• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN ANCHORED INSTRUCTION TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN SELF-CONCEPT SISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN ANCHORED INSTRUCTION TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN SELF-CONCEPT SISWA."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………. i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Definisi Operasional ... 13

1.6 Hipotesis Penelitain ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 16

2.2 Self-Concept Siswa ... 21

2.2.1 Self-Concept Siswa tentang matematika ... 32

2.3 Model Pembelajaran Anchored Instruction ……… ... 34

2.4 Teori Belajar yang Berkaitan dengan Model Anchored Instruction ………..……. ... 39

2.5 Penelitian tentang Komunikasi Matematis, Self-Concept dan Model Anchored Instruction yang Pernah Diteliti ... 44

2.6 Pembelajaran Konvensional ... 45

(2)

3.2 Populasi dan Sampel ... 48

3.3 Instrumen Penelitian ... 48

a. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 49

1. Reliabilitas ……… . 50

2. Validitas ………. 51

3. Tingkat Kesukaran ... 52

4. Daya Pembeda ……… ... 54

b. Lembar Observasi selama Pembelajaran ... 55

c. Skala Self-Concept ... 55

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.5 Teknik Analisis Data ... 58

3.6 Prosedur Penelitian ... ……… 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 66

4.1.1 Hasil Penelitian Tentang Komunikasi Matematis ... 66

4.1.1.1 Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis sebelum Pembelajaran ……… ... 68

4.1.1.2 Analisis Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran ……….. 72

4.1.1.3 Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis setelah Pembelajaran ………... .... 75

4.1.1.4 Analisis Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis ………... ... 79

4.1.2 Hasil Penelitian Tentang Self-Concept……… 83

4.1.2.1 Gambaran Self-Concept Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional sebelum Pembelajaran ………... ... 84

(3)

4.1.2.3 Gambaran Self-Concept Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional setelah

Pembelajaran ………….. ... 90

4.1.2.4 Analisis Peningkatan Skor Self-Concept Siswa …… 94

4.1.3 Koefisien Korelasi Antara Self-Concept dengan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… .. 98

4.2 Pembahasan ………... ... 105

4.2.1 Pembelajaran dengan Model Anchored Instruction … 106

4.2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis ……….. .... 112

4.2.3 Self-Concept ……… ... 118

4.2.4Hubungan antara Self-Concept dan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… . 120

4.2.5 Keterbatasan Penelitian ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 124

5.2 Saran …… ... … 125

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Desain Penelitian ... 47

3.2 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 50

3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 52

3.4 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi ... 52

3.5 Tingkat Kesukaran ... 53

3.6 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes ... 53

3.7 Klasifikasi Daya Pembeda soal ... 54

3.8 Daya Pembeda Soal ... 55

3.9 Kriteria N-Gain ... 59

4.1 Deskripsi Statistik Kemampuan Komunikasi Matematis ... ... 67

4.2 Skor min, Skor maks, Rerata Kelas Anchored Instruction dan Konvensional ... 69

4.3 Hasil Uji Normalitas Skor Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 70

4.4 Hasil Uji Homogenitas Skor Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 71

4.5 Hasil Uji Persamaan Dua Rerata Pre-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 72

4.6 Hasil Perhitungan Data Observasi Aktivitas Siswa selama Pembelajaran ...……… ... 74

4.7 Skor min, Skor maks, Rerata Kelas Anchored Instruction dan Konvensional ... 75

4.8 Hasil Uji Normalitas Skor Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 76

4.9 Hasil Uji Homogenitas Skor Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 77

4.10 Hasil Uji Perbedaan Dua Rerata Post-test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 79

4.11 Rerata Skor Gain Kemampuan Komunikasi Matematis ... 80

(5)

Matematis ... 82 4.14 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Gain Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 83 4.15 Hasil Skala Self-concept Kelas Anchored Instruction

dan Kelas Konvensional ... 84 4.16 Hasil Uji Normalitas Skor angket Self-Concept Siswa Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 85 4.17 Hasil Uji Homogenitas Angket Self-Concept Siswa Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 86 4.18 Hasil Uji Persamaan Dua Rerata Angket Self-Concept Siswa

Kelas Anchored Instruction dan Kelas Konvensional... 87 4.19 Hasil Perhitungan Data Observasi Aktivitas Siswa

selama Pembelajaran ... 89 4.20 Hasil Skala Self-concept Kelas Anchored Instruction

dan Kelas Konvensional ... 90 4.21 Hasil Uji Normalitas Skor Self-Concept Siswa Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 92 4.22 Hasil Uji Homogenitas Skor Self-Concept siswa Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 94 4.23 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Self-Concept Siswa Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 94 4.24 Rerata Skor Gain Self-Concept Siswa ... 95 4.25 Uji Normalitas Skor Gain Skala Self-Concept Kelas

Anchored Instruction dan Kelas Konvensional ... 96 4.26 Hasil Uji Homogenitas Varians Gain Skala Self-Concept Siswa .... 96 4.27 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor Gain Skala Self-Concept Siswa .. 97 4.28 Interpretasi Nilai Korelasi ... 98 4.29 Hasil Uji Korelasi Self-Concept dan Kemampuan

Komunikasi Matematis kelas Anchored Instraction ... 99 4.30 Koefisien Determinan Korelasi ... 99 4.31 Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan

Komunikasi Matematis Kelas Anchored Instruction ... 101 4.32 Hasil Uji Korelasi Self-Concept dan Kemampuan

Komunikasi Matematis kelas Konvensional ... 102 4.33 Koefisien Determinan Korelasi ... 103 4.34 Hasil Analisis Regresi Self-Concept dengan Kemampuan

(6)
(7)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu tidak terlepas kaitannya dengan

dunia pendidikan terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang memegang peranan penting. Mengingat pentingnya matematika dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi, maka sudah sewajarnya matematika sebagai pelajaran

wajib perlu dikuasai dan dipahami dengan baik oleh siswa di sekolah-sekolah.

Ruseffendi (1991) mengatakan matematika penting sebagai pembimbing pola

pikir maupun sebagai pembentuk sikap. Oleh sebab itu guru mempunyai peran

penting membantu siswa agar dapat belajar matematika dengan baik.

Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai

tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan proses pembelajaran. Namun

tercapainya tujuan pembelajaran sangat tergantung pada kesiapan proses

perencanaan pembelajaran yang dilakukan. Wahyudin (2008) mengatakan kajian

cermat terhadap muatan materi, metode-metode pendekatan yang memungkinkan,

dan metode-metode presentasi yang potensial semuanya harus dipertimbangkan

sebagai hal-hal penting dari proses perencanaan.

