• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004

DAN PROSPEK TAHUN 2005

1. Konstruksi Kebijakan Menimbulkan Dualisme Pasar dan Rawan Terhadap

Penyimpangan

Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada petani Indonesia pada tahun 1979.

Selama periode tahun 1979-1998, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk subsidi harga

dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat petani yang lebih rendah

dari harga pasar dan selisih HET dengan harga pasar ditanggung oleh pemerintah.

Pupuk bersubsidi disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) di bawah koordinasi dan

tanggung jawab PT. Pusri. Pembelian pupuk oleh petani dilakukan dengan sistem kredit

bersubsidi yang disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dengan pola distribusi

demikian, subsidi diterima langsung oleh petani.

Pada periode tahun 1999-2000, subsidi dan tataniaga pupuk dicabut, dan

distribusi pupuk dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar bebas. Penghentian subsidi

dan deregulasi pemasaran pupuk merupakan pelaksanaan dari “Surat Wasiat” (

Letter of

Intent

) antara Presiden Republik Indonesia dan International Monetery Fund (IMF),

sebagai bagian dari rencana aksi pemulihan ekonomi Indonesia dari terpaan krisis yang

terjadi sejak akhir tahun 1997. pencabutan subsidi dan deregulasi pasar telah

menyebabkan harga pupuk di tingkat petani sepenuhnya tergantung pada pasar pupuk

internasional. Selama tahun 1999 harga pupuk cukup rendah dan stabil, karena harga

pupuk dunia cenderung turun, sementara nilai rupiah cenderung menguat.

Peningkatan harga pupuk dunia akibat peningkatan harga gas sejak tahun 2000

telah mendorong pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk pada tahun 2001.

Selama periode tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif gas

domestik (IGD) untuk produksi pupuk Urea. IGD memang tidak disebut sebagai subsidi

pupuk dan jumlahnya pun tidak begitu besar.

Peningkatan harga gas yang terus berlanjut telah mendorong pabrik pupuk Urea

menuntut subsidi yang lebih besar. Di sisi lain, peningkatan harga pupuk dunia

memaksa pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk domestik dalam rangka

membantu petani dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian.

Oleh karena itu, sejak tahun 2003, pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi,

tidak saja subsidi gas untuk Urea, tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP-36,

(2)

ZA dan NPK). Sebagai imbalannya, pabrik pupuk wajib menyalurkan pupuk setiap saat

dalam jumlah yang cukup pada HET yang ditetapkan pemerintah.

Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk yang berlaku sejak tahun 2003 adalah

sebagai berikut :

a.

Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan

subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK).

b.

Harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi pupuk

dan telah memperhitungkan laba normal (10%) bagi pabrik pupuk. Dengan

demikian pabrik pupuk dijamin tidak rugi dalam menjual pupuk sesuai dengan

HET.

c.

Pabrik pupuk diwajibkan untuk menyediakan pupuk dalam jumlah cukup dan tepat

waktu dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebagai berikut :

- Urea : Rp. 1.050 per kg

- SP-36 : Rp. 1.400 per kg

- ZA

: Rp. 950 per kg

- NPK

: Rp. 1.600 per kg

d.

Setiap pabrik pupuk penerima subsidi bertanggung jawab untuk menjamin

distribusi pupuk pada wilayah tertentu, baik sendirian maupun kerja sama dengan

pabrik lain melalui kerja sama operasional (KSO).

e.

Volume pupuk bersubsidi ditetapkan Menteri Pertanian berdasarkan perkiraan

kebutuhan.

f.

Pupuk bersubsidi hanya dijual kepada usahatani rakyat, tidak untuk perusahaan

pertanian skala besar

Konstruksi kebijakan tersebut mengandung beberapa titik lemah yang dapat

membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET dan rentan terhadap tindakan

menyimpang sebagai berikut :

a.

Dualisme pasar pupuk domestik.

Pupuk bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi usahatani rakyat menciptakan

dua pasar, yaitu pasar pupuk bersubsidi dengan HET dan pasar pupuk non subsidi

dengan harga sesuai pasar bebas (lebih tinggi dari HET). Disparitas harga yang

cukup besar mendorong tindakan menyimpang, yaitu pupuk bersubsidi dijual

kepada perusahaan skala besar (perkebunan), sehingga pupuk bersubsidi bagi

usahatani rakyat menjadi tidak mencukupi.

