• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KAJIAN TEORITIS A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III KAJIAN TEORITIS A."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III KAJIAN TEORITIS

A. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Hadis Misoginis

Dewasa ini salah satu perdebatan aktual dalam topik kesetaraan gender adalah terkait penafsiran yang misoginis. Hal ini memunculkan berbagai reaksi dari banyak kalangan cendekiawan kontemporer sekaligus feminis. Hal yang menjadi objek dari kritikan-kritikan tersebut adalah penafsiran tradisional yang dilakukan oleh sebagian ulama klasik. Kuatnya budaya patriarki saat itu dan dominannya ulama laki-laki berimplikasi pada penafsiran yang otoriter dan tidak berpihak pada perempuan.

Dalam konteks ini, para pemikir kontemporer tidak mempersalahkan ulama klasik sebagai mufassir, melainkan berupaya merekonstruksi pemahaman- pemahaman yang kurang sempurna sebelumnya sehingga relevan dengan kondisi saat ini. Hal yang patut dipermasalahkan adalah stereotip terhadap perempuan yang berangkat dari idealisasi tafsir tradisional dan berimplikasi pada perilaku- perilaku diskriminatif terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Amina Wadud dalam karya Muliadi, mengatakan bahwa latar belakang mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil tafsirnya sehingga tidak sepenuhnya objektif.39Keberagaman hasil tafsir tersebut tidak menjadi permasalahan. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika mengidealkan hasil tafsir dari al-Qur’

an seolah-olah itu al-Qur’an sendiri bukan hasil pemikiran mufassir terhadap al- Qur’an.

Amina Wadud menjadi salah satu ulama feminis kontemporer yang menentang penafsiran misoginisme dan otoriter. Dalam memandang ayat misoginis, Amina Wadud mengadopsi pemikiran beberapa ulama kontemporer lainnya seperti Fazlurrahman dan Khaled Abou El Fadl.40 Baik Fazlurrahman maupun Khaled, keduanya sama-sama menggunakan metodologi ijtihad kontemporer yaitu hermeneutika. Namun dalam teknis pengaplikasian motodologi tersebut terdapat beberapa perbedaan.

39 Erlan Muliadi. ” Telaah Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam: Inside the Gender Jihad,” QAWWAM 11, no. 2 (Desember 2017): 662.

40Erlan Muliadi. ”Telaah Atas Pemikiran Amina Wadud,” 133.

(2)

Model hermeneutika Fazlurrahman dalam menafsirkan teks al-Qur ’ an dapat diformulasikan menjadi tiga teori. Pertama, menggunakan pendekatan sosio-historis untuk mempelajari tatanan kronologis yang menjadi sebab turunnya al-Qur ’ an. Kedua, dalam membaca teks al-Qur ’ an harus dibedakan antara ketetapan yang sifatnya legal spesifik dan yang lebih bersifat umum sebagai ideal moral. Ketiga, dalam memahami ideal moral al-Qur ’ an harus tetap memperhatikan kronologi situasi dan kondisi saat teks tersebut diturunkan.

Pengaplikasian dari ketiga teori tersebut dilakukan oleh Fazlurrahman dengan menggunakan gerakan ganda yang biasa disebut sebagai istilah double movement.

Tahap pertama, yaitu menafsirkan teks-teks spesifik dan menggali nilai-nilai umum yang terkandung di dalamnya. Tahap kedua, menggunakan nilai-nilai umum tersebut untuk direalisasikan kembali pada permasalahan-permasalahan spesifik saat ini. 41 Sehingga dengan menggunakan konsep hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlurrahman, maka akan menghasilkan tafsir yang kontekstual, lebih objektif dan tidak memunculkan tafsir-tafsir yang timpang atau diskriminatif.

Ulama kontemporer kedua yang menjadi rujukan Amina Wadud dalam menafsirkan ayat secara heremneutik adalah Khaled Abou El Fadl. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Khaled dengan teori Hermeneutika Negosiatif-nya berupaya membantah penafsiran otoriter yang dilakukan oleh lembaga fatwa di Arab Saudi. Lembaga fatwa yang menjadikan teks misoginis sebagai acuan membangkitkan gairah intelek Khaled untuk merekonstruksi kembali pemahaman yang lebih berkeadilan dan lebih memihak perempuan. Hal ini kemudian menjadi acuan bagi kalangan feminis muslim termasuk Amina Wadud.