Sudah seharusnya pemilihan metode dan media yang tepat disesuaikan

dengan kondisi dan karakteristik materi yang diajarkan. Untuk mengatasi

permasalahan ini, salah satu usaha yang bisa menjadi alternatif pilihan guru

matematika adalah mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran yang tepat

(10)

Dalam dunia pendidikan komunikasi memegang peranan penting yang

menciptakan berbagai interaksi, dengan komunikasi yang baik materi pelajaran

yang disampaikan oleh komunikator (guru) kepada komunikan (siswa) bisa

dicerna oleh siswa dengan optimal. Proses komunikasi di dunia pendidikan bisa

berupa komunikasi verbal, non verbal, maupun komunikasi melalui media

pembelajaran. Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu cara untuk

menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk

memberitahu, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak

langsung melalui media (Herdian, 2010). Di dalam berkomunikasi tersebut harus

dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat

dipahami oleh orang lain.

Dalam pembelajaran matematika komunikasi menjadi aspek yang penting

untuk menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Dengan komunikasi siswa

dapat saling bertukar irformasi sehingga ide-ide matematika dapat dieksploitasi

lebih mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa matematika menjadi salah satu alat

komunikasi yang tangguh dalam pembelajaran. Menurut Wahyudin (Juariah,

2008) ada 13 alasan mengapa matematika diajarkan. Dua diantaranya yaitu: (1)

matematika itu sebagai alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat dan tak

memiliki arti ganda; (2) Matematika adalah alat tangguh komunikasi untuk

menghadirkan, menjelaskan, dan memprediksi juga sebagai alat komunikasi

informasi yang singkat padat karena matematika menggunakan secara intensif

(11)

Menurut Turmudi (2008) aspek komunikasi hendaknya menjadi aspek

penting dalam pembelajaran matematika, karena aspek komunikasi melatih siswa

untuk dapat mengomunikasikan gagasan, baik komunikasi lisan maupun

komunikasi tulisan. Selanjutnya menurut Turmudi, komunikasi adalah bagian

esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Hal ini merupakan cara

untuk sharing gagasan dan mengklasifikasikan pemahaman. Herdian (2010)

mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang

dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.

Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu

kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui

peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana

terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika

yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian

suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas

adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun

tertulis.

Di dalam proses pembelajaran matematika di kelas, komunikasi matematis

bisa berlangsung antara guru dengan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara

siswa dengan siswa. Setiap kali siswa mengkomunikasikan gagasan-gagasan

matematika, siswa harus menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara tertentu

sehingga komunikasi tersebut akan berlangsung efektif.

Menurut Sumarmo (2006) untuk mengembangkan kemampuan

(12)

saling menghargai pendapat orang lain, siswa dapat diberi tugas belajar dalam

kelompok kecil. Menjadi tugas guru untuk membangun suatu

komunitas/kelompok belajar di dalam kelas, sehingga terjadi interaksi antar

sesama siswa dimana mereka akan bebas mengekspresikan ide dan gagasannya.

Wahyudin (2008) mengatakan untuk mendukung perbincangan ruang kelas secara

efektif, para guru mesti membangun suatu komunitas di mana para siswa akan

merasa bebas untuk mengekspresikan gagasan-gagasan mereka. Dari penjelasan

tersebut, maka kemampuan komunikasi perlu diperhatikan dalam pembelajaran

matematika sebab melalui komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan

mengonsolidasi cara berpikir dan siswa dapat mengeksplorasi ide-ide matematika.

Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa harus

diimbangi dengan pengembangan pengetahuan guru dalam mengajar. Wahyudin

(2008) mengatakan guru tidak saja harus mampu menggunakan pengetahuan yang

dimilikinya, tetapi mereka juga harus membangun bakat untuk berdiri di luar

pengetahuan mereka dan mengkaji muatan itu dari sudut pandang yang sederhana.

Dengan demikian guru dapat mengkondisikan agar siswa aktif berkomunikasi

dalam belajarnya. Guru dapat membantu siswa untuk memahami ide-ide

matematis secara benar serta meluruskan pemahaman siswa yang kurang tepat.

Komunikasi diperlukan untuk memahami ide-ide matematika secara benar.

Kemampuan komunikasi yang lemah akan berakibat pada lemahnya

kemampuan-kemampuan matematika yang lain. Siswa yang punya kemampuan-kemampuan komunikasi

matematis yang baik akan bisa membuat representasi yang beragam. Hal ini akan

(13)

berdampak pada meningkatnya kemampuan menyelesaikan permasalahan dalam

matematika.

Menurut Qahar (2010), seorang siswa yang tidak bisa menjelaskan suatu

persoalan matematis maka minimal ada dua kemungkinan yang terjadi pada siswa

tersebut: pertama, siswa tidak paham terhadap penyelesaian persoalan yang

diberikan sehingga ia juga tidak bisa mengkomunikasikannya. Kedua, siswa

paham terhadap penyelesaian persoalan matematis yang diberikan, namun tidak

bisa mengkomunikasikannya dengan benar. Untuk kasus pertama, pemahaman

matematis siswa harus ditingkatkan sehingga siswa bisa menjelaskan suatu

persoalan matematika yang diberikan, sedangkan pada kasus kedua, dengan

dikembangkannya kemampuan komunikasi matematis maka kendala yang timbul

tersebut bisa dihindari.

Selain kemampuan komunikasi, terdapat aspek psikologis yang turut

memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam memahami

matematika dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-concept. Rahman

(2010) mengatakan bahwa self-concept adalah suatu kumpulan pandangan

seseorang tentang dirinya sendiri. Pandangan-pandangan ini merupakan hasil

interaksi individu dengan lingkungannya terutama lingkungan yang kuat bagi

dirinya. Pandangan-pandangan ini mungkin saja tidak seperti kenyataannya.

Beberapa penulis seperti Harter (Javier, 1996) berpendapat self-concept

memberi kontribusi yang menarik yang akan ditentukan oleh tingkat kepentingan

yang kita tetapkan untuk ciri khas masing-masing pribadi. Ketika kita

(14)

self-concept yang positif, dan sebaliknya penilaian kita tidak memuaskan maka

kita memperoleh self-concept yang negatif.

Rahman (2010) menyebutkan contoh karakteristik self-concept positif dan

negatif. Self-concept positif diantaranya: (1) Bangga terhadap yang diperbuatnya;

(2) Menunjukkan tingkah laku yang mandiri; (3) Mempunyai rasa tanggung

jawab; (4) Mempunyai toleransi terhadap frustasi; (4) Antusias terhadap

tugas-tugas yang menantang; (5) Merasa mampu mempengaruhi orang lain. Sedangkan

contoh self-concept negatif diantaranya: (1) Menghindar dari situasi yang

menimbulkan kecemasan; (2) Merendahkan kemampuan sendiri; (3) Merasakan

bahwa orang lain tidak mengahargainya; (4) Menyalahkan orang lain karena

kelemahannya; (5) Mudah dipengaruhi oleh orang lain; (6) Mudah frustasi; (7)

Merasa tidak mampu.

