• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SIFAT FISIKA BATUAN TERHADAP TINGKAT MATURASI HIDROKARBON PADA BATUAN RESERVOIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SIFAT FISIKA BATUAN TERHADAP TINGKAT MATURASI HIDROKARBON PADA BATUAN RESERVOIR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SIFAT FISIKA BATUAN TERHADAP

TINGKAT MATURASI HIDROKARBON PADA BATUAN RESERVOIR

Ordas Dewanto

Jurusan Fisika FMIPA Unila

Jl. Sumantri BrojonegoroNo. 1 Bandar Lampung 35145

Email: ordas@maiser.unila.ac.id

Diterima 10 September 2005, perbaikan 14 Agustus 2006, disetujui untuk diterbitkan 6 September 2006

ABSTRACT

The change of physical rock characters due to natural geologic activity might influence hydrocarbon maturation level of reservoir rock. The change model needs to be analyzed to predict the initial formation of oil. Preliminary study that should be done is to determine the physical character of reservoir rock. One possibility step is to calculate the heat sum of certain depths of well. The result shows that the maturation level of hydrocarbon on reservoir rock is influenced by the physical rock parameters, namely overburden pressure litology, porosity, conductivity of heat rock, temperature gradient, temperature and heat flow.

Keywords: reservoir rock, heat flow, maturation hidrocarbon

1. PENDAHULUAN

Penelitian tentang maturasi hidrokarbon di cekungan-cekungan sedimen di Indonesia umumnya telah berhasil baik, dengan tujuan untuk memperkirakan tingkat kematangan material organik dalam batuan induk dari cekungan tersebut. Penelitian tersebut ternyata sangat membantu untuk menunjang kegiatan eksplorasi hidrokarbon (minyak bumi dan gas). Dasar penentuan maturasi hidrokarbon, umumnya masih melihat pada perubahan sifat kimianya, dimana analisis perubahan sifat kimia sampai saat ini masih merupakan salah satu indikator yang cukup akurat.

Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin sulitnya menemukan cadangan-cadangan baru hidrokarbon, maka ilmu pengetahuanpun semakin berkembang dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan konsep dasar aliran panas bumi (terrestrial heat flow), didukung data-data geologi dihubungkan dengan teknologi geokimia, telah memperoleh suatu hasil yang cukup akurat dan lebih jelas memahami persoalan-persoalan dalam kegiatan eksplorasi. Hal ini menyiratkan pentingnya untuk memahami hubungan antara sifat termal dan fisika batuan terhadap tingkat maturasi hidrokarbon. Penelitian tentang Eometamorphism, and Oil and Gas in Time and Space 1), memberikan kesimpulan bahwa

perubahan temperatur dapat menyebabkan mulainya

metamorfisme dan sangat berpengaruh pada zat organik yang terkandung dalam sedimen. Perubahan

termal zat organik kemungkinan dimulai dari temperatur di sekitar 93°C.

Menurut Klemme2) dalam penelitiannya tentang Heat

Influences Size of Oil Giants-Geothermal Gradients, disebutkan bahwa kecepatan pembentukan minyak bumi dari pembebasan asam lemak atau lipid dari kerogen merupakan suatu proses yang berhubungan dengan temperatur yang bersifat eksponensial. Dalam hal ini maka kedalaman dan gradien temperatur merupakan faktor yang penting.

Penelitian Thermal Studies of Indonesian Oil Basin3),

memberikan gambaran tentang pengaruh sifat fisika termal terhadap Cekungan minyak. Penelitian tersebut merupakan kelanjutan dari riset4) tentang metode

penentuan aliran panas bumi. Kemudian pada tahun yang sama Siswoyo dan Subono5] dalam penelitiannya

tentang Heat Flow, Hydrocarbon Maturity and Migration in Northwest Java, memberikan kesimpulan bahwa maturasi hidrokarbon dipengaruhi oleh perubahan sifat-sifat kimia. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa tingkat maturasi hidrokarbon (immature, mature, over mature dan gas) dapat diprediksi dari perubahan nilai sifat-sifat kimianya.