Amina Wadud dalam karya Muliadi, dijelaskan bahwa dalam menafsirkan tentang gender ia sangat memperhatikan aspek-aspek tertentu, seperti menggunakan perspektif demokratis, etika dan moral, serta mengacu pada prinsip-prinsip umum dalam al-Qur’an seperti keadilan dan kesetaraan. Apabila ketiga komponen tersebut terealisasi, maka akan membangun sebuah relasi

41 Robiah Adawiyahh. “ Implikasi Hermeneutika Al-Qur`an Fazlurrahman dan Hasan Hanafi Terhadap Penetapan Hukum Islam.” SYARIATI 2, no. 1 (2020): 342.

(3)

gender yang bermuara pada tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah fil

‘ard.42Sebagaimana kita ketahui bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan tidak lain untuk menjadi seorang pemimpin dan mengabdi kepada Tuhan.

Selain Amina Wadud, Fazlurrahman dan Khaled, terdapat banyak tokoh- tokoh feminis lain yang juga menyuarakan argumentasinya terkait penolakannya terhadap misoginisme. Misalnya Fatima Mernissi dan Asma Barlas. Telah disebutkan di awal bahwa Mernissi sangat intens dalam mengkritik hadis-hadis misoginis. Pendekatan historis yang dilakukan Mernissi bahkan menyoroti perawi pertama yang merupakan sahabat dekat Nabi dan oleh beberapa kalangan dianggap sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Dalam kasus misoginisme, Mernissi mengkritik dua orang sahabat Nabi yaitu Abu Bakrah dan Abu Hurairah.43

Salah satu contoh hadis misoginis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah adalah hadis tentang rusaknya suatu kaum apabila dipimpin oleh seorang perempuan. Berdasarkan kajian Mernissi, dalam peristiwa perang Unta antara Ali dan Aisyah, Abu Bakrah menggunakan hadis tersebut untuk mendukung Ali sebagai pemimpin yang sah dan menjadi khalifah selanjutnya setelah Utsman bin Affan meninggal.44 Berkaitan dengan Abu Hurairah, sebagaimana pengamatan Mernissi yang dikatakan oleh Ahmad Yunus, Abu Hurairah dijumpai sering menentang Aisyah bahkan suatu ketika ia berkata kasar kepada Aisyah bahwa perempuan hanya sibuk bercermin sedangkan ia mengumpulkan hadis.

Pergulatan itu terjadi ketika Aisyah menegurnya karena meriwayatkan hadis yang belum pernah ia dengar.45 Berbagai pengamatan yang dilakukan Mernissi tidak lain adalah untuk mengungkap kondisi sosial sekitar periwayatan hadis untuk memetik pesan moral yang akan dijadikan sebagai acuan di masa sekarang dan menghilangkan berbagai ketegangan sosial akibat kesalahan dalam memahami teks.

42Erlan Muliadi. ”Telaah Atas Pemikiran Amina Wadud,” 114.

43Ahmad Yunus Mohd Noor, Ab Rahman. Z, Ahmad Dahlan Salleh, Mohd Izhar Arif Mohd Kashim, Asmilyia Mohd Mokhta4. “Fatima Mernissi and Her Methodology in Dealing with Misogyny Hadith: A Critical Review,” Journal of Critical Reviews 7, no. 18 (2020): 2069-2070.

44Ahmad Yunus. “Fatima Mernissi and Her Methodology,” 2069.

45Ahmad Yunus. “Fatima Mernissi and Her Methodology,” 2070.

(4)

Cendekiawan feminis selanjutnya adalah Asma Barlas perempuan asal Pakistan dengan antusiasnya yang tinggi terhadap kesetaraan. Tidak jauh berbeda dengan beberapa tokoh feminis yang dijelaskan sebelumnya, Asma juga berupaya melakukan pengkajian ulang terhadap teks-teks misoginis dengan menggunakan metode hermeneutik. Dalam penerapannya Asma juga menggunakan pendekatan historis, namun hal lain yang agak berbeda adalah ia berupaya membaca teks misoginis dengan kacamata anti-patriarki.46 Terdapat pernyataan menarik dari Asma Barlas yang ia tulis dalam karyanya yang berjudul Believing Woman in Islam, Unreading Patriachal Interpretation of The Qur’an, ia menyatakan bahwa memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda ataupun sama bukan berarti memperlakukan keduanya secara setara.47 Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan kebutuhan spesifiknya masng-masing. Dalam pemenuhan hak tersebut tentu disesuaikan dengan porsinya masing-masing, tidak harus sama namun juga tidak harus membeda-bedakan sampai mengistimewakan atau merendahkan satu dari yang lain.