Pandangan diri seseorang tidak hanya terjadi dari hasil interaksi individu

dengan lingkungannya. Seorang individu juga dapat memandang dirinya dikaitkan

dengan kemampuan akademiknya. Dalam hal ini merupakan perasaan individu

secara menyeluruh dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan baik dan

kepuasannya terhadap prestasi akademik yang diraihnya. Self-concept dapat pula

muncul dalam bentuk tingkah laku yang menggambarkan bagaimana perasaan

individu tentang dirinya.

Keberhasilan seorang siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah secara

umum dapat merupakan ukuran dari berhasil atau tidaknya seorang siswa

mencapai tujuan pembelajarannya. Dalam pendidikan, keberhasilan seorang siswa

(15)

Keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami siswa dapat dipandang sebagai

suatu pengalaman belajar. Dari pengalaman belajar inilah akan menghasilkan

perubahan self-concept siswa berupa perubahan tingkah laku, tingkat pengetahuan

atau pemahaman terhadap sesuatu ataupun tingkat keterampilannya. Diperlukan

self-concept yang positif terhadap pelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan

pelajarannya dan mencapai prestasi belajar maksimal.

Penyelesaian untuk masalah ini terletak pada pemilihan model

pembelajaran yang tepat. Seperti dikatakan Wahyudin (2008), salah satu aspek

penting dari perencanaan bertumpu pada kemampuan guru untuk mengantisipasi

kebutuhan dan materi-materi atau model-model yang dapat membantu para siswa

untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Khusus tentang model pembelajaran, tidak jarang model pembelajaran yang

digunakan akan meningkatkan atau menurunkan kualitas faktor-faktor internal

dari pembelajaran itu sendiri. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat

membantu siswa untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Oleh karena itu

diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat dan

motivasi belajar, sehingga pada akhirnya akan berdampak positif pada prestasi

belajar siswa dan tujuan-tujuan pembelajarannya akan tercapai.

Salah satu model pembelajaran yang tergolong interaktif adalah model

pembelajaran Anchored Instruction. Dalam Anchored Instruction, siswa dituntut

untuk menyaring data, membuat model matematika, dan memberikan solusi dari

suatu masalah yang telah diberikan. Anchored Instruction sekilas tampak seperti

(16)

menggunakan media pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat bekerja secara

mandiri, walaupun tidak lepas dari bimbingan guru. Terlebih lagi, permasalahan

yang akan dikerjakan oleh siswa berbentuk cerita sehingga siswa tidak akan

merasa bosan selama mengikuti proses belajar mengajar. Model pembelajaran ini

meliputi penyimpulan informasi sekitar permasalahan yang ada, melakukan

sintesis dan merepresentasikan apa yang didapat dari orang lain.

Ibrahim (2010) mengatakan secara umum model pembelajaran Anchored

Instruction memiliki tahap-tahap sebagai berikut: (1) Pemberian masalah; (2)

Bekerja kelompok; (3) Diskusi; (4) Presentasi oleh setiap kelompok. Jika dilihat

sepintas, model pembelajaran Anchored Instruction ini tidak ada perbedaannya

dengan model pembelajaran kooperatif, walaupun kenyataannya tidak begitu.

Anchored Instruction ini memiliki ciri khas yang berbeda yakni, penggunaan

perangkat multimedia pada tahap pemberian masalah. Masalah ini digunakan

untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis dan inisiatif atas

materi pelajaran yang disajikan. Selain itu, masalah yang diberikan berbentuk

sebuah cerita sehingga siswa dituntut untuk menyaring data yang diperlukan

dalam penyelesaian masalah.

Untuk membuat siswa menjadi tertantang dalam belajarnya perlu adanya

peran aktif guru dalam menciptakan permasalahan yang kontekstual yang kaya

dengan konsep-konsep matematika dan memungkinkan siswa untuk memecahkan

masalah tersebut dari berbagai sudut pandangnya. Pembelajaran dengan model

Anchored Instruction diharapkan mampu menyediakan proses pembelajaran yang

(17)

dilakukan yaitu dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks

dengan dunia nyata, siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan

mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari

sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah.

Guru akan bertindak sebagai fasilitator dalam diskusi. Masalah yang dihadapkan

kepada siswa pada awal pembelajaran dikonstruksi dengan mempertimbangkan

tingkat perkembangan kognitif siswa sehingga diharapkan adanya keinginan dan

minat siswa memecahkan masalah tersebut. Proses pembelajaran yang diawali

dengan menyajikan masalah untuk menjelaskan suatu konsep, diharapkan

memunculkan respon siswa sehingga terjadinya interaksi aktif siswa terhadap

materi yang mengarah kepada penyelesaian masalah selama pembelajaran

berlangsung.

Penulis menduga bahwa pembelajaran dengan Anchored Instruction dapat

memperkuat kemampuan komunikasi matematis siswa, karena model

pembelajaran ini mengharuskan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan

berdasarkan pola pikir siswa. Dengan model pembelajaran ini siswa dibiasakan

untuk berinteraksi dan berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan matematika

yang disajikan dan dari apa yang telah diperoleh siswa kemudian

dikomunikasikan kepada siswa lainnya. Dengan ide-idenya tersebut siswa akan

memiliki kemampuan komunikasi matematis yang tinggi.

Pembelajaran Anchored Instruction juga memberikan kontribusi dalam

meningkatkan self-concept siswa. Pembelajaran Anchored Instruction yang

(18)

kesempatan siswa untuk lebih berinteraksi dengan lingkungan kelas yaitu siswa

lainnya selama pembelajaran berlangsung. Salbiah (2003) mengatakan

self-concept positif individu dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan

intelektual dan penguasaan lingkungan. Self-concept negatif dapat dilihat dari

hubungan individu dan sosial yang terganggu. Interaksi dalam hubungan

kelompok dapat berdampak positif bagi siswa dalam pencapaian kemandirian

dirinya yang mencakup: pengetahuan diri, pemahaman diri, penerimaan diri dan

pengambilan keputusan (Irawan, 2010). Dengan demikian pembelajaran Anchored

Instruction memungkinkan self-concept siswa menjadi berkembang dan lebih

baik.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pada penelitian ini akan dikaji pengaruh

penggunaan model pembelajaran Anchored Instruction terhadap kemampuan

komunikasi matematis dan self-concept siswa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik dari pada

(19)

3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih

baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

4. Apakah peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang

memperoleh pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih

baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

5. Bagaimana persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi

matematis dan self-concept siswa selama pembelajaran?

6. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan

self-concept siswa tentang matematika?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menelaah pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa yang

belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Untuk menelaah pencapaian self-concept siswa tentang matematika yang

belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Untuk menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa yang

(20)

4. Untuk menelaah peningkatan kemampuan self-concept tentang matematika

siswa yang belajar menggunakan model Anchored Instruction dengan siswa

yang memperoleh pembelajaran konvensional.

5. Untuk melihat persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi

matematis dan self-concept siswa selama pembelajaran.

6. Untuk melihat pengaruh self-concept siswa tentang matematika dalam

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction dengan kemampuan

komunikasi matematis siswa.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya

dalam bidang pendidikan mengenai hubungan antara self-concept dengan

komunikasi matematis dan model pembelajaran Anchored Instruction pada siswa.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Untuk pihak sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan

dalam upaya meningkatkan self-concept siswa tentang matematika dan

kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pembelajaran

menggunakan model Anchored Instrction.

b. Penelitian ini berguna sebagai input bagi siswa tentang self-concept dan

(21)

pengembangan diri siswa terutama dalam meningkatkan self-concept

sehingga komunikasi matematis siswa lebih baik.

c. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang

penggunaan model pembelajaran Anchored Instruction dalam proses belajar

mengajar matematika.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang

dimaksudkan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan defenisi operasional

sebagai berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis yang ditelaah dalam penelitian ini

adalah: menyatakan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide

matematika atau sebaliknya, menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa

atau simbol matematika atau sebaliknya dan kemampuan menjelaskan ide

atau situasi dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam

bentuk tulisan. Kemampuan komunikasi siswa dalam hal ini diukur dengan

tes kemampuan komunikasi, di mana tes yang dimaksud berbentuk soal

uraian.

2. Self-concept dalam penelitian ini adalah self-concept siswa tentang

matematika yang diukur pada 3 dimensinya yaitu pengetahuan, harapan dan

penilaian. Dimensi pengetahuan tentang apa yang siswa ketahui tentang

matematika. Dimensi pengetahuan memuat 2 indikator yaitu: (1) Partisipasi

(22)

matematika yang ideal. Dimensi harapan memuat 2 indikator yaitu: (1)

Keterkaitan matematika dengan kehidupan nyata; (2) Pandangan siswa

terhadap pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction.

Dimensi penilaian tentang seberapa besar siswa menyukai matematika.

Dimensi penilaian memuat 2 indikator yaitu: (1) Peran aktif siswa dalam

pembelajaran matematika; (2) Ketertarikan siswa terhadap soal-soal

komunikasi matematis.

3. Anchored Instruction bisa diartikan dengan instruksi berjangkar atau dalam

dunia pendidikan lebih dikenal dengan pembelajaran bermakna. Model

pembelajaran Anchored Instruction adalah model pembelajaran yang

memiliki tahap-tahap sebagai berikut: (1) Pemberian masalah; (2) Bekerja

kelompok; (3) Diskusi; (4) Presentasi oleh setiap kelompok. Anchored

Instruction ini memiliki ciri khas yang berbeda yakni, penggunaan

multimedia pada tahap pemberian masalah. Selain itu, masalah yang

diberikan berbentuk sebuah cerita sehingga siswa dituntut untuk menyaring

data yang diperlukan dalam penyelesaian masalah.

4. Sikap (respon) siswa adalah tanggapan siswa yang menunjukkan

kecenderungan siswa untuk merespon positif atau negatif tentang matematika,

pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction dan soal-soal

komunikasi matematis yang diberikan.

5. Pembelajaran konvensional adalah kegiatan pembelajaran yang biasa

dilakukan di sekolah dengan kecenderungan berpusat pada guru

(23)

kegiatan pembelajaran. Pembelajaran ini lebih sering menggunakan model

ekspositori untuk menjelaskan konsep/materi pada bahan ajar dan

menjelaskan prosedur penyelesaian soal-soal latihan.

1.6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

menggunakan model pembelajaran Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh pembelajaran

menggunakan model pembelajaran Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

5. Persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi matematis dan

self-concept siswa selama pembelajaran lebih banyak untuk siswa kelas

Anchored Instruction daripada kelas konvensional.

6. Terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis siswa dan

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kuasi eksperimen

dengan pendekatan kuantitatif. Terdapat dua kelompok sampel pada penelitian ini

yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran matematika melalui model

Anchored Instruction dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan

konvensional. Kedua kelompok diberikan pre-test dan post-test, dengan

menggunakan instrumen tes yang sama. Sudjana (2004) menyatakan bahwa

penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh

variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tidak

bebas. Variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan model Anchored

Instruction, sedangkan variabel tidak bebasnya yaitu self-concept dan komunikasi

matematis siswa.

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang

komunikasi matematis siswa. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah

disain ”Pre-test-Post-test Control Group Design” (Sudjana, 2004) dengan

rancangan seperti pada Tabel 1 berikut:

Tabel 3.1. Desain Penelitian

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test

Eksperimen O X O

(25)

dengan: O = Pre-tes dan Post-test

X = Pembelajaran matematika dengan model Anchored Instruction

3.2 Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilakukan di SMAN 3 Banda Aceh. Sebagai populasi dari

penelitian adalah seluruh siswa kelas X pada tahun ajaran 2011/2012.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Sampel dalam penelitian ini

adalah dua kelompok siswa di kelas X-1 dan X-2, dengan perlakuan kelas X-1

sebagai kelas eksperimen dan kelas X-2 sebagai kelas kontrol. Pemilihan kelas

dilakukan atas dasar usulan dari guru mata pelajaran matematika yang mengajar di

sekolah tersebut.

Kelas yang terdapat di SMAN 3 Banda Aceh sejumlah 27 Kelas dengan

rincian kelas X terdiri dari 8 kelas, kelas XI terdiri dari 9 kelas dan kelas XII

terdiri dari 9 kelas. Pendistribusian siswa pada kelas X dilakukan secara merata

pada seluruh kelas dengan jumlah siswa berkisar antara 30-31 orang siswa.

Kemampuan akademik siswa tidak menjadi pertimbangan pada pendistribusian

siswa, sehingga kemampuan akademik dari 8 kelas relatif homogen.