Selanjutnya Dewanto6) mencoba melakukan penelitian

tentang Perkiraan Tingkat Maturasi Hidrokarbon Menggunakan Metode Termal, dan diperoleh suatu kesimpulan bahwa perubahan sifat fisika termal berperan merubah keadaan sifat kimia yang berhubungan dengan proses pematangan hidrokarbon. Beberapa bulan kemudian6) melakukan beberapa

(2)

analisis tentang hubungan diantara sifat-sifat fisika batuan yang merupakan salah parameter penentu maturasi hidrokarbon. Analisis yang dilakukan oleh Dewanto6) adalah: (1) Analisis Hubungan Antara

Porositas dengan Konduktivitas Panas Batuan Hasil Pengukuran dan Perhitungan, (2) Analisis Hubungan Antara Porositas dengan kedalaman, dan (3 Analisis Hubungan Antara Konduktivitas Panas Batuan Hasil Pengukuran dan Perhitungan terhadap kedalaman. Penelitian tentang Analisis Hubungan Antara Porositas terhadap Konduktivitas Panas Batuan Hasil Pengukuran dan Perhitungan7), memberikan beberapa kesimpulan,

pertama: harga porositas batuan mempunyai harga yang variasi, disebabkan karena adanya perbedaan temperatur dan panas pada batuan tersebut, kedua: harga konduktivitas panas batuan dipengaruhi oleh tekanan, sehingga semakin bertambah kedalaman konduktivitas panas batuan semakin besar.

Beberapa sifat fisika batuan secara tidak langsung telah dipelajari, meskipun sifat penelitian tersebut masih berada dalam ruang lingkup yang terbatas (belum luas) dan masih banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan (sifat fisika batuan lain). Berangkat dari beberapa penelitian tersebut di atas yang merupakan suatu studi pendahuluan yang telah dilaksanakan, dan dengan didukung beberapa teori dasar tersebut, menjadikan dasar penelitian ini dalam pengembangan metode laboratorium dan analisa. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa perubahan sifat-sifat kimia, termal, dan sifat fisika batuan, sangat mempengaruhi proses maturasi hidrokarbon.

Didasarkan atas kebutuhan tersebut, penelitian ini menyajikan suatu usaha untuk meningkatkan pengukuran akustik atas conto inti batuan di laboratorium dalam mendukung perkiraan awal terjadinya minyak bumi serta terbentuknya minyak bumi. Data analisis core yang dihasilkan dari pengukuran dan analisa pada batuan reservoir di laboratorium merupakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk mengetahui sifat-sifat fisika batuan yang sangat spesifik, yang pada akhirnya akan dipakai untuk memprediksi kinerja batuan reservoir tersebut.

Jumlah panas pada setiap kedalaman dari sumur yang diamati. dihitung berdasarkan pengukuran konduktivitas panas batuan, porositas, temperatur, gradien temperatur, umur, tekanan, litologi dan aliran panas bumi. Dari hasil data pengukuran analisa core tersebut, kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui pengaruh perubahan sifat-sifat fisika batuan terhadap tingkat maturasi hidrokarbon pada batuan reservoir, sehingga dapat dipakai sebagai landasan teori tentang terapan suatu ilmu pengetahuan dalam skala industri, terutama dalam memprediksi maturasi hidrokarbon dan mengetahui awal terjadinya minyak bumi serta terbentuknya minyak bumi dalam suatu cekungan minyak

2. METODE PENELITIAN

2.1. Data yang Diperlukan

Data-data yang diperlukan dalam riset ini adalah BHT (Bore Hole Temperature), porositas (φ), stratigrafi (litologi), umur batuan, konduktivitas panas batuan, gradien temperatur, heat flow (Q), temperatur, Ro (Vitrinite Reflection) dan data log sumur (sebagai pendukung). Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium, yaitu pengukuran, pengolahan dan analisa batuan dilakukan di laboratorium Geothermal dan Petrofisika.

