Proceedings
Volume 1, Nomor 1 Desember 2021
253
Implementasi Penilaian Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin Kotawaringin Timur
¹Saibatul Hamdi, ²Muslimah, 3Salamah
¹ IAIN Palangka Raya, [email protected]
IAIN Palangka Raya, [email protected]
3UIN Antasari Banjarmasin, [email protected].
ABSTRACT
The main problem in this study is that the teacher does not carry out authentic assessments on the Akidah Akhlak subject at MA Sabilal Muhtadin. Teachers also carry out assessments that emphasize the cognitive domain only. The purpose of this study is to describe the implementation of the assessment carried out by Akidah Akhlak teachers in the cognitive, psychomotor, and affective domains. The approach used in this research is a descriptive qualitative approach. The research location is in MA Sabilal Muhtadin. Sources of data came from the subject (Akhlak teacher) and informants (head of madrasah, wakamad curriculum, and students). Data collection techniques using interviews, observation, and documentation. The data validation technique uses source and technique triangulation. While the data analysis technique uses the Miles and Huberman model. The results of this study indicate that the implementation of authentic assessment on Akidah Akhlak subjects at MA Sabilal Muhtadin has not been carried out optimally, it can be seen from teachers who only provide assessments on cognitive aspects through written tests, while psychomotor aspects have not been carried out.
As for the affective aspect, the teacher carried out observations but did not use instruments.
Based on the existing findings, the implementation of the assessment must be closely monitored by the madrasa so that there is no implementation of the assessment that is not in accordance with the procedures or curriculum guidelines.
Keywords: Implementation; Autentic Assesment; Akidah Akhlak
ABSTRAK
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah guru tidak melaksanakan penilaian autentik pada mata pelajaran Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin. Guru juga melaksanakan penilaian yang menekankan pada ranah kognitif saja. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan tentang implementasi penilaian yang dilaksanakan guru Akidah Akhlak pada ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian adalah di MA Sabilal Muhtadin. Sumber data berasal dari subjek (guru Akidah Akhlak) dan informan (kepala madrasah, wakamad kurikulum, dan peserta didik). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengabsahan data menggunakan trianggulasi sumber dan teknik.
Sementara teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa impelementasi penilaian autentik pada mata pelajaran Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin belum dilaksanakan secara maksimal, terlihat dari guru yang hanya memberikan penilaian pada aspek kognitif melalui tes tertulis saja, sedangkan aspek psikomotorik belum dilakukan. Adapun pada aspek afektif guru melaksanakan observasi tetapi tidak menggunakan instrumen. Berdasarkan temuan yang ada, pelaksanaan penilaian harus
254 dilakukan pengawasan yang ketat oleh pihak madrasah agar tidak terjadi implementasi penilaian yang tidak sesuai dengan prosedur atau pedoman kurikulum.
Kata Kunci: Implementasi; Penilaian Autentik; Akidah Akhlak
PENDAHULUAN
Penilaian menjadi aspek yang sangat penting dalam sebuah pembelajaran. Sebab penilaian dapat menjadi ukuran keberhasilan dari sebuah pembelajaran. Melalui penilaian, guru atau pendidik dapat mencermati kekurangan-kekurangan yang ada ataupun untuk melihat kendala-kendala yang menjadi tantangan dan menntut penyelesaian. Sehingga ketika hasil penilaian telah diperoleh dapat dilakukan tindak lanjut dengan menganalisis hasil penialaian itu kemudian merumuskan perbaikan- perbaikan untuk pembelajaran berikutnya (Teluma & Rivaie, 2019, p. 54) Sebab esensi dari pendidikan itu sendiri sejatinya adalah untuk melakukan perubahan dari yang belum baik menjadi lebih baik dari sebelumnya (Hamdi & Ulumiddin, 2020)
Hasil penilaian yang baik dapat dijadikan acuan dalam merevitalisasi pembelajaran jika hasil tersebut betul-betul dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebab pada beberapa kasus, terdapat penilaian-penilaian yang hanya sekedar rekapan angka tetapi tidak benar-benar mewakili keadaan pembelajaran yang terjadi. Hal ini kemudian yang akan menjadi sebuah problem bagi seorang pendidik ketika ia tidak mendapatkan hasil penilaian yang dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan pembelajaran berikutnya (Hairun, 2020, p. 53)
Selain itu, proses penilaian juga harus mengacu kepada kurikulum yang berlaku.