3.3 Instrumen Penelitian

Data dalam penelitian ini diperoleh dari instrumen yang digunakan yaitu

(26)

responden secara tertulis. Instrumen tersebut terdiri dari tiga macam instrumen,

yaitu: (a) tes kemampuan komunikasi; (b) lembar observasi selama pembelajaran

dan (c) skala self-concept tentang matematika. Instrumen ini dikembangkan

melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan intrumen, tahap penyaringan dan

tahap uji coba intrumen (tes kemampuan komunikasi matematis). Uji coba

intrumen dilakukan untuk melihat validitas butir tes, reliabilitas tes, daya pembeda

butir tes, dan tingkat kesukaran butir tes.

a. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Tes kemampuan komunikasi matematis di buat dalam bentuk uraian. Tes

tertulis ini terdiri dari tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Tes diberikan

pada semua siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Soal-soal pre-test

dan post-test dibuat ekuivalen/relatif sama. Pemberian pre-test dimaksudkan

untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan model

yang diterapkan, sedangkan post-test dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil

belajar setelah pembelajaran dilakukan dan apakah terdapat perbedaan signifikan

setelah mendapat pembelajaran dengan model yang diterapkan.

Soal tes yang baik harus melalui beberapa tahap penilaian antaranya harus

dinilai validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran. Untuk

mendapatkan validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran maka soal

tes harus diujicobakan pada kelas lain di sekolah pada tingkat yang sama.

Pengukuran reliabilitas, validitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal tes

(27)

1. Reliabilitas Butir Soal

Suatu alat ukur (instrumen) memiliki reliabilitas yang baik bila alat ukur itu

memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan oleh siapapun (dalam level

yang sama), kapanpun dan di manapun berada. Untuk mengukur reliabilitas soal

menggunakan Cronbach’s Alpha (Suherman, 2003: 154) yaitu:

= −

1 1−

�2 2

dengan:

: koefisien reliabilitas soal

: banyak butir soal

�2 : variansi item

2 : variansi total

Tingkat reliabilitas dari soal uji coba komunikasi matematis adalah sebagai

berikut.

Tabel 3.2 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas

Besarnya r Tingkat Reliabilitas

r11 < 0,20 Kecil

0,20 ≤ r11 < 0,40 Rendah

0,40 ≤ r11 < 0,70 Sedang

0,70 ≤ r11 < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ r11 < 1,00 Sangat tinggi

Dari hasil analisis menggunakan program Anates V.4 (Lampiran 6) didapat

hasil reliabilitas tes adalah 0,89 yaitu mempunyai interpretasi yang tinggi. Dengan

demikian tes kemampuan komunikasi matematis memiliki konsistensi yang bagus

walaupun dikerjakan oleh siapa saja dalam level kemampuan akademik yang

(28)

2. Validitas Butir Soal

Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang baik adalah tes harus dapat

mengukur hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri.

Menurut Arikunto (2007: 65) sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu mengukur

apa yang hendak diukur.

Karena ujicoba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen

tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total butir

tes dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson (Arikunto, 2007: 64):

= ( )−

2( )2 2( )2

Keterangan :

= koefisien korelasi antara variabel X dan Y

= jumlah peserta tes

= skor item tes

= skor total

Dengan mengambil taraf signifikan 0,05, sehingga didapat kemungkinan

interpretasi:

(i) Jika rhit≤ rkritis , maka korelasi tidak signifikan

(ii) Jika rhit > rkritis , maka korelasi signifikan

Hasil interpretasi yang berkenaan dengan validitas butir soal dalam penelitian ini

(29)

Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas

Data yang didapatkan setelah ujicoba diolah dengan menggunakan program

Microsoft Office Excel 2007 yang memperoleh nilai koefisien korelasi validitas

butir soal. Hasil pengolahan data terlampir di lampiran 6. Rangkuman uji validitas

tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada table 3.4 berikut.

Tabel 3.4 Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Komunikasi

Nomor Soal Koefisien Korelasi Interpretasi

1 0,87 Sangat Tinggi

Dari tabel di atas terlihat jelas butir-butir soal tes kemampuan komunikasi

matematis dapat mengukur apa yang akan diukur. Ini terlihat dari tingginya

koefisien korelasi dari skor masing-masing butir soal terhadap skor totalnya.

Berdasarkan hasil uji validitas ini, ketujuh butir soal tersebut layak untuk

mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk mengklasifikasikan setiap item

(30)

sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar. Tingkat kesukaran tes

dihitung dengan rumus (Suparlan, 2005: 36):

�= ,

Keterangan:

TK : tingkat kesukaran

: rerata skor (mean)

SMI : Skor maksimum ideal

Tabel 3.5 Tingkat Kesukaran (TK)

Rangkuman hasil perhitungan uji tingkat kesukaran untuk setiap butir soal

tes kemampuan komunikasi matematis siwa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.6 Uji Tingkat Kesukaran Soal Tes

No Soal Rata Butir Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 2 0,55 Sedang

2 1 0,07 Sukar

3 2 0,23 Sukar

4 1,5 0,26 Sukar

5 2,5 0,59 Sedang

6 3 0,75 Sangat Mudah

7 2 0,38 Sedang

Dapat dilihat dari hasil uji tingkat kesukaran soal tes komunikasi pada tabel

di atas bahwa ketujuh soal tergolong baik karena tidak terlalu sukar dan tidak Indeks Kesukaran Interpretasi

� = 0,00 Terlalu sukar

0,00 < �< 0,30 Sukar

0,30 <TK< 0,70 Sedang

0,70 < �< 1,00 Mudah

(31)

berarti benar-benar sukar melainkan karena kurangnya pengalaman siswa dalam

menyelesaikan soal-soal komunikasi matematis.

4. Daya Pembeda

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut untuk

membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau

antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan

rendah. Daya pembeda tes dihitung dengan rumus:

��=

Keterangan:

DP : daya pembeda

: jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah

: jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah

� : jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal yang dipilih

Interpretasi perhitungan daya pembeda dengan klasifikasi yang

dikemukakan oleh Suherman (2003)

Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda soal

Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal

�� 0,00 Sangat jelek

0,00 <�� 0,20 Jelek

0,20 <�� 0,40 Cukup

0,40 <�� 0,70 Baik

0,70 <�� 1,00 Sangat baik

Untuk data dalam jumlah yang banyak (kelas besar) dengan n > 30, maka

sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor tertinggi dikategorikan ke dalam

(32)

terendah dikategorikan kelompok bawah (lower group). Untuk data di bawah n ≤

30 maka siswa akan dibagi jadi dua kelompok sama besar.