B. Hadis Misoginis dalam Perspektif Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih merupakan lembaga yang bertanggungjawab atas pengkajian dan perumusan hukum. Lembaga ini dibentuk Muhammadiyah untuk menjawab segala tantangan zaman dan mengembalikannya pada ajaran yang murni berdasarkan al-Qur ’ an dan hadis. Atas usul dari Mas Mansur Majelis Tarjih didirikan pada tahun 1927 dalam kongres Muhammadiyah yang ke XVI.

Lembaga Majelis Tarjih bertanggung jawab untuk menjawab segala tantangan hukum Islam yang kemudian dituangkan dalam produk hukumnya berupa putusan, fatwa dan wacana.

Berdasarkan tugas dan fungsi Majelis Tarjih tentu Muhammadiyah memiliki cara pandang dan penafsirannya tersendiri berkaitan dengan wacana hadis

46Nuril Fajri. “Asma Barlas Dan Gender Perspektif Dalam Pembacaan Ulang QS. An-Nisa/4;34.”

Aqlam 4, no. 2 (2019): 286.

47Nuril Fajri. “Asma Barlas Dan Gender,” 283.

(5)

misoginis. Sebelum mengkaji tentang pendapat Majelis Tarjih tentang hadis misoginis, dalam berijtihad Majelis Tarjih menerapkan beberapa pendekatan, yaitu bayani burhani dan irfani. Pendektan tersebut direalisasikan dengan menggunakan beberapa langkah-langkah prosedural yang biasa disebut sebagai metode. Dalam Manhaj Tarjih metode didasarkan atas dua asumsi, yaitu asumsi integralistik dan asumsi hirarkis. Asumsi integralistik adalah cara pandang bahwa antara berbagai elemen sumber hukum memiliki koroborasi sehingga saling berkaitan satu sama lain. Sedangkan asumsi hirarkis adalah anggapan bahwa sumber-sumber hukum memiliki tingkatan-tingkatan tertentu mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.48

Salah satu asumsi tersebut oleh Syamsul Anwar digunakan sebagai metode acuan dalam mengkaji hadis misoginis. Dalam suatu kajian keilmuan berbasis online pada hari Rabu 01 Juli 2020, Ketua Umum Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) itu menegaskan agar tidak mudah menyimpulkan hadis sebagai teks misoginis. Salah satu hadis yang dijadikan ilustrasi dalam kajian tersebut adalah hadis tentang larangan puasa seorang istri tanpa izin suaminya. Hadis tersebut berbunyi "Apabila seorang wanita bermalam sementara ia tidak memenuhi ajakan suaminya di tempat tidur, maka Malaikat melaknatnya hingga pagi"

(Shahih Bukhari 4795). Terlepas dari persoalan validitasnya, teks hadis tersebut seolah-olah tidak berpihak terhadap perempuan dan lebih mengistimewakan laki- laki. Dalam hal ini, Ketua MTT menyodorkan hadis lain yang membantah hadis sebelumnya. Hadis ini dari Abdullah bin Amru bin Ash, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Abdullah, bukankah telah diberitakan bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan qiyamul lail Semalam suntuk?" aku menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Beliau bersabda:

"Janganlah kamu melakukan hal itu. Berpuasalah dan juga berbukalah.

Tunaikanlah qiyamullail namun sisihkan pula waktu untuk tidur. Sebab bagi jasadmu juga punya hak atas dirimu, kedua matamu juga punya hak atasmu dan bagi istrimu juga punya hak atas dirimu." (HR.Bukhari).49

48Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 29.

49Shahih Bukhari, Bab Nikah, No. 4800 / Fathul Bari, No. 5199.

(6)

Kedua hadis di atas tampak bersinggungan satu sama lain. Di satu sisi malaikat melaknat perempuan yang menolak berjimak dengan suaminya, namun di sisi lain Rasulullah juga melarang seorang laki-laki yang berlebih-lebihan dalam beribadah sampai mengabaikan hak-hak istrinya. Dalam kasus ini, dapat ditarik benang merah bahwa Rasulullah tidak memihak salah satu diantara yang lain. Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak dan kewajibannya masing-masing yang harus dipenuhi. Hal lain yang perlu digaris bawahi pula bahwa hadis pertama tidak bermaksud mendiskriminasi perempuan karena sudah terbantahkan oleh hadis kedua. Hal ini telah jelas, bahwa metode interpretasi yang dilakukan secara komprehensif akan menciptakan norma hukum yang utuh.

