DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………. i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GRAFIK ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Manfaat Penelitian ... 12
1.5 Definisi Operasional ... 13
1.6 Hipotesis Penelitain ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 16
2.2 Self-Concept Siswa ... 21
2.2.1 Self-Concept Siswa tentang matematika ... 32
2.3 Model Pembelajaran Anchored Instruction ……… ... 34
2.4 Teori Belajar yang Berkaitan dengan Model Anchored Instruction ………..……. ... 39
2.5 Penelitian tentang Komunikasi Matematis, Self-Concept dan Model Anchored Instruction yang Pernah Diteliti ... 44
2.6 Pembelajaran Konvensional ... 45
3.2 Populasi dan Sampel ... 48
3.3 Instrumen Penelitian ... 48
a. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 49
1. Reliabilitas ……… . 50
2. Validitas ………. 51
3. Tingkat Kesukaran ... 52
4. Daya Pembeda ……… ... 54
b. Lembar Observasi selama Pembelajaran ... 55
c. Skala Self-Concept ... 55
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 57
3.5 Teknik Analisis Data ... 58
3.6 Prosedur Penelitian ... ……… 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 66
4.1.1 Hasil Penelitian Tentang Komunikasi Matematis ... 66
4.1.1.1 Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis sebelum Pembelajaran ……… ... 68
4.1.1.2 Analisis Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran ……….. 72
4.1.1.3 Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis setelah Pembelajaran ………... .... 75
4.1.1.4 Analisis Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ………... ... 79
4.1.2 Hasil Penelitian Tentang Self-Concept……… 83
4.1.2.1 Gambaran Self-Concept Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional sebelum Pembelajaran ………... ... 84
4.1.2.3 Gambaran Self-Concept Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional setelah
Pembelajaran ………….. ... 90
4.1.2.4 Analisis Peningkatan Skor Self-Concept Siswa …… 94
4.1.3 Koefisien Korelasi Antara Self-Concept dengan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… .. 98
4.2 Pembahasan ………... ... 105
4.2.1 Pembelajaran dengan Model Anchored Instruction … 106
4.2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis ……….. .... 112
4.2.3 Self-Concept ……… ... 118
4.2.4Hubungan antara Self-Concept dan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… . 120
4.2.5 Keterbatasan Penelitian ... 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 124
5.2 Saran …… ... … 125
DAFTAR PUSTAKA ... 124
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Desain Penelitian ... 47
3.2 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 50
3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 52
3.4 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi ... 52
3.5 Tingkat Kesukaran ... 53
3.6 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes ... 53
3.7 Klasifikasi Daya Pembeda soal ... 54
3.8 Daya Pembeda Soal ... 55
3.9 Kriteria N-Gain ... 59
4.1 Deskripsi Statistik Kemampuan Komunikasi Matematis ... ... 67
4.2 Skor min, Skor maks, Rerata Kelas Anchored Instruction dan Konvensional ... 69
4.3 Hasil Uji Normalitas Skor Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 70
4.4 Hasil Uji Homogenitas Skor Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 71
4.5 Hasil Uji Persamaan Dua Rerata Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 72
4.6 Hasil Perhitungan Data Observasi Aktivitas Siswa selama Pembelajaran ...……… ... 74
4.7 Skor min, Skor maks, Rerata Kelas Anchored Instruction dan Konvensional ... 75
4.8 Hasil Uji Normalitas Skor Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 76
4.9 Hasil Uji Homogenitas Skor Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 77
4.10 Hasil Uji Perbedaan Dua Rerata Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 79
4.11 Rerata Skor Gain Kemampuan Komunikasi Matematis ... 80
Matematis ... 82 4.14 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Gain Kemampuan
Komunikasi Matematis ... 83 4.15 Hasil Skala Self-concept Kelas Anchored Instruction
dan Kelas Konvensional ... 84 4.16 Hasil Uji Normalitas Skor angket Self-Concept Siswa Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 85 4.17 Hasil Uji Homogenitas Angket Self-Concept Siswa Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 86 4.18 Hasil Uji Persamaan Dua Rerata Angket Self-Concept Siswa
Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional... 87 4.19 Hasil Perhitungan Data Observasi Aktivitas Siswa
selama Pembelajaran ... 89 4.20 Hasil Skala Self-concept Kelas Anchored Instruction
dan Kelas Konvensional ... 90 4.21 Hasil Uji Normalitas Skor Self-Concept Siswa Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 92 4.22 Hasil Uji Homogenitas Skor Self-Concept siswa Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 94 4.23 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Self-Concept Siswa Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 94 4.24 Rerata Skor Gain Self-Concept Siswa ... 95 4.25 Uji Normalitas Skor Gain Skala Self-Concept Kelas
Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 96 4.26 Hasil Uji Homogenitas Varians Gain Skala Self-Concept Siswa .... 96 4.27 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Gain Skala Self-Concept Siswa .. 97 4.28 Interpretasi Nilai Korelasi ... 98 4.29 Hasil Uji Korelasi Self-Concept dan Kemampuan
Komunikasi Matematis kelas Anchored Instraction ... 99 4.30 Koefisien Determinan Korelasi ... 99 4.31 Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan
Komunikasi Matematis Kelas Anchored Instruction ... 101 4.32 Hasil Uji Korelasi Self-Concept dan Kemampuan
Komunikasi Matematis kelas Konvensional ... 102 4.33 Koefisien Determinan Korelasi ... 103 4.34 Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu tidak terlepas kaitannya dengan
dunia pendidikan terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memegang peranan penting. Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka sudah sewajarnya matematika sebagai pelajaran
wajib perlu dikuasai dan dipahami dengan baik oleh siswa di sekolah-sekolah.
Ruseffendi (1991) mengatakan matematika penting sebagai pembimbing pola
pikir maupun sebagai pembentuk sikap. Oleh sebab itu guru mempunyai peran
penting membantu siswa agar dapat belajar matematika dengan baik.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai
tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan proses pembelajaran. Namun
tercapainya tujuan pembelajaran sangat tergantung pada kesiapan proses
perencanaan pembelajaran yang dilakukan. Wahyudin (2008) mengatakan kajian
cermat terhadap muatan materi, metode-metode pendekatan yang memungkinkan,
dan metode-metode presentasi yang potensial semuanya harus dipertimbangkan
sebagai hal-hal penting dari proses perencanaan.