2.2. Pengukuran

Batuan yang dianalisa berupa conventional plug pore, yaitu sampel batuan dari formasi hasil pengeboran secara vertikal. Dalam penelitian ini digunakan litologi batuan sandstone (batupasir) dan shale (batu lempung). Selanjutnya dilakukan pengukuran konduktivitas panas batuan dengan alat three needle device atau three needle control box. Alat pengukur konduktivitas panas batuan three needle device adalah modifikasi dari peralatan hot needle device yang dipakai pada pengukuran sedimen dasar samudera. Alat pengukur konduktivitas panas three needle device terdiri dari beberapa blok rangkain antara lain, Sensor, Control BOX, dan Recorder.

(3)

Pada Gambar 1, ditunjukkan diagram rangkaian sensor.

Sensor ini terdiri dari jarum hypodermik, heater

(rangkaian pemanas) dan thermistor. Jarum ditanamkan pada permukaan atas balok yang bersifat tidak menghantar panas. Balok ini berukuran kurang panjang, lebar dan tebal, atau berupa tabung. Jika arus

heater dijalankan, temperatur akan naik sebanding dengan waktu dan berbanding terbalik dengan konduktivitas panas batuan. Kenaikan temperatur ini akan diterima oleh recorder dan pena segera bergerak dengan memberikan gambar berupa kurva.

2.3. Pengolahan Data

Pertama menentukan litologi pada tiap-tiap formasi dari masing-masing sumur (2 sumur) dan mengetahui umur serta waktu sedimentasi dari litologi tersebut, berdasarkan teori dari Amdel8). Kemudian menentukan

harga porositasnya, mengacu pada Harsono9], sebagai

dasar acuan untuk melakukan pekerjaan pada tahap berikutnya.

Selanjutnya menentukan beberapa model rumusan termal. Jumlah Kalor (JK) ditentukan berdasarkan prinsip dasar TTI, diintegrasikan dengan pengertian dasar ‘heat flow’ yang menunjukkan banyaknya kalori per satuan luas per satuan waktu. Sedangkan gradien temperatur tidak diambil sama, tetapi merupakan fungsi heat flow dan daya hantar panas formasi yang diamati secara keseluruhan. JK menunjukkan tingkat kematangan zat organik, yang diperoleh dari jumlah komulatif banyaknya kalori persatuan volume. Tahap ini menghitung jumlah panas pada masing-masing lapisan batuan. Jumlah panas dihitung berdasarkan kasus sederhana Lopatin-Waples dan perhitungan perubahan

Time Temperature Index (TTI), yang dimodifikasi dengan memasukan parameter heat flow. Sehingga total maturasi pada suatu ruang batuan (sedimen, karbonat, serpih), diubah menjadi suatu rumusan termal, seperti terdapat pada Persamaan 1.

× × = max N min N N N N ) Z ( 2 ) t ( Q HTTI ∆ ∆ (1)

dengan Q adalah harga heat flow, ∆t adalah waktu sedimentasi yang diperlukan untuk mencapai perbedaan temperature 10°C. (∆Z)N adalah perubahan

kedalaman pada setiap kenaikan temperature 10°C.

∆Z=10/GT, dengan GT = Q(t)/K merupakan Gradien Temperatur. N adalah faktor temperatur. Nmin adalah harga N pada interval temperature terendah. Nmax adalah harga N pada interval temperature tertinggi. Dengan syarat batas: N< 0 untuk T<100OC, dan N>0

untuk T>110OC. Interval 100°C – 110°C, digunakan

sebagai interval basis, dimana N = 0.

Sebagai dasar pengolahan untuk mengerjakan tahap tersebut, dilakukan beberapa perhitungan dan pengukuran, mengacu pada Dresser Atlas10) dan

Gretener11) untuk memperoleh parameter-parameter

pada Persamaan (1), yaitu: menghitung konduktivitas panas batuan, menghitung gradien temperatur, menghitung konduktivitas panas formasi, menghitung konduktivitas panas sumur, menentukan heat flow, membuat geohistories dan penentuan maturasi hidrokarbon.

