• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada tiga sistem budi daya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada tiga sistem budi daya"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA

A. MUBARRAK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya. Dibimbing oleh DADANG, GEDE SUASTIKA dan NINA MARYANA.

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, yang terletak pada ketinggian ± 900 meter di atas permukaan laut, mulai bulan Maret 2005 hingga Maret 2006. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman kubis pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensiona dengan pola pertanaman monokultur dan tumpangsaril.

Percobaan dilakukan dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan yakni: (1) organik monokultur kubis, (2) organik tumpangsari kubis-tomat, (3) input rendah monokultur kubis, (4) input rendah tumpangsari kubis-tomat, (5) konvensional monokultur kubis dan (6) konvensional tumpangsari kubis-tomat. Pengamatan dilakukan seminggu sekali mulai umur 14 hari setelah tanam sampai 1 minggu sebelum panen dengan menetapkan 10 tanaman contoh secara sistematis. Parameter yang diamati antara lain populasi hama, tingkat parasitisasi, intensitas penyakit, luas serangan, tinggi tanaman, arthropoda tanah dan produksi tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan populasi hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana pada sistem budi daya pertanian organik dan input rendah relatif lebih rendah dibandingkan dengan konvensional. Perkembangan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. campestris pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensional berkembang dengan pola yang sama. Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiopora brassicae dipengaruhi oleh jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan. Aplikasi fungisida pada tanaman tomat pada musim hujan berpengaruh terhadap penekanan serangan Phytophthora infestans. Secara umum tingkat parasitisasi P. xylostella oleh Diadegma semiclausum pada pola pertanaman tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur. Produksi kubis tertinggi terjadi pada perlakuan input rendah. Pada musim kemarau, perlakuan organik monokultur dan tumpangsari serta input rendah monokultur lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada musim hujan hanya perlakuan input rendah tumpangsari saja yang menguntungkan. Sistem pertanian organik dan input rendah pada pertanaman kubis, layak untuk diusahakan dalam rangka pertanian berkelanjutan dengan mengatur waktu tanam dan mempertimbangkan kesesuaian iklim.

(3)

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA

A. MUBARRAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Tesis : Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya

Nama : A. Mubarrak Nomor Pokok : A451040031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas pada tanggal 9 April 1968. Penulis merupakan putra keenam dari sepuluh bersaudara dari pasangan Basyuni Yusuf (alm) dengan Hj. Sur’ah. Tahun 1986 penulis lulus SPP-SPMA Kalimantan Barat, kemudian tahun 1987 menjadi pegawai negeri sipil pada Unit Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Barat sampai sekarang.

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Kubis pada Tiga Sistem Budi Daya, yang dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor dari bulan Maret 2005 sampai dengan Maret 2006.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadang, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. dan Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda, istri dan anak-anak atas do’a dan kesabarannya serta rekan-rekan yang membantu penelitian di lapangan maupun di laboratorium. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Desa Suka Galih, Kecamatan Mega Mendung serta semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang berkompeten.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….... xi

DAFTAR GAMBAR ……….... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….... xiii

PENDAHULUAN ……….... 1

Latar Belakang ……….... 1

Tujuan Penelitian ……….... 2

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 3

Pertanian Organik ………... 3

Pertanian Input Rendah (Low External Input Agriculture – LEIA) ... 5

Pertanian Konvensional (High External Input Agriculture–HEIA) ... 6

Kubis ( Brasicca oleracea var. capitata) ……….... 7

Hama Kubis ………. 8

Penyakit Kubis ………. 8

BAHAN DAN METODE ……… 11

Tempat dan Waktu ………. 11

Persiapan Lahan ………. 11

Pemupukan ……….... 11

Penanaman ………... 12

Pengamatan Hama dan Penyakit ……….... 12

Pengendalian Hama dan Penyakit ………... 13

Perangkap Jebakan (Pitfall Trap) ………... 14

Parasitisasi ………... 14

Mikroorganisme ………... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 16

Keadaan Lokasi Penelitian ..………... 16

Hama Kubis ……….... 17

Plutella xylostella ………. 17

Crocidolomia pavonana ………... 20

Gryllotalpa sp. ………... 21

(8)

Penyakit Kubis ………. 24

Busuk Hitam ……… 24

Akar Gada ……….... 26

Hama Tomat ………. 27

Penyakit Tomat ……… 28

Geminivirus ………...……….. 28

Bercak Daun ………. 30

Busuk Daun ……….. 31

Tinggi Tanaman Tomat ……… 34

Arthropoda Tanah ………... 35

Mikroorganisme ……….. 37

Produksi ……….. 39

Kubis ………... 39

Tomat ………... 41

Analisis Usaha Tani ……… 41

SIMPULAN DAN SARAN ………. 43

Simpulan ……….. 43

Saran ………... 43

DAFTAR PUSTAKA ……….. 44

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dosis pupuk pada setiap perlakuan ……….. 11

2 Kategori penilaian kerusakan tanaman ……… 13

3 Intensitas kerusakan kubis oleh Gryllotalpa sp. ……….. 21

4 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella ……….……. 23

5 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum dan Apanteles sp. pada MH ……….………. 24

6 Rata-rata kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis ..………….. 26

7 Keadaan iklim wilayah pengamatan Stasiun Citeko bulan April–Juni dan September-Desember 2005 ……….. 33

8 Komposisi populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada pertanaman kubis berdasarkan peranannya ………... 35

9 Jumlah ordo, famili dan populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada berbagai perlakuan pada tanaman kubis ……….. 36

10 Mikroorganisme hasil isolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat ………..……… 37

11 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat pada tiga media tumbuh ………... 38

12 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil diisolasi dari daun tomat pada tiga media tumbuh ………... 39

13 Kandungan unsur hara pada pupuk kandang dan pupuk sintetik ……... 40

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora

pada tanaman kubis ………... 9

2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari ………... 12

3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK ……. 17

4 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MH ……. 18

5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK ………... 20

6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH …………. 21

7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp. ……… 22

8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis pada MK (a) dan MH (b) ……….………. 25

9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar ………. 26

10 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MK ……….. 27

11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH ……….. 28

12 Gejala serangan virus gemini pada tanaman tomat ……….... 28

13 Rata-rata luas seranga n penyakit geminivirus pada tanaman tomat pada MK (a) dan MH (b) ………... 29

14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat ……….... 30

15 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada tanaman tomat pada MH ………... 30

16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat ………... 32

17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MK ………... 32

18 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MH ……… 33

19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK ...………... 34

20 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH ...………... 35

21 Rata-rata produksi tanaman kubis (ha) pada MK dan MH .……….. 39

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MK …… 49 2 Rata-rata populasi P. xylostella pada pertanaman kubis pada MH …… 49 3 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MK …… 49 4 Rata-rata populasi C. pavonana pada pertanaman kubis pada MH …… 50 5 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis

pada MK ……… ……….... 50 6 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pada pertanaman kubis

pada MH ………... 50 7 Rata-rata populasi B. tabaci pada pertanaman tomat ……….. 51 8 Rata-rata kejadian penyakit geminivirus pada pertanaman tomat ……... 51 9 Rata-rata intensitas serangan A. solani pada pertanaman tomat

pada MH ………... 51 10 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada pertanaman tomat ……. 52 11 Rata-rata tinggi tanaman tomat ………...…….. 52 12 Penggolongan arthropoda tanah hasil pitfall trap berdasarkan

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran yang cukup dikenal di

Indonesia, yang dapat dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun olahan. Di Indonesia tanaman kubis merupakan sayuran semusim yang produksinya

menempati urutan teratas (1.432.814 ton) dibandingkan dengan produksi sayuran semusim lainnya (BPS 2004).

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman kubis di lapangan. Kehilangan hasil yang tinggi pada tanaman sayuran akibat serangan hama dan patogen mendorong petani untuk menggunakan pestisida secara rutin dengan dosis dan frekwensi yang tinggi (Sastrosiswojo dan Suhardi 1988). Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekanomi tinggi seperti kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Rauf et al. (2003) melaporkan bahwa petani kubis di Jawa Barat menggunakan 35 jenis insektisida untuk pengendalian hama tanaman kubis, yang diaplikasikan rata-rata lebih dari 10 kali setiap musim. Petani-petani sayuran mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida untuk satu kali aplikasi (Dadang et al. 2004). Penggunaan pestisida yang tinggi, selain meningkatkan biaya produksi juga berpengaruh buruk terhadap tanaman (keracuna n tanaman dan residu), manusia (keracunan) dan lingkungan biotik (resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami) maupun abiotik (pencemaran). Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa penggunaan insektisida yang intensif pada tanaman kubis, ternyata mempengaruhi aktifitas, perkembangan dan peranan parasitoid Diadegma semiclausum Hullen (Hymenoptera: Ichneumonidae). Menurut Flint dan van den Bosch (1981) bahwa peningkatan penggunaan pestisida modern mengakibatkan resurjensi hama, ledakan hama sekunder dan resistensi hama. Salah satu upaya untuk mengatasi pengaruh negatif penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, diantaranya dengan penerapan pertanian berkelanjutan.