Sudah seharusnya pemilihan metode dan media yang tepat disesuaikan
dengan kondisi dan karakteristik materi yang diajarkan. Untuk mengatasi
permasalahan ini, salah satu usaha yang bisa menjadi alternatif pilihan guru
matematika adalah mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran yang tepat
Dalam dunia pendidikan komunikasi memegang peranan penting yang
menciptakan berbagai interaksi, dengan komunikasi yang baik materi pelajaran
yang disampaikan oleh komunikator (guru) kepada komunikan (siswa) bisa
dicerna oleh siswa dengan optimal. Proses komunikasi di dunia pendidikan bisa
berupa komunikasi verbal, non verbal, maupun komunikasi melalui media
pembelajaran. Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu cara untuk
menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk
memberitahu, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak
langsung melalui media (Herdian, 2010). Di dalam berkomunikasi tersebut harus
dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat
dipahami oleh orang lain.
Dalam pembelajaran matematika komunikasi menjadi aspek yang penting
untuk menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Dengan komunikasi siswa
dapat saling bertukar irformasi sehingga ide-ide matematika dapat dieksploitasi
lebih mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa matematika menjadi salah satu alat
komunikasi yang tangguh dalam pembelajaran. Menurut Wahyudin (Juariah,
2008) ada 13 alasan mengapa matematika diajarkan. Dua diantaranya yaitu: (1)
matematika itu sebagai alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat dan tak
memiliki arti ganda; (2) Matematika adalah alat tangguh komunikasi untuk
menghadirkan, menjelaskan, dan memprediksi juga sebagai alat komunikasi
informasi yang singkat padat karena matematika menggunakan secara intensif
Menurut Turmudi (2008) aspek komunikasi hendaknya menjadi aspek
penting dalam pembelajaran matematika, karena aspek komunikasi melatih siswa
untuk dapat mengomunikasikan gagasan, baik komunikasi lisan maupun
komunikasi tulisan. Selanjutnya menurut Turmudi, komunikasi adalah bagian
esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Hal ini merupakan cara
untuk sharing gagasan dan mengklasifikasikan pemahaman. Herdian (2010)
mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang
dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.
Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu
kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui
peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana
terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika
yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian
suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas
adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun
tertulis.
Di dalam proses pembelajaran matematika di kelas, komunikasi matematis
bisa berlangsung antara guru dengan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara
siswa dengan siswa. Setiap kali siswa mengkomunikasikan gagasan-gagasan
matematika, siswa harus menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara tertentu
sehingga komunikasi tersebut akan berlangsung efektif.
Menurut Sumarmo (2006) untuk mengembangkan kemampuan
saling menghargai pendapat orang lain, siswa dapat diberi tugas belajar dalam
kelompok kecil. Menjadi tugas guru untuk membangun suatu
komunitas/kelompok belajar di dalam kelas, sehingga terjadi interaksi antar
sesama siswa dimana mereka akan bebas mengekspresikan ide dan gagasannya.
Wahyudin (2008) mengatakan untuk mendukung perbincangan ruang kelas secara
efektif, para guru mesti membangun suatu komunitas di mana para siswa akan
merasa bebas untuk mengekspresikan gagasan-gagasan mereka. Dari penjelasan
tersebut, maka kemampuan komunikasi perlu diperhatikan dalam pembelajaran
matematika sebab melalui komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan
mengonsolidasi cara berpikir dan siswa dapat mengeksplorasi ide-ide matematika.
Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa harus
diimbangi dengan pengembangan pengetahuan guru dalam mengajar. Wahyudin
(2008) mengatakan guru tidak saja harus mampu menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya, tetapi mereka juga harus membangun bakat untuk berdiri di luar
pengetahuan mereka dan mengkaji muatan itu dari sudut pandang yang sederhana.
Dengan demikian guru dapat mengkondisikan agar siswa aktif berkomunikasi
dalam belajarnya. Guru dapat membantu siswa untuk memahami ide-ide
matematis secara benar serta meluruskan pemahaman siswa yang kurang tepat.
Komunikasi diperlukan untuk memahami ide-ide matematika secara benar.
Kemampuan komunikasi yang lemah akan berakibat pada lemahnya
kemampuan-kemampuan matematika yang lain. Siswa yang punya kemampuan-kemampuan komunikasi
matematis yang baik akan bisa membuat representasi yang beragam. Hal ini akan
berdampak pada meningkatnya kemampuan menyelesaikan permasalahan dalam
matematika.
Menurut Qahar (2010), seorang siswa yang tidak bisa menjelaskan suatu
persoalan matematis maka minimal ada dua kemungkinan yang terjadi pada siswa
tersebut: pertama, siswa tidak paham terhadap penyelesaian persoalan yang
diberikan sehingga ia juga tidak bisa mengkomunikasikannya. Kedua, siswa
paham terhadap penyelesaian persoalan matematis yang diberikan, namun tidak
bisa mengkomunikasikannya dengan benar. Untuk kasus pertama, pemahaman
matematis siswa harus ditingkatkan sehingga siswa bisa menjelaskan suatu
persoalan matematika yang diberikan, sedangkan pada kasus kedua, dengan
dikembangkannya kemampuan komunikasi matematis maka kendala yang timbul
tersebut bisa dihindari.
Selain kemampuan komunikasi, terdapat aspek psikologis yang turut
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam memahami
matematika dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-concept. Rahman
(2010) mengatakan bahwa self-concept adalah suatu kumpulan pandangan
seseorang tentang dirinya sendiri. Pandangan-pandangan ini merupakan hasil
interaksi individu dengan lingkungannya terutama lingkungan yang kuat bagi
dirinya. Pandangan-pandangan ini mungkin saja tidak seperti kenyataannya.
Beberapa penulis seperti Harter (Javier, 1996) berpendapat self-concept
memberi kontribusi yang menarik yang akan ditentukan oleh tingkat kepentingan
yang kita tetapkan untuk ciri khas masing-masing pribadi. Ketika kita
self-concept yang positif, dan sebaliknya penilaian kita tidak memuaskan maka
kita memperoleh self-concept yang negatif.