Sedangkan pemahaman yang hanya secara parsial hanya akan memunculkan anggapan bahwa ajaran agama mendiskreditkan perempuan.

Bukti lain terkait metodologi Muhammadiyah yang digunakan untuk mengkaji hadis misoginis adalah hadis tentang kepemimpinan perempuan.

Problem kepemimpinan perempuan ini sebenarnya sudah final untuk diperdebatkan, namun agaknya penting untuk diilustrasikan kembali dalam penelitian ini. Dalam hadis nabi dikatakan bahwa “tidak beruntung suatu kaum mengangkat wanita sebagai pemimpin” (H.R. Bukhari). Majelis tarjih berupaya melakukan reinterpretasi terhadap hadis tersebut yang kemudian dituangkan dalam putusan dan fatwanya.

Dalam melakukan perubahan hukum banyak pertimbangan yang harus diperhatikan oleh Majelis Tarjih. Perubahan hukum dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat seperti; (1) adanya keadaan mendesak (2) objek reinterpretasinya bukan dalil qat’i (3) bukan hal-hal yang bersifat ibadah mahdah (ibadah khusus), dan (4) hukum baru yang dilahirkan juga didasarkan atas suatu dalil.50

Hadis tentang kepemimpinan di atas, dinilai telah memenuhi syarat untuk dilakukan reinterpretasi. Redaksi hadis tersebut mengundang stereotip negatif bahwa perempuan adalah makhluk kedua yang tidak pantas menjadi pemimpin bahkan dianggap dapat membawa kerusakan. Hadis sebagai sumber kedua

50 Majelis Tarjih dan Tajdid and PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), ix.

(7)

merupakan dalil dzanni yang membuka peluang besar untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Selain itu teks hadis tersebut juga tidak berbicara perihal ibadah mahdah. Sehingga berdasarkan asas kesamaan hak dalam memanfaatkan peluang amal shaleh (QS. An-Nahl 16:97) dan kesamaan hak untuk memilih dan dipilih, hasil perubahan hukum Tarjih terhadap kasus tersebut menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin atau memangku jabatan publik.51

Beberapa kajian ijtihad terkait hadis misoginis yang dilakukan oleh Majelis Tarjih di atas, secara tidak langsung mengkonstruksi fikih kesetaraan gender dalam perspektif Muhammadiyah. Kasus pertama merupakan wacana Tarjih karena bersumber dari pendapat Ketua Majelis Tarjih secara khusus. Sedangkan kasus kedua, merupakan putusan Majelis Tarjih sebagaimana tercantum dalam dokumen Himpunan Majelis Tarjih jilid ketiga.

51Tajdid and Muhammadiyah, Himpunan Putusan, ix.

Referensi

Dokumen terkait

disesuaikan dengan kondisi sekolah dan karakteristik siswa. Media pembelajaran tersebut digunakan dalam melakukan tugas pembelajaran dalam mempelajari materi ajar oleh

Skema Penelitian Penelitian Akselarasi (PA) • Penelitian Dasar • skema untuk mendorong peningkatan jabatan fungsional ke L/LK/GB dan mengakselarasi eligibilitas peneliti dalam

Peserta didik yang tingkat stres akademiknya tinggi, artinya peserta didik mengalami gejala stres akademik pada hampir semua indikator dari aspek gejala stres

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan konsentrasi ekstrak dan jenis bakteri terhadap aktivitas antibakteri ekstrak Usnea subfloridana

Pematangan ( ripening ) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 adalah proses yang mengubah dadih-dadih (keju mentah) segar menjadi keju yang penuh dengan

Seperti yang telah diketahui bahwa Masjid Raya Mujahidin memiliki struktur bangunan yang cukup tinggi (62 meter) di wilayah Kota Pontianak dan berdasarkan data dari SNI

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi pembahasan yang tak kunjung reda dalam pelaksanaan program pendidikan. Kurikulum yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan

Hasil penelitian menunjukan : terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) dengan katagori sedang dengan nilai koefisien