(13)

melestarikan sumberdaya alam (Technical Advisory Committee of the CGIAR 1988 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya input rendah (low external input agriculture-LEIA) dan pertanian organik (organic farming) menjadi pilihan utama dalam pertanian berkelanjutan. Sistem budi daya input rendah mengutamakan penggunaan input lokal yakni dari lahan dan lingkungan sekitarnya serta meminimalkan penggunaan bahan luar seperti pestisida dan pupuk sintetik. Sistem budi daya organik mendorong kesehatan tanah dan tanaman, melalui praktik seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes et al. 1999). Sistem budi daya ini menjadi suatu hal yang menarik untuk ditawarkan kepada petani kubis karena sistem budi daya kubis tersebut tidak merusak lingkungan dan baik untuk kesehatan manusia.

Tujuan Penelitian

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Organik

Sistem pertanian organik merupakan salah satu cara untuk pertanian berkelanjutan. Pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal yang sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, terutama di Daratan Cina. Pertanian organik adalah suatu sistem pertanian ya ng mendorong kesehatan tanah dan tanaman, melalui praktek seperti pendaur-ulangan unsur hara dari bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat dan menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA 1990 dalam Reijntjes et al. 1999).

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan hukum pengembalian (law of return). Hukum pengembalian yang dimaksud adalah suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu, limbah pertanaman maupun kotoran ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makan tanaman. Sutanto (2002) menyatakan bahwa filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah, yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Von Uexkull (1984) memberikan istilah "membangun kesuburan tanah". Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah. Selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Unsur hara didaur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman.

(15)

sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan, d) meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah, e) menggunakan sumber-sumber yang dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang terorganisir secara lokal, f) mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen-elemen organik dan bahan nutrisi, g) memperlakukan ternak secara alami, h) mengurangi dan mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari pertanian, i) memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem pertanian, j) memberikan pendapatan yang memadai dan memuaskan petani, k) mempertimbangkan pengaruh sosial dan ekologis yang lebih luas dari sistem pertanian.

Pertanian organik adalah suatu bentuk pertanian yang tidak menggunakan input sintetik seperti pestisida dan pupuk, sehingga dapat menjaga keberlanjutan sistem dalam waktu yang tidak terhingga. Namun demikian, pertanian organik bukan sekedar pertanian tanpa bahan kimia sintetik, pertanian organik menggunakan teknik-teknik seperti rotasi tanaman, jarak tanam yang mencukupi antar tanaman, penggabungan bahan organik ke dalam tanah dan penggunaan pengendalian biologi untuk menaikkan pertumbuhan tanaman yang optimum dan meminimumkan masalah hama (Reijntjes et al. 1999). Pemakaian pestisida botani dipertimbangkan sebagai upaya pengendalian dan digunakan dengan hemat (Stoll 1995 dalam Sutanto 2002) .

(16)

menandai area penghasil organik, serta membantu melindungi area tersebut dari bahan-bahan terlarang. Zona penya ngga ditanami dengan tanaman pemecah angin (wind breaker) atau tanaman yang bukan untuk dipanen.

Penerapan pengelolaan pertanian organik akan menghasilkan produk yang sangat berkualitas dan bernilai tinggi. Meningkatnya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya kesehatan, menjadikan permintaan pangan organik selalu meningkat. Kecenderungan pasar pangan organik dunia tahun 1998 sebesar US$ 13 milyar, meningkat lebih dari dua kali pada tahun 2003 yaitu sebesar US$ 27 milyar. Tahun 2000-2004 perdagangan produk pertanian organik dunia telah mencapai nilai rata-rata US$ 17,5 milyar dan diperkirakan pada tahun 2010 pangsa pasar dunia akan mencapai US$ 100 milyar ( WTO dalam Damardjati 2005).

Pertanian Input Rendah (Low External Input Agriculture – LEIA) Pertanian input rendahmengutamakan penggunaan input lokal, yakni dari lahan dan lingkungan sekitarnya, sekecil mungkin memanfaatkan pasokan yang diperoleh melalui pembelian (Reijntjes et al. 1999). Pertanian input rendah tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bahan luar, seperti pupuk dan pestisida sintetik. Penggunaan input luar tersebut digunakan secara tepat dan hati-hati untuk melengkapi kekurangan input lokal. Penggunaan pestisida pada produk pertanian input rendah diatur berdasarkan pemahaman dan ketepatan dalam aplikasinya, sehingga beberapa perusahan yang menggunakan cara tersebut, menyebutkan produk pertanian mereka aman (safe agricultural products).

LEISA (low external input sustainable agriculture) adalah pertanian yang mengoptimalkan pema nfaatan sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan lokal) dan manusia (tenaga, pengetahuan dan keterampilan) yang secara ekonomis layak, mantap secara ekologis disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial. Pemanfaatan input luar tidak dikesampingkan namun dipandang sebagai pelengkap pemanfaatkan sumber daya lokal dan harus memenuhi kriteria diatas (Reijntjes et al. 1999).

(17)

dipertegas kembali dengan Inpres No. 03/1986. Peraturan Pemerintah tentang pelarangan peredaran 57 jenis pestisida dan pelatihan serta penyuluhan kepada pelaku langsung PHT di lapangan merupakan bentuk operasional aturan tersebut.

Pertanian Konvensional (High External Input Agriculture–HEIA) Pertanian konvensional dicirikan dengan tingginya input luar buatan. Input luar buatan yang dimaksud adalah input ya ng membutuhkan sejumlah besar bahan bakar minyak untuk memproduksi dan mendistribusikannya, misalnya pupuk sistetik, pestisida sintetik (Reijntjes et al. 1999). Dalam pertanian konvensional pupuk sintetik diaplikasikan secara cepat, langsung dalam bentuk segera diserap tanaman, takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hal-hal tersebut menjadikan sesuatu tawaran yang sangat menarik untuk diadopsi oleh petani (Reijntjes et al. 1999). Begitu juga penggunaan bahan pengendalian seperti pestisida sintetik, yang diketahui mempunyai kelebihan, seperti praktis dalam penyiapan dan penggunaannya serta reaksi terhadap sasaran cepat. Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekanomi tinggi seperti kubis, wortel, tomat dan cabai, seakan-akan menjadi suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Keuntungan penggunaan pestisida antara lain efektif, praktis, mudah didapat, relatif murah dan menguntungkan (Sastrosiswojo dan Suhardi 1988). Oka (1995) menyatakan kecenderungan penggunaan pestisida juga berdasarkan alasan-alasan bahwa pestisida cepat menurunkan populasi hama, dapat dipergunakan setiap saat dan dimana saja. Walaupun demikian, penggunaan pestisida pada tanaman perlu dipertimbangkan dengan bijaksana.

Jika mengaplikasikan pestisida, dianjurkan secara tepat (5 tepat) yaitu: tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu, tepat cara, tepat dosis (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Aplikasi pestisida pada sistem budi daya pertanian konvensional pada tanaman sayuran yang dilakukan sekarang ini cukup mengkhawatirkan. Dadang et al. (2004) melaporkan bahwa petani-petani sayur mempunyai kebiasaan mencampur beberapa jenis pestisida untuk satu kali aplikasi.