Rahman (2010) menyebutkan contoh karakteristik self-concept positif dan
negatif. Self-concept positif diantaranya: (1) Bangga terhadap yang diperbuatnya;
(2) Menunjukkan tingkah laku yang mandiri; (3) Mempunyai rasa tanggung
jawab; (4) Mempunyai toleransi terhadap frustasi; (4) Antusias terhadap
tugas-tugas yang menantang; (5) Merasa mampu mempengaruhi orang lain. Sedangkan
contoh self-concept negatif diantaranya: (1) Menghindar dari situasi yang
menimbulkan kecemasan; (2) Merendahkan kemampuan sendiri; (3) Merasakan
bahwa orang lain tidak mengahargainya; (4) Menyalahkan orang lain karena
kelemahannya; (5) Mudah dipengaruhi oleh orang lain; (6) Mudah frustasi; (7)
Merasa tidak mampu.
Pandangan diri seseorang tidak hanya terjadi dari hasil interaksi individu
dengan lingkungannya. Seorang individu juga dapat memandang dirinya dikaitkan
dengan kemampuan akademiknya. Dalam hal ini merupakan perasaan individu
secara menyeluruh dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan baik dan
kepuasannya terhadap prestasi akademik yang diraihnya. Self-concept dapat pula
muncul dalam bentuk tingkah laku yang menggambarkan bagaimana perasaan
individu tentang dirinya.
Keberhasilan seorang siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah secara
umum dapat merupakan ukuran dari berhasil atau tidaknya seorang siswa
mencapai tujuan pembelajarannya. Dalam pendidikan, keberhasilan seorang siswa
Keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami siswa dapat dipandang sebagai
suatu pengalaman belajar. Dari pengalaman belajar inilah akan menghasilkan
perubahan self-concept siswa berupa perubahan tingkah laku, tingkat pengetahuan
atau pemahaman terhadap sesuatu ataupun tingkat keterampilannya. Diperlukan
self-concept yang positif terhadap pelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan
pelajarannya dan mencapai prestasi belajar maksimal.
Penyelesaian untuk masalah ini terletak pada pemilihan model
pembelajaran yang tepat. Seperti dikatakan Wahyudin (2008), salah satu aspek
penting dari perencanaan bertumpu pada kemampuan guru untuk mengantisipasi
kebutuhan dan materi-materi atau model-model yang dapat membantu para siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Khusus tentang model pembelajaran, tidak jarang model pembelajaran yang
digunakan akan meningkatkan atau menurunkan kualitas faktor-faktor internal
dari pembelajaran itu sendiri. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat
membantu siswa untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat dan
motivasi belajar, sehingga pada akhirnya akan berdampak positif pada prestasi
belajar siswa dan tujuan-tujuan pembelajarannya akan tercapai.
Salah satu model pembelajaran yang tergolong interaktif adalah model
pembelajaran Anchored Instruction. Dalam Anchored Instruction, siswa dituntut
untuk menyaring data, membuat model matematika, dan memberikan solusi dari
suatu masalah yang telah diberikan. Anchored Instruction sekilas tampak seperti
menggunakan media pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat bekerja secara
mandiri, walaupun tidak lepas dari bimbingan guru. Terlebih lagi, permasalahan
yang akan dikerjakan oleh siswa berbentuk cerita sehingga siswa tidak akan
merasa bosan selama mengikuti proses belajar mengajar. Model pembelajaran ini
meliputi penyimpulan informasi sekitar permasalahan yang ada, melakukan
sintesis dan merepresentasikan apa yang didapat dari orang lain.
Ibrahim (2010) mengatakan secara umum model pembelajaran Anchored
Instruction memiliki tahap-tahap sebagai berikut: (1) Pemberian masalah; (2)
Bekerja kelompok; (3) Diskusi; (4) Presentasi oleh setiap kelompok. Jika dilihat
sepintas, model pembelajaran Anchored Instruction ini tidak ada perbedaannya
dengan model pembelajaran kooperatif, walaupun kenyataannya tidak begitu.
Anchored Instruction ini memiliki ciri khas yang berbeda yakni, penggunaan
perangkat multimedia pada tahap pemberian masalah. Masalah ini digunakan
untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis dan inisiatif atas
materi pelajaran yang disajikan. Selain itu, masalah yang diberikan berbentuk
sebuah cerita sehingga siswa dituntut untuk menyaring data yang diperlukan
dalam penyelesaian masalah.
Untuk membuat siswa menjadi tertantang dalam belajarnya perlu adanya
peran aktif guru dalam menciptakan permasalahan yang kontekstual yang kaya
dengan konsep-konsep matematika dan memungkinkan siswa untuk memecahkan
masalah tersebut dari berbagai sudut pandangnya. Pembelajaran dengan model
Anchored Instruction diharapkan mampu menyediakan proses pembelajaran yang
dilakukan yaitu dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks
dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan
mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari
sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah.
Guru akan bertindak sebagai fasilitator dalam diskusi. Masalah yang dihadapkan
kepada siswa pada awal pembelajaran dikonstruksi dengan mempertimbangkan
tingkat perkembangan kognitif siswa sehingga diharapkan adanya keinginan dan
minat siswa memecahkan masalah tersebut. Proses pembelajaran yang diawali
dengan menyajikan masalah untuk menjelaskan suatu konsep, diharapkan
memunculkan respon siswa sehingga terjadinya interaksi aktif siswa terhadap
materi yang mengarah kepada penyelesaian masalah selama pembelajaran
berlangsung.
Penulis menduga bahwa pembelajaran dengan Anchored Instruction dapat
memperkuat kemampuan komunikasi matematis siswa, karena model
pembelajaran ini mengharuskan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan
berdasarkan pola pikir siswa. Dengan model pembelajaran ini siswa dibiasakan
untuk berinteraksi dan berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan matematika
yang disajikan dan dari apa yang telah diperoleh siswa kemudian
dikomunikasikan kepada siswa lainnya. Dengan ide-idenya tersebut siswa akan
memiliki kemampuan komunikasi matematis yang tinggi.
