• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Limbah Budi Daya Jamur Tiram Unsur Hara Tanaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Limbah Budi Daya Jamur Tiram Unsur Hara Tanaman"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Budi Daya Jamur Tiram

Kebanyakan limbah-limbah organik dibuang sia-sia ke alam dan secara umum dibiarkan yang tentunya dapat menurunkan fungsi estetika lingkungan. Semakin meningkatnya budidaya jamur menyebabkan jumlah limbah jamur semakin tinggi. Memanfaatkan limbah jamur sebagai pupuk organik merupakan salah satu solusi pembuangan limbah yang tepat. Penambahan limbah organik pada lahan pertanian dapat meningkatkan kandungan nutrisi tanah sehingga membantu solusi pencemaran lingkungan (Plaza et al. 2004).

Komponen utama limbah budi daya jamur adalah bahan organik. Hal ini berkaitan dengan komponen isi media budi daya jamur yang mayoritasnya adalah serbuk gergajian kayu. Serbuk kayu yang digunakan sebagai bahan untuk media tanam jamur biasanya dicampur dengan bahan-bahan lain seperti bekatul atau dedak, kapur, gips, air bersih, sisa kapas, tepung jagung, tepung tapioka, dan TSP untuk melengkapi kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan bagi pertumbuhan jamur. Di antara bahan-bahan tersebut, hanya lima bahan yang umum digunakan yaitu : 1) serbuk kayu, nutrisi utama bagi pertumbuhan jamur karena mengandung glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati, 2) bekatul, kaya akan kandungan karbohidrat, karbon, dan vitamin B komplek yang bisa mempercepat pertumbuhan miselium dan mendorong perkembangan tubuh buah jamur, 3) kapur (CaCO3), berfungsi untuk mengontrol pH media tanam agar berada dalam kondisi normal, 4) gips (CaSO4), berfungsi untuk memperkokoh struktur media agar tidak mudah pecah, 5) air dengan kadar sebesar 50% - 65%.

Unsur Hara Tanaman

Kebutuhan tanaman akan unsur hara merupakan faktor penting yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan fungsi biologisnya, yaitu melakukan pertumbuhan dan reproduksi. Menurut Baker dan Pilbeam (2007), ada tiga kriteria unsur kimia dikatakan sebagai unsur hara esensial bagi tanaman : 1) berperan langsung dalam proses metabolisme. Artinya, unsur hara tersebut sangat diperlukan untuk melengkapi siklus hidupnya, 2) tidak ada unsur lain yang dapat

(2)

menggantikan kedudukannya. Jika tanaman mengalami defisiensi hanya dapat diperbaiki dengan unsur hara tersebut, 3) bersifat universal atau diperlukan oleh semua tanaman.

Unsur hara esensial dibagi menjadi dua kelompok, yaitu unsur esensial makro (macro element) dan unsur esensial mikro (micro element / trace element). Perbedaan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan konsentrasinya di dalam jaringan tanaman. Unsur hara makro adalah unsur yang dibutuhkan atau diakumulasi dalam jumlah yang tinggi (di atas 500 ppm atau 0,1% berat kering jaringan tanaman). Sedangkan hara mikro dibutuhkan dalam konsentrasi yang relatif rendah (kurang dari 50 ppm atau < 0,01% berat kering jaringan tanaman) (Baker & Pilbeam 2007). Unsur hara makro esensial meliputi nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan silikon (Si) yang masing-masing menyusun 0,1% bagian berat kering tanaman. Unsur hara mikro esensial meliputi boron (Bo), besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo), dan klorin (Cl), Natrium (Na), dan Nikel (Ni).

Tanaman menyerap setiap jenis unsur hara dalam bentuk ion anorganik yaitu kation (ion positif ) dan anion (ion negatif) yang terlarut di dalam tanah. Pada Tabel 1 disajikan bentuk-bentuk ion yang diserap oleh tanaman.