Jika kurikulum yang sedang dijalankan adalah kurikulum 2013, maka konsep atau pedoman penilaian yang dipakai pun juga harus mengacu kepada kurikulum tersebut.
Hal ini dilakukan mendapat sinkronisasi antara kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan dengan alat pengukur atau pun penilaian keberhasilan dari kegiatan pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu, untuk mendapat hasil penilaian yang baik tersebut, proses penilaian harus benar-benar dilakukan sesuai dengan pedoman kurikulum yang telah dibuat (Attamimi & Setiadi, 2021, p. 37)
255 Implementasi penilaian yang sesuai sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Maka diperlukan peran berbagai pihak terutama guru, kepala sekolah/madrasah, wakamad bidang kurikulum ataupun kerja sama dalam forum MGMP untuk terus mengupayakan implementasi yang sesuai. Sebab pada kenyataannya, ada banyak pendidik/guru yang tidak melaksanakan penilaian dengan baik karena tidak adanya pengawasan ataupun tidak adanya bimbingan misalnya dari piham sekolah atau madrasah (Hamdanah & Muis Said, 2020)
Terlebih dengan segenap penyempurnaan kurikulum madrasah yang ada salah satunya pada kurikulum madrasah yang termuat pada KMA 183 dan 184 tahun 2019.
Sebab terdapat pedoman-pedoman penilaian baru sebagai penyempurnaan dari penilaian pada kurikulum sebelumnya. Sehingga ketika kehadiran KMA 183 dan 184 harus dibarengi dengan berbagai upaya seperti pelatihan dan pembinaan untuk melaksanakannya. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kurikulum terutama pada implementasi penilaian betul-betul siap dilaksanakan. Selain itu upaya ini dilakukan agar para pendidik tidak lagi masih menggunakan penilaian kurikulum lama yaitu KTSP tetapi sudah menerapkan kurikulum 2013 (Ahsin et al., 2021)
Namun pada kenyataannya, ada banyak madrasah yang nampaknya belum siap dengan hal tersebut. Terbukti dari beberapa madrasah yang ada seperti halnya di MA Sabilal Muhtadin Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah belum sepenuhnya dapat menerapkan pedoman penilaian yang diinginkan oleh kurikulum. Misalnya pada pembelajaran Akidah Akhlak, temuan sementara dalam studi pendahuluan menunjukkan adanya ketidaksesuaian pelaksanaan penilaian. Di antaranya adalah tidak diterapkannya pedoman penilaian kurikulum 2013 dan penilaian pada KMA 183 dan 184 tahun 2019 tentang kurikulum madrasah oleh guru Akidah Akhlak. Padahal, sejatinya MA Sabilal Muhtadin telah berkomitmen dan menyatakan melaksanakan kurikulum tersebut.
Berangkat dari fenomena itulah sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kesesuaian pelaksanaan penilaian di MA Sabilal Muhtadin terkhusus pada pembelajaran Akidah Akhlak. Selain itu, penelitian ini juga sangat menunjang pemerintah dalam mengevaluasi keterlaksanaan kurikulum di madrasah
256 yang selama ini terus digaungkan tetapi sangat jarang memantau di lapangan. Sehingga sedikit dari temuan dalam penelitian ini setidaknya dapat menggambarkan kondisi para pendidik/guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran khususnya pada madrasah- madrasah yang berada di daerah seperti MA Sabilal Muhtadin.
Penelitian terdahulu oleh Nurhafidah tentang pelaksanaan penilaian Akidah Akhlak yang ada di Madrasah Tsanawiyah. Penelitian tersebut juga sama-sama mengungkapkan tentang sejauh mana pedoman penilaian dapat dilaksanakan. Namun terdapat perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaan tersebut terletak pada jenjang pendidikan, jika penelitian terdahulu di MTs maka penelitian ini dilaksanakan di MA.