Pembelajaran Anchored Instruction juga memberikan kontribusi dalam
meningkatkan self-concept siswa. Pembelajaran Anchored Instruction yang
kesempatan siswa untuk lebih berinteraksi dengan lingkungan kelas yaitu siswa
lainnya selama pembelajaran berlangsung. Salbiah (2003) mengatakan
self-concept positif individu dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan
intelektual dan penguasaan lingkungan. Self-concept negatif dapat dilihat dari
hubungan individu dan sosial yang terganggu. Interaksi dalam hubungan
kelompok dapat berdampak positif bagi siswa dalam pencapaian kemandirian
dirinya yang mencakup: pengetahuan diri, pemahaman diri, penerimaan diri dan
pengambilan keputusan (Irawan, 2010). Dengan demikian pembelajaran Anchored
Instruction memungkinkan self-concept siswa menjadi berkembang dan lebih
baik.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pada penelitian ini akan dikaji pengaruh
penggunaan model pembelajaran Anchored Instruction terhadap kemampuan
komunikasi matematis dan self-concept siswa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
2. Apakah self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik dari pada
3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
4. Apakah peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang
memperoleh pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
5. Bagaimana persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi
matematis dan self-concept siswa selama pembelajaran?
6. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan
self-concept siswa tentang matematika?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menelaah pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa yang
belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Untuk menelaah pencapaian self-concept siswa tentang matematika yang
belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang
4. Untuk menelaah peningkatan kemampuan self-concept tentang matematika
siswa yang belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
5. Untuk melihat persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi
matematis dan self-concept siswa selama pembelajaran.
6. Untuk melihat pengaruh self-concept siswa tentang matematika dalam
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction dengan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya
dalam bidang pendidikan mengenai hubungan antara self-concept dengan
komunikasi matematis dan model pembelajaran Anchored Instruction pada siswa.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
a. Untuk pihak sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan
dalam upaya meningkatkan self-concept siswa tentang matematika dan
kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pembelajaran
menggunakan model Anchored Instrction.
b. Penelitian ini berguna sebagai input bagi siswa tentang self-concept dan
pengembangan diri siswa terutama dalam meningkatkan self-concept
sehingga komunikasi matematis siswa lebih baik.
c. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang
penggunaan model pembelajaran Anchored Instruction dalam proses belajar
mengajar matematika.
1.5 Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang
dimaksudkan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan defenisi operasional
sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi matematis yang ditelaah dalam penelitian ini
adalah: menyatakan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematika atau sebaliknya, menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa
atau simbol matematika atau sebaliknya dan kemampuan menjelaskan ide
atau situasi dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam
bentuk tulisan. Kemampuan komunikasi siswa dalam hal ini diukur dengan
tes kemampuan komunikasi, di mana tes yang dimaksud berbentuk soal
uraian.
2. Self-concept dalam penelitian ini adalah self-concept siswa tentang
matematika yang diukur pada 3 dimensinya yaitu pengetahuan, harapan dan
penilaian. Dimensi pengetahuan tentang apa yang siswa ketahui tentang
matematika. Dimensi pengetahuan memuat 2 indikator yaitu: (1) Partisipasi
matematika yang ideal. Dimensi harapan memuat 2 indikator yaitu: (1)
Keterkaitan matematika dengan kehidupan nyata; (2) Pandangan siswa
terhadap pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction.
Dimensi penilaian tentang seberapa besar siswa menyukai matematika.
Dimensi penilaian memuat 2 indikator yaitu: (1) Peran aktif siswa dalam
pembelajaran matematika; (2) Ketertarikan siswa terhadap soal-soal
komunikasi matematis.
3. Anchored Instruction bisa diartikan dengan instruksi berjangkar atau dalam
dunia pendidikan lebih dikenal dengan pembelajaran bermakna. Model
pembelajaran Anchored Instruction adalah model pembelajaran yang
memiliki tahap-tahap sebagai berikut: (1) Pemberian masalah; (2) Bekerja
kelompok; (3) Diskusi; (4) Presentasi oleh setiap kelompok. Anchored
Instruction ini memiliki ciri khas yang berbeda yakni, penggunaan
multimedia pada tahap pemberian masalah. Selain itu, masalah yang
diberikan berbentuk sebuah cerita sehingga siswa dituntut untuk menyaring
data yang diperlukan dalam penyelesaian masalah.
4. Sikap (respon) siswa adalah tanggapan siswa yang menunjukkan
kecenderungan siswa untuk merespon positif atau negatif tentang matematika,
pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction dan soal-soal
komunikasi matematis yang diberikan.
5. Pembelajaran konvensional adalah kegiatan pembelajaran yang biasa
dilakukan di sekolah dengan kecenderungan berpusat pada guru
kegiatan pembelajaran. Pembelajaran ini lebih sering menggunakan model
ekspositori untuk menjelaskan konsep/materi pada bahan ajar dan
menjelaskan prosedur penyelesaian soal-soal latihan.
1.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan model pembelajaran Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh pembelajaran
menggunakan model pembelajaran Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
4. Peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
5. Persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi matematis dan
self-concept siswa selama pembelajaran lebih banyak untuk siswa kelas
Anchored Instruction daripada kelas konvensional.
6. Terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis siswa dan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kuasi eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif. Terdapat dua kelompok sampel pada penelitian ini
yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran matematika melalui model
Anchored Instruction dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan
konvensional. Kedua kelompok diberikan pre-test dan post-test, dengan
menggunakan instrumen tes yang sama. Sudjana (2004) menyatakan bahwa
penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh
variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tidak
bebas. Variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan model Anchored
Instruction, sedangkan variabel tidak bebasnya yaitu self-concept dan komunikasi
matematis siswa.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
komunikasi matematis siswa. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
disain ”Pre-test-Post-test Control Group Design” (Sudjana, 2004) dengan
rancangan seperti pada Tabel 1 berikut:
Tabel 3.1. Desain Penelitian
Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test
Eksperimen O X O
dengan: O = Pre-tes dan Post-test
X = Pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction
3.2 Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilakukan di SMAN 3 Banda Aceh. Sebagai populasi dari
penelitian adalah seluruh siswa kelas X pada tahun ajaran 2011/2012.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Sampel dalam penelitian ini
adalah dua kelompok siswa di kelas X-1 dan X-2, dengan perlakuan kelas X-1
sebagai kelas eksperimen dan kelas X-2 sebagai kelas kontrol. Pemilihan kelas
dilakukan atas dasar usulan dari guru mata pelajaran matematika yang mengajar di
sekolah tersebut.