(18)

van den Bosch 1981; Untung 1992). Oka (1995) menyatakan bahwa pengalaman Indonesia menggunakan pestisida dalam program intensifikasi padi, sayuran dataran rendah dan dataran tinggi serta perkebunan menimbulkan akibat-akibat samping yaitu: 1) hama sasaran berkembang menjadi tahan (resisten) terhadap pestisida, 2) timbulnya fenomena resurjensi, 3) matinya musuh alami dan organisme bukan sasaran (belut, kodok, cacing, serangga penyerbuk), 4) timbulnya hama sekunder, 5) residu pada tanaman, 6) mencemari lingkungan (tanah, air dan udara), 7) pestisida tertentu dapat menimbulkan “pembesaran biologik” artinya, konsentrasi pestisida tersebut dalam mata rantai makanan berikutnya semakin besar, seperti DDT, dan 8) pestisida menimbulkan keracunan pada manusia. Purwanta dan Rauf (2000) menyatakan bahwa deltametrin memberi pengaruh yang paling buruk terhadap laba- laba dan serangga predator sedangkan frofenofos terhadap parasitoid. Ankersmit (1953) dalam Oka (1995) melaporkan sejak tahun 1953, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) berkembang menjadi resisten terhadap DDT. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 90-an hama P. xylostella juga resisten terhadap berbagai jenis insektisida yang sering diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Selanjutnya juga dinyatakan Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) = Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) strain Lembang telah menunjukkan daya tahan yang sangat tinggi terhadap berbagai formulasi insektisida.

Kubis ( Brasicca oleracea var. capitata)

(19)

Hama Kubis

Serangan hama dan patogen merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman kubis di lapangan. P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis dataran tinggi di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi dan banyak daerah lainnya di Indonesia sejak tahun 1916 (Vos 1953 dalam Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Kalshoven (1981) menyatakan bahwa hama utama pada tanaman kubis adalah ulat daun kubis P. xylostella dan ulat krop C. pavonana Pengendalian hama tersebut pada sistem pertanian konvensional dilakukan dengan menggunakan pestisida sintetik dari berbagai merek dagang. Pengendalian hama pada sistem pertanian organik dilakukan secara mekanik dan menggunakan insektisida botani secara efisien dengan mempertimbangkan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi P. xylostella adalah 0,5 larva per tanaman dan C. pavonana adalah 0,3 kelompok telur per tanaman (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Dadang (2004) menyatakan bahwa ekstrak Swietenia mahogani (Meliaceae) baik aplikasi tunggal maupun dicampur dengan ekstrak Aglaia odorata (Meliaceae) mampu menekan populasi P. xylostella dan C. pavonana di lapangan. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa perlakuan ekstrak tersebut mampu menjaga aktivitas musuh alami (parasitoid) dan relatif tidak mengganggu keragaman arthropoda tanah. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa musuh alami hama kubis yang potensial untuk mengendalikan larva P. xylostella diantaranya adalah D. semiclausum dan Apanteles sp. (Hymenoptera: Braconidae).

Penyakit Kubis

Penyakit penting pada tanaman kubis yang mempunyai nilai ekonomi adalah penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris pv. campestris) Pamm, busuk lunak (Erwinia carotovora) Jones, akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) dan bercak daun (Alternaria spp.) serta diperkecambahan sering terinfeksi rebah kecambah (Rhizoctania solani Kuhn.) (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1994).

(20)

tua atau hitam. Penyaluran air pada bagian yang bergejala terhambat sehingga daun membusuk dan berwarna hitam. Serangan patogen terjadi mulai dari persemaian kemudian di lapangan, hingga pada pasca panen. Bakteri masuk ke dalam tanaman kubis melalui pori air (hidatoda) pada ujung-ujung berkas pembuluh di tepi daun (Semangun 2000). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa bakteri mempertahankan diri dari musim ke musim pada biji kubis, dalam tanah, sisa tanaman sakit dan inang lain.

Penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh E. carotovora biasanya merusak krop pada pasca panen. Gejala awal serangan E. carotovora berupa bercak berair kemudian bercak membesar dan berwarna cokelat kehitaman, serangan lanjut pada bagian yang terinfeksi menjadi lunak (Lampiran 1b), berlendir serta mengeluarkan bau khas (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1994). Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau tetapi dengan adanya bakteri sekunder jaringan tersebut menjadi berbau khas (Machmud 1984 dalam Semangun 2000).

(a) (b)

Gambar 1 Gejala serangan (a) X. campestris dan (b) E. carotovora pada tanaman kubis.

(21)

Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Alternaria spp. dicirikan dengan timbulnya bercak-bercak bulat konsentris berwarna hitam (A. brassicola Schw.) dan kelabu (A. brassicae Berk.). Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui udara dan benih (Semangun 2000). Bercak bulat tersebut merupakan kumpulan spora patogen. Serangan bercak daun pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau dan bila kelembaban tinggi cendawan terlihat sebagai bulu-bulu halus kebiruan di tengah bercak (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002).

(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor yang terletak pada ketinggian ± 900 meter di atas permukaan laut, Laboratorium Biosistematika Serangga serta Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Agustus 2005 (musim kemarau/MK) dan September 2005 hingga Maret 2006 (musim hujan/MH).

Persiapan Lahan dan Perlakuan

Lahan diolah dengan cangkul dan dibagi menjadi 6 petak perlakuan yang masing- masing berukuran 7 m x 6 m. Perlakuan terdiri dari (1) organik monokultur kubis (OM), (2) organik tumpangsari kubis-tomat (OT), (3) input rendah monokultur kubis (LM), (4) input rendah tumpangsari kubis-tomat (LT), (5) konvensional monokultur kubis (KM) dan (6) konvensional tumpangsari kubis-tomat (KT). Pada petak perlakuan dibuat bedengan yang terdiri dari 6 bedengan. Setiap perlakuan diulang 4 kali.

Pemupukan

Pupuk kandang yang digunakan pada MK, dipersiapkan 1 bulan sebelum tanam yang terdiri dari kotoran kambing, kotoran ayam petelur dan sekam dengan perbandinga n (3:6:1) sedangkan pada MH digunakan kompos kotoran kuda. Pupuk kandang diaplikasikan langsung pada lubang tanam seminggu sebelum tanam. Pupuk sintetik untuk tanaman kubis petak konvensional dan input rendah diberikan 3 kali yakni saat tanam, 28 hari setelah tanam (hst) dan 56 hst (Tabel 1).

(23)

Penanaman

Benih kubis yang digunakan adalah varietas Grand 1l untuk MK dan MH, sedangkan benih tomat adalah varietas Marta untuk MK dan varietas Arthaloka untuk MH. Persemaian benih untuk perlakuan konvensional dibuat terpisah karena ada aplikasi insektisida. Bibit kubis dan tomat ditanam 4 minggu setelah semai. Tomat ditanam lebih dahulu yakni 4 minggu sebelum kubis ditanam. Kubis ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm (Gambar 2a) dan pada petak tumpangsari, tomat ditanam satu baris di bagian tengah bedengan (diantara baris tanaman kubis) dengan jarak tanam 40 cm (Gambar 2b).

(a) (b)

Gambar 2 Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari.

Pengamatan Hama dan Penyakit

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan mulai tanaman berumur 14 hst sampai menjelang panen dengan interval seminggu sekali. Jumlah tanaman contoh yaitu 10 tanaman per petak ulangan. Teknik penentuan tanaman contoh ditetapkan secara sistematis. Parameter yang diamati adalah populasi hama, intensitas serangan, luas serangan, tingkat parasitisasi, tinggi tanaman, arthropoda tanah, mikroorganisme dan produksi kubis dan tomat. Penilaian intensitas serangan, kejadian penyakit dan luas serangan oleh hama dan patogen dinyatakan dalam persen.

(24)

geminivirus pada tanaman tomat (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002) dihitung menggunakan rumus berikut

P = intensitas/ luas serangan n = jumlah tanaman terserang N = jumlah tanaman yang diamati

Intensitas serangan X. campestris pada tanaman kubis dan alternaria solani Sor. serta Phytophthora infestans Mont. pada tanaman tomat (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002) dihitung menggunakan rumus berikut

I = intensitas serangan, Z = kategori nilai kerusakan tertinggi

ni = jumlah tanaman yang mempunyai kategori nilai kerusakan ke- i

vi = kategori nilai kerusakan ke-i (Tabel 2)

N = jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati Tabel 2 Kategori penilaian kerusakan tanaman

Kategori Kerusakan pada tanaman (x) 0 tidak ada serangan x = 0% 1 kerusakan tanaman 0% < x = 15% 2 kerusakan tanama n 15% < x = 30% 3

4 5 6

kerusakan tanaman 30% < x = 45% kerusakan tanaman 45% < x = 60% kerusakan tanaman 60% < x = 75% kerusakan tanaman 75% < x = 100%

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama pada perlakuan organik dilakukan secara mekanik (pengambilan kelompok telur dan larva) serta menggunakan insektisida botani dengan mempertimbangkan AE. Pengendalian pada perlakuan input rendah menggunakan pestisida sintetik dengan mempertimbangkan ambang ekonomi,

(ni.vi)

I = x 100% N.Z

(25)

sedangkan pada perlakuan konvensional, menggunakan pestisida sintetik secara berjadwal yaitu 1-2 kali seminggu. Insektisida yang digunakan berbahan aktif profenofos (Curacron 500 EC, b.a 50%), deltametrin (Decis 2,5 EC, b.a 2,5%), fungisida berbahan aktif propineb (Antracol 70 WP, b.a 70%) dan mankozeb (Dithane M–45 WP, b.a 45%).