Selain itu, perbedaan tempat dan subjek juga menjadi alasan penelitian ini berbeda sehingga hasil penelitian kemudian dapat menjadi pembanding dari penelitian sebelumnya.
Untuk membatasi pembahasan dalam penelitian ini, penulis merumuskan beberapa tujuan penulisan. Pertama, penelitian ini akan berupaya mendeskripsikan implementasi penilaian Akidah Akhlak pada ranah kognitif. Kedua, mendeskripsikan implementasi penilaian Akidah Akhlak pada ranah psikomotorik. Kemudian ketiga, mendeskripsikan implementasi penilaian Akidah Akhlak pada ranah terpenting yaitu afektif.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan penilaian pada mata pelajaran Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin yang diampu oleh satu orang guru berinisial RD. Beliau mengampu mata pelajaran tersebut dari kelas X hingga kelas XII pada jurusan IPS dengan total 9 kelas.
Berdasarkan hasil wawancara diungkapkan bahwa penilaian pada pembelajaran Akidah Akhlak dilakukan sesuai dengan kurikulum walaupun masih banyak terdapat kekurangan (Hasil wawancara kepada RD pada 27 September 2021). Hal ini dibuktikan dari hasil observasi dan dokumentasi yang didapat, tidak semua proses penilaian dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang tercantum dalam kurikulum 2013 oleh guru yang bersangkutan (Observasi dan dokumentasi pada 28 September 2021).
257 Implementasi atau pelaksanaan penilaian yang diterapkan oleh guru bersangkutan pada mata pelajaran Akidah Akhlak ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Penilaian Kognitif (Pengetahuan)
Pada ranah pengetahuan, penilaian yang dilakukan oleh guru diimplementasikan dalam bentuk tugas-tugas tertentu yang diberikan berkaitan dengan materi-materi Akidah Akhlak. Tugas-tugas tersebut lebih banyak berbentuk tes tertulis. Jenis tes tertulis yang digunakan berbentuk pilihan ganda, isian singkat, dan soal essay terstruktur atau soal yang jawabannya sudah ada di buku Lembar Kerja Siswa (LKS).
Jenis-jenis soal tersebut digunakan pada latihan-latihan yang dilaksanakan setiap kali pertemuan atau dua kali pertemuan satu kali tugas yang diberikan. Jenis soal yang dominan digunakan untuk tugas tiap sekali atau dua kali pertemuan adalah isian singkat dan essay terstruktur (Hasil wawancara kepada RD pada 27 September 2021, observasi dan dokumentasi yang dilihat pada dokumen pembelajaran (28 September 2021)).
Sementara terkait dengan konten soal atau instrumen penilaian kognitif masih belum menerapkan prinsip pembuatan soal berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills). Hal ini dapat dicermati dari soal-soal yang dibuat masih menanyakan tentang konsep-konsep dari materi pembelajaran yang berupa hapalan. Misalnya beberapa soal yang dibuat di antaranya:
1. Surat apakah yang menjelaskan tentang kecelakaan bagi orang yang berbuat riya’?
(Soal Akidah Akhlak kelas X semester I)
2. Peristiwa perpecahan yang terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan disebut dengan.... (Soal Akidah Akhlak kelas XI semester I) (Dokumentasi yang dilihat pada buku LKS siswa).
Jawab dari beberapa pertanyaan di atas sejatinya sudah tertera di dalam materi Lembar Kerja Siswa (LKS) karena di madrasah ini menggunakan LKS bukan buku paket.
Peserta didik cukup membaca, kemudian menyalin materi yang ada sebagai jawaban dari soal-soal tersebut. Walaupun di dalam LKS ada beberapa soal yang mensyaratkan analisis tetapi tidak digunakan oleh guru bersangkutan.
