referensi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU

mengenai perilaku pemilih.

1.5Kerangka Teori 1.5.1 Partisipasi Politik

Menurut Miriam Budiardjo partisipasi politik adalah : 10

“kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya”.

(10)

Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek, yaitu: (1) pemilihan penguasa, dan (2) melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa (pemerintah).

Menurut Closky (1982) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela (voluntary) dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect) dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum.

“Di negara-negara demokrasi, konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat”.11

1.5.1.1 Pemilihan Umum

Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat, diberbagai tingkat pemerintahan sampai kepala desa. “Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan kegiatan-kegiatan lain”.12

“Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/ masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktifitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio visual (televise) serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antara pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan

11Ibid,. hlm. 368.

(11)

mengenai program, platform, asas, ideology serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislative maupun eksekutif”.13

Affan Gafar mengajukan 5 (lima) parameter untuk sebuah pemilihan umum yang ideal : 14

Pertama, pemilihan umum yang akan datang haruslah diselenggarakan dengan cara yang demokratis sehingga memberikan peluang bagi semua partai dan calon legislatif yang terlibat untuk berkompetisi secara fair dan jujur. Rekayasa dan manipulasi yang sangat mewarnai penyelenggaraan pemilu masa lampau jangan sampai terulang lagi. Kedua, pemilihan umum haruslah menciptakan MPR/DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Ketiga, derajat keterwakilan, artinya bahwa anggota MPR/DPR yang dibentuk melalui pemilihan umum haruslah memiliki keseimbangan perwakilan, baik antara wakil Jawa maupun luar Jawa atau antara pusat dengan daerah. Keempat, peraturan perundang-undangan pemilu haruslah tuntas. Kelima, pelaksanaan pemilu hendaknya bersifat praktis, artinya tidak rumit dan gampang dimengerti oleh kalangan masyarakat banyak”.

1.5.1.2Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung

Pemilihan umum kepala daerah langsung merupakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil melalui pemungutan suara. Kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokratis, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah dan daerah serta antar daerah untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

13 A. Rahman H. I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 147.

(12)

Pemilihan umum kepala daerah langsung diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepalas Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang pilkada langsung tercermin dalam cara pemilihan dan asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraaan pilkada. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pemilihan umum kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pemilihan umum kepala daerah juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusa membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta pemilihan umum kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

1.5.2 Perilaku Pemilih 1.5.2.2Definisi Perilaku

Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik. Perilaku juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2,

(13)

yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit), Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup (Soekidjo Notoatmodjo,

1987:1). Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya, hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan, dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu pula. “Robert Y. Kwick (1972) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari”.15

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

1.5.2.3Definisi Pemilih

Menurut Joko J Prihatmoko, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para consensus untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh

(14)

suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestai dalam institusi politik seperti partai politik. Disamping itu pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bias saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu.

Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, dimana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan terkait dengan partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.16

Menurut UU Nomor 10/2008, pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin. Tetapi dalam pelaksanaan pemilihan umum, yang berhak memberikan hak pilihnya adalah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

1.5.2.4Definisi Perilaku Pemilih

Menurut Ramlan Surbakti perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku memilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat menggunakan hak pilih atau tidak? Apakah memilih partai X atau Y? Mengapa memilih partai X atau Y?

(15)

Untuk memahami kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam beberapa pendekatan yang relevan, yaitu:17

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan-pengelompokan social mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan social pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis.

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakter sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang menjadi variable yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang, karena itu pendekatan ini menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, isu-isu dan kandidat-kandidat.

3. Pendekatan Rasional

Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di mana pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya dalam menilai calon kandidat yang terbaik menurut rasionalitas yang dimilikinya. Model ini ingin melihat pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi.

Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan factor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon.

Pada pendekatan rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja dan dapat berubah sesuai dengan rasionalitasnya, bahkan keputusan dalam menentukan pilihan dapat berubah di bilik suara.

4. Pendekatan Domain Kognitif

Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda, yaitu:

• Isu dan Kebijakan Publik

Komponen ini mempresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu.

