Contributed by Administrator Tuesday, 26 January 2010
Bisnis Indonesia, 26 Januari 2010
Pemberian fasilitas pajak ekspor merupakan unfair trade
Implementasi
Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) tahap II menghadirkan serangkaian kecemasan di kalangan pengusaha manufaktur di Indonesia, mengingat bea masuk 6.065 pos tarif dari 12 sektor manufaktur resmi dihapuskan mulai 1 Januari 2010.
Para pendukung
sistem ekonomi terbuka umumnya yakin liberalisasi perdagangan dapat menghasilkan keuntungan ekonomi nasional. Sebaliknya, mereka yang menentang sistem perdagangan bebas pesimistis mengenai kesanggupan dunia usaha di Indonesia memanfaatkan liberalisasi perdagangan ini.
Mereka menilai komitmen Pemerintah Indonesia,
khususnya Kementerian Perdagangan, yang terlalu kuat terhadap liberalisasi pasar akan membuat industri lokal terpinggirkan dari pasar domestiknya sendiri yang bisa berefek lanjutan berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan ribu pekerja. Struktur industri nasional dinilai masih sangat rapuh menghadapi pasar bebas, terutama bersaing denga produk China yang harganya murah.
Peneliti
Institute for Global Justice Daniel C. Chandra menjelaskan hasil
perdagangan bebas hanya melahirkan kemenangan bagi yang kuat dan kekalahan bagi yang lemah.
Pasar domestik yang
menjadi tumpuan industri lokal akan tergerus. Pelaksanaan Normal Track 1 (NT 1) diperkirakan akan memicu peningkatan impor yang semakin deras dibandingkan dengan ekspor produk manufaktur ke China.
"Konsekuensinya, defisit perdagangan Indonesia terhadap China pada tahun-tahun berikutnya berpotensi kian membesar," jelasnya.
Pertarungan
besar antara Asean (khususnya Indonesia) versus China di bidang ekonomi dinilainya semakin menunjukkan ketidakseimbangan. Bagi Indonesia, implementasi ACFTA tahap I dalam program Panen Awal (Early Harvest Program) sejak 1 Januari 2004, terbukti meningkatkan impor produk pertanian dari China. "PDB sektor riil juga menunjukkan penurunan. Beberapa provinsi pun hanya mengecap sedikit keuntungan," kata Daniel.
Tak berbeda
Keadaan
ini diperkirakan tak jauh berbeda dengan implementasi ACFTA tahap II. Kondisi mutakhir memperlihatkan Pemerintah China masih agresif memberikan export VAT rebate (subsidi pajak ekspor) kepada hasil produknya secara masif. Peraturan terbaru soal ini bahkan kembali dikeluarkan pada 15 Desember 2009.
Padahal,
China telah resmi menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada pertengahan November 2001. Konsekuensi menjalin kerja sama melalui sistem liberalisasi pasar global ini seharusnya mendorong China
menghapus habis seluruh kebijakan subsidi yang dilarang keras WTO.
Namun,
China yang sering diidentikkan dengan Naga, terus nekat memberi subsidi karena AS pun memberi subsidi yang begitu besar terutama kepada sektor pertaniannya. Nilai subsidi itu berlipat-lipat dibandingkan dengan APBN Indonesia. Itulah sebabnya, China bersikeras tetap memberikan berbagai subsidi kepada industrinya.
Saat ini, terdapat
ribuan pos tarif produk industri China masih mendapatkan fasilitas pajak ekspor 9% - 17% dari pemerintahnya. Bahkan porsi subsidi itu telah ditambah.
Beberapa industri China yang
menikmati fasilitas itu di antaranya pertanian, sektor produk agroindustri, kimia dasar anorganik, besi dan baja. China juga
memberikan subsidi pajak ekspor kepada sektor elektronik, permesinan, peralatan komunikasi, otomotif, kapal, hingga furnitur dan kerajinan.
Sikap
China ini semestinya menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia. Pemberian fasilitas pajak ekspor ini bisa dianggap sebagai unfair trade dalam bentuk subsidi karena produk mereka menjadi lebih berdaya saing di pasar ekspor. "Untuk itu, pemerintah harus berani bertindak tegas," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.
Cenderung menyusut
Sebelum
implementasi ACFTA tahap II berlangsung, ekspor produk manufaktur Indonesia ke China tak terlalu sebesar jika dibandingkan dengan produk pertanian dan pertambangan.
Pangsa pasar produk
lokal disinyalir cenderung menyusut sekitar 5%-8% per tahun secara konsisten sepanjang beberapa tahun terakhir akibat dihajar barang selundupan dan produk manufaktur nonstandar dari China dengan harga lebih murah.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China sepanjang
Sebagai
perbandingan, ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang pada periode itu mencapai US$10,72 miliar dan AS sebesar US$9,41 miliar.
Sebaliknya,
impor nonmigas Indonesia dari China pada periode itu menembus US$12,01 miliar. Coba bandingkan dengan impor Indonesia dari AS yang hanya US$5,95 miliar dan Jepang US$8,78 miliar.