Tabel 1 Bentuk unsur hara yang dibutuhkan tanaman selain karbon, hidrogen, dan oksigen (Fitter dan Hay 2002)

Jenis unsur hara Simbol Bentuk yang diserap

Konsentrasi khusus dalam

jaringan(μg g-1 ) Nitrogen Phosphor Kalium Kalsium Magnesium Sulfur Mangan Boron Molybdenum Tembaga Seng Besi Nikel Klor Natrium Kobal Silikon N P K Ca Mg S Mn B Mo Cu Zn Fe Ni Cl Na Co Si NH4+ , NO3 HPO -42- , H2PO4 K -Ca + Mg 2+ SO 2+ 4 Mn 2-B(OH) 2+ 3 MoO4 -Cu 2-2+, Cu Zn 3+ Fe 2+ 2+, Fe Ni 3+ Cl 2+ Na - Co + Si(OH) 2+ 20.000 4 2.000 10.000 500 – 5.000 200 – 2.000 1.000 50 20 0,2 5 20 100 0,5 1.000 – 10.000 500 – 50. 000 100 1.000 – 10.000

(3)

Setiap unsur hara yang diserap tanaman dalam bentuk ion-ion, baik kation maupun anion memiliki fungsi fisiologis dan biokimia dalam mendukung terjadinya proses metabolisme pada tanaman. Klasifikasi unsur hara pada tanaman berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hubungan Pertumbuhan Tanaman dan Hara Mineral

Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses yang kompleks. Secara sederhana pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan sebagai suatu peningkatan yang sifatnya tidak dapat kembali seperti semula (irreversible) di dalam massa karena adanya pengembangan dan perluasan sel suatu organisme baik sebagai keseluruhan individu utuh ataupun sebagai bagian dari individu tersebut (Stren 2006). Pertumbuhan tanaman setidaknya menyangkut beberapa fase atau proses, di antaranya : 1) fase pembentukan sel, 2) fase perpanjangan dan pembesaran sel, 3) fase diferensiasi sel. Semua fase atau proses pertumbuhan tanaman tentu akan dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan. Faktor yang cukup mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman di antaranya adalah ketersediaan nutrisi atau unsur hara dan ketersedian air. Ketersedian unsur hara dapat dipenuhi dari kandungan alamiah tanah setempat atau dari hasil pemupukan.

Ketersedian hara tanah cukup penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal, sehingga kadar hara dalam tanah selayaknya diketahui agar dosis pemupukan yang tepat dapat ditentukan sesuai kebutuhan. Tingkat kesuburan tanah atau kandungan hara pada daerah sekitar perakaran tanaman dapat ditentukan melalui analisis sifat fisik dan kimia tanah. Namun demikian, analisis tanah saja tidak dapat menggambarkan seberapa banyak hara mineral yang dibutuhkan tanaman dan yang mampu diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, analisis jaringan tanaman juga diperlukan (Taiz & Zeiger 2002).

Analisis jaringan tanaman diperlukan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan atau hasil tanaman dengan konsentrasi hara mineral dalam jaringan tanaman. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara pertumbuhan atau hasil tanaman dengan konsentrasi hara dalam jaringan tanaman. Bila konsentrasi hara dalam jaringan rendah, maka pertumbuhan atau hasil tanaman juga rendah.

(4)

Peningkatan konsentrasi hara dalam jaringan tanaman pada zona defisiensi

(deficiency zone), secara langsung akan meningkatkan pertumbuhan atau hasil

tanaman. Jika ketersedian hara dalam jaringan tanaman terus meningkat melewati batas konsentrasi kritis (critical concentration), maka peningkatan ketersedian hara setelah batas konsentrasi kritis ini tidak selalu berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan atau hasil tanaman. Namun, pertumbuhan atau hasil tanaman akan konstan sampai pada batas maksimum penampungan konsentrasi hara dalam jaringan dan diakumulasi pada daerah yang dinamakan zona cukup (adequate zone).

Konsentrasi kritis merupakan batas transisi antara zona defisiensi dan zona

cukup (adequate zone), yang diartikan sebagai batas konsentrasi hara yang dapat memberikan pertumbuhan atau hasil tanaman yang optimal. Peningkatan konsentrasi hara yang terus melewati batas zona cukup menyebabkan tanaman mengalami keracunan hara sehingga pertumbuhan tanaman terganggu dan produktivitas tanaman juga menurun. Daerah setelah batas maksimum zona cukup dinamakan zona toksik (toxic zone) (Taiz & Zeiger 2002).

Gambar 1 Hubungan antara pertumbuhan atau hasil tanaman dengan konsentrasi hara dalam jaringan tanaman (Taiz & Zeiger 2002).