Sanitasi gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 26 dan 54 hst. Penyiraman dilakukan bila diperlukan. Pemangkasan tomat dilakukan dengan memotong tunas, cabang sakit dan cabang tidak produktif. Pemeliharaan kubis dilakukan melalui pembuangan daun tua dan sakit.

Perangkap Jebakan (Pitfall Trap)

Arthropoda tanah diamati dengan memasang pitfall trap yang diletakkan selama 48 jam sebanyak 4 buah/ulangan. Pemasangan pitfall trap dilakukan mulai 28 hst sebanyak 5 kali dengan interval seminggu sekali. Pitfall trap yang digunakan berupa wadah plastik berdiameter 6,5 cm dan tinggi 10 cm diisi dengan larutan formalin 2% sebanyak 30 ml. Arthropoda yang diperoleh diidentifikasi di Laboratorium Biosistematika Serangga dengan mengacu pada Borror et al. (1996) dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman (1999).

Parasitisasi

Pengamatan larva hama terparasit dilakukan sebanyak 5 kali, dimulai 28 hst dengan interval seminggu sekali. Larva hama diambil secara acak dari setiap petak ulangan maksimum 20 ekor dan bahan tanaman contoh sebagai bahan makanan. Larva dipelihara dalam kotak plastik (10 cm x 9 cm x 4,5 cm) di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga sampai terlihat larva terparasit atau muncul parasitoid. Persentase larva terparasit dihitung dengan rumus:

S larva terparasit

(26)

Mikroorganisme

Pengamatan mikroorganisme dilakukan dengan mengambil tanah di sekitar perakaran tanaman kubis dan tomat (rhizosfer) dan daun tomat (filosfer) secara acak. Contoh tanah (5 g) dan daun (1 g) dari petak perlakuan organik, input rendah dan konvensional dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril, kemudian diaduk selama 15 menit. Suspensi tanah dan daun kemudian diencerkan sampai 10-4. Dari masing- masing pengenceran diambil 0,5 ml dan disebar pada media king’s B dan martin agar. Setelah diinkubasikan pada suhu kamar selama 24-48 jam koloni mikroorganisme yang tumbuh dihitung, dikarakterisasi bentuk, warna dan tepian koloninya.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Lokasi Penelitian

Desa Sukagalih merupakan salah satu desa penghasil sayuran di Kecamatan Mega Mendung. Desa Sukagalih terletak pada ketinggian ± 900-1500 meter dpl dengan topografi berbukit-bukit, curah hujan diatas 150 mm/bulan, tanah latosol coklat dan bertekstur gembur sesuai untuk budi daya sayuran. Keadaan ini dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya petani untuk mengusahakan berbagai tanaman sayuran. Jenis tanaman sayuran yang banyak diusahakan diantaranya adalah kubis, tomat, wortel, cabai, caisin, kacang panjang, ketimun dan buncis. Selain tanaman sayuran, juga ditanam tanaman pangan antara lain padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Tanaman buah-buahan yang cukup luas dibudidayakan adalah pepaya. Hasil pertanian tersebut umumnya dijual kepada pedagang pengumpul di desa, namun terdapat juga yang dijual langsung ke konsumen.

Sistem budi daya tanaman sayuran umumnya masih dilakukan secara konvensional baik secara monokultur maupun tumpangsari. Di Desa Sukagalih terdapat beberapa petani yang telah melaksanakan sistem budi daya sayuran organik. Luas lahan budi daya sayuran organik masih relatif sempit.

Hama yang sering ditemukan menyerang tanaman kubis di Desa Sukagalih diantaranya adalah P. xylostella, C. pavonana dan P. vittata, sedangkan

penyakitnya adalah yang disebabkan oleh X. campestris, P. brassicae, E. carotovora dan Alternaria spp. Praktik pengendalian hama dan penyakit yang

(28)

Hama Kubis

Hama utama yang ditemukan pada pertanaman kubis yaitu P. xylostella dan C. pavonana. Hama lainnya yang juga ditemukan yaitu Gryllotalpa sp., Agrotis ipsilon Hufn. (Lepidoptera: Noctuidae), P. vittata dan Spodoptera spp. (Lepidoptera: Noctuidae).

Plutella xylostella

Populasi larva P. xylostella pada MK tampak di atas AE pada umur 14 hst pada perlakuan OM (0,9 larva /tanaman), OT (1,8 larva/tanaman), KM (1,2 larva/tanaman) dan KT (1,7 larva /tanaman). Pada perlakuan input rendah populasi larva di bawah AE yaitu LM (0,2 larva/tanaman) dan LT (0,1 larva /tanaman) (Gambar 3 dan La mpiran 1). Hal ini disebabkan sejak ditanam sampai 14 hst belum dilakukan pengendalian. Setelah dilakukan pengendalian secara mekanik pada perlakuan organik, populasi larva P. xylostella tampak menurun hingga di bawah AE. Ini menunjukkan bahwa pengendalian secara mekanik dapat memberikan hasil pengendalian yang cukup efektif. Pengendalian secara mekanik selain dapat menekan populasi hama juga berpengaruh baik terhadap lingkungan dan produksi kubis karena tidak terjadi pencemaran. Sementara itu padaperlakua n konvensional yang menggunakan pestisida sintetik, populasi larva P. xylostella

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0

14 21 28 35 42 49 56 63 70

OM OT LM

LT KM KT

Gambar 3 Rata-rata populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis pada MK. Umur tanaman (hst)

(29)

masih di atas AE yakni pada perlakuan KM (0,6 larva/tanaman) pada umur 21 hst dan KT (0,7 larva /tanaman) pada umur 42 hst. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh larva P. xylostella tersebut resisten terhadap insektisida yang digunakan. Sastrosiswojo (1992) menyatakan bahwa awal tahun 90-an hama P. xylostella menunjukkan resistensi terhadap berbagai jenis insektisida yang sering diaplikasikan untuk pengendalian hama tersebut. Kemungkinan hal lain yang dapat terjadi akibat dari penggunaan insektisida berjadwal adalah matinya musuh alami. Pengaruh buruk penggunaan pestisida diantaranya adalah resistensi dan matinya musuh alami (Flint dan van den Bosch 1981; Untung 1992; Oka 1995). Populasi larva P. xylostella pada MH di atas AE terjadi pada perlakuan OM (1,2 larva /tanaman) dan KT (0,8 larva /tanaman) pada umur 40 hst, sedangkan pada perlakuan input rendah populasi larva masih di bawah AE (Gambar 4 dan Lampiran 2). Pada perlakuan organik selain pengendalian secara mekanik juga dikendalikan dengan insektisida botani (mengandung ekstrak S. mahogani dan A. odorata). Tindakan ini dapat membatasi perkembangan larva.

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4

13 19 26 33 40 47 61 68 74

OM OT LM

LT KM KT

Populasi P. xylostella pada perlakuan konvensional di atas AE walaupun dilakukan aplikasi insektisida secara berjadwal baik pada MH maupun MK. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan insektisida kurang dapat menekan perkembangan larva P. xylostella secara permanen. Hal ini kemungkinan karena larva P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan yakni

Umur tanaman (hst)

Populasi (larva/tanaman)

(30)

berbahan aktif deltametrin dan profenofos. Terjadinya resistensi ini kemungkinan disebabkan aplikasi insektisida tersebut oleh petani kubis di lokasi penelitian kurang bijaksana (dari musim ke musim dengan dosis dan frekwensi tinggi). Merujuk hasil survei Tutu (2002) bahwa 68% petani kubis di Kecamatan Cisarua dan Mega Mendung, melakukan penyemprotan berjadwal. Kasus resistensi larva P. xylostella terhadap bahan aktif ya ng sama dan bahan aktif yang lainnya telah banyak dilaporkan di beberapa tempat seperti: bahan aktif sipermetrin, fenvalerat dan deltametrin di India (Saxena et al. 1989); bahan aktif fenvalerat dan deltametrin di Korea (Kim et al. 1990). Di Indonesia telah dilaporkan, adanya kasus resistensi P. xylostella terhadap DDT (Ankersmit 1953 dalam Oka 1995); P. xylostella strain Lembang, Pacet, Kopeng dan Tawangmangu tesisten terhadap deltametrin, sipermetrin dan fenvalerat (Adiputra 1984); P. xylostella strain Lembang resisten terhadap deltametrin dan asefat (Sastrosiswojo 1992).