17 Adman Nursal. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

(16)

• Citra Sosial

Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai “berada” di dalam kelompok social mana atau tergolong sebagai sebuah partai atau kandidat politik. Citra social dapat terjadi oleh banyak factor, diantaranya demografi (meliputi usia, gender dan agama). Sosio ekonomi (meliputi pekerjaan dan pendapatan), kultural dan etnik, dan politis-ideologi. • Perasaan Emosional

Perasaan emosional yaitu emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kontestan yang ditujukan oleh kebijakan politik yang ditawarkan.

• Citra Kandidat

Citra kandidat yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter seorang kandidat.

• Peristiwa Mutakhir

Ini mengacu pada himbauan peristiwa, isu dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye.

• Peristiwa Personal

Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat, misalnya skandal seksual, bisnis, dll.

• Faktor-faktor Epistemis

Faktor-faktor epistemis yaitu isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.

1.5.2.5Tipe-tipe Pemilih

Terdapat dua orientasi dalam diri masing-masing pemilih.18

Kedua, orientasi ‘ideologi’ yaitu suatu partai atau seorang kontestan akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama,

Pertama adalah orientasi ‘policy-problem-solving’ yaitu ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem-solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional ataupun lokal dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak terpilih.

18 Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm

(17)

moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai politik dan kontestan tersebut.

Berdasarkan konfigurasinya, pemilih terbagi menjadi empat, yaitu:19 1. Pemilih Rasional

Pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy problem solving’ dan berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalam program kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideology kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang biasa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, social-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.

2. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‘rational voter’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bias terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bias juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: (1) memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideology dengan partai lama.

(18)

3. Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, aal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parimeter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut.

Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bias dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak dan kadang kebenarannya tidak bias diganggu gugat.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena kedekatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan ‘platform’ dan kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak dan random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bias membawa bangsa kea rah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

1.6Metodologi Penelitian 1.6.1Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, karena penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian dan menjawab persoalan yang penulis teliti. “Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan

(19)

bersifat kualitatif. Metode kualitatif lebih didasarkan filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen)”.20

Penelitian ini akan berusaha memahami dan menggambarkan bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

1.6.2 Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Kecamatan Medan Helvetia yang terdaftar dan tercatat sebagai warga Kecamatan Medan Helvetia dan yang termasuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu sebanyak 143.258 jiwa.

1.6.3 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang terdaftar sebagai Pemilih Tetap di Kecamatan Medan Helvetia. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis akan menggunakan rumus Taro Yamane21

Keterangan :

, sebagai berikut :

𝑛= 𝑁 (𝑑 )𝑁2 + 1

n : Jumlah sampel

N : Jumlah Populasi (yang terdaftar dalam DPT)

D : Presisi

20 Husnaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. hlm.

78.

(20)

Tingkat presisi yang dimaksud diatas adalah rentang dimana nilai sebenarnya dari populasi yang diperkirakan. Sering pula disebut kesalahan sampling. Semakin besar tingkat kesalahan yang ditoleransi maka semakin kecil jumlah sampel yang diambil. Dan sebaliknya semakin kecil tingkat kesalahan yang ditoleransi, maka semakin besar mendekati populasi sampel yang harus diambil.

Dari rumus diatas, maka jumlah sampel yang diambil adalah :

𝑛 = 143.258 (0,01 ) + 1143.258 𝑛 = 1433, 58143.258

n = 99,9 Orang

Maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang. Selanjutnya, untuk menentukan jumlah responden dari masing – masing kelurahan digunakan teknik proporsional sampling. “Penggunaan teknik

proporsional sampling dilakukan dengan menyeleksi setiap unit sampel yang sesuai dengan ukuran unit sampel dan untuk memungkinkan memberi peluang kepada populasi yang lebih kecil untuk tetap dipilih sebagai sampel”.22

Keterangan :

Maka digunakanlah rumus :