Rangkuman hasil uji daya pembeda tes kemampuan komunikasi matematis

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8. Daya Pembeda Soal

b. Lembar Observasi Selama Pembelajaran

Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama

pembelajaran. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas guru sebagai pengajar dan

aktivitas siswa dalam pembelajaran. Observasi dilakukan bertujuan untuk

mengetahui kondisi awal siswa sebelum pembelajaran dan jalannya proses belajar

mengajar di dalam kelas.

c. Skala self-Concept Siswa tentang Matematika

Self-concept yang menjadi fokus pada penelitian ini ada pada tiga dimensi

pengukuran self-concept yang dilakukan Calhoun yaitu, pengetahuan, harapan,

dan penilaian. Self-concept siswa tentang matematika adalah total skor yang

diperoleh dari jawaban responden yaitu siswa yang mengukur: aspek kognitif

yaitu pengetahuan siswa tentang keadaan dirinya, dan aspek afektif yaitu penilaian No Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,62 Baik

2 0,12 Jelek

3 0,25 Cukup

4 0,37 Cukup

5 0,12 Jelek

6 0,37 Cukup

(33)

siswa tentang dirinya. Self-concept ini di ukur setelah pembelajaran dilakukan

pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Skala self-concept yang digunakan adalah Skala Likert yang digunakan

untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang.

Variabel yang akan diukur dengan Skala Likert dijabarkan menjadi indikator

variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk

menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.

Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai

gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata

antara lain: Sangat Setuju (ST), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak

Setuju (STS). Prosedur dalam membuat skala Likert adalah sebagai berikut

(Nazir, 2005):

1) Peneliti mengumpulkan item-item yang cukup banyak, relevan dengan

masalah yang sedang diteliti, dan terdiri dari item yang cukup jelas disukai

dan tidak disukai;

2) Kemudian item-item itu dicoba kepada sekelompok responden yang cukup

representatif dari populasi yang ingin diteliti;

3) Responden di atas diminta untuk mengecek tiap item, apakah ia menyenangi

(+) atau tidak menyukainya (-). Respons tersebut dikumpulkan dan jawaban

yang memberikan indikasi menyenangi diberi skor tertinggi. Tidak ada

masalah untuk memberikan angka 5 untuk yang tertinggi dan skor 1 untuk

yang terendah atau sebaliknya. Yang penting adalah konsistensi dari arah

(34)

setuju” disebut yang disenangi, tergantung dari isi pertanyaan dan isi dari

item-item yang disusun;

4) Total skor dari masing-masing individu adalah penjumlahan dari skor

masing-masing item dari individu tersebut;

5) Respon dianalisis untuk mengetahui item-item mana yang sangat nyata

batasan antara skor tinggi dan skor rendah dalam skala total. Misalnya,

responden pada upper 25% dan lower 25% dianalisis untuk melihat sampai

berapa jauh tiap item dalam kelompok ini berbeda. Item-item yang tidak

menunjukkan beda yang nyata, apakah masuk dalam skor tinggi atau rendah

juga dibuang untuk mempertahankan konsistensi internal dari pertanyaan.

Untuk menguji validitas skala self-concept digunakan uji validitas isi

(content validity). Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan

antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah ditetapkan (Sugiyono,

2010). Instrumen dinyatakan valid apabila sesuai dengan apa yang hendak diukur.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian diperoleh melalui tes, lembar observasi, dan angket skala

self-concept siswa. Data yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi

matematis siswa diperoleh melalui tes (pre-test dan post-test). Sedangkan data

yang berkaitan dengan self-concept siswa tentang matematika diperoleh melalui

(35)

3.5 Teknik Analisis Data

Data yang akan dianalisa adalah data kuantitatif berupa hasil tes

kemampuan komunikasi matematis siswa, dan data deskriptif berupa hasil

observasi dan angket skala self-concept siswa. Pengolahan data dilakukan dengan

bantuan software SPSS 16 dan Microsoft Office Excel 2007.

a. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan komunikasi Matematis

Dalam melakukan pengolahan terhadap hasil tes kemampuan komunikasi

matematis siswa digunakan bantuan SPSS 16 dan Microsoft Office Excel 2007.

Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis deskriptif yang bertujuan

untuk melihat gambaran umum pencapaian kemampuan komunikasi matematis

yang terdiri dari rerata dan simpangan baku. Kemudian dilakukan analisis

terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis dengan uji kesamaan

dua rataan parametrik atau nonparametrik.

Uji kesamaan dua rerata dipakai untuk membandingkan antara dua

keadaan, yaitu keadaan nilai rerata pre-test siswa pada kelompok eksperimen

dengan siswa pada kelompok kontrol, keadaan nilai rerata post-test siswa pada

kelompok eksperimen dengan siswa pada kelompok kontrol.

Sebelum data hasil penelitian diolah, terlebih dahulu dipersiapkan beberapa

hal, antara lain:

a) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan alternatif jawaban dan sistem

penskoran yang digunakan.

b) Membuat tabel skor pret-test dan post-test siswa kelas eksperimen dan kelas

(36)

d) Menghitung standar deviasi untuk mengetahui penyebaran kelompok dan

menunjukkan tingkat variansi kelompok data.

e) Membandingkan skor pre-test dan post-test untuk mencari peningkatan (gain)

yang terjadi sesudah pembelajran pada masing-masing kelompok yang

dihitung dengan rumus gain ternormalisasi Hake (Meltzer, 2002) yaitu:

=

Keterangan: ∶ Skor post-test

Skor pre-test

: Skor maksimum

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan

klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 3.9 Kriteria N-Gain

N-Gain Interpretasi

� 0,7 Tinggi

0,3 �< 0,7 Sedang

< 0,3 Rendah

f) Menetapkan tingkat kesalahan atau tingkat signifikansi yaitu 5% (� = 0,05).

Sebelum dilakukan uji hipotesis menggunakan uji kesamaan dua rerata

(uji-t), terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi

(37)

analisis selanjutnya. Statistik yang digunakan untuk uji normalitas adalah

One-Sample Kolmogorov Smirnov.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh

berasal dari populasi yang memiliki variansi homogen (sama). Karena penelitian

ini dianalisis menggunakan statistik uji-t dengan penyatuan dua variansi, maka

harus dipenuhi syarat homogenitas variansi. Suharsimi Arikunto mengatakan,

pengujian homogenitas sampel menjadi sangat penting apabila peneliti bermaksud

melakukan generalisasi untuk hasil penelitiannya serta penelitian yang data

penelitiannya diambil dari kelompok-kelompok terpisah yang berasal dari satu

populasi. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Homogenity of

Variances (Levene Statistic).

Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi

matematis siswa dengan self-concept siswa tentang matematika maka dilakukan

uji korelasi. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara dua

variabel atau lebih yang diamati. Untuk melihat koefisien korelasi kemampuan

komunikasi matematis dengan self-concept siswa tentang matematika maka kedua

jenis data harus sama. Karena data kemampuan komunikasi matematis merupakan

data interval, sedangkan concept merupakan data ordinal, maka data

self-concept harus dikonversi terlebih dahulu menjadi data interval.

