PENGARUH TEMPERATUR POST-CURING TERHADAP KEKUATAN TARIK KOMPOSIT EPOKSI RESIN YANG DIPERKUAT WOVEN
SERAT PISANG
Oleh Bodja Suwanto
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang Jalan Prof. H. Sudharto,S.H. Semarang
Abstrak
Curing is a process between resin and hardener (for epoxy resin) or catalyst where resin will begin to become more viscous until it reaches a state when it no longer a liquid and has lost its ability to flow(gel point) the resin will continue to harden after it has gelled, until, at some time later, has obtained its full hardness and properties, this reaction itself is accompanied by the generation of exothermic heat, which in turn, speed the reaction. Post curing itself is a next step process to curing process where resin is re-heated with various temperatures in order to increases the natural of resin mechanical properties. This paper addresses the problem of determining the effect of post-curing to one layer plain type woven banana fiber reinforced epoxy resin composite tensile strength at various temperatures (70oC, 80oC, 90oC, and 100oC ) with 60 minutes holding time curing temperature. After the test, the one layer plain type composite show the increase of tensile strength with maksimum tensile strength of 40.26 % occure at 1000 C post-curing composite if compared to non treatment composite.. It happen because the curing process have reached the glass transition temperature ( Tg )
Key Words : composite, , glass transition temperature. post-curing, woven
PENDAHULUAN
Dengan perkembangan dunia industri sekarang ini, kebutuhan material untuk sebuah produk bertambah. Penggunaan material logam pada berbagai komponen produk semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh beratnya komponen yang terbuat dari logam, proses pembentukannya yang relatif susah, dapat mengalami korosi dan biaya produksinya mahal. Oleh karena itu, banyak dikembangkan material lain yang mempunyai sifat karekteristik yang sesuai dengan karakteristik material logam yang diinginkan. Salah satu material yang banyak dikembangkan saat ini adalah komposit. Komposit adalah bahan kombinasi antara dua atau lebih komponen atau material yang memiliki sejumlah sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh masing–masing komponen tersebut.
Secara umum komposit tersusun dari material pengikat (matriks) dan material penguat (reinforce). Logam, keramik, dan polimer dapat digunakan sebagai material pengikat pada pembuatan komposit tergantung dari sifat yang ingin dihasilkan. Namun, polimer merupakan material yang paling luas digunakan sebagai matriks dalam komposit modern yang lebih dikenal dengan reinforced plastic.
Plastik banyak digunakan sebagai matrik dalam komposit dikarenakan plastik memiliki sifat utama ketahanan kimia yang baik. Plastik sangat ringan dan memiliki kekuatan tarik yang cukup baik. Akan tetapi memiliki kekurangan yaitu memiliki sifat getas. Penguatan yang paling banyak digunakan pada plastik adalah penguatan serat. Di antara serat–serat alam yang ada saat ini, serat Abaca memiliki kekuatan tarik yang cukup tinggi dan bahkan telah mulai digunakan dalam dunia produksi sebagai bahan pembuat uang dan kertas manila di Filipina, juga mulai digunakan sebagai bahan serat tekstil untuk pakaian. Sebagai family dari Abaca, serat pisang juga memiliki potensi untuk dikembangkan penggunaannya di dalam dunia produksi. Selain itu, serat pisang yang berasal dari tumbuhan pisang banyak terdapat di seluruh kawasan Indonesia.
Dalam pengujian yang dilakukan oleh Nurcahyo et all (2004) menguji variasi temperatur curing, yang dapat membuat kekuatan tarik komposit menjadi optimal.
Dalam pengujian yang dilakukan oleh Bernard Korompis (2005) didapatkan variasi jumlah serat meningkatkan kekuatan tariknya. Dengan melakukan pengujian berdasarkan variasi temperatur curing dan pemakaian serat dengan model woven pada komposit yang diperkuat dengan serat pisang diharapkan akan diperoleh kekuatan tarik yang jauh lebih baik. Hal ini dikarenakan beberapa model komposit yang digunakan di pasaran dunia industri menggunakan model woven.
Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah menjelaskan kekuatan tarik komposit epoksi resin yang diperkuat dengan woven serat pisang dan menganalisis pengaruh perlakuan panas terhadap komposit epoksi resin model woven terhadap kekuatan tarik dan perpanjangannya.
Dalam penelitian ini dibuat batasan masalah yang meliputi serat yang digunakan adalah serat alam yang berupa serat pisang sebagai material pengisi (filler), serat pisang diambil dari batang pohon pisang kapok, plastik yang digunakan adalah dari jenis thermosetting, yaitu epoksi resin dipilih sebagai matriks, drientasi serat yang digunakan adalah woven atau serat yang dianyam, temperatur curing dilakukan pada suhu ruangan berkisar 250C, variasi temperatur curing yang digunakan adalah 700 C, 800C, 900C, dan 1000C, bentuk spesimen berdasarkan standar pengujian tarik JIS, dan model woven adalah satu model dengan bentuk anyaman seperti anyaman saling silang.