(3)

b.

Disparitas harga domestik dan harga internasional.

Harga pupuk bersubsidi yang rendah dan tetap sesuai keputusan pemerintah,

sementara harga dunia cenderung meningkat tajam, telah menimbulkan disparitas

harga yang cukup besar untuk mendorong tindakan menyimpang. Pupuk

bersubsidi diekspor secara ilegal, sehingga pasokan pupuk domestik menjadi

langka dan harganya meningkat.

c.

Volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan.

Volume pupuk bersubsidi didasarkan pada perkiraan kebutuhan, bukan penyaluran

aktual, sehingga rentan terhadap manipulasi dalam menghitung nilai subsidi yang

sesungguhnya.

d.

Wilayah tanggung jawab distribusi tidak dapat dipisah dengan tegas.

Wilayah tanggung jawab pabrikan pupuk didasarkan pada wilayah propinsi yang

tidak mungkin diisolir. Pupuk dapat merembes antar wilayah sehingga

memungkinkan terjadinya persaingan tidak sehat antar pabrikan pupuk. Pabrikan

pupuk saling melepas atau melempar tanggung jawab dalam menjamin pasokan

pupuk. Pola KSO pun rentan terhadap persaingan tidak sehat yang pada akhirnya

menimbulkan kelangkann pupuk dan lonjak harga pupuk.

2. Kebijakan Subsidi Pupuk Tidak Efektif

Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tidak efektif untuk

membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta sebagai berikut :

a.

Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas HET.

Di Jawa Tengah pada bulan Oktober 2004, harga Urea mencapai Rp. 1.250 per

kg, yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp. 1.050 per

kg; harga ZA mencapai Rp. 1.200 per kg yang berarti Rp. 250 per kg di atas HET

Rp. 950 per kg; harga SP-36 Rp. 1.550 per kg yang berarti Rp. 150 per kg di atas

HET Rp. 1.400 per kg; dan harga NPK Rp. 1.983 per kg yang berarti Rp. 383 per

kg di atas HET Rp. 1.600 per kg.

b.

Pasokan pupuk di tingkat petani kerap kali langka.

Berdasarkan penelitian maupun monitoring pengelola, pasok langka pupuk terjadi

karena tindakan ilegal sebagai berikut :

-

Penjualan pupuk bersubsidi kepada perusahaan besar (perkebunan).

-

Ekspor pupuk.

(4)

-

Ketidakpatuhan pabrikan pupuk dalam menjamin pasokan pupuk yang cukup

sesuai HET pada wilayah di wilayah distribusi tanggung jawabnya.

Tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk pertama-tama adalah akibat dari

rancangan kebijakan yang rentan terhadap tindakan menyimpang seperti yang telah

diuraikan sebelumnya. Penyebab kedua, yang dapat disebut sebagai faktor pemicu,

adalah melonjaknya harga pupuk di pasar internasional akibat melonjaknya harga

minyak bumi. Harga pupuk Urea meningkat dari US$ 94,4 per ton pada tahun 2003

menjadi US$ 203 per ton pada bulan September 2004, atau lebih dari 100 persen dalam

periode kurang dari dua tahun (Tabel 1).

Tabel 1.

Perkembangan harga pupuk Urea, TSP dan KCl di pasar dunia, 2001-2004

(US$/ton).

Jenis Pupuk

Tahun

Urea

TSP

KCl

2001

2002

2003

Januari

Pebruari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

2004

Januari

Pebruari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

95,3

94,4

138,9

116,5

132,8

138,4

116,4

128,5

133,9

139,2

146,0

149,1

150,9

154,5

160,6

153,9

128,3

129,1

130,8

135,7

161,9

182,4

203,0

126,9

133,1

149,3

128,6

136,0

143,8

145,0

146,0

148,3

150,9

150,0

153,6

164,0

163,0

162,9

171,6

177,1

177,5

177,5

177,5

177,5

177,5

177,5

118,1

113,3

113,3

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

112,5

114,4

120,0

120,0

120,0

120,0

120,0

120,0

120,0

120,0

120,0

Sumber : Data Harga Komoditas, Bank Dunia.