Kelas yang terdapat di SMAN 3 Banda Aceh sejumlah 27 Kelas dengan
rincian kelas X terdiri dari 8 kelas, kelas XI terdiri dari 9 kelas dan kelas XII
terdiri dari 9 kelas. Pendistribusian siswa pada kelas X dilakukan secara merata
pada seluruh kelas dengan jumlah siswa berkisar antara 30-31 orang siswa.
Kemampuan akademik siswa tidak menjadi pertimbangan pada pendistribusian
siswa, sehingga kemampuan akademik dari 8 kelas relatif homogen.
3.3 Instrumen Penelitian
Data dalam penelitian ini diperoleh dari instrumen yang digunakan yaitu
responden secara tertulis. Instrumen tersebut terdiri dari tiga macam instrumen,
yaitu: (a) tes kemampuan komunikasi; (b) lembar observasi selama pembelajaran
dan (c) skala self-concept tentang matematika. Instrumen ini dikembangkan
melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan intrumen, tahap penyaringan dan
tahap uji coba intrumen (tes kemampuan komunikasi matematis). Uji coba
intrumen dilakukan untuk melihat validitas butir tes, reliabilitas tes, daya pembeda
butir tes, dan tingkat kesukaran butir tes.
a. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Tes kemampuan komunikasi matematis di buat dalam bentuk uraian. Tes
tertulis ini terdiri dari tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Tes diberikan
pada semua siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Soal-soal pre-test
dan post-test dibuat ekuivalen/relatif sama. Pemberian pre-test dimaksudkan
untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan model
yang diterapkan, sedangkan post-test dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil
belajar setelah pembelajaran dilakukan dan apakah terdapat perbedaan signifikan
setelah mendapat pembelajaran dengan model yang diterapkan.
Soal tes yang baik harus melalui beberapa tahap penilaian antaranya harus
dinilai validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran. Untuk
mendapatkan validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran maka soal
tes harus diujicobakan pada kelas lain di sekolah pada tingkat yang sama.
Pengukuran reliabilitas, validitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal tes
1. Reliabilitas Butir Soal
Suatu alat ukur (instrumen) memiliki reliabilitas yang baik bila alat ukur itu
memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapapun (dalam level
yang sama), kapanpun dan di manapun berada. Untuk mengukur reliabilitas soal
menggunakan Cronbach’s Alpha (Suherman, 2003: 154) yaitu:
= −
1 1−
�2 2
dengan:
: koefisien reliabilitas soal
: banyak butir soal
�2 : variansi item
2 : variansi total
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba komunikasi matematis adalah sebagai
berikut.
Tabel 3.2 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
Besarnya r Tingkat Reliabilitas
r11 < 0,20 Kecil
0,20 ≤ r11 < 0,40 Rendah
0,40 ≤ r11 < 0,70 Sedang
0,70 ≤ r11 < 0,90 Tinggi
0,90 ≤ r11 < 1,00 Sangat tinggi
Dari hasil analisis menggunakan program Anates V.4 (Lampiran 6) didapat
hasil reliabilitas tes adalah 0,89 yaitu mempunyai interpretasi yang tinggi. Dengan
demikian tes kemampuan komunikasi matematis memiliki konsistensi yang bagus
walaupun dikerjakan oleh siapa saja dalam level kemampuan akademik yang
2. Validitas Butir Soal
Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang baik adalah tes harus dapat
mengukur hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri.
Menurut Arikunto (2007: 65) sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu mengukur
apa yang hendak diukur.
Karena ujicoba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen
tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total butir
tes dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson (Arikunto, 2007: 64):
= ( )−
2−( )2 2−( )2
Keterangan :
= koefisien korelasi antara variabel X dan Y
= jumlah peserta tes
= skor item tes
= skor total
Dengan mengambil taraf signifikan 0,05, sehingga didapat kemungkinan
interpretasi:
(i) Jika rhit≤ rkritis , maka korelasi tidak signifikan
(ii) Jika rhit > rkritis , maka korelasi signifikan
Hasil interpretasi yang berkenaan dengan validitas butir soal dalam penelitian ini
Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas
Data yang didapatkan setelah ujicoba diolah dengan menggunakan program
Microsoft Office Excel 2007 yang memperoleh nilai koefisien korelasi validitas
butir soal. Hasil pengolahan data terlampir di lampiran 6. Rangkuman uji validitas
tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada table 3.4 berikut.
Tabel 3.4 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi
Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi
1 0,87 Sangat Tinggi
Dari tabel di atas terlihat jelas butir-butir soal tes kemampuan komunikasi
matematis dapat mengukur apa yang akan diukur. Ini terlihat dari tingginya
koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal terhadap skor totalnya.
Berdasarkan hasil uji validitas ini, ketujuh butir soal tersebut layak untuk
mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.
3. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk mengklasifikasikan setiap item
sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar. Tingkat kesukaran tes
dihitung dengan rumus (Suparlan, 2005: 36):
�= � ,
Keterangan:
TK : tingkat kesukaran
: rerata skor (mean)
SMI : Skor maksimum ideal
Tabel 3.5 Tingkat Kesukaran (TK)
Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk setiap butir soal
tes kemampuan komunikasi matematis siwa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.6 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes
No Soal Rata Butir Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 2 0,55 Sedang
2 1 0,07 Sukar
3 2 0,23 Sukar
4 1,5 0,26 Sukar
5 2,5 0,59 Sedang
6 3 0,75 Sangat Mudah
7 2 0,38 Sedang
Dapat dilihat dari hasil uji tingkat kesukaran soal tes komunikasi pada tabel
di atas bahwa ketujuh soal tergolong baik karena tidak terlalu sukar dan tidak Indeks Kesukaran Interpretasi
� = 0,00 Terlalu sukar
0,00 < �< 0,30 Sukar
0,30 <TK< 0,70 Sedang
0,70 < �< 1,00 Mudah
berarti benar-benar sukar melainkan karena kurangnya pengalaman siswa dalam
menyelesaikan soal-soal komunikasi matematis.