Menurut Sundayana (2010), merubah data ordinal menjadi skala interval

dapat dilakukan dengan menggunakan Metode Successive Interval.

(38)

1. Menentukan frekuensi setiap respon;

2. Menentukan proporsi setiap respon dengan membagi frekuensi dengan

jumlah frekuensi;

3. Menjumlahkan proporsi secara berurutan untuk setiap respon sehingga

diperoleh proporsi kumulatif;

4. Menentukan Z tabel untuk masing-masing proporsi kumulatif yang dianggap

menyebar mengikuti sebaran normal baku;

5. Menentukan nilai densitas untuk setiap nilai Z;

6. Menghitung scale value (interval rerata) untuk masing-masing respon;

7. Mengubah scale value terkecil menjadi sama dengan satu dan

mentransformasikan masing-masing skala menurut perubahan skala terkecil

sehingga diperoleh transformedscale value.

Untuk menghitung scale value dapat digunakan rumus seperti yang

dikatakan Junaidi (2008) berikut:

= ℎ −

ℎ � ℎ − ℎ � ℎ ℎ

Hitung score (nilai hasil transformasi) untuk setiap kategori melalui persamaan:

= � + � + 1.

Setelah data self-concept dikonversi menjadi data interval, maka untuk

melihat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan self-concept siswa

(39)

0

rxy = koefisien korelasi

X = skor item butir soal

Y = jumlah skor total tiap soal

n = jumlah responden

Langkah selanjutnya melakukan pengujian terhadap keberartian dengan

korelasi yang diperoleh. Hipotesis yang digunakan :

Uji statistik yang digunakan adalah t-student dengan rumus:

= −2

1− 2

Keterangan:

r = koefisien korelasi

n = banyaknya subjek

Pengujian validitas dilakukan dengan membandingkan nilai thitung dengan

tabel

t dari distribusi t dengan taraf keberartian = 0,05 dan dk = n-1.

Untuk data berdistribusi tidak normal, digunakan uji non-parametrik

korelasi Spearman dengan rumus seperti dikatakan sudjana (2004: 455) berikut:

= 1− 6

2

(40)

Keterangan:

= koefisien korelasi Pearson

= koefisien korelasi Spearman

= selisih peringkat

= banyak pasangan nilai-nilai

Untuk melihat pengaruh kemampuan komunikasi matematis terhadap

self-concept siswa dilakukan analisis regresi. Persamaan analisis regresinya Usman

(1995) adalah:

= +

Keterangan:

= variable kriterium

X = variable prediktor

a = bilangan konstan

b = koefisien arah regresi linier

untuk nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus Usman (1995):

=

2 −

2− 2

= − 2 − 2

Keterangan:

= jumlah nilai komunikasi

= jumlah nilai self-concept

(41)

3.6 Prosedur Penelitian

Prosedur pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan,

tahap pelaksanaan dan tahap analisis data. Uraian dari kedua tahap tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:

(a) Observasi tempat penelitian;

(b) Menetapkan materi pelajaran yang akan digunakan dalam penelitian;

(c) Pembuatan perangkat bahan ajar, seperti RPP dan instrumen penelitian

yang terlebih dahulu dinilai oleh para ahli;

(d) Melakukan uji coba instrumen yang akan digunakan untuk mengetahui

kualitasnya;

(e) Merevisi instrumen penelitian (jika diperlukan);

(f) Melakukan uji coba instrumen penelitian hasil revisi (jika diperlukan);

2. Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam tahap ini, sebagai berikut.

(a) Memberikan tes awal pada kelas kontrol dan kelas eksperimen;

(b) Melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pada kelas kontrol dilakukan

pembelajaran biasa (konvensional) dan kelas eksperimen dilakukan

pembelajaran dengan model Anchored Instruction;

(c) Mengisi lembar observasi disetiap pertemuan oleh observer;

(d) Memberikan tes akhir pada kelas kontrol dan eksperimen untuk

(42)

(e) Memberikan skala self-concept siswa tentang matematika pada kelas

kontrol dan eksperimen;

(f) Pengolahan data hasil pre-test dan post-test.

3. Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil tes, baik pre-test maupun post-test serta

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1KESIMPULAN

Setelah dilakukan perlakuan berbeda antara dua kelompok sampel yaitu

kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model

Anchored Instruction dan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran

konvensional maka berdasarkan hasil analisis data untuk pengujian hipotesisnya,

kesimpulan dari temuan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Self-concept siswa tentang matematika dalam pembelajaran dengan

menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional yaitu pada kategori

sedang.

4. Peningkatan self-concept siswa tentang matematika yang memperoleh

pembelajaran menggunakan model Anchored Instruction lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional yaitu pada kategori

rendah.

5. Persentase ketercapaian indikator kemampuan komunikasi matematis dan

self-concept siswa selama pembelajaran lebih banyak untuk siswa kelas Anchored

(44)

6. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran menggunakan

model Anchored Instruction dan konvensional mempengaruhi Self-concept

siswa.

5.2 SARAN

Dari hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, dikemukakan

beberapa saran berikut:

1. Pembelajaran dengan menggunakan model Anchored Instruction terbukti

dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan self-concept

siswa. Dengan demikian pembelajaran Anchored Instruction sebaiknya

diterapkan di lapangan.

2. Bagi siapa saja yang akan menerapkan model pembelajaran Anchored

Instruction ini hendaknya memperhatikan efektivitas waktu mengingat pada

pelaksanaannya pebelajaran tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan.

3. Pada model pembelajaran Anchored Instruction siswa didorong untuk

mengkonsruksi sendiri kemampuan dan pengetahuannya melalui bahan ajar

atau LKS yang diberikan. Oleh karena itu guru hendaknya mempersiapkan

dan merancang tugas dan aktivitas yang ada pada bahan ajar atau LKS

seoptimal mungkin.

4. Bagi peneliti selanjutnya agar menelaah kelemahan pembelajaran ini dan

mengkaji bagaimana pengaruhnya pada kemampuan matematis yang lain

seperti kemampuan, memecahkan masalah, kemampuan berpikir kritis dan

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Andaners. (2009). Konsep Diri (Self-concept). [Online]. Tersedia: http://andaners.wordpress.com/2009/04/20/konsep-diri-self-concept. [10 Desember 2011].

Arends, R.I. (2008). Learning to Teach. Alih Bahasa Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, S. (2006). “Pengembangan Bahan Ujian dan Analisis Hasil Ujian” Materi Presentasi Sosialisasi KTSP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Barab, S. 1999. “Ecologizing” Instruction Through Integrated Units. Middle School Journal: 21-28.