2.4. Analisis Data

Tahap terakhir, melakukan analisis hasil pengolahan data. Hasil pengukuran dan perhitungan konduktivitas panas batuan pada sumur A-1 dan B-1, kita bandingkan. Selanjutnya kita melihat hasil perhitungan heat flow dan maturasi hidrokarbon pada kedua sumur tersebut. Masing-masing sumur kita bandingkan dan dianalisa. Akhirnya dapat ditentukan perbedaan atau persamaan hasil proses pengolahan data yang berdasarkan perhitungan dan pengukuran konduktivitas panas batuan. Selanjutnya tingkat maturasi hidrokarbon pada kedua sumur tersebut dapat diperkirakan dengan dua metode, yaitu dari hasil perhitungan dan pengukuran konduktivitas panas batuan. Setelah dilakukan tahap-tahap proses pengolahan data dan analisa seperti tersebut di atas, kita analisis pengaruh perubahan sifat-sifat fisika batuan reservoir terhadap tingkat maturasi hidrokarbon.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Konduktivitas Panas Batuan

Hasil perhitungan konduktivitas panas batuan berdasarkan φ, untuk sumur A1 mempunyai harga KSHALE=(4.0-6.7)×10-3 cgs, dan KSAND=(4.25-8.60)×10-3

cgs. Sedangkan pada sumur B1, harga KSHALE

=(3.97-5.55)×10-3 cgs, dan untuk harga KSAND=(4.52-7.46)×10-3

cgs. Hasil pengukuran konduktivitas panas batuan di laboratorium pada sumur A1, KSHALE=(4.00-7.17)×10-3

cgs, dan KSAND=(4.25-8.83)×10-3 cgs. Sedangkan

pengukuran core pada sumur B1, yaitu KSHALE

=(3.97-7.17)×10-3 cgs, dan untuk KSAND=(4.52-7.58)×10-3 cgs.

Harga konduktivitas panas batuan yang diperoleh dengan cara mengukur core di laboratorium, mempunyai harga yang hampir sama dengan cara perhitungan konduktivitas panas batuan berdasarkan porositas. Dari persamaan KB=KFφ×KF1-φ12), jelas sekali

bahwa porositas sangat mempengaruhi konduktivitas panas batuan.

Gambar 1 - 4, menunjukkan grafik hubungan antara porositas (φ) dan konduktivitas panas batuan (KB).

Grafiknya menunjukkan hubungan yang exponensial, tampak bahwa semakin kecil harga φ, KB semakin

besar. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin bertambah kedalaman, harga φ akan menurun secara exponensial.

(4)

Gambar 1. Konduktivitas Panas Batuan Sand vs Porositas pada Well-A1

Gambar 2. Konduktivitas Panas Batuan Shale vs Porositas pada Well-A1

Gambar 3. Konduktivitas Panas Batuan Sand vs Porositas pada Well-B1

Gambar 4. Konduktivitas Panas Batuan Shale vs Porositas pada Well-B1

Kasus tersebut didukung dengan teori oleh Nakayama13)

dan Nakayama & Lerche14), semakin bertambah

kedalamannya, konduktivitas panas batuan (untuk sand

dan shale) semakin besar. Hubungan antara KBdengan

kedalaman (Z), menunjukkan hubungan yang eksponensial, semakin bertambah kedalaman (Z), KB

semakin membesar.

Harga φ yang menurun secara exponensial setiap bertambah kedalamannya disebabkan karena adanya pengaruh tekanan overburden yang mempengaruhi setiap ruang batuan di dalam bumi15), sehingga ruang

batuan tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda-beda, diantaranya adalah harga φ pada batuan tersebut, yang menjadi kecil setiap bertambah kedalamannya16).

Perbedaan harga φ tersebut juga dipengaruhi oleh temperatur. Diperoleh hasil bahwa pada sumur A1 dan B1, perubahan harga φ dan KB, tidak terlalu over untuk

setiap bertambah kedalaman. Hal tersebut bukan berarti tekanan tidak mempunyai pengaruh, tetapi di daerah kedua sumur tersebut tidak terjadi over presure. Jika kita bandingkan harga konduktivitas panas pada sumur A1 dan B1, terjadi perbedaan yang tidak begitu besar.