4. Daya Pembeda
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut untuk
membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau
antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan
rendah. Daya pembeda tes dihitung dengan rumus:
��= �−
Keterangan:
DP : daya pembeda
: jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
: jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
� : jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal yang dipilih
Interpretasi perhitungan daya pembeda dengan klasifikasi yang
dikemukakan oleh Suherman (2003)
Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda soal
Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal
�� 0,00 Sangat jelek
0,00 <�� 0,20 Jelek
0,20 <�� 0,40 Cukup
0,40 <�� 0,70 Baik
0,70 <�� 1,00 Sangat baik
Untuk data dalam jumlah yang banyak (kelas besar) dengan n > 30, maka
sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor tertinggi dikategorikan ke dalam
terendah dikategorikan kelompok bawah (lower group). Untuk data di bawah n ≤
30 maka siswa akan dibagi jadi dua kelompok sama besar.
Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komunikasi matematis
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.8. Daya Pembeda Soal
b. Lembar Observasi Selama Pembelajaran
Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama
pembelajaran. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas guru sebagai pengajar dan
aktivitas siswa dalam pembelajaran. Observasi dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kondisi awal siswa sebelum pembelajaran dan jalannya proses belajar
mengajar di dalam kelas.
c. Skala self-Concept Siswa tentang Matematika
Self-concept yang menjadi fokus pada penelitian ini ada pada tiga dimensi
pengukuran self-concept yang dilakukan Calhoun yaitu, pengetahuan, harapan,
dan penilaian. Self-concept siswa tentang matematika adalah total skor yang
diperoleh dari jawaban responden yaitu siswa yang mengukur: aspek kognitif
yaitu pengetahuan siswa tentang keadaan dirinya, dan aspek afektif yaitu penilaian No Soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,62 Baik
2 0,12 Jelek
3 0,25 Cukup
4 0,37 Cukup
5 0,12 Jelek
6 0,37 Cukup
siswa tentang dirinya. Self-concept ini di ukur setelah pembelajaran dilakukan
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Skala self-concept yang digunakan adalah Skala Likert yang digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang.
Variabel yang akan diukur dengan Skala Likert dijabarkan menjadi indikator
variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk
menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.
Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai
gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata
antara lain: Sangat Setuju (ST), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak
Setuju (STS). Prosedur dalam membuat skala Likert adalah sebagai berikut
(Nazir, 2005):
1) Peneliti mengumpulkan item-item yang cukup banyak, relevan dengan
masalah yang sedang diteliti, dan terdiri dari item yang cukup jelas disukai
dan tidak disukai;
2) Kemudian item-item itu dicoba kepada sekelompok responden yang cukup
representatif dari populasi yang ingin diteliti;
3) Responden di atas diminta untuk mengecek tiap item, apakah ia menyenangi
(+) atau tidak menyukainya (-). Respons tersebut dikumpulkan dan jawaban
yang memberikan indikasi menyenangi diberi skor tertinggi. Tidak ada
masalah untuk memberikan angka 5 untuk yang tertinggi dan skor 1 untuk
yang terendah atau sebaliknya. Yang penting adalah konsistensi dari arah
setuju” disebut yang disenangi, tergantung dari isi pertanyaan dan isi dari
item-item yang disusun;
4) Total skor dari masing-masing individu adalah penjumlahan dari skor
masing-masing item dari individu tersebut;
5) Respon dianalisis untuk mengetahui item-item mana yang sangat nyata
batasan antara skor tinggi dan skor rendah dalam skala total. Misalnya,
responden pada upper 25% dan lower 25% dianalisis untuk melihat sampai
berapa jauh tiap item dalam kelompok ini berbeda. Item-item yang tidak
menunjukkan beda yang nyata, apakah masuk dalam skor tinggi atau rendah
juga dibuang untuk mempertahankan konsistensi internal dari pertanyaan.
Untuk menguji validitas skala self-concept digunakan uji validitas isi
(content validity). Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan
antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah ditetapkan (Sugiyono,
2010). Instrumen dinyatakan valid apabila sesuai dengan apa yang hendak diukur.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh melalui tes, lembar observasi, dan angket skala
self-concept siswa. Data yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi
matematis siswa diperoleh melalui tes (pre-test dan post-test). Sedangkan data
yang berkaitan dengan self-concept siswa tentang matematika diperoleh melalui
3.5 Teknik Analisis Data
Data yang akan dianalisa adalah data kuantitatif berupa hasil tes
kemampuan komunikasi matematis siswa, dan data deskriptif berupa hasil
observasi dan angket skala self-concept siswa. Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan software SPSS 16 dan Microsoft Office Excel 2007.
a. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan komunikasi Matematis
Dalam melakukan pengolahan terhadap hasil tes kemampuan komunikasi
matematis siswa digunakan bantuan SPSS 16 dan Microsoft Office Excel 2007.
Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis deskriptif yang bertujuan
untuk melihat gambaran umum pencapaian kemampuan komunikasi matematis
yang terdiri dari rerata dan simpangan baku. Kemudian dilakukan analisis
terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis dengan uji kesamaan
dua rataan parametrik atau nonparametrik.
Uji kesamaan dua rerata dipakai untuk membandingkan antara dua
keadaan, yaitu keadaan nilai rerata pre-test siswa pada kelompok eksperimen
dengan siswa pada kelompok kontrol, keadaan nilai rerata post-test siswa pada
kelompok eksperimen dengan siswa pada kelompok kontrol.
Sebelum data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa
hal, antara lain:
a) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan sistem
penskoran yang digunakan.
b) Membuat tabel skor pret-test dan post-test siswa kelas eksperimen dan kelas
d) Menghitung standar deviasi untuk mengetahui penyebaran kelompok dan
menunjukkan tingkat variansi kelompok data.
e) Membandingkan skor pre-test dan post-test untuk mencari peningkatan (gain)
yang terjadi sesudah pembelajran pada masing-masing kelompok yang
dihitung dengan rumus gain ternormalisasi Hake (Meltzer, 2002) yaitu:
�
=
−−
Keterangan: ∶ Skor post-test
∶ Skor pre-test
: Skor maksimum
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan
klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 3.9 Kriteria N-Gain
N-Gain Interpretasi
� 0,7 Tinggi
0,3 �< 0,7 Sedang
� < 0,3 Rendah
f) Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat signifikansi yaitu 5% (� = 0,05).