(5)

Harga pupuk TSP meningkat dari US$ 133 per ton pada tahun 2003 menjadi

US$ 178 per ton pada bulan September 2004 atau 34 persen dalam periode kurang dari

dua tahun. Harga pupuk KCl meningkat kecil saja dari US$ 113 per ton pada tahun 2002

menjadi US$ 120 per ton pada bulan September 2004, atau hanya 6 persen dalam

periode hampir dua tahun.

Melonjaknya harga pupuk dunia juga diperburuk oleh depresiasi rupiah sehingga

harga pupuk di pasar bebas amat tinggi. Jika disandingkan dengan konstruksi kebijakan

subsidi pupuk, harga pupuk (utamanya Urea dan Fosfat) yang melonjak demikian tinggi,

akan menimbulkan dua konsekuensi.

Pertama

, terjadi disparitas harga yang amat besar

antara harga pupuk bersubsidi dan harga pupuk non subsidi, sehingga mendorong

merembesnya pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik.

Kedua

, terjadi

disparitas harga yang amat besar antara di pasar pupuk domestik dan di pasar

internasional, sehingga mendorong eksportasi ilegal. Boleh jadi sebagian pupuk

bersubsidi malah diekspor ke negara lain. Penjualan ilegal pupuk bersubsidi ke pasar

pupuk non subsidi domestik dan eksportasi ilegal selanjutnya berdampak pada

kelangkaan dan lonjak harga pupuk di pasar domestik.

Sudah barang tentu, kemelut pasar pupuk tidak akan terjadi jika pabrikan pupuk

bersikukuh menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Pasokan pupuk

sepenuhnya dikuasai oleh pabrikan pupuk domestik, sehingga mestinya mampu

mencegah tindakan menyimpang yang mungkin dilakukan oleh oknum atau spekulan.

Secara kolektif, pabrikan pupuk turut bertanggung jawab atas gagalnya pelaksanaan

kebijakan subsidi pupuk.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk

merupakan komplikasi dari faktor penyebab berikut :

a.

Rancangan kebijakan yang kurang baik

b.

Perilaku pabrikan pupuk yang tidak bertanggung jawab

c.

Melonjakya harga pupuk dunia

Ketiga faktor tersebutlah yang harus menjadi fokus penanganan dalam upaya

memperbaiki kebijakan subsidi pupuk tahun 2005.

Kegagalan dalam mengefektifkan HET berarti anggaran subsidi pupuk yang

disediakan negara tidak dinikmati oleh petani. Dapat dipastikan pabrikan pupuk tidak

dirugikan, karena subsidi pupuk langsung dibayarkan kepada mereka sesuai dengan

volume distribusi yang dikeluarkan. Barangkali yang lebih diuntungkan adalah para

(6)

manipulator yang melakukan penjualan kepada perusahaan (perkebunan) dan

eksportasi secara ilegal.

Selain kerugian uang negara, dampak yang lebih buruk dari kegagalan dalam

melaksanakan kebijakan subsidi pupuk ialah terjadinya langka pasok. Langka pasok

menyebabkan petani tidak mungkin menggunakan pupuk secara optimal walaupun

mereka mampu membelinya. Kebijakan subsidi pupuk yang dimaksudkan untuk

membantu petani dan mendorong kinerja sektor pertanian, malah merugikan petani dan

memperburuk kinerja kinerja sektor pertanian. Ini tentu amat ironis dan harus segera

diatasi, utamanya dengan memperbaiki konstruksi implementasi kebijakan subsidi

pupuk tersebut.