Bransford, J. (2009). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.lifecircles-inc.comLearningtheoriesbransford.html. [13 Februari 2012].

Crews, T. et al. 1997. Anchored Interactive Learning Environments. International Journal of AI in Education. 8:1-30.

Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Hadley, A. (2008, Agustus). Brief Research-to-results. Trends child. 2008-32. Tersedia: http://www.childtrends.org/files/child_trends-2008_08_20_rb_ selfconcept. [10 Desember 2011].

Herdian. 2010. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:

http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi-matematis. [ 10 Mei 2011].

Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: SPs UPI. Tesis tidak diterbitkan

(46)

Irawan, E. (2010). Evektivitas Teknik Bimbingan Kelompok Untuk Menigkatkan Konsep Diri Remaja (Studi Pre-Eksperimen Pada Siswa Kelas X SMK Yapema Gadingrejo Lampung). Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Jarmita, N. (2009). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam Meningkatkan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa pada Pokok Bahasan Bangun Ruang. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan

Javier, F. (1996). “Relationships Between Self-Concept and Academic

Achievement in Primary Students”. Journal Of Research in Educational Psychology and Psychopedagogy. 1, (1), 95-120.

Juariah. (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui Pendekatan Keterampilan Proses Matematika. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Junaidi. (2008). Penjelasan Tahap Transformasi Data Ordinal ke Interval dengan Excel. [Online]. Tersedia: http://junaidichaniago.wordpress.com/ 2008/07/30/penjelasan-tahap-transformasi-data-ordinal-ke-interval-dg-xcel. [7 Januari 2012].

Lindawati, S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis PPS Upi Bandung. Tidak diterbitkan.

Meltzer & David E. (2002). “The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: „hidden variable‟ in Diagnostic Pretest Scores”. American Journal of Physics, 70, (12), 1259-1267.

Miftah, R. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Reciprocal Teaching. FMIPA UIN. Tidak diterbitkan.

Mulyanto, MY. (2012). Lembar Observasi Motivasi Belajar. [Online]. Tersedia:

http://www.scribd.com/doc/49896388/15/Lampiran-4-Lembar-Observasi-Aktivitas-Siswa. [29 Mei 2012].

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics . Reston, VA: NCTM.

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

(47)

Oliver, K. (1999). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.edtech.vt.edu/edtech/id/models/powerpoint/anchored. [10 Desember].

Qahar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi Dan Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa Smp Melalui Reciprocal Teaching. Tesis PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Rachmayanti, R. (2010). Efektivitas Bimbingan dan Konseling Kelompok Tugas dan Diskusi dalam Mengembangkan Konsep Diri Siswa. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Rahman, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Self-concept Siswa. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Ratumanan, T.G. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: Unesa University Press.

Rola, F. (2006). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja. Makalah Fakultas Kedokteran USU. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung. Direktorat jenderal pendidikan tinggi.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Edisi Revisi. Bandung: Tarsito.

Salbiah. (2003). Konsep Diri. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU. Tidak diterbitkan.

Slavin, R.E. (1988). Educational Psychology, Theory into Practice. Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall

Sudjana. (2004). Metode Statistika. Jakarta: Tarsito.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV Alfabeta.

(48)

Suherman, E. (2003). “Common Text Book” dalam Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.

Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. Bandung: FPMIPA UPI.

Sundayana. R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung: STKIP Garut Press.

Suparlan, A. 2005. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Representasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada Siswa Salah Satu SMP di Cirebon). Tesis SPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. SPs UPI Bandung. Disertasi tidak diterbitkan.

Sutja, Akmal. (1989). Adekuasi Penyesuaian Kulikuler Siswa Dilihat Dari Konsep

Diri Akademiknya dan Aspirasi Akademik Orang Tuanya. Tesis Pada Fakultas

Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Suzana, A. (2009). Pengaruh Penerapan Model Reciprocal Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik. FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media Group.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif), Bandung: Lauser Cita Pustaka.

Ulya, N. (2007). Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematisk Siswa SMP?MTs Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament (TGT). Tesis PPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Usman, H. (1995). Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Andaners. (2009). Konsep Diri (Self-concept). [Online]. Tersedia: http://andaners.wordpress.com/2009/04/20/konsep-diri-self-concept. [10 Desember 2011].

Arends, R.I. (2008). Learning to Teach. Alih Bahasa Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, S. (2006). “Pengembangan Bahan Ujian dan Analisis Hasil Ujian” Materi Presentasi Sosialisasi KTSP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Barab, S. 1999. “Ecologizing” Instruction Through Integrated Units. Middle School Journal: 21-28.

Bransford, J. (2009). Anchored Instruction. [Online]. Tersedia: http://www.lifecircles-inc.comLearningtheoriesbransford.html. [13 Februari 2012].

Crews, T. et al. 1997. Anchored Interactive Learning Environments. International Journal of AI in Education. 8:1-30.

Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Hadley, A. (2008, Agustus). Brief Research-to-results. Trends child. 2008-32. Tersedia: http://www.childtrends.org/files/child_trends-2008_08_20_rb_ selfconcept. [10 Desember 2011].

Herdian. 2010. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:

http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi-matematis. [ 10 Mei 2011].

Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah. Bandung: SPs UPI. Tesis tidak diterbitkan

Gambar

Tabel
Grafik
Tabel 3.1. Desain Penelitian
Tabel 3.2  Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan adalah untuk menganalisis hubungan antara status gizi dengan usia menarche pada siswi kelas VII SMP Angkasa.. Metode penelitian

MENURUT ORGANI SASI / BAGI AN ANGGARAN, UNI T ORGANI SASI , PUSAT,DAERAH DAN KEWENANGAN. KODE PROVINSI KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSEN

Pada jaringan komunikasi mobil bergerak bukan selular aspek mobilitas sangat terbatas karena penggunaan daya yang relatif besar sehingga membutuhkan handset yang besar pula.

konsep diri sebagai seorang yang telah dewasa dalam berbagai hal. Pada kegiatan inti, stimulus/improvisasi yang dilakukan adalah : a).. membina hubungan akrab, b)

Kini dengan tiga lapis sistem keamanan yang membentuk suatu piramida keamanan yang terdiri dari penggunaan SIM card, proses authhentikasi yang akan memeiksa terlebih dahulu

Teknologi Komunikasi adalah segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya.. Berbasis

Selain tampilan antar muka yang dibuat semenarik mungkin, aplikasi ini menampilkan pencarian kata dalam bahasa Indonesia dengan lebih mudah dan cepat, sehingga dapat

Demikian juga dengan Kalpataru Rent Car, dimana dalam kegiatannya juga memerlukan pencatatan-pencatatan transaksi penyewaan yang terjadi dan mengelola data tersebut menjadi