Pada perlakuan input rendah, selama perkembangan tanaman kubis baik pada MK maupun MH, populasi larva P. xylostella tidak melebihi AE, sehingga tidak perlu aplikasi insektisida untuk pengendalian. Akan tetapi aplikasi insektisida terpaksa dilakukan untuk mengendalikan larva C. pavonana pada MK, saat tanaman berumur 35 hst dan pada MH saat tanaman berumur 61 dan 68 hst. Dengan mengurangi aplikasi insektisida terlihat bahwa populasi larva P. xylostella dapat dipertahankan pada batas tidak merugikan. Hal ini kemungkinan juga

disebabkan oleh peran musuh alami dalam menekan perkembangan larva P. xylostella. Di Jawa Barat D. semiclausum dan Apanteles sp. dapat menekan

populasi larva P. xylostella dengan tingkat parasitisasi 79%-88% (Kartosuwondo 1994).

(31)

Crocidolomia pavonana

Hama perusak krop C. pavonana ditemukan pada MK sejak tanaman berumur 35 hst dan pada MH sejak tanaman berumur 26 hst. Populasi C. pavonana pada MK tertinggi terjadi pada perlakuan KT (3,7 larva/tanaman), KM (2,3 larva/tanaman), LM (1,8 larva/tanaman) dan LT (1,3 larva /tanaman), sedangkan pada perlakuan OM dan OT 0,1 larva /tanaman (Gambar 5 dan Lampiran 3). Hal ini menunjukkan aplikasi insektisida berjadwal pada perlakuan konvensional kurang efektif. Keadaan larva C. pavonana yang berada di bawah daun dan selanjutnya masuk ke dalam krop, menyulitkan insektisida kontak untuk mengenai sasaran. Hal ini kemungkinan membuat populasi larva C. pavonana dapat berkembang lebih tinggi pada perlakuan konvensional dibandingkan dengan perlakuan organik. Pada perlakuan organik dengan pengendalian secara mekanik, mencari larva C. pavonana relatif lebih mudah walaupun berada di bawah daun dan cara tersebut lebih aman bagi lingkungan.

0

Populasi larva C. pavonana tertinggi pada setiap perlakuan pada MH berturut-turut adalah sebagai berikut LM (6,4 larva /tanaman), KM (3,8 larva/tanaman), LT (3,2 larva /tanaman), OM (3,1 larva/tanaman), OT (3 larva/tanaman) dan KT 1,4 larva /tanaman (Gambar 6 dan Lampiran 4). Secara umum populasi larva C. pavonana lebih tinggi pada perlakuan konvensional dan input rendah dengan aplikasi insektisida dibandingkan dengan perlakuan organik.

Gambar 5 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MK.

Populasi (la

rva/tanaman)

(32)

0 1 2 3 4 5 6 7

26 33 40 47 61 68 74

OM OT LM

LT KM KT

Keadaan ini menunjukkan, penggunan insektisida untuk pengendalian larva C. pavonana kurang efektif. Hal ini kemungkinan disebabkan larva C. pavonana resisten terhadap insektisida yang digunakan. Menurut Untung (1992) salah satu penyebab terjadinya resistensi pada serangga adalah penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit. Keberadaan telur dan larva C. pavonana yang tersembunyi sulit bagi insektisida dan musuh alami untuk mencapainya hal ini dapat diatasi dengan pengendalian mekanik.

Gryllotalpa sp.

Hama perusak akar Gryllotalpa sp. ditemukan pada MK dan MH (Tabel 3). Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah akar muda terpotong hingga tanaman bertahan hidup pada akar tua, tanaman layu dan krop susah terbentuk (Gambar 7). Gryllotalpa sp. merupakan serangga penghuni tanah yang lembab, mempunyai tungkai depan yang lebar berbentuk sekop (Borror et al. 1996). Tungkai depan

Tabel 3 Intensitas kerusakan tanaman kubis oleh Gryllotalpa sp. Intensitas (%)

Pertanaman

OM OT LM LT KM KT

MK 20,87 28,75 4,82 14,82 11,43 15,35

MH 4,72 4,45 4,89 3,90 5,42 5,09

Gambar 6 Rata-rata populasi C. pavonana pada tanaman kubis pada MH.

Populasi (larva/tanaman)

(33)

Gambar 7 Gejala kerusakan akar kubis oleh serangan Gryllotalpa sp.

berfungsi sebagai pencabik akar-akar muda untuk dimakan, kerusakan ini akan mengakibatkan tanaman tidak bisa membentuk krop. Kerusakan pada setiap perlakuan bervariasi. Pada MK intensitas kerusakan pada perlakuan organik lebih tinggi dibandingkan perlakuan konvensional dan input rendah sedangkan pada MH hampir tidak berbeda. Pada MK intensitas kerusakan oleh Gryllotalpa sp. pada pertanaman tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Hal ini kemungkinan disebabkan pada pertanaman tumpangsari terdapat inang utama yakni tanaman tomat dan tanah lebih gembur. CABI (2003) menyebutkan bahwa G. hexadactyla Perty merupakan hama perusak akar pada tanaman tomat, jagung dan kedele.

Parasitisasi

Parasitoid yang muncul dari larva P. xylostella pada MK adalah D. semiclausum sedangkan pada MH adalah D. semiclausum dan Apanteles sp.

(34)

Tabel 4 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella (larva) = Jumlah larva sampel dari 4 ulangan

Kartosuwondo (1994) menyatakan bahwa tumbuhan Brassicaceae non budi daya yang berbunga, bila ditanam dengan jarak 1 meter di pinggiran petak tanaman kubis, mampu meningkatkan persentase parasitisasi D. semiclausum pada larva

P. xylostella 3 kali lebih tinggi dari pada petakan tanpa Brassicaceae non budi daya.

Secara umum rata-rata parasitisasi yang dihasilkan cukup tinggi, bahkan pada minggu- minggu tertentu parasitisasi larva P. xylostella bisa mencapai 100%. Hal ini menunjukkan bahwa D. semiclausum dan Apanteles sp. mempunyai kemampuan untuk menekan perkembangan larva P. xylostella.

(35)

Tabel 5 Rata-rata tingkat parasitisasi larva P. xylostella oleh D. semiclausum dan Apanteles sp. pada MH

Pengamatan ke- Perlakuan

1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%)

D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp D. s A. sp OM 24,4 39,9 77,8 0 84,6 3,7 91,7 0 83,3 0 OT 50,0 25,0 100 0 84,8 7,5 100 0 0 0 LM 33,3 44,4 59,7 0 68,5 3,7 61,9 0 100 0 LT 55,5 0 75,5 6,7 69,9 13,3 44,2 0 0 0 KM 100 0 58,3 0 76,0 9,8 46,2 0 52,4 0 KT 0 100 56,1 8,3 81,0 5,6 63,2 0 100 0 D. s = D. semiclausum, A. sp = Apanteles sp.

Selama penelitian, tidak diperoleh parasitoid dari larva C. pavonana yang dipelihara. Hal ini kemungkinan disebabkan musuh alami dari C. pavonana seperti Eriborus argenteopilosus Cemeron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Sturmia inconspicuoides Bar. (Diptera: Tachinidae) tidak ada di lahan penelitian. Kemungkinan lain karena parasitoid sulit menemukan larva yang berada di bawah daun atau di dalam krop. Menurut Othman (1982), kedua parasitoid tersebut tingkat parasitisasinya rendah.