Dari
angka ini, neraca perdagangan Indonesia melawan China tumbuh negatif, sedangkan dengan AS dan Jepang, Indonesia mencatatkan neraca perdagangan yang sangat positif.
Itu sebabnya
banyak kalangan pesimistis kondisi pasar bebas pascaimplementasi ACFTA dapat memberi keuntungan bagi industri nasional.
Apalagi
China juga mulai menetapkan sejumlah hambatan nontarif seperti mempersulit perizinan untuk produk seperti yang dialami industri jamu dan obat herbal Indonesia. "Industri jamu berpotensi kehilangan Rp4 triliun dari pasar China tahun ini," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) Charles Saerang.
Para
pengusaha menganggap kehadiran ACFTA secara langsung akan menghantam pangsa pasar produk industri lokal. Sejauh ini terdapat sekitar lima
sektor industri yang sangat mengandalkan pasar domestik, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, besi dan baja, industri kecil
menengah (IKM), dan alas kaki.
Di pasar lokal,
omzet industri TPT mencapai Rp70 triliun-Rp80 triliun per tahun dengan pertumbuhan konsumsi sekitar 6% 10%. Nilai ini setara dengan 70% -80% dari total ekspor TPT nasional sebesar US$10 miliar (sekitar Rp96 triliun) per tahun.
Data Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) menyebutkan pangsa pasar TPT lokal pada 2009 hanya Rp52 triliun atau 67% dari total pasar lokal Rp77,612 triliun. Artinya,
sekitar 30% pasar domestik senilai Rp23,28 triliun dikuasai barang impor yang sebagian besar datang dari China.
Pada
sisi lain, ekspor TPT Indonesia ke China yang didominasi benang, kain dan garmen ternyata tidak lebih dari US$250 juta (Rp2,4 triliun) pada tahun lalu. Artinya, terdapat defisit di sektor TPT sekitar Rp20,88 triliun.
Berdasarkan data Kementerian
Perindustrian (Kemenperin), hampir 100% dari total produksi besi dan baja di dalam negeri sebesar 6 juta ton-dari total konsumsi 10 juta ton per tahun-diserap pasar lokal dengan nilai US$4,5 miliar-US$6 miliar.
Di
balik data itu, sekitar 2 juta ton baja China disinyalir masuk ke pasar lokal, baik secara legal maupun ilegal. Akibatnya, negara dirugikan sedikitnya US$250 juta dari pemasukan pajak dan di sisi lain pangsa pasar industri lokal terus terkikis secara konsisten.
Yang lebih menyedihkan, Indonesia sama sekali tak mencatatkan ekspor produk baja ke China pada 2009.
Di
sektor alas kaki, dari total omzet Rp27 triliun, rata-rata pangsa pasar
produk lokal pada 2008 dan 2009 hanya mencapai 45% atau setara Rp12,15 triliun. Selebihnya, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo)
menyinyalir China telah mengambil alih pasar lokal dalam porsi yang sangat besar.
Lantas bagaimana dengan pasar
industri elektronik? Dari omzet elektronik yang mencapai Rp16 triliun-Rp19 triliun pada 2009, sekitar Rp7 triliun-Rp8 triliun di antaranya dikuasai produk impor, yang sebagian besar juga berasal dari China.
Dengan
semua paparan itu, renegosiasi terhadap 228 pos tarif harus dilakukan
secara maksimal agar cakar tajam Sang Naga tidak sampai mengoyak-ngoyak pasar domestik.
Beberapa strategi
Beberapa
strategi yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi dan
merevisi semua Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah kedaluwarsa dan menerapkannya secara wajib (dengan lebih dahulu menotifikasikannya ke WTO).
Dalam menerapkan kebijakan ini
Kementerian Perindustrian harus mengukur lebih dahulu kemampuan industri lokal dalam memenuhi SNI wajib.
Di
samping itu, menjalankan fungsi Komite Anti Dumping Indonesia dalam menangani setiap kasus dugaan praktik dumping dan praktik pemberian subsidi secara langsung oleh negara mitra dagang. Penerapan sanksi antidumping sementara hendaknya dapat dilakukan secara cepat untuk mengurangi kerugian yang dialami industri domestik terhadap praktik dumping negara lain. Selama ini penyelidikan dumping berjalan lambat.
Juga
mengefektifkan fungsi Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dalam menanggulangi lonjakan barang impor di pasar dalam negeri.
Penerapan sanksi berupa safeguard sementara hendaknya dapat dilakukan secara cepat untuk menghindari kerugian serius yang dialami industri lokal. Penyelidikan safeguard harus dilakukan secara efektif dan cepat agar ancaman kerugian yang serius dapat dihindari.
perdagangan.
Dalam
rangka memperkuat daya saing dan struktur industri nasional, sejumlah aturan yang sudah ada harus dimaksimalkan seperti Inpres No.5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 (delapan paket kebijakan perekonomian), fasilitas pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah dan bea masuk ditanggung pemerintah.
Sebagai
awal untuk melihat seberapa serius pemerintah mengantisipasi imbas negatif ACFTA, mari kita lihat lobi yang dilakukan Menteri Perdagangan dalam proses renegosiasi 228 produk.
Yusuf Waluyo Jati & Chamdan Purwoko