3. Pengalihan atau Pencabutan Subsidi Pupuk Dapat menimbulkan Lonjak Harga

Pupuk Domestik

Pada kondisi harga pupuk dunia yang amat tinggi dan cenderung meningkat,

maka pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk akan menyebabkan harga pupuk

domestik melonjak tajam yang tentu dapat berdampak negatif terhadap pendapatan

petani dan kinerja sektor pertanian. Berdasarkan harga internasional pada bulan

Juli-September 2004, jika subsidi pupuk dicabut atau harga pupuk dibiarkan bebas

ditentukan oleh kekuatan pasar, maka harga pupuk Urea akan mencapai Rp. 2.035 per

kg dan TSP Rp. 1.895 per kg, amat jauh di atas HET yang hanya Rp. 1.050 per kg untuk

Urea dan Rp. 1.400 per kg untuk SP-36 (Tabel 2). Walaupun tidak sepenuhnya efektif,

kebijakan subsidi pupuk berperan nyata dalam menahan dampak lonjak harga pupuk

dunia terhadap harga pupuk domestik. Selama periode bulan Juli-September, harga

pupuk Urea berkisar antara Rp. 1.050 – 1.270 per kg, sedangkan harga pupuk SP-36

berkisar antara Rp. 1.490 – 1.600 per kg, yang berarti masih jauh di bawah harga pasar

dunia.

Tabel 2.

Rerata Harga Pupuk Urea Dan TSP/SP-36 Di Pasar Domestik Dan Dunia,

Juli-September 2004 (Rp/kg).

Pasar Domestik*

Pasar Dunia

HET

Bulan

Urea

SP-36

Urea

SP-36

Urea

SP-36

Juli

1.169

1.650

1.864

1.800

1.050

1.400

Agustus

1.161

1.584

2.043

1.959

1.050

1.400

September

1.166

1.608

2.217

1.926

1.050

1.400

Rerata

1.165

1.614

2.035

1.895

1.050

1.400

*) Hasil survei Puslitbang Sosek Pertanian di Propinsi Jawa Tengah, Lampung dan Sulawesi

(7)

Dengan menggunakan acuan rerata harga pada bulan Juli-September 2004,

pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk akan meningkatkan harga pupuk Urea

sekitar 75 persen dan SP-36 sekitar 17 persen. Ini jelas akan menimbulkan dampak

nyata terhadap pendapatan petani dan produksi komoditas pertanian. Lebih dari itu,

lonjakan harga yang demikian tinggi, diperkirakan akan menimbulkan efek politis yang

buruk bagi pemerintah, lebih-lebih jika harga bahan bakar minyak juga akan melonjak

jika subsidinya dicabut.

4. Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2005

Pemerintah dan DPR telah sepakat mengalokasikan anggaran belanja

pemerintah tahun 2005 untuk subsidi pupuk sebesar Rp. 1,3 trilyun. Dana ini mungkin

tidak dapat dialihkan untuk penggunaan lain, seperti pembangunan infrastruktur

pertanian atau dana penyangga harga gabah, karena sudah disetujui oleh DPR. Dari sisi

Departemen Pertanian yang berkewajiban untuk membantu dan membela petani dalam

rangka mewujudkan pembangunan pertanian, wacana untuk mengalihkan subsidi pupuk

hendaklah dikaji sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan resiko berikut :

a.

Pencabutan subsidi pupuk dapat menyebabkan harga pupuk melonjak 20-75

persen, yang boleh dikatakan tidak dapat ditolerir, baik dari segi pertimbangan

ekonomi maupun politik.

b.

Dana subsidi pupuk sebesar Rp. 1,3 trilyun belum tentu disetujui DPR dan

pemerintah sepenuhnya dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau lainnya

yang fokus mendukung petani.

Dengan pertimbangan di atas maka setidaknya untuk tahun 2005, tindakan yang

lebih baik dipilih Departemen Pertanian ialah memperbaiki tatalaksana penyaluran

subsidi pupuk bukan mengalihkan apalagi mencabut subsidi pupuk tersebut. Beberapa

hal yang dapat dilakukan dalam merevisi tatalaksana penyaluran pupuk tersebut adalah:

a. Pupuk bersubsidi disalurkan melalui KUD atau kios pupuk resmi berdasarkan

rencana kebutuhan kelompok tani dan pembayarannya melalui Bank Rakyat

Indonesia (BRI) seperti pada periode tahun 1979-1998.

b. Subsidi dihitung dari perbedaan antara HET dan biaya pokok produksi pupuk dalam

negeri.