Penyakit Kubis

Busuk Hitam

(36)

Secara umum intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada perlakuan monokultur lebih tinggi dari perlakuan tumpangsari. Hal ini kemungkinan karena kondisi iklim mikro pada perlakuan monokultur lebih hangat. Tanaman tomat pada perlakuan tumpangsari membuat iklim mikro lebih sejuk dibandingkan dengan perlakuan monokultur. Selain itu tanaman tomat juga sebagai penghalang gesekan antara daun kubis dan penghalang percikan air langsung ke permukaan tanah atau ke tanaman kubis. Penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh X. campestris pv. campestris sering berjangkit pada tanaman kubis dengan kondisi lingkungan hangat dan kelengasan udara tinggi (Parmadi dan Sastrosiswojo 1993).

Gambar 8 Rata-rata intensitas serangan X. campestris pv. campestris pada tanaman kubis pada MK (a) dan MH (b).

(37)

Akar Gada

Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae ditemukan tertinggi pada pertanaman kubis yang dibudidayakan secara organik. Gejala yang terlihat adalah tanaman kubis layu pada waktu siang hari bila panas terik dan kembali normal pada pagi hari, akar yang dihasilkan sedikit dan membengkak (Gambar 9a dan 9b). Bila akar dicabut terlihat membengkak, berumbi menyerupai gada (Direktorat Perlindungan Hortikultura 2002). Semangun (2000) menyatakan bahwa akar-akar yang terinfeksi P. brassicae sel-selnya membelah dan membesar hingga terbentuk seperti gada. Selanjutnya dinyatakan bahwa rusaknya susunan jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkut air dan hara.

(a) (b)

Gambar 9 Gejala penyakit akar gada (a) layu (b) gada pada akar

Timbulnya serangan diduga karena pupuk kandang yang digunakan telah mengandung inokulum P. brassicae. Pupuk kandang yang telah terinvestasi P. brassicae dapat menyebarkan penyakit akar gada (Suryaningsih 1981; Parmadi dan Sastrosiswojo 1993). Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae berkorelasi positif dengan jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan. Semakin banyak jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan semakin tinggi kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis (Tabel 6 dan Tabel 1).

Tabel 6 Rata-rata kejadian penyakit akar gada pada tanaman kubis Rata-rata perlakuan (%)

Pertanaman

OM OT LM LT KM KT

MK 21,8 23,2 9,3 14,8 6,8 7,5

(38)

Kejadian penyakit akar gada pada MK (menggunakan pupuk kandang) lebih tinggi dibandingkan dengan MH (menggunakan kompos). Hal ini kemungkinan kompos yang digunakan pada MH mengandung mikroorganisme yang dapat menekan perkembangan P. brassicae. Kompos mengandung berbagai macam mikroorganisme dari golongan bakteri, aktinomisetes dan cendawan (Wibisono 2004). Kemungkinan hal lain yang menyebabkan tingginya kejadian penyakit akar gada pada MK dibandingkan dengan MH adalah faktor cuaca.

Hama Tomat

Selama penelitian, hama yang ditemukan pada pertanaman tomat adalah Epilachna varivestis Muls. (Coleoptera: Coccinellidae), Liriomyza bryoniae Kalt. (Diptera: Agromyzidae), Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) dan Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptea: Noctuidae). Kerusakan yang ditimbulkan pada MK oleh masing- masing hama yang ditemukan sangat kecil. Kelimpahan populasi B. tabaci menjadi pengamatan khusus sehubungan dengan kamampuannya sebagai vektor geminivirus. Meningkatnya populasi B. tabaci pada MK seiring dengan bertambahnya umur tanaman sedangkan jumlah populasi pada ketiga perlakuan tidak terlalu berbeda (Gambar 10 dan Lampiran 7).

Hama E. varivestis dan L. bryoniae pada MH menyerang pada awal pertanaman dan tingkat kerusakannya sangat rendah. Perkembangan populasi

0

(39)

B. tabaci terlihat lebih stabil pada MH (Gambar 11). Hal ini kemungkinan karena seringnya turun hujan yang memperlambat perkembangan dan penyebaran B. tabaci. Populasi pada perlakuan non organik lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan organik baik MK maupun MH. Hal ini kemungkinan disebabkan B. tabaci lebih menyenangi tanaman yang rimbun dan subur yakni pada perlakuan non organik. Selain itu aplikasi insektisida kontak kurang efektif karena biasanya B. tabaci berlindung pada permukaan bawah daun dan sulit dicapai insektisida.

Penyakit Tomat Geminivirus

Tanaman tomat yang diserang oleh virus gemini menunjukkan gejala daun mosaik, menguning dan keriting (Lampiran 12). Gejala yang sama juga dilaporkan oleh Kato et al. (1998) dan Aidawati et al. (2002). Kejadian penyakit geminivirus

0

5 10 15 20 25

23 30 38 44 51 58 65 70

Organik Input rendah Konvensional

Umur tanaman (hst)

Gambar 11 Rata-rata populasi B. tabaci pada tanaman tomat pada MH.

Populasi (

indivi

du

/tanaman)

(40)

pada tanaman tomat pada setiap perlakuan tidak terlalu berbeda. Pada MK umur 49 hst, kejadian penyakit geminivirus hampir mencapai 100% pada semua perlakuan (Gambar 13a dan Lampiran 8). Pada MH umur 70 hst, kejadian penyakit geminivirus tidak jauh berbeda yakni pada perlakuan input rendah 62,5%, organik 58% dan konvensional 53,2% (Gambar 13b dan Lampiran 8).

Kejadian penyakit geminivirus yang tidak terlalu jauh berbeda pada ketiga perlakuan, kemungkinan karena sumber inokulum virus gemini dan B. tabaci yang infektif telah berada pada semua perlakuan. Untuk menyebarkan virus gemini hanya memerlukan jumlah vektor yang sedikit. Satu individu B. tabaci yang infektif sudah dapat menularkan virus (Mehta et al. 1994) dan penularan semakin efektif seiring dengan meningkatnya jumlah B. tabaci (Aidawati et al. 2002).

0 Gambar 13 Rata-rata luas serangan penyakit geminivirus pada tanaman tomat pada

(41)

Aplikasi insektisida pada perlakuan konvensional dan seringnya turun hujan pada MH hanya mampu memperlambat perkembangan dan penyebaran populasi B. tabaci. Pada lahan non organik yang lebih rimbun, peluang kejadian penyakit akan lebih besar karena aktifitas hidup B. tabaci cenderung pada kondisi lahan tersebut. Sudiono (2001) menyatakan bahwa penularan penyakit geminivirus pada tanaman inang melalui serangga vektor (B. tabaci) menunjukkan masa inkubasi antara 15-29 hari setelah inokulasi dan kejadian penyakit antara 20-100%.

Bercak Daun

Penyakit bercak daun pada tanaman tomat yang disebabkan oleh A. solani menunjukkan gejala bercak bulat atau bersudut, coklat tua sampai hitam dan terdapat jalur klorotik (Gambar 14). Pada MK ditemukan menyerang tanaman tomat hanya pada awal pertumbuhan dengan intensitas serangan rendah (< 5%), namun pada MH intensitas serangan jauh lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh cuaca pada MH yang cocok untuk perkembangan A. solani. Semangun (2000) menyatakan bahwa A. solani membentuk banyak

Gambar 14 Gejala serangan A. solani pada tanaman tomat.

(42)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

23 30 38 44 51 58 65 70 77

Umur tanaman (hst)

Intensitas serangan (%)

Organik Input rendah Konvensional

rentan pada fase pemasakan, terhadap bercak daun (early blight) dan busuk daun (late blight). Intensitas serangan pada ketiga perlakuan sampai umur tanaman 58 hst tidak terlalu jauh berbeda. Intensitas serangan menurun setelah umur tanaman 51 hst disebabkan adanya tindakan sanitasi yakni membuang bagian tanaman yang sakit pada semua perlakuan. Bila dibandingkan dengan perlakuan lain, pada perlakuan organik intensitas serangan cenderung menurun terus setelah tanaman berumur 51 hst. Hal ini disebabkan oleh bagian tanaman (relung) yang sebelumnya menjadi tempat berkembang A. solani didominasi oleh perkembangan P. infestans. Pada perlakuan non organik, setelah menurun pada umur 58 hst intensitas serangan meningkat sampai umur 70 hst yang kemudian menurun kembali. Hal ini menunjukkan aplikasi fungisida kurang mempengaruhi penekanan serangan A. solani. Dengan kondisi cuaca dan inang yang sama terlihat dominasi relung oleh P. infestans lebih cepat dibandingkan dengan A. solani.