Ketersediaan Unsur Hara Bagi Tanaman

Ketersediaan unsur hara bagi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisik, kimia, dan biologi lingkungannya. Kondisi dari ketiga faktor tersebut saling berpengaruh dalam menentukan tingkat kesuburan tanah. Sifat fisik tanah ditentukan oleh beberapa hal, seperti tekstur dan struktur tanah, porositas, aerasi, dan temperatur tanah. Sifat kimia tanah dipengaruhi oleh pH

(5)

tanah. Sifat biologi tanah dipengaruhi oleh keberadaan mikrorganisme dalam tanah yang berperan dalam proses dekomposisi hara organik.

Perubahan unsur-unsur hara dalam tanah dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia sebagai hasil dari suatu reaksi dikontrol oleh pH (Plaster 2003). Selain itu, pH tanah juga bisa mempengaruhi aktivitas mikroba dalam tanah. Hubungan pH terhadap ketersediaan atau kelarutan unsur hara dalam tanah sehingga bisa diserap oleh tanaman ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Hubungan pH tanah terhadap ketersedian atau kelarutan unsur hara (Taiz & Zeiger 2002).

Upaya untuk meningkatkan pH rendah (asam) dapat dilakukan melalui pengapuran dan pemupukan yang mengandung sumber fosfor baik dari sumber anorganik maupun organik. Proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba dalam tanah akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam humat dan fulvat. Asam-asam organik tersebut akan membentuk khelat dengan kation-kation pengikat P, yaitu ion-ion penyebab kemasam tanah seperti Fe3+ dan Al3+ sehingga pH meningkat. Hasil khelasi tersebut akan menurunkan reaktivitas ion-ion

(6)

sehingga menyebabkan pelarutan fosfat menjadi lebih efektif (Han & Lee 2005). Proses dekomposisi bahan organik akan melepaskan sejumlah kation untuk mengendapkan Al dan Fe dengan membentuk Al(OH)2.H2PO4 dan FePO42H2O sehingga pH tanah meningkat, dan juga adanya substitusi Al dan Ca yang terkandung pada sumber pupuk fosfat mengendapkan Al dalam bentuk Al(OH)3 (Andayani & Hayat 2005).

Proses absorpsi kation merupakan hal penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah. Terserapnya kation-kation yang merupakan hara bagi tanaman disebabkan adanya muatan negatif pada permukaan koloid tanah. Kation yang telah terserap pada koloid tanah, kedudukannya dapat digantikan oleh kation lain melalui proses pertukaran kation (cation exchange) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kemampuan tanah untuk mengabsorpsi dan melakukan pertukaran kation disebut KTK (kapasitas tukar kation). Semakin tinggi nilai KTK tanah, maka tingkat kesuburan tanahnya makin tinggi pula (Taiz & Zeiger 2002).

Gambar 3 Pertukaran kation pada permukaan koloid tanah (Taiz & Zeiger 2002).

Adanya penambahan sejumlah kation ke dalam tanah seperti ion kalium (K+) melalui pemupukan KCL dapat menggantikan kedudukan ion Ca2+ pada permukaan koloid tanah. Akibatnya ion Ca2+ menjadi bentuk tersedia dan bisa diserap oleh akar tanaman. Penambahan ion H+ ke dalam tanah dapat terjadi melalui proses oksidasi antara CO2 hasil dekomposisi bahan organik dan H2O, dan juga pelepasan H+ hasil metabolik tanaman. Proses oksidasi akan melepaskan ion hidrogen (H+) dan asam karbonat (HCO3-). Ion H+ yang dilepaskan akan menggantikan kedudukan kation lain pada permukaan koloid tanah seperti Mg2+, Ca2+, K+, dan Mn2+ (Taiz & Zeiger 2002).