258 Penialain kognitif yang dilakukan oleh guru pada mata pelajaran Akidah Akhlak lebih banyak bersifat penilaian tertulis yang terlalu mudah. Dampak yang dirasakan peserta didik ketika soal-soal yang dibuat begitu mudah menyebabkan peserta didik tidak pernah memperoleh nilai yang rendah (kurang dari KKM). Sehingga peserta didik mengatakan bahwa dalam pembelajaran Akidah Akhlak ini tidak pernah mengikuti remedial ataupun pengayaan (Hasil wawancara kepada ND, SF, dan BN pada 28 September 2021). Sebab mereka selalu lulus dengan nilai-nilai yang memuaskan. Tes tertulis pun tidak selalu ada dalam setiap akhir pembahasan, sebab guru lebih banyak berfokus pada penjelasan dan memberikan penugasan untuk sekedar mengisi angka penilaian (Hasil wawancara kepada RD pada 27 September 2021).
Kedua, Penilaian Psikomotorik
Berdasarkan wawancara kepada beberapa peserta didik, diketahui bahwa guru tidak pernah menugasi praktek ataupun membuat sebuah karya dalam pembelajaran Akidah Akhlak (Hasil wawancara kepada ND, SF, dan BN pada 28 September 2021).
Jika melihat materi yang ada misalnya di kelas X semester I, tidak ada materi yang menunjukkan kompetensi praktek tetapi dapat digantikan dengan tugas lain misalnya portofolio atau membuat karya berupa makalah, artikel atau sejenisnya. Namun yang menjadi persoalan adalah skor atau nilai dari aspek psikomotorik ini dimunculkan di dalam raport atau hasil akhir pembelajaran. Sehingga terindikasi ada jenis penugasan yang diberikan kepada peserta didik tetapi sebenarnya tidak mengukur kemampuan psikomotorik. Hanya saja nilai dari penugasan tersebut diambil kemudian dicantumkan dalam penilaian psikomotorik atau keterampilan (Hasil wawancara kepada RD pada 27 September 2021).
Ketiga, Penilaian Afektif
Berdasarkan hasil wawancara guru bersangkutan menyatakan bahwa penilaian sikap dilakukan dengan melakukan observasi secara langsung kepada peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas (Hasil wawancara kepada RD). Hal ini menunjukkan bahwa guru bersangkutan sangat perhatian terhadap akhlak peserta didik sehingga beliau selalu menegur ketika anak-anak didiknya berbuat yang tidak pantas di dalam maupun di luar sekolah. Pernyataan demikian juga diungkapkan oleh peserta
259 didik bahwa guru Akidah Akhlak mereka sangat memperhatikan perilaku anak didiknya di dalam kelas. Misalnya ketika ada peserta didik laki-laki yang memakai atribut seperti kalung maka akan diketahui oleh beliau. Sang guru akan memeriksa dan menggali informasi melalui teman-temannya yang lain sampai diketahui dengan jelas. Sehingga peserta didik cukup segan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik di kelas (Hasil wawancara kepada ND, SF, dan BN).
Namun penilaian sikap yang dilakukan tanpa menggunakan instrumen tertulis yang disertai rubrik-rubrik tertentu. Guru hanya mengobservasi, menemukan fakta, kemudian memberi penilaian walaupun informasi yang didapat berasal dari dua sisi, dari guru itu sendiri dan informasi yang berasal dari peserta didik.
Penilaian dalam pembelajaran menjadi unsur penting yang tidak dapat diacuhkan dalam proses pendidikan. Hal ini bertujuan untuk melihat pningkatan ataupun penurunan kompetensi peserta didik yang kemudian dapat dilakukan evaluasi atau perbaikan. Oleh sebab itu, penilaian yang dilakukan semestinya mengikuti prosedur kurikulum yang berlaku agar hasil yang didapat benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penilaian yang mengikuti kurikulum juga akan dapat menyesuaikan dengan proses pembelajaran yang diterapkan. Sebab berbeda pendekatan, maka akan berbeda pula dalam penilaian.(Higgins, 2015, p. 780) Oleh karenanya penilaian harus dilakukan dengan matang mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya (Said & Muslimah, 2021)
Temuan penelitian pada pembelajaran Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap kompetensi peserta didik.