Sebelum dilakukan uji hipotesis menggunakan uji kesamaan dua rerata
(uji-t), terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi
analisis selanjutnya. Statistik yang digunakan untuk uji normalitas adalah
One-Sample Kolmogorov Smirnov.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh
berasal dari populasi yang memiliki variansi homogen (sama). Karena penelitian
ini dianalisis menggunakan statistik uji-t dengan penyatuan dua variansi, maka
harus dipenuhi syarat homogenitas variansi. Suharsimi Arikunto mengatakan,
pengujian homogenitas sampel menjadi sangat penting apabila peneliti bermaksud
melakukan generalisasi untuk hasil penelitiannya serta penelitian yang data
penelitiannya diambil dari kelompok-kelompok terpisah yang berasal dari satu
populasi. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Homogenity of
Variances (Levene Statistic).
Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi
matematis siswa dengan self-concept siswa tentang matematika maka dilakukan
uji korelasi. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara dua
variabel atau lebih yang diamati. Untuk melihat koefisien korelasi kemampuan
komunikasi matematis dengan self-concept siswa tentang matematika maka kedua
jenis data harus sama. Karena data kemampuan komunikasi matematis merupakan
data interval, sedangkan concept merupakan data ordinal, maka data
self-concept harus dikonversi terlebih dahulu menjadi data interval.
Menurut Sundayana (2010), merubah data ordinal menjadi skala interval
dapat dilakukan dengan menggunakan Metode Successive Interval.
1. Menentukan frekuensi setiap respon;
2. Menentukan proporsi setiap respon dengan membagi frekuensi dengan
jumlah frekuensi;
3. Menjumlahkan proporsi secara berurutan untuk setiap respon sehingga
diperoleh proporsi kumulatif;
4. Menentukan Z tabel untuk masing-masing proporsi kumulatif yang dianggap
menyebar mengikuti sebaran normal baku;
5. Menentukan nilai densitas untuk setiap nilai Z;
6. Menghitung scale value (interval rerata) untuk masing-masing respon;
7. Mengubah scale value terkecil menjadi sama dengan satu dan
mentransformasikan masing-masing skala menurut perubahan skala terkecil
sehingga diperoleh transformedscale value.
Untuk menghitung scale value dapat digunakan rumus seperti yang
dikatakan Junaidi (2008) berikut:
= ℎ −
ℎ � ℎ − ℎ � ℎ ℎ
Hitung score (nilai hasil transformasi) untuk setiap kategori melalui persamaan:
= � + � � + 1.
Setelah data self-concept dikonversi menjadi data interval, maka untuk
melihat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan self-concept siswa
0
rxy = koefisien korelasi
X = skor item butir soal
Y = jumlah skor total tiap soal
n = jumlah responden
Langkah selanjutnya melakukan pengujian terhadap keberartian dengan
korelasi yang diperoleh. Hipotesis yang digunakan :
Uji statistik yang digunakan adalah t-student dengan rumus:
= −2
1− 2
Keterangan:
r = koefisien korelasi
n = banyaknya subjek
Pengujian validitas dilakukan dengan membandingkan nilai thitung dengan
tabel
t dari distribusi t dengan taraf keberartian = 0,05 dan dk = n-1.
Untuk data berdistribusi tidak normal, digunakan uji non-parametrik
korelasi Spearman dengan rumus seperti dikatakan sudjana (2004: 455) berikut:
= 1− 6
2
Keterangan:
= koefisien korelasi Pearson
= koefisien korelasi Spearman
= selisih peringkat
= banyak pasangan nilai-nilai
Untuk melihat pengaruh kemampuan komunikasi matematis terhadap
self-concept siswa dilakukan analisis regresi. Persamaan analisis regresinya Usman
(1995) adalah:
= +
Keterangan:
= variable kriterium
X = variable prediktor
a = bilangan konstan
b = koefisien arah regresi linier
untuk nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus Usman (1995):
=
2 −
2− 2
= − 2 − 2
Keterangan:
= jumlah nilai komunikasi
= jumlah nilai self-concept
3.6 Prosedur Penelitian
Prosedur pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan,
tahap pelaksanaan dan tahap analisis data. Uraian dari kedua tahap tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:
(a) Observasi tempat penelitian;
(b) Menetapkan materi pelajaran yang akan digunakan dalam penelitian;
(c) Pembuatan perangkat bahan ajar, seperti RPP dan instrumen penelitian
yang terlebih dahulu dinilai oleh para ahli;
(d) Melakukan uji coba instrumen yang akan digunakan untuk mengetahui
kualitasnya;
(e) Merevisi instrumen penelitian (jika diperlukan);
(f) Melakukan uji coba instrumen penelitian hasil revisi (jika diperlukan);
2. Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam tahap ini, sebagai berikut.
(a) Memberikan tes awal pada kelas kontrol dan kelas eksperimen;
(b) Melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pada kelas kontrol dilakukan
pembelajaran biasa (konvensional) dan kelas eksperimen dilakukan
pembelajaran dengan model Anchored Instruction;
(c) Mengisi lembar observasi disetiap pertemuan oleh observer;
(d) Memberikan tes akhir pada kelas kontrol dan eksperimen untuk
(e) Memberikan skala self-concept siswa tentang matematika pada kelas
kontrol dan eksperimen;
(f) Pengolahan data hasil pre-test dan post-test.
3. Tahap Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil tes, baik pre-test maupun post-test serta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1KESIMPULAN
Setelah dilakukan perlakuan berbeda antara dua kelompok sampel yaitu
kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model
Anchored Instruction dan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran
konvensional maka berdasarkan hasil analisis data untuk pengujian hipotesisnya,
kesimpulan dari temuan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran dengan
menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional yaitu pada kategori
sedang.
4. Peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh
pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional yaitu pada kategori
rendah.
5. Persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi matematis dan
self-concept siswa selama pembelajaran lebih banyak untuk siswa kelas Anchored
6. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran menggunakan
model Anchored Instruction dan konvensional mempengaruhi Self-concept
siswa.
5.2 SARAN
Dari hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, dikemukakan
beberapa saran berikut:
1. Pembelajaran dengan menggunakan model Anchored Instruction terbukti
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan self-concept
siswa. Dengan demikian pembelajaran Anchored Instruction sebaiknya
diterapkan di lapangan.