(7)

Pemupukan

Pemupukan merupakan upaya yang ditempuh untuk memperbaiki kesuburan tanah terutama dalam hal meningkatkan ketersedian hara, yaitu dengan jalan menambahkan atau memasukkan bahan (pupuk), baik anorganik maupun organik ke dalam tanah. Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman secara optimal. Namun, penambahan pupuk ini harus dalam keadaan yang seimbang karena kelebihan maupun kekurangan pupuk dapat mengganggu serapan hara dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Sistem pertanian yang intensif untuk mencapai hasil produksi yang tinggi menyebabkan kebutuhan pupuk semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu sebab ketergantungan atau tingginya konsumsi pupuk anorganik, khususnya pupuk N (urea), P (TSP atau SP-36), dan K (KCL). Penggunaan pupuk anorganik (pupuk kimia) dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka panjang telah menimbulkan dampak negatif seperti menurunnya kesuburan tanah, pencemaran lingkungan di sekitar daerah pertanian, dan rusaknya sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Penggunaan pupuk anorganik tersebut menyebabkan tanah menjadi padat, penimbunan fosfat, dan menurunnya aktivitas mikroba di dalam tanah akibat penurunan kadar bahan organik (Suriadikarta & Setyorini, 2006). Peningkatan produktivitas tanaman dengan menggunakan pupuk anorganik secara terus menerus bukan merupakan langkah yang bijaksana. Mengingat akhir-akhir ini, terjadi peningkatan tekanan konsumen yang menghendaki produk pertanian yang bebas residu pestisida dan pupuk anorganik agar produksi tersebut aman dikonsumsi dan terciptanya lingkungan hidup yang sehat.

Pupuk Organik

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan alami yang dapat diperbaharui, baik dari sisa-sisa tanaman atau hewan. Pupuk organik dapat berupa pupuk cair dan pupuk padat. Pupuk cair biasanya berupa air hasil penyaringan pupuk organik padat. Pupuk cair dimaksudkan agar penggunaannya lebih mudah, cepat diserap, tidak mengandung kotoran, dan sekaligus menjaga kelembaban tanah. Pupuk padat dapat berupa pupuk hijau, pupuk kandang, dan kompos. Pupuk organik bersifat bulky yaitu karena perlu diberikan dalam jumlah

(8)

yang banyak mengandung hara makro dan mikro yang jumlahnya relatif rendah (Suriadikarta & Setyorini 2006). Pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa, batang sorghum), serbuk gergaji, kotoran hewan atau pupuk kandang, limbah pasar, limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan limbah budi daya jamur. Karena bahan dasar pembuatan pupuk organik bervariasi, kualitas pupuk yang dihasilkan juga beragam sesuai dengan kualitas bahan asalnya.

Peranan Pupuk Organik

Penambahan pupuk organik pada lahan pertanian sangat penting karena dapat memperbaiki sifat fisik tanah (struktur dan tekstur tanah), sifat kimia tanah (pH, sumber ketersedian hara tanah), dan memperbaiki sifat biologi tanah. Bahan organik memperbaiki sifat fisik tanah dengan cara membuat tanah menjadi gembur sehingga aerasi menjadi lebih baik serta mudah ditembus perakaran tanaman. Sifat kimia tanah diperbaiki dengan meningkatnya kapasitas tukar kation dan ketersedian hara, sedangkan pengaruh bahan organik pada biologi tanah adalah menambah energi yang diperlukan bagi kehidupan mikroba (Suriadikarta & Setyorini 2006).

Penggunaan pupuk organik pada lahan vulkanik dapat meningkatkan ketersedian beberapa nutrisi, menjaga kestabilan kandungan nutrisi, meningkatkan kapasitas menahan air, meningkatkan stabilitas struktur tanah, dan meningkatkan pH tanah masam (Shiralipour et al. 2003). Menurut Pagliai et al. (2004), bahan organik pada lahan pertanian berperan mempertahankan kondisi nutrisi yang lebih baik (stabil), meningkatkan kapasitas penahan air, memperbaiki aerasi, dan berkontribusi terhadap peningkatan hasil produksi tanaman. Penambahan pupuk organik berupa lumpur tinja (sludge sewage) dapat meningkatkan total karbon organik sebesar 16,21 g/kg, vermikompos sebesar 12,37 g/kg, dan kompos limbah perkotaan (municipal waste compost) sebesar 11,59 g/kg dibandingkan total karbon organik pada lahan yang menggunakan pupuk kombinasi antara pupuk kimia dan organik. Selain itu, penambahan ketiga pupuk organik di atas (lumpur tinja, vermikompos, dan limbah perkotaan) dapat meningkatkan laju respirasi dari

(9)

mikroba tanah jika dibandingkan dengan pada lahan yang menggunakan pupuk kimia (Gilani & Bahmanyar 2008).