Ketidaksesuaian penilaian pada mata pelajaran Akidah Akhlak meliputi tiga ranah penting yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Pertama, berdasarkan temuan di atas bahwa pada ranah kognitif guru masih menggunakan model penilaian lama yaitu pada KTSP yang menekankan pada aspek pengetahuan melalui tes tertulis dan ujian. Padahal dalam pedoman penilaian autentik, penilaian dilakukan secara lebih komprehensif yang meliputi ranah kognitif, pasikomotorik, dan afektif. Pengetahuan bukan satu-satunya yang dominan, melainkan
260 yang lebih diutamakan adalah penilaian sikap atau afektif. Terlebih pada mata pelajaran Akidah Akhlak yang merupakan bagian dari rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, maka aspek afektif sejatinya yang menjadi penilaian utama (Umami, 2018, p.
227)
Penelitian terdahulu juga mengungkapkan bahwa aspek pengetahuan bukan menjadi aspek yang paling diutamakan dalam kurikulum 2013, melainkan aspek sikap atau pendidikan karakter yang sangat dominan. Hal ini bertujuan agar peserta didik tidak hanya mendapat output berupa pemahaman belaka, tetapi peserta didik diharuskan untuk dapat mengimplementasikan pengetahuan tersebut melalui perilakunya sehari- hari. Terlebih pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam seperti Akidah Akhlak yang tidak mengharuskan tinggi nilai kognitif belaka (Islam, 2017, p. 99)
Selain itu, dalam penilaian kognitif atau pengetahuan yang mengacu kepada kurikulum 2013 seharusnya sudah memuat instrumen penilaian yang berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills) atau soal-soal evaluasi yang menstimulasi peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi.(Sofyan, 2019, p. 16) Namun fakta yang ditemukan pada pembelajaran Akidah Akhlak, soal-soal yang dibuat masih berbasis LOTS (Lower Order Thinking Skills). Dengan kata lain bahwa instrumen penilaian kognitif guru hanya berbasis konsep-konsep yang mudah dihapal serta ditemukan jawabannya oleh peserta didik. Sehingga tidak proses berpikir kreatif yang dapat melatih peserta didik untuk lebih mendalami materi pembelajaran. Sehingga belum mencerminkan penerapan penilaian kurikulum 2013 yang menekankan soal-soal berbasis HOTS dalam tes tertulis ranah kognitif (Fanani, 2018, p. 74)
Guru juga lebih banyak menggunakan soal-soal yang ada di dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) dibanding harus membuat sendiri. Padahal mengembangkan soal yang mewakili pembelajaran yang diberikan adalah sebuah keharusan bagi seorang guru.
Dampak positifnya adalah dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik dengan mengulas kembali materi pembelajaran yang sudah dijelaskan dengan tidak meniru materi buku secara keseluruhan sebagai jawaban. Setidaknya dengan pengembangan soal yang ada guru dapat membuat penilaian kognitif dengan level soal yang lebih menantang salah satu cirinya (Hartuti & Handayani, 2019, p. 4)
261 Tidak hanya itu, soal-soal yang diberikan sejatinya tidak hanya dijawab melalui materi-materi yang ada di buku, melainkan memerlukan pengembangan yang lebih jauh melalui sumber-sumber yang lain. Terlebih di era digital ini, sumber belajar dapat diperoleh di mana saja sehingga guru harus lebih kreatif dalam membuat soal-soal evaluasi agar peserta didik juga lebih aktif untuk mencari dan menggali lebih dalam materi yang telah diajarkan.(Pretorius, 2018, p. 400) Hal ini yang semestinya yang menjadi prioritas karena juga merupakan bagian dari prinsip penilaian autentik pada kurikulum 2013.
Alasan lain yang mendukung bahwa guru harus membuat soal evaluasi yang lebih menantang adalah adanya pembaharuan dalam kurikulum PAI yang meningkatkan level kompetensi peserta didik mulai dari C4 hingga C6. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dengan berbagai tantangan pada abad 21 ini. Pedoman ini sebagaimana termuat dalam KMA No. 183 dan 184 tentang kurikulum PAI dan Bahasa Arab beserta pedoman implementasinya di madrasah (Bramma Aji Putra, 2019) Sehingga hal ini merupakan sebuah kewajiban yang patut dilaksanakan oleh guru-guru PAI termasuk guru Akidah Akhlak.