2. Bagi siapa saja yang akan menerapkan model pembelajaran Anchored
Instruction ini hendaknya memperhatikan efektivitas waktu mengingat pada
pelaksanaannya pebelajaran tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan.
3. Pada model pembelajaran Anchored Instruction siswa didorong untuk
mengkonsruksi sendiri kemampuan dan pengetahuannya melalui bahan ajar
atau LKS yang diberikan. Oleh karena itu guru hendaknya mempersiapkan
dan merancang tugas dan aktivitas yang ada pada bahan ajar atau LKS
seoptimal mungkin.
4. Bagi peneliti selanjutnya agar menelaah kelemahan pembelajaran ini dan
mengkaji bagaimana pengaruhnya pada kemampuan matematis yang lain
seperti kemampuan, memecahkan masalah, kemampuan berpikir kritis dan
DAFTAR PUSTAKA
Andaners. (2009). Konsep Diri (Self-concept). [Online]. Tersedia: http://andaners.wordpress.com/2009/04/20/konsep-diri-self-concept. [10 Desember 2011].
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach. Alih Bahasa Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2006). “Pengembangan Bahan Ujian dan Analisis Hasil Ujian” Materi Presentasi Sosialisasi KTSP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Barab, S. 1999. “Ecologizing” Instruction Through Integrated Units. Middle School Journal: 21-28.
Bransford, J. (2009). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.lifecircles-inc.comLearningtheoriesbransford.html. [13 Februari 2012].
Crews, T. et al. 1997. Anchored Interactive Learning Environments. International Journal of AI in Education. 8:1-30.
Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Hadley, A. (2008, Agustus). Brief Research-to-results. Trends child. 2008-32. Tersedia: http://www.childtrends.org/files/child_trends-2008_08_20_rb_ selfconcept. [10 Desember 2011].
Herdian. 2010. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi-matematis. [ 10 Mei 2011].
Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: SPs UPI. Tesis tidak diterbitkan
Irawan, E. (2010). Evektivitas Teknik Bimbingan Kelompok Untuk Menigkatkan Konsep Diri Remaja (Studi Pre-Eksperimen Pada Siswa Kelas X SMK Yapema Gadingrejo Lampung). Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Jarmita, N. (2009). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam Meningkatkan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa pada Pokok Bahasan Bangun Ruang. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan
Javier, F. (1996). “Relationships Between Self-Concept and Academic
Achievement in Primary Students”. Journal Of Research in Educational Psychology and Psychopedagogy. 1, (1), 95-120.
Juariah. (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui Pendekatan Keterampilan Proses Matematika. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Junaidi. (2008). Penjelasan Tahap Transformasi Data Ordinal ke Interval dengan Excel. [Online]. Tersedia: http://junaidichaniago.wordpress.com/ 2008/07/30/penjelasan-tahap-transformasi-data-ordinal-ke-interval-dg-xcel. [7 Januari 2012].
Lindawati, S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis PPS Upi Bandung. Tidak diterbitkan.
Meltzer & David E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: „hidden variable‟ in Diagnostic Pretest Scores”. American Journal of Physics, 70, (12), 1259-1267.
Miftah, R. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Reciprocal Teaching. FMIPA UIN. Tidak diterbitkan.
Mulyanto, MY. (2012). Lembar Observasi Motivasi Belajar. [Online]. Tersedia:
http://www.scribd.com/doc/49896388/15/Lampiran-4-Lembar-Observasi-Aktivitas-Siswa. [29 Mei 2012].
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics . Reston, VA: NCTM.
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Oliver, K. (1999). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/anchored. [10 Desember].
Qahar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi Dan Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa Smp Melalui Reciprocal Teaching. Tesis PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Rachmayanti, R. (2010). Efektivitas Bimbingan dan Konseling Kelompok Tugas dan Diskusi dalam Mengembangkan Konsep Diri Siswa. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Rahman, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Self-concept Siswa. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Ratumanan, T.G. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: Unesa University Press.
Rola, F. (2006). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja. Makalah Fakultas Kedokteran USU. Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung. Direktorat jenderal pendidikan tinggi.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Edisi Revisi. Bandung: Tarsito.
Salbiah. (2003). Konsep Diri. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU. Tidak diterbitkan.
Slavin, R.E. (1988). Educational Psychology, Theory into Practice. Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall
Sudjana. (2004). Metode Statistika. Jakarta: Tarsito.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV Alfabeta.
Suherman, E. (2003). “Common Text Book” dalam Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.
Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. Bandung: FPMIPA UPI.
Sundayana. R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung: STKIP Garut Press.
Suparlan, A. 2005. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Representasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada Siswa Salah Satu SMP di Cirebon). Tesis SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. SPs UPI Bandung. Disertasi tidak diterbitkan.
Sutja, Akmal. (1989). Adekuasi Penyesuaian Kulikuler Siswa Dilihat Dari Konsep
Diri Akademiknya dan Aspirasi Akademik Orang Tuanya. Tesis Pada Fakultas
Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Suzana, A. (2009). Pengaruh Penerapan Model Reciprocal Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik. FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media Group.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif), Bandung: Lauser Cita Pustaka.
Ulya, N. (2007). Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematisk Siswa SMP?MTs Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament (TGT). Tesis PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Usman, H. (1995). Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.
DAFTAR PUSTAKA
Andaners. (2009). Konsep Diri (Self-concept). [Online]. Tersedia: http://andaners.wordpress.com/2009/04/20/konsep-diri-self-concept. [10 Desember 2011].
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach. Alih Bahasa Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2006). “Pengembangan Bahan Ujian dan Analisis Hasil Ujian” Materi Presentasi Sosialisasi KTSP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Barab, S. 1999. “Ecologizing” Instruction Through Integrated Units. Middle School Journal: 21-28.
Bransford, J. (2009). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.lifecircles-inc.comLearningtheoriesbransford.html. [13 Februari 2012].
Crews, T. et al. 1997. Anchored Interactive Learning Environments. International Journal of AI in Education. 8:1-30.
Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Hadley, A. (2008, Agustus). Brief Research-to-results. Trends child. 2008-32. Tersedia: http://www.childtrends.org/files/child_trends-2008_08_20_rb_ selfconcept. [10 Desember 2011].
Herdian. 2010. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi-matematis. [ 10 Mei 2011].
Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: SPs UPI. Tesis tidak diterbitkan