Busuk Daun

(43)

(a) (b)

Gambar 16 Gejala serangan P. infestans pada (a) daun dan (b) buah tomat.

meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 17 dan Lampiran 10). Intensitas serangan P. infestans pada MK tidak terlalu berbeda antara perlakuan. Intensitas tertinggi pada setiap perlakuan sebagai berikut organik (82,1%), input rendah (76,5%) dan konvensional (75,7%). Pada kondisi ini, tanaman tomat masih dapat berproduksi karena P. infestans menyerang sebagian besar pada daun sedangkan serangan pada buah masih sedikit.

Serangan P. infestans pada MH mulai tampak pada umur 51 hst dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 18 dan Lampiran 10). Pada umur 70 hst, intensitas serangan P. infestans pada perlakuan organik (60,2%) sangat tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah (9%) dan konvensional (5,4%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

14 21 28 35 42 49 56 63 70

Organik Input Rendah Komvensional

Umur tanaman (hst)

Gambar 17 Rata-rata intensitas serangan P. infestans pada tanaman tomat pada MK.

Intensitas serangan

(

%

(44)

MH memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan P. infestans. Serangan P. infestans pada perlakuan organik mengakibatkan banyak tanaman tomat mati pada umur 73 hst. Kondisi curah hujan dan kelembaban yang tinggi (Tabel 7) memacu perkembangan P. infestans. Selanjutnya serangan pada perlakuan organik diperparah karena posisi petak organik yang kurang terkena sinar matahari (terlindung oleh pohon bambu). Menurut ramalan Agrios (1997) bahwa apabila suhu tetap dingin (10oC-24oC) kelembaban diatas 75%, minimal selama 48 jam maka akan terjadi serangan late blight 2-3 minggu kemudian. Tabel 7 Keadaan iklim wilayah pengamatan Stasiun Citeko bulan April–Juni dan

September–Desember 2005

Bulan Curah hujan Kelembaban nisbi (%) Suhu (oC)* Penyinaran (jam)*

Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, * rata-rata 0

(45)

Selanjutnya dinyatakan jika dalam periode tersebut terjadi hujan, embun dan kelembaban nisbi mendekati jenuh selama beberapa jam maka akan terjadi epidemi late blight. Crosier (1934) dalam Semangun (2000) menyatakan bahwa cendawan hanya membentuk sporangium bila kelembaban udara lebih dari 91% dan paling baik pada 100% dengan suhu 18o–22oC. Lebih lanjut dinyatakan bahwa busuk daun tomat merupakan masalah berat di dataran tinggi hanya pada musim hujan karena perkembangan P. infestans memerlukan kelembaban nisbi tinggi dan suhu rendah.

Tinggi Tanaman Tomat

Rata-rata tinggi tanaman tomat antara perlakuan baik pada MK maupun MH tidak terlalu jauh berbeda. Pada MK tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan konvensional yaitu 136,6 cm, organik 132,7 cm dan input rendah 126,6 cm (Gambar 19 dan Lampiran 11). Hal ini tampaknya disebabkan pada semua perlakuan tanaman tomat terserang penyakit (geminivirus dan busuk daun) yang dapat mengha mbat pertumbuhan tanaman.

0

Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH sejak awal pertumbuhan sampai dengan umur 58 hst, pada perlakuan organik dan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah (Gambar 20 dan Lampiran 11). Pada umur 70 hst, tinggi tanaman tomat non organik lebih tinggi dibandingkan organik yakni pada perlakuan konvensional 109,4 cm dan input rendah 102,9 cm sementara organik hanya 98,2 cm. Hal ini disebabkan aplikasi pupuk anorganik Gambar 19 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MK.

Umur tanaman (hst)

Tinggi tanaman

(cm

(46)

0

dengan hara makro tinggi memberikan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan kompos yang mengandung hara makro rendah. Selanjutnya pada perlakuan organik intensitas serangan P. infestans lebih tinggi dibandingkan perlakuan non organik yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman tomat.

Arthropoda Tanah

Total populasi arthropoda tanah yang diperoleh pada MK lebih banyak dari pada MH (Tabel 8). Hal ini disebabkan pada MH arthropoda tanah kurang aktif Tabel 8 Komposisi populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada pertanaman

kubis berdasarkan peranannya Hama Musuh Pop = populasi (individu), n = total hasil pitfall trap

Gambar 20 Rata-rata tinggi tanaman tomat pada MH.

Tinggi

tanaman

(cm)

(47)

dan banyak yang mati. Aplikasi bahan organik menjadikan tanah lebih gembur dan lembab. Kondisi tersebut dapat meningkatkankan populasi arthropoda tanah yang penting seperti ordo Collembola. Komposisi arthropoda tanah pada semua perlakuan dominan dihuni oleh ordo Collembola (5 famili) yang berperan sebagai pengurai dan ordo Hymenoptera (famili Formicidae) yang berperan sebagai musuh alami (Lampiran 12). Famili Formicidae (kelompok semut) sering digunakan sebagai bioindikator kesehatan ekosistem pertanian (Samways 1995).

Pada MK jumlah ordo dan famili arthropoda tanah lebih beragam pada pertanaman tumpangsari dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa arthropoda tanah lebih menyenangi kondisi lahan dengan beragam tanaman dan mempunyai kelembaban cukup.

Secara umum total populasi arthropoda tanah pada perlakuan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan input rendah dan organik baik pada MK maupun MH (Tabel 9). Keadaan populasi arthropoda tanah kemungkinan

Tabel 9 Jumlah ordo, famili dan populasi arthropoda tanah hasil pitfall trap pada berbagai perlakuan pada tanaman kubis

Perlakuan Penggolongan

OM OT LM LT KM KT

Pertanam MK

Ordo 12 12 12 13 10 10

Famili 34 34 32 35 31 31

Populasi * 16.643 20.796 15.757 31.887 21.447 32.608 Pertanam MK

Ordo 9 12 10 12 10 13

Famili 33 34 30 32 36 32

Populasi * 19.271 20.409 15.838 20.552 36.129 14.078 * = individu

(48)

(1995) menyatakan bahwa koridor perpindahan dapat berfungsi sebagai penghubung yang membantu perpindahan atau pemencaran serangga dari suatu lahan ke lahan yang lainnya. Jalan merupakan koridor penghambat perpindahan dan pergerakan spesies tertentu dalam melintas lanskap (Forman dan Godron 1986).

Mikroorganisme

Mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Mikroorganisme hasil isolasi dari tanah perakaran kubis dan tomat serta daun tomat

Kode Jenis koloni A

Pseudomonas kelompok fluorescens Warna putih, pinggir bergelombang Warna put ih, pinggir berambut Warna putih, bulat kecil

Warna putih, bentuk tidak teratur Warna putih, transparan, kecil

Warna putih, bentuk tidak teratur, tepi koloni berambut Warna kuning muda, bulat

Warna putih, bulat besar

Warna kuning, bentuk tidak teratur

Warna kuning, permukaan koloni berkerut-kerut Warna putih, berambut panjang

Warna putih, transparan besar Warna putih, mengkerut

Warna putih, transparan konsentris Cendawan, putih mengkerut ke atas Warna merah, permukaan atas kuning Cendawan, warna merah mengkerut ke atas Cendawan, warna cokelat mengkerut ke atas Warna merah, bulat, pinggir berwarna putih Warna merah, bulat, atas berwarna putih

Cendawan, warna hijau, seperti Aspergillus sp.

(49)

Tabel 11 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil

konvensional. Mikroorganisme yang diisolasi tersebut diantaranya ada yang dapat tumbuh pada dua media (king’s B dan triptic soy agar). Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh dari ketiga media sangat bervariasi. Pseudomonas kelompok fluorescens (A) merupakan bakteri yang bermanfaat sebagai agens biokontrol, ditemukan hanya pada perakaran tanah perlakuan organik dan input rendah. Hal ini menguntungkan sekali dalam upaya pengendalian ha yati. Beberapa isolat Pseudomonas kelompok fluorescens sudah banyak diketahui potensinya sebagai agens biokontrol (Lindow et al. 1996)

(50)

Tabel 12 Total koloni dan jumlah jenis mikroorganisme (MO) yang berhasil

Produksi kubis pada perlakuan non organik lebih tinggi dari pada perlakuan organik, baik secara monokultur maupun tumpangsari (Gambar 21). Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya ketersediaan pupuk baik kuantitas maupun kualitas pada perlakuan organik. Pada perlakuan non organik, aplikasi pupuk sintetik dilakukan secara bertahap sebagai penyedia hara makro tinggi yang siap

(51)

diserap sepanjang pertumbuhan tanaman. Pada perlakuan organik, kandungan hara makro pada pupuk kandang rendah (Tabel 13) dan pemupukan dilakukan hanya sekali. Dibandingkan dengan pupuk sintetik, pupuk kandang merupakan pupuk dengan reaksi yang lambat, akan tetapi tanah yang diberi pupuk kandang dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang lebih baik (Simatupang 1992). Selama perkembangan tanaman, pupuk kandang mengalami dekomposisi dan mungkin terjadi pula percucian hara, sehingga pada saat tanaman membutuhkan hara ditanah kurang tersedia. Mahimairaja et al. (1995) menyatakan bahwa kehilangan N terbesar pada pupuk kandang adalah melalui denitrifikasi dan penguapan amonia. Produksi kubis pada perlakuan organik lebih rendah dibandingkan dengan non organik, juga disebabkan tingginya intensitas penyakit akar gada dan hama Gryllotalpa sp.