3.2. Aliran Panas Bumi (Heat Flow)

Selanjutnya, kita melihat aliran panas bumi (heat flow,

Q) pada sumur A1 dan B1. Heat flow dapat ditentukan dengan dua cara3). Pertama dengan cara pengukuran

(5)

flow. Kedua, dengan cara perhitungan berdasarkan konduktivitas panas sumur dan gradien temperatur. Dalam riset ini, peneliti menentukan harga heat flow

dengan cara perhitungan. Dari hasil perhitungan, diperoleh harga heat flow untuk sumur A1 lebih besar dari pada sumur B1. Hal tersebut disebabkan karena harga konduktivitas panas sumur A1 lebih besar dari sumur B1, dan harga gradien temperatur kedua sumur tersebut hampir sama, sehingga menyebabkan heat flow pada sumur A1 lebih besar dari pada sumur B1. Aliran panas bumi secara horizontal/lateral harganya belum tentu sama, untuk kedalaman yang sama. Tetapi jika dihitung secara vertikal, misal dalam satu sumur, untuk kedalaman 0 s/d 20000 meter, harga aliran panas bumi sama (belum berubah). Sesuai dengan teori [8], bahwa aliaran panas bumi yang mengalir secara vertikal dari pusat bumi, perubahan harga aliran panas bumi terjadi pada setiap interval yang cukup panjang (puluhan kilometer). Adanya heat flow (aliran panas bumi) ini menimbulkan panas pada litologi atau ruang batuan. Jumlah panas yang terdapat pada masing-masing litologi, jumlahnya berbeda-beda. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan jumlah panas pada ruang batuan, diantaranya adalah heat flow, waktu sedimentasi, perubahan kedalaman dan temperatur.

3.3. Jumlah Kalor (JK)

Jumlah kalor ditunjukkan dengan satuan kal cm-3,

artinya bahwa di dalam ruang batuan tersebut mempunyai jumlah panas sebesar n kal cm-3. Besarnya

harga JK ini menjadi dasar untuk memperkirakan tingkat maturasi hidrokarbon pada masing-masing sumur, yang dapat dibandingkan dengan indikator maturasi data geokima, yaitu vitrinite reflectance (Ro). Dari beberapa penelitian tentang hubungan Ro dan maturasi

hidrokarbon diungkapkan bahwa Ro=0.4-0.6 menunjukkan awal terjadinya minyak bumi, Ro=0.7-0.8 menunjukkan terjadinya minyak yang cukup matang (abundant oil generation)3), Ro=0.8-1.3, menunjukkan

bahwa hidrokarbon bersifat sangat matang dan untuk gas umumnya ditunjukkan dengan harga Ro >1.3. Semakin besar harga JK, harga Ro semakin membesar, dimana sifat grafiknya menunjukkan eksponensial6).

Keadaan tersebut terjadi karena Ro dan JK, berhubungan dengan faktor kedalaman dan temperatur. Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan kedalaman, semakin bertambah kedalamannya harga JK bertambah besar.

Sumur A-1

Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan kedalaman, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Tampak pada gambar tersebut, semakin bertambah kedalamannya, harga JK bertambah besar.

Harga JK=1-2, terjadi pada kedalaman 485-635 meter, dan harga Ro berkisar antara 0.35-0.4, maka dapat disimpulkan bahwa pada kedalaman tersebut menunjukkan awal terjadinya minyak bumi (immature hydrocarbon) atau dapat dikatakan bahwa awal maturasi hidrokarbon terjadi pada Formasi Telisa (284-698m) dengan harga JK=1-2.

Harga JK=10-15, terjadi pada kedalaman 1095.8-1289.8 meter, dan harga Ro adalah ± 0.7. Pada kedalaman tersebut menunjukkan terjadinya minyak bumi yang cukup matang, tepatnya pada Formasi Pematang SS (969-1457m) terbentuk minyak bumi yang cukup matang.