Kedua, terkait dengan penilaian psikomotorik guru tidak menerapkan sama sekali teknik penilaian yang terdapat dalam pedoman pelaksanaan penilaian kurikulum 2013.
Bahkan jika mengacu kepada KTSP sekalipun, guru bersangkutan juga tidak menerapkan penilaian keterampilan atau psikomotorik peserta didik. Padahal dalam penilaian autentik, penugasan yang berbentuk portofolio, unjuk kerja, dan proyek sangat relevan diterapkan untuk menilai keterampilan peserta didik terhadap materi yang telah diajarkan. Portofolio misalnya yang berupaya mengumpulkan hasil kerja peserta didik yang kemudian dianalisis oleh guru untuk melihat peningkatan ataupun penurunan kualitas belajar peserta didik dalam periode tertentu. Implikasi dari penilaian portofolio ini misalnya melalui karangan peserta didik berupa karangan dan lain-lain (Yunita et al., 2017, p. 87) Namun ketika tidak dilaksanakan, pemberian nilai yang berupa angka tetapi cara memperolehnya menggunakan prosedur yang tidak tepat tidak akan menghasilkan dampak apa pun untuk pembelajaran.
262 Akibat yang dimunculkan ketika penilaian psikomotorik tidak diterapkan dalam pembelajaran Akidah Akhlak adalah adanya manipulasi nilai yang dilakukan.
Manipulasi ini diketahui ketika guru bersangkutan dapat merekap nilai akhir untuk raport pada aspek psikomotorik padahal tes yang diberikan hanya berupa tes tertulis yang mengukur kemampuan kognitif belaka. Alasan yang dikemukakan adalah karena dalam pembelajaran Akidah Akhlak tidak ada materi yang menuntut praktek. Praktek yang dimaksud oleh guru seperti halnya pada mata pelajaran Fiqih seperti praktek salat dan lain-lain. Padahal jika dikembalikan kepada pedoman kurikulum, penilaian psikomotorik tidak hanya berupa praktek melainkan juga terdapat portofolio atau mengerjakan sebuah proyek yang terkait pembelajaran. Meskipun ada sebuah studi yang menyatakan bahwa terdapat pembelajaran tanpa nilai dan hanya mengandalkan motivasi, tetapi hal ini tentu dipersiapkan dengan sangat matang dan prosedur yang jelas (McMorran et al., 2017, p. 370)
Ketika pemberian nilai pada peserta didik hanya berdasarkan pada tes tertulis berupa tugas dan ujian saja, maka prinsip penilaian autentik tidak tercapai dengan sempurna. Penilaian autentik sejatinya menekankan kepada proses yang dilalui oleh peserta didik dalam memperoleh skor yang ada. Hal ini sejalan dengan teori kognitivistik yang menjelaskan bahwa pembelajaran semestinya bukan berfokus pada hasil tetapi lebih kepada proses yang terjadi (Nurhadi, 2020) Selain itu, ketika guru menerapkan penilaian psikomotor, peserta didik dapat merespon pembelajaran sesuai dengan konteks pembelajaran tersebut sebagaimana terdapat dalam penilaian performansi pada penilaian autentik (Sa’adah & Sigit, 2018)
Ketiga, terkait dengan penilaian afektif temuan di atas menunjukkan bahwa guru Akidah Akhlak melakukan penilaian dengan observasi secara langsung kepada peserta didik di kelas maupun di luar kelas. Selain itu, penilaian sikap dilakukan dengan menanykan kepada teman satu kelas peserta didik untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh. Teknik ini merupakan teknik yang tepat dalam penilaian sikap atau afektif. Karena melalui observasi guru dapat mengetahui perilaku atau akhlak peserta didik secara lebih detail. Namun sayangnya, penilaian yang dilakukan tanpa
263 menggunakan instrumen tertentu seperti daftar cek (checklist) atau angket yang diberikan kepada peserta didik.