Penggunaan pupuk kandang yang diaplikasikan pada tanaman kedelai dan gandum berpengaruh nyata dalam meningkatkan hasil panen. Hasil panen relatif lebih baik dengan kombinasi antara pupuk P dan pupuk kandang dibandingkan dengan penggunaan pupuk tunggal (Reddy et al. 2000). Kombinasi pupuk NPK dan limbah pertanian (farm yard manure) juga menunjukkan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan karbon organik tanah dan pertumbuhan biomassa akar dibandingkan dengan penggunaan pupuk secara terpisah (Purakayastha et al.

2008; Mandal et al. 2009). Melati et al. (1991) melaporkan bahwa pupuk kandang (kotoran ayam) dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jumlah biji dan ukuran biji tanaman kedelai serta meningkatkan kadar P dalam daun dan pH tanah. Peningkatan hasil kedelai dengan penambahan bahan organik juga telah dilaporkan oleh Wakimoto (1989). Bertham (2002) juga melaporkan bahwa terjadi peningkatan pH tanah asam dan penurunan pH tanah alkali serta peningkatan hasil tanaman kedelai setelah penggunaan vermikompos sebagai pupuk organik. Peningkatan pH tanah akan diikuti dengan peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan P tersedia (Andayani & Hayat 2005). Penggunaan pupuk organik asal jerami pada tanah ultisol juga meningkatkan komponen pertumbuhan dan hasil kedelai (Bertham 2002). Penggunaan bahan organik asal gulma siam

(Chromolaena odorata) yang dikombinasikan dengan biopestisida pada tanaman

kedelai hitam berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, luas daun, dan produksi tanaman kedelai. Penggunaan bahan organik (dosis 10, 20, dan 30 ton/ha) cenderung menunjukkan hasil produksi yang baik pada penggunaan dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah (Kastono 2005).

Di samping memiliki berbagai keunggulan, pupuk organik juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah : 1) diperlukan dalam jumlah yang banyak, 2) hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat bervariasi, 3) memerlukan waktu dekomposisi yang relatif lebih lama, 4) penggunaan kompos atau bahan organik yang belum matang akan menganggu pertumbuhan tanaman.

(10)

Gambar

Tabel 1  Bentuk unsur hara yang dibutuhkan tanaman selain karbon, hidrogen, dan  oksigen (Fitter dan Hay  2002)
Gambar 1  Hubungan antara pertumbuhan atau hasil tanaman dengan konsentrasi  hara dalam jaringan tanaman (Taiz &amp; Zeiger 2002)
Gambar 2   Hubungan  pH tanah terhadap ketersedian atau kelarutan  unsur  hara  (Taiz &amp; Zeiger 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian bahan organik 15-20 ton ha -1 yang diberikan pada kondisi kelengasan tanah tergenang efektif untuk meningkatkan N- total, fosfor tersedia, kalium tersedia,

Dari tabel 4.4 di atas menunjukan perlakuan dosis 20 ton/ha mempunyai jumlah buah yang paling banyak, perbedaan dosis bahan organik yang ditambahkan kedalam tanah,

Dalam aktivator telah terkandung berbagai macam jenis mikroba baik bakteri maupun jamur yang dapat mendekomposisikan bahan organik, oleh sebab itu

Hasil produksi bahan kering limbah kedelai, berupa kulit polong kedelai dan ampas tahu masing-masing 1,75 ton/ha dan 0,44 ton/ha, dan memiliki daya dukung sebagai pakan sapi

Hasil penelitian Utina (2018) menyatakan bahwa perlakuan pupuk kompos berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai yang dimana penggunaan dosis 20

Dari hasil penelitian terdapat interaksi pemberian dosis bahan organik kotoran sapi 20 ton/ha dan pupuk NPK 375 kg/ha terhadap variabel pertumbuhan jumlah daun, jumlah

Hasil produksi bahan kering limbah kedelai, berupa kulit polong kedelai dan ampas tahu masing-masing 1,75 ton/ha dan 0,44 ton/ha, dan memiliki daya dukung sebagai pakan sapi

Dosis 25 ton ha-1 pada periode awal sampai 2 MST memberikan kenaikan pH paling tinggi dibandingkan dosis yang lain, namun pada 4- 6 MST dosis 20 ton ha-1 memberikan pengaruh lebih