Usulan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa produsen pupuk dalam negeri

adalah perusahaan milik negara yang mestinya lebih mendahulukan kepentingan

negara, dalam hal ini membantu petani dan pembangunan pertanian pada

(8)

umumnya. Pada kondisi harga pupuk di pasar internasional yang sangat tinggi dan

cenderung meningkat, harga pupuk dunia jauh lebih tinggi dari biaya pokok produksi

pupuk domestik, sehingga biaya subsidi akan lebih murah bila didasarkan pada

perbedaan antara HET dengan biaya pokok produksi. Sudah barang tentu, pabrikan

pupuk domestik harus dijamin memperoleh laba normal (10%). Dengan demikian

subsidi pupuk disalurkan melalui subsidi gas kepada pabrikan pupuk.

c. Subsidi pupuk hanya diberikan untuk pupuk Urea saja.

Usulan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.

Pertama

, pupuk Urea

adalah yang paling besar penggunaannya dan paling dibutuhkan oleh usahatani

pertanian rakyat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk

SP-36, KCl dan ZA tidak berpengaruh nyata terhadap hasil usahatani, karena sebagian

besar lahan pertanian di Indonesia sudah mengandung unsur phospat dan kalium

dalam jumlah yang cukup.

Kedua

, dana subsidi yang tersedia relatif kecil untuk

membiayai subsidi semua jenis pupuk. Jadi, subsidi pupuk lebih baik diprioritaskan

untuk jenis pupuk yang paling banyak digunakan petani dan paling berpengaruh

terhadap hasil usahatani.

d. Pabrikan pupuk penerima subsidi diwajibkan mendahulukan pemenuhan kebutuhan

pupuk domestik.

e. Subsidi diberikan kepada semua pengguna untuk menghindari dualisme pasar.

Pupuk bersubsidi (Urea) dapat dibeli oleh semua pengguna pupuk, sehingga tidak

terjadi dualisme pasar, pupuk bersubsidi dan non subsidi, yang rentan terhadap

tindak penyelewengan. Jika tidak ada dualisme pasar domestik dan pabrikan pupuk

mendahulukan pemenuhan kebutuhan domestik, maka dengan sendirinya pasokan

pupuk akan selalu mencukupi dan otomatis subsidi pupuk dapat diterima langsung

oleh semua petani.

f. Disparitas harga pupuk bersubsidi dan harga pasar dunia dikurangi dengan

menaikkan HET.

Pengurangan disparitas harga antara pupuk bersubsidi dengan pasar bebas

dimaksudkan untuk mengurangi insentif eksportasi ilegal. Peningkatan HET juga

berguna untuk meningkatkan volume pupuk bersubsidi dengan total nilai anggaran

subsidi yang sama (misalnya Rp. 1,3 trilyun). Selain itu, peningkatan HET (pupuk

lebih mahal) juga akan mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih rasional.

Jika hal ini dapat diterima dan dengan perkiraan kebutuhan pupuk Urea sekitar 5 juta

(9)

ton, serta nilai anggaran subsidi Rp. 1,3 trilyun, maka HET pupuk Urea disarankan

sebesar Rp. 1.240 per kg.

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan harga pupuk Urea, TSP dan KCl di pasar dunia, 2001-2004  (US$/ton)

Referensi

Dokumen terkait

pengalaman, perlu susunan cerita dari pengalaman tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan selama peneliti bertugas di kelas V di SD Negeri 001 Pagaran Tapah Darussalam ditemui

Dari hasil uji coaba lapangan pengembangan media audio visual menggunakan macromedia flash untuk siswa kelas V sekolah dasar pada mata pelajaran IPS diperoleh

Prosentase kepuasan pasien dinas terhadap layanan Rumah Sakit, rencana capaian 80% realisasi 75% sehingga capaian kinerja mencapai 94%, jika dibandingkan dengan

Pengontrolan running text menggunakan voice ini menggunakan jaringan Bluetooth untuk mengkomunikasikan perangkat android ke arduino, user hanya perlu membuka Aplikasi

Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui prosentase sumbangan pengaruh variabel independen (X1, X2,……Xn) secara

Dari hasil pengamatan, faktor penyebab utama kematian anak prasapih adalah kurangnya sifat keibuan, yang disusul dengan sebab lain yaitu lahir lemah, kanibalisme

Organisme yang disebut fungi bersifat heterotrof, dinding sel spora mengandung kitin, tidak berplastid, tidak berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof, umumnya memiliki