Padahal dalam teknik penilaian autentik kurikulum 2013 dijelaskan bahwa dalam penilaian afektif atau kompetensi sikap, guru melaksanakan observasi, wawancara, penilaian diri, penilaian sejawat, dan jurnal. Implementasi dari teknik-teknik tersebut menggunakan instrumen seperti daftar cek atau skala penilaian dan daftar pertanyaan apabila teknik yang digunakan adalah wawancara. Sehingga ketika menggunakan instrumen-instrumen yang jelas, kompetensi sikap peserta didik dapat terukur dengan baik (Riscaputantri & Wening, 2018)
Terlebih pada era disrupsi ini, penilaian yang didasarkan pada penyelidikan yang mendalam sangat diperlukan mengingat setiap hasil yang didapat perlu pengukuran dan pertanggungjawaban. Sehingga ketika guru hanya menilai berdasarkan pengamatannya sendiri tanpa ada instrumen yang membantu, maka tingkat subyektivitas guru tersebut sangatlah tinggi (Violato & King, 2021, p. 321) Pada akhirnya, autentik yang diharapkan dalam kurikulum 2013 tidak tercapai dengan baik. Penilaian pun seakan seperti pada kurikulum KTSP. Terlebih pada era revolusi 4.0. ini guru juga harus melek teknologi karena penilaian pun juga semakin canggih dengan melibatkan berbagai teknologi tersebut (Muhajir & Muslimah, 2021) Walaupun pada kenyataannya dalam proses penilaian tersebut masih terdapat banyak problem (Said & Muslimah, 2021)
KESIMPULAN
Temuan penelitian ini menyatakan bahwa implementasi penilaian pada mata pelajaran Akidah Akhlak di MA Sabilal Muhtadin Kotawaringin masih menyisakan berbagai persoalan. Hal ini karena guru yang bersangkutan tidak menerapkan penilaian hasil belajar peserta didik dengan maksimal sesuai dengan aturan dalam penilaian autentik. Guru masih menggunakan penilaian berbasis KTSP yang juga tidak sepenuhnya dilakukan. Penilaian hanya berfokus pada penilaian pengetahuan, meskipun penilaian sikap juga dilakukan tetapi belum menggunakan instrumen penilaian dengan tepat pula. Selain itu, terjadi manipulasi penilaian dalam aspek psikomotorik yang
264 sebenarnya tidak dilakukan tetapi angka tercantum di raport peserta didik yang diambil dari tes tertulis untuk kognitif.
REFERENSI
Ahsin, Ernawati, & Binfas, M. A. M. (2021). Evaluasi Profesionalisme Guru Tersertifikasi. Jurnal Penelitian Dan Penilaian Pendidikan (JPPP), 3(2), 100–
108. https://doi.org/10.22236/jppp.v3i2.6806
Attamimi, H. R., & Setiadi, H. (2021). Evaluasi Penilaian Berbasis HOTS pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Labschool Kebayoran Baru. Jurnal Penelitian Dan Penilaian Pendidikan (JPPP ), 3(1), 34–45.
https://doi.org/10.22236/jppp.v3i1.5905
Bramma Aji Putra. (2019). Ini Persamaan dan Penyempurnaan Kurikulum PAI dan Bahasa Arab Madrasah. Kemenag.Go.Id. https://diy.kemenag.go.id/7193-ini- persamaan-dan-penyempurnaan-kurikulum-pai-dan-bahasa-arab-madrasah.html Fanani, M. Z. (2018). Strategi Pengembangan Soal HOTS pada Kurikulum 2013.
Edudeena: Journal of Islamic Religious Education, 2(1), 57–76.
https://doi.org/ttps://doi.org/10.30762/ed.v2i1.582
Hairun, Y. (2020). Evaluasi dan Penilaian dalam Pembelajaran. Deepublish Publisher.