(6)

Harga JK=50-70, terjadi pada kedalaman 1595-1698.8 meter, dan harga Ro adalah ±0.85. Pada kedalaman tersebut menunjukkan bahwa hidrokarbon sangat matang, tepatnya pada Formasi Pematang MS (1457-1719m). Harga JK=100-150, terjadi pada kedalaman 1780-1964 meter, dan harga Ro adalah ±1.95-2. Pada kedalaman tersebut menunjukkan terbentuknya gas, atau dikatakan bahwa pada Formasi LP (1780-1880m) dan Basement (1880-1964), diperkirakan terdapat gas.

Sumur B-1

Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan kedalaman, seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. Tampak pada gambar tersebut, semakin bertambah kedalamannya, harga JK bertambah besar.

Harga JK=1-2, terjadi pada kedalaman 580-695 meter, dan harga Ro berkisar antara 0.34-0.4. Pada kedalaman tersebut menunjukkan awal terjadinya minyak bumi (immature hydrocarbon), atau dapat dikatakan bahwa awal maturasi hidrokarbon terjadi pada Formasi Telisa (240-605m) dan Formasi Sihapas-Up (605-685m).

Harga JK=10-15, terjadi pada kedalaman 1161-1271 meter, dan harga Ro adalah ± 0.7. Pada kedalaman tersebut menunjukkan terjadinya minyak bumi yang cukup matang, yaitu pada Formasi Pematang MS (1160-1318m). Harga JK=50-70 dan JK=100-150, pada sumur B1 tidak ada, karena kedalaman total sumur B1 adalah 1408.3 meter, sehingga keadaan hidrokarbon

yang over mature dan gas tidak terdapat dalam sumur B1.

3.4. Temperatur Maturasi Hidrokarbon

Grafik tingkat maturasi hidrokarbon sumur A1 (Q=107

mW/m2) dan B1 (Q=100 mW/m2), ditunjukkan pada

Gambar 5 dan 6. Awal maturasi hidrokarbon pada sumur A1 terjadi pada kedalaman 502-629 meter dengan temperatur 60-70°C, dan sumur B1 pada kedalaman 580-680 meter dengan temperatur 60-70°C. Pada sumur A1, di kedalaman sekitar 894 meter, dan sumur B1 di kedalaman 939 meter, memiliki temperatur antara 80-90°C, dikatakan hidrokarbon mendekati

mature, artinya bahwa minyak bumi mendekati

kematangan.

Terbentuknya minyak bumi atau hidrokarbon yang matang (mature), terjadi di kedalaman 1096-1276 meter pada sumur A1, dan di kedalaman 1160-1270 meter pada sumur B1. Masing-masing terbentuk pada temperatur 90-100°C.

Untuk JK=50-70 dan Ro=0.85-0.91, hanya terjadi pada sumur A1, di kedalaman 1595-1699 meter, dengan temperatur 110-120°C, artinya bahwa pada kedalaman tersebut mendekati terjadinya hidrokarbon cair (hidrokarbon yang sangat matang/over mature). Demikian juga harga JK=100-150 dan Ro = ± 1.95-2, hanya terjadi pada sumur A1, di kedalaman 1780-1964 meter, dengan temperatur 120-130°C, atinya bahwa pada kedalaman tersebut diperkirakan terbentuk gas.

(7)

3.5. Perbandingan Tingkat Maturasi Hidrokarbon Sumur A-1 dan B-1

Karena sumur B1 lebih dangkal daripada sumur A1, sedangkan harga heat flow sumur B1 lebih kecil daripada sumur A1, maka harga JK sumur B1 lebih rendah daripada sumur A1, untuk kedalaman yang sama. Hal ini berarti bahwa jumlah panas yang terbentuk di sumur B1 lebih kecil dibandingkan sumur A1, untuk kedalaman yang sama. Keadaan tersebut menyebabkan perbedaan tingkat maturasi kedua sumur itu, yaitu sebagai berikut: Awal maturasi (immature) sumur A1 terbentuk pada kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan sumur B1. Permulaan immature sumur A1 terjadi pada temperatur yang sedikit rendah dibandingkan sumur B1, sedangkan untuk keadaan

immature (+) dan mature pada sumur A1, terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan sumur B1, tetapi untuk harga temperaturnya sama. Over mature

hanya terjadi pada sumur A1.