Tabel 13 Kandungan unsur hara pada pupuk kandang dan pupuk sintetik Unsur hara (%) Sumber: * Laboratorium Kimia, Balai Penelitian Tanah Bogor

** Program Nasional PHT (1999)

Produksi kubis pada perlakuan input rendah lebih tinggi dari perlakuan konvensional baik pada MK maupun MH. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman pada perlakuan input rendah dengan pupuk setengah dosis dari perlakuan konvensional serta pengendalian kimia memperhatikan AE mampu membuat tanaman kubis berproduksi dengan baik.

(52)

tumpang sari juga mempunyai kelemahan antara lain terjadinya kompetisi penggunaan hara, air dan cahaya.

Tomat

Produksi tomat pada MK, perlakuan organik (26,3 ku/ha) hampir sama dengan perlakuan input rendah (27,5 ku/ha) tetapi lebih lebih rendah dibandingkan dengan produksi tomat perlakuan konvensional (51,4 ku/ha) (Gambar 22). Produksi tomat pada MH, perlakuan konvensional (76,5 ku/ha) lebih rendah dari perlakuan input rendah (87,7 ku/ha) tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi perlakuan organik (3 ku/ha). Hal ini disebabkan tanaman tomat pada perlakuan organik terserang P. infestans dengan intensitas tinggi bahkan patogen tersebut menyebabkan banyak kematian tanaman tomat pada umur 73 hst.

0

Hasil perhitungan analisis usaha tani yakni perbandingan antara pendapatan dan biaya (R/C rasio) pada MK menunjukkan bahwa perlakuan OM, OT dan LM lebih efisien dari ketiga perlakuan lainnya (Tabel 14). Pada MH analisis menunjukkan bahwa perlakuan LT saja yang menguntungkan karena produksi kubis dan tomat cukup berimbang dibandingkan dengan kelima perlakuan lainnya. Perlakuan konvensional pada MK dan MH mengalami kerugian, sedangkan perlakuan organik pada MK walaupun produksinya rendah tetapi menguntungkan karena harga jual produk 3 kali lebih tinggi dari produk non organik. Pertanian organik juga me mberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

Gambar 22 Rata-rata produksi tanaman tomat (ha) pada MK dan MH

P

roduksi (ku/ha)

(53)

Tabel 14 Analisis usaha tani tanaman kubis monokultur dan tumpangsari dengan

LT 16.233.500 6.962.400 2.750.000 16.233.500 -6.521.100 0,60

KM 12.205.000 12.205.000 - 12.205.000 -1.030.600 0,92

KT 16.649.000 2.702.400 5.140.000 16.649.000 -8.806.600 0,47

Pertanaman MH

KT 19.394.000 3.377.000 11.470.500 14.847.500 -4.456.500 0,77

Untuk menekan biaya sarana produksi (pupuk kandang dan kompos) pada pertanian organik, petani dapat membuat atau mengusahakan sendiri sarana tersebut. Selain itu petani dapat mengupayakan bahan yang dipergunakan untuk membuat pupuk organik tersebut lebih terjamin kualitasnya. Pupuk organik yang mempunyai hara standar (Sutanto 2002) dan aman dari patogen berbahaya merupakan langkah awal dalam pengendalian hama dan penyakit.

(54)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perkembangan populasi hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana pada sistem budi daya pertanian organik dan input rendah relatif lebih rendah dibandingkan dengan konvensional.

Perkembangan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. campestris pada sistem budi daya pertanian organik, input rendah dan konvensional berkembang dengan pola yang sama. Kejadian penyakit akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiopora brassicae dipengaruhi oleh jumlah pupuk kandang yang diaplikasikan.

Secara umum tingkat parasitisasi Plutella xylostella oleh D. semiclausum pada pola pertanaman tumpangsari tanaman kubis-tomat lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur tanaman kubis.

Sistem budi daya pertanian input rendah dan organik pada tanaman kubis, layak untuk dikembangkan dalam rangka pertanian berkelanjutan dengan mengatur waktu tanam, mempelajari dan mempertimbangkan kesesuaian iklim.

Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra IMG. 1984. Status resistensi Plutella xylostella Linn. dan parasitoid Diadegma eucerophaga Horstm. terhadap beberapa macam insektisida [tesis]. Yokyakarta: Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth edition. London. Academic Press. Aidawati N, Hidayat SH. Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an

Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol. J. 18:231-236. Baharjah J.S, Suardi D, Las I (1993). Hubungan Iklim dengan Pertumbuhan

Kedelai Di dalam: Somaatmadja S. editor. Tumpangsari Kedele. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor 87-102. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Survei Pertanian 2004. Produksi Tanaman

Sayuran dan Buah-buahan. Jakarta . BPS.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Partosoedjono S, penerjemah; Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.

[CABI] Centre for Agriculture and Biosciences International. 2003. Crop Protection ed. [CD- ROM]. London. CABI.

Dadang. 2004. Beberapa ekstrak tumbuhan sebagai agens pengendali serangga hama pada tanaman kubis-kubisan. Procceding Simposium Nasional; Pertanian Organik: Keterpaduan Teknik Pertanian Tradisional dan Inovatif. Bogor, 30 November 2004. Bogor: The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences (ISAAS), Indonesia Chapter bekerjasama dengan Fakultas Pertanian IPB dan Asia Network of Organic Recycling (ANOR). hlm 34-40.

Dadang, Suastika G, Priyambodo S, Tondok ET. 2004. Survey on Fungicide Use by Potato and Tomato Farmers in Garut, West Java. Report. Cooperation between Dept. Plant Pests and Diseases, IPB with PT Du Pont Agricultural Products Indonesia.

Damardjati DS. 2005. Kebijakan operasional pemerintah dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia. Workshop dan Kongres Nasional II Maporina. Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: Masyarakat Pertanian Organik Indonesia.

Gambar

Gambar 1  Gejala serangan (a) X. campestris  dan (b) E. carotovora pada  tanaman                   kubis
Tabel 1  Dosis pupuk  pada setiap perlakuan
Gambar 2  Tanaman kubis pada petak (a) monokultur dan (b) tumpangsari.
Tabel 2  Kategori penilaian kerusakan tanaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya hal ini tidak dilakukan oleh petani mengingat serangan penyakit akar gada yang menyerang komoditas kubis kol menunjukkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan

Namun, seperti beberapa jenis sayuran pada umumnya, tanaman kubis memiliki sifat mudah rusak dan tidak dapat disimpan pada jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan oleh

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan tanaman tumpangsari terbaik yang dapat mengurangi populasi hama utama pada kubis bunga organik, peningkatan

Pakar Hama dan Penyakit Tanaman Rempah, Obat dan Aromatik Berbasis Web, yang dapat memudahkan petani dalam mengakses informasi untuk mendeteksi hama dan penyakit

Penyakit yang ditemukan di lapang yaitu penyakit busuk pangkal yang disebabkan oleh cendawan Thielaviopsis paradoxa dan penyakit layu nanas yang disebabkan oleh virus

Hama dan penyakit yang sering menimbulkan kerugian pada perkebunan karet di Provinsi Sumatera Utara adalah rayap, jamur akar putih (JAP), jamur upas dan

Skripsi berjudul “Pengendalian Hama pada Tanaman Kubis dengan Sistem Tanam Tumpangsari” telah diuji dan disahkan oleh Program Studi Agroteknologi Fakultas

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan tanaman tumpangsari terbaik yang dapat mengurangi populasi hama utama pada kubis bunga organik, peningkatan