Komposit merupakan campuran dari dua atau lebih material penyusun atau fase yang berbeda. Namun, definisi ini saja belum lengkap dan masih ada dua kriteria lain yang harus dipenuhi bagi material untuk dapat dikatakan sebagai komposit.
Pertama, material penyusun komposit harus mempunyai proporsi jumlah yang jelas, katakanlah lebih besar dari 5 %. Kedua, material penyusunan memiliki sifat yang berbeda, dan juga sifat dari komposit yang terbentuk berbeda dari sifat-sifat material penyusunan.
Dalam komposit terdapat dua atau lebih fase yang dipisahkan oleh lapisan pembatas, Lapisan ini penting untuk membedakan material penyusunnya. Material penyusun yang mempunyai sifat kontinu dan sering memiliki jumlah yang lebih besar pada komposit disebut matriks. Sifat-sifat matriks inilah yang biasanya meningkat ketika digabungkan dengan material penyusun lain untuk membentuk komposit. Sebuah komposit bisa memiliki matriks dalam bentuk keramik, logam, maupun polimer, sedangkan material penyusun lainnya adalah material penguat (reinforcement) yang bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari matriks tersebut. Geometri material penguat merupakan salah satu parameter utama dalam menentukan efektivitas penguatan, dangan kata lain sifat-sifat mekanik dari komposit sangat bergantung kepada bentuk dan dimensi dari material penguatnya. Geometri tersebut meliputi konsentrasi penguat, ukuran, tebal lapisan penguat, jarak penyusunan dan orientasinya. [Matthews, F.L, 1999:.3]
Ada dua hal yang harus diperhatikan pada komposit yang diperkuat agar dapat efektif yaitu yang pertama komponen penguat harus memiliki modulus elastisitas yang lebih tinggi daripada komponen matriksnya. Yang kedua harus ada ikatan permukaan yang kuat antara komponen penguat dan matriksnya. Fungsi matriks adalah untuk mendukung dan mengikat reinforcement, mentransfer beban antar reinforcement, dan melindungi reinforcement dari perubahan eksternal.
Klasifikasi material komposit secara umum dapat digambarkan seperti pada Gambar 1). Pada skema tersebut, komposit yang diperkuat dengan partikel (particle reinforced composites) memiliki penguatan yang sama dalam semua arahnya. Bentuk partikel penguat dapat berupa bola, kubus atau dalam geometri yang beraturan atau tak beraturan. Pengaturan arah orientasi pada komposit dapat secara acak (random orientation) atau pada arah tertentu (preferred orientation).
Namun, kebanyakan orientasi yang digunakan dalam penyusunan partikel penguat adalah secara acak (random orientation), dengan alasan adalah lebih praktis.
Karakteristik penguatan pada komposit yang diperkuat serat (fiber reinforced composites) ditentukan oleh perbandingan panjang serat dengan diameternya atau lebih dikenal dengan aspect ratio. Komposit dengan satu lapisan (single layer composite), serat penguatnya dapat berupa serat panjang (continuous fiber) atau serat pendek (discontinuous fiber). Arah orientasi serat panjang dapat berupa satu arah (unidirectional) dan dua arah (bidirectional) atau sering disebut juga penguatan tenun (woven reinforcement ), sedangkan pada serat pendek, arah seratnya dapat secara random atau pada arah tertentu (preferred orientation).
Gambar 3.1 Skema Klasifikasi Material Komposit
[Matthews, F.L, 1999. Composite Material: Engineering and Science]
LAMINATES HYBRIDS MULTILAYERED
(ANGLE-PLY COMPOSITES) SINGLE-LAYER
COMPOSITES
PREFERRED ORIENTATION RANDOM
ORIENTATION FIBER REINFORCED COMPOSITES
(FIBROUS COMPOSITES)
COMPOSITE MATERIAL
PARTICLE REINFORCED COMPOSITES (PARTICLE
COMPOSITES)
RANDOM ORIENTATION
PREFERRED ORIENTATION BIDIRECIONAL
REINFORCEMENT (WOVEN REINFORCEMENT) UNIDIRECTIONAL
REINFORCEMENT
DISCONTINUOUS FIBER REINFORCED COMPOSITES CONTINUOUS FIBER
REINFORCED COMPOSITES
Material matrik yang paling banyak digunakan adalah dari jenis polimer maupun plastik yang lebih dikenal dengan istilah reinforceed plastics. Kelebihan matrik polimer atau plastik jika dibandingkan dengan logam adalah plastik mempunyai densitas yang jauh lebih kecil. Keuntungan ini semakin terlihat ketika modulus young per unit massa E/ρ (modulus spesifik) maupun tegangan tarik per unit massa σ/ρ (tegangan spesifik) mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini berarti berat dari komponen dapat dikurangi. Pengurangan berat ini akan mengakibatkan pengurangan kebutuhan energi dan biaya. Pada reinforceed plastics dapat dipilih matriks dari jenis thermoplastic atau thermosetting.
Karakteristik dari komposit FRP bergantung dari bermacam-macam faktor diantaranya ikatan antara serat dan matriks, fraksi volume dari serat, aspek rasio serat, orientasi serat, efisiensi transfer tegangan, dan sifat resin. Karena