Harga JK=15, pada sumur A-1 terjadi di kedalaman yang lebih dalam dibandingkan sumur B-1. Hal tersebut dapat terjadi, karena keadaan sumur B-1 lebih dangkal, dimana pada kedalaman 1362 meter, terdapat basement. Harga temperaturnya terdapat kesamaan, dan kemungkinan hanya berbeda pada permulaan maturasi hidrokarbon. (pada keadaan immature)

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Perkiraan tingkat maturasi hidrokarbon menggunakan harga JK dari hasil pengukuran KB,

mempunyai nilai yang sama dengan hasil perhitungan KB.

2. Awal maturasi hidrokarbon (immature), dengan indikator geokimia Ro=0.34-0.44, ditunjukkan oleh harga JK=1-2 dan temperatur 60-70 OC.

3. Minyak bumi yang matang/mature (oil generation) , dengan indikator geokimia Ro=0.7-0.73, ditunjukkan oleh harga JK=10-15 dan temperatur 90-100 OC.

4. Hidrokarbon yang sangat matang atau over mature, dengan indikator geokimia Ro=0.85-0.91, ditunjukkan oleh harga JK=50-70 dan temperatur 110-120 OC.

5. Gas, dengan indikator geokimia Ro=1.95-2.00, ditunjukkan oleh harga JK=100-150 dan temperatur 120-130 OC.

6. Perubahan parameter sifat-sifat fisika batuan reservoir sangat mempengaruhi tingkat maturasi hidrokarbon dalam sumur minyak.

a. Tekanan, kedalaman dan litologi mempengaruhi nilai porositas batuan. b. Porositas mempengaruhi nilai konduktivitas

panas batuan.

c. Konduktivitas panas batuan mempengaruhi nilai gradien temperatur dan temperatur. d. Gradien temperatur dan konduktivitas panas

batuan mempengaruhi heat flow.

7. Dari nomor 6, dapat disimpulkan bahwa tingkat maturasi hidrokarbon pada batuan reservoir dalam sumur minyak, sangat dipengaruhi oleh parameter-parameter fisika batuan, yaitu: tekanan overburden, litologi, porositas, konduktivitas panas batuan, gradien temperatur, temperatur dan heat flow.

4.2. Saran

Dalam proses pengembangan dan penyempurnaan penelitian tersebut, perlu dihubungkan beberapa perubahan parameter sifat kimia, selanjutnya dipadukan dengan teknologi termal, seismik dan petrofisika, serta didukung oleh data geologi, sehingga dapat diperkirakan tingkat maturasi hidrokarbon di daerah luar sumur dan diantara kedua sumur atau diantara beberapa sumur. Pada akhirnya tujuan dari eksplorasi hidrokarbon akan lebih akurat dan kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

1. Landes, K.K. 1967. Eometamorphism, and oil and gas in time and space. Am. Assoc. Petroleum Geol. Bull., 44 (10): 1682-1691.

2. Klemme, H.D. 1972. Heat Influences size of oil giants-geothermal gradients, The Oil and Gas J., Juli 17, p. 136-144 (partt.I), dan July 24, p. 76-78 (part.II).

3. Subono, S., dan Siswoyo. 1995. Thermal Studies of Indonesian Oil Basin, CCOP Technical Bulletin,

25: 37 - 54.

4. Tamrin, M.,Prayitno and Siswoyo. 1981. Heat flow measurement in the Tertiary basin of Northwest Java, Indonesia. Proc. 18th CCOP Annual Session, Seoul, Republic of Korea.

5. Siswoyo dan S. Subono. 1995. Heat Flow, Hydrocarbon Maturity and Migration in Northwest Java. CCOP Technical Bulletin, 25: 23-36. 6. Dewanto, O., 2001, Analisa Hubungan Aliran

Panas Bumi Terhadap Awal MaturasiHidrokarbon pada Cekungan Minyak di Jawa Barat-Utara. J. Sains dan Teknologi, 7(3),:. 29-42.