𝑁 =𝑛 1 ( 𝑛𝑛 )

N : Jumlah Populasi

n1 : Jumlah Daftar Pemilih Tetap / Kecamatan n : jumlah sampel

(21)

Berdasarkan rumus diatas, maka dapat dihitung jumlah sampel yang diambil di setiap Kecamatan adalah sebagai berikut :

Kelurahan Cinta Damai : 18139 x 100 : 143258 = 13 Kelurahan Dwi Kora : 20502 x 100 : 143258 = 14 Kelurahan Helvetia : 15530 x 100 : 143258 = 11 Kelurahan Helvetia Tengah : 30565 x 100 : 143258 = 21 Kelurahan Helvetia Timur : 22171 x 100 : 143258 = 16 Kelurahan Sei Sikambing C-II : 13226 x 100 : 143258 = 9 Kelurahan Tanjung Gusta : 23125 x 100 : 143258 = 16

Setelah menentukan jumlah sampel dari masing – masing kelurahan, selanjutnya untuk menentukan responden yang akan dijadikan sampel digunakan Teknik Sampling Kebetulan (Accidental Sampling). “Teknik sampling kebetulan dilakukan apabila pemilihan anggota sampelnya dilakukan terhadap orang atau benda yang kebetulan ada atau dijumpai”.23

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti datang langsung ke masing – masing kelurahan untuk melakukan wawancara dengan kuisioner terhadap responden. Responden yang dijadikan sampel adalah mereka yang kebetulan dijumpai di warung – warung kopi, rumah, mesjid, dan tempat – tempat umum yang ada di wilayah kelurahan tersebut. Namun tidak jarang pula masyarakat yang menolak untuk diwawancarai oleh peneliti dengan alasan sibuk serta alasan – alasan lainnya. Keuntungan dari penggunaan teknik sampling ini adalah murah cepat dan mudah.

(22)

1.6.4Teknik Pengumpulan Data

Ada dua teknik pengumpulan data yang penulis gunakan didalam penelitian ini. Pertama, pengumpulan data melalui studi pustaka (library research). Data-data yang dimaksud adalah data-data tertulis yang berasal dari buku-buku, dokumen-dokumen, undang-undang, media internet maupun skripsi yang memiliki kesamaan dengan masalah penelitian ini. Data-data yang diperoleh dari studi pustaka merupakan data sekunder dalam penelitian ini.

Kedua, studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan interaksi langsung terhadap narasumber dan melalui penyebaran angket. Data yang diperoleh langsung dari lapangan ini merupakan data utama guna menunjang keberhasilan penelitian ini, karena objek utama dari penelitian ini adalah narasumber khususnya masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

1.6.5Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

(23)

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam empat bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB III : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan menggambarkan segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu gambaran umum wilayah Kecamatan Medan Helvetia yang dilihat dari geografis dan luas wilayah, komposisi penduduk, perekonomian masyarakat, serta sarana dan prasarana.

BAB III : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA

Bab ini akan berisikan penyajian data dan fakta yang diperoleh dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis dari data dan fakta tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab terakhir ini akan memuat kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya serta hidayahnya yang tiada batas, dengan ridhonya penulis

bahwa dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

disampaikan guru, dan diskusi, siswa dapat mempraktikkan gerak spesifik menahan (menggunakan kaki bagian dalam, dan kaki bagian luar) pada permainan sepak bola

Hal ini dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu diawali dengan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang menyebabkan kepayahan otot jantung dalam memompa, maupun

Meskipun terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dislipidemia berhubungan erat dengan angka mortalitas pada penyakit jantung koroner, ternyata hal ini tidak

Berdasarkan penuturan dari bapak Mailul bahwa kendala-kendala yang menghambat kelancaran proses penyelenggaraan program layanan bimbingan konseling Islam ialah

Jarak antara terminal penumpang dan landasan parkir dari garis landasan pacu untuk berbagai variasi tinggi bangunan, 1 : 7 = permukaan imajinatif yang sebaiknya tidak tertutup