Hamdanah, & Muis Said, Abd. (2020). Implementasi Pendekatan Remedial untuk Pengentasan Masalah Belajar. Indonesian Journal of Educational Science (IJES), 3(1), 24–48. https://doi.org/10.31605/ijes.v3i1.911
Hamdi, S., & Ulumiddin, A. (2020). Menghadirkan Sexual Quotient dalam Keluarga:
Upaya Mencegah LGBT dan Seks Bebas. Jurnal Transformatif (Islamic
Studies), 4(2), 193–210. https://doi.org/DOI:
https://doi.org/10.23971/tf.v4i2.2213
Hartuti, M., & Handayani, D. E. (2019). Analisis Penilaian Kognitif Kurikulum 2013 di Kelas Rendah. El-Ibtidaiy: Journal of Primary Education, 2(1), 1–8.
http://dx.doi.org/10.24014/ejpe.v2i1.7370
265 Higgins, M. (2015). Evaluations of Social Work Education: A Critical Review. Social
Work Education, 34(7), 771–784.
https://doi.org/10.1080/02615479.2015.1068284
Islam, S. (2017). Karakteristik Pendidikan Karakter; Menjawab Tantangan Multidimensional Melalui Implementasi Kurikulum 2013. Edureligia, 1(1), 89–
101. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.33650/edureligia.v1i2.50
McMorran, C., Ragupathi, K., & Luo, S. (2017). Assessment and learning without grades? Motivations and concerns with implementing gradeless learning in higher education. Assessment & Evaluation in Higher Education, 42(3), 361–
377. https://doi.org/10.1080/02602938.2015.1114584
Muhajir, A. & Muslimah. (2021). Permasalahan dalam Pembelajaran Online pada Era Pandemi Covid-19 serta Solusinya. Jurnal Iqtirahaat, 5(1), 11–17.
Nurhadi. (2020). Transformasi Teori Kognitivisme dalam Belajar dan Pembelajaran.
Bintang : Jurnal Pendidikan Dan Sains, 2(1), 16–34.
https://doi.org/10.36088/bintang.v2i1.540
Pretorius, L. (2018). Experiential and self-discovery learning in digital literacy:
Developing the discernment to evaluate source reliability. College &
Undergraduate Libraries, 25(4), 388–405.
https://doi.org/10.1080/10691316.2018.1530626
Riscaputantri, A., & Wening, S. (2018). Pengembangan instrumen penilaian afektif siswa kelas IV sekolah dasar di Kabupaten Klaten. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, 22(2), 231–242. https://doi.org/10.21831/pep.v22i2.16885 Sa’adah, E. N. L., & Sigit, D. (2018). Pengembangan Instrumen Penilaian Sikap dan
Keterampilan Psikomotorik pada Materi Elektrokimia. Jurnal Pendidikan:
Teori, Penelitian, & Pengembangan, 3(8), 1023–1026. https://doi.org/DOI:
http://dx.doi.org/10.17977/jptpp.v3i8.11405
Said, A., & Muslimah. (2021). Evaluation of Learning Outcomes of Moral Faith Subjects during Covid-19 Pandemic at MIN East Kotawaringin. Bulletin of Science Education, 1(1), 7–15.
266 Sofyan, F. A. (2019). Implementasi HOTS pada Kurikulum 2013. Inventa: Jurnal
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 3(1), 1–17.
https://doi.org/10.36456/inventa.3.1.a1803
Teluma, M., & Rivaie, W. (2019). Penilaian. PGRI Provinsi Kalbar.
Umami, M. (2018). Penilaian Autentik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam Kurikulum 2013. Jurnal Kependidikan, 6(2), 222–232.
https://doi.org/10.24090/jk.v6i2.2259
Violato, E., & King, S. (2021). Disruption and innovation in interprofessional attitude assessment. Journal of Interprofessional Care, 35(3), 325–327.
https://doi.org/10.1080/13561820.2020.1758045
Yunita, L., Irwandi, D., & Pertiwi, D. A. (2017). Penggunaan Instrumen Penilaian Psikomotor Siswa Pada Praktikum Kimia Berbasis Kurikulum 2013. Jurnal Riset Pendidikan Kimia, 7(2), 85–90. https://doi.org/10.21009/JRPK.072.01