7. Dewanto, O. 2002. Analisa Hubungan Porositas Terhadap Konduktivitas Panas Batuan Hasil Pengukuran dan Perhitungan pada Sumur Minyak,

J. Sains dan Teknologi, 8 (2): 27-41.

8. Amdel, 1998, Geological Time Scale Chart, The Australian Mineral Development Laboratories.

(8)

9. Harsono, A., 1993, Pengantar Evaluasi Log, Schlumberger Data Services, Mulia Center L.17, Kuningan, Jakarta, p.19-21.

10. Dresser Atlas, 1982, Well Logging and Interpretation Techniques, The Course For Home Study, Dresser Industries Inc., p. 22-32, 39-94, 102-129, 165-178.

11. Gretener, P.E. 1981. Geothermics: Using Temperature in Hydrocarbone Exploration, Short Course San Francisco Annual Meeting May 1981, The American Association of Petroleum Geologists Tulsa, Oklahoma, USA, p.1-67. 12. Nakayama, K. 1987. Hydrocarbon-Expulsion

Model and Its Application to Niigata Area Japan’,

The American Association of Petroleum

Geologists Bulletin, 71 (7): 810-812.

13. Nakayama, K., and Lerche, I. 1987. Basin Analysis by Model Simulation: Effect of Geologic Parameters on 1D and 2D Fluid Flow Systems with Applications to an Oil Field. Gulf Coast Assoc. Geol. Soc Trans, 37:.175-184.

14. Dewanto, O. 2004. Estimasi Heat Flow Berdasarkan Konduktivitas Panas Sumur Hasil Pengukuran dan Perhitungan pada Sumur Minyak di Sumatera Tengah, J. Sains dan Teknologi, 10 (3): 188-194.

15. Koesoemadinata, R.P., 1978, Geologi Minyak dan Gas Bumi, ITB, Bandung, p. 194-204.

16. Dewanto, O., 2003, Analisis Hubungan Kecepatan Rambat Gelombang Akustik dengan Porositas pada Batuan Reservoir, J. Sains dan Teknologi, 8 (3):.

Gambar

Gambar 1. Blok Rangkaian Sensor pada alat Three Needle Device
Gambar 2. Konduktivitas Panas Batuan Shale vs                      Porositas pada Well-A1
Gambar 5. Tingkat Maturasi Hidrokarbon pada Well-A1
Grafik  tingkat  maturasi  hidrokarbon  sumur  A1  (Q=107  mW/m 2 )  dan  B1  (Q=100  mW/m 2 ),  ditunjukkan  pada

Referensi

Dokumen terkait

keluarga matrilinial kalau tidak ada penangganan yang baik akan menyebabkan pertisipan mengalami depresi begitu juga dengan bebab dan dukungan keluarga, beban yang

Buah okra mengandung serat khusus yang bersifat membantu untuk menstabilkan gula darah dengan membatasi tingkat penyerapan gula di saluran usus (Nilesh et al.,

Pemindah bahan 'material handling e1uipment( merupakan peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan dari satu tempat ketempat yang lain. Adapun jenis jenis peasawat

Pemberian ekstrak etanol daun jambu mete ( Anacardium occidentale ) dengan dosis 1500 mg/ kg BB dapat digunakan sebagai preventif fibrosis hepar karena dapat menghambat produksi IL-6

Pemanfaatan media sosial (group whatsapp) memudahkan guru atau wali kelas untuk mengontrol kegiatan belajar siswa di luar jam sekolah, oleh karena itu guru

Dian Maria Ulfa, Nurul Riski, Dodi Irwandi | 79 Persyaran kadar parasetamol sirup dalam monografi farmakope Indonesia edisi ke V yaitu tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi harga di pasar aktif dan tidak diukur pada

Ketentuan mengenai penggunaan Hibah berupa uang kepada LPMK pada Tahun Anggaran 2015 sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Walikota ini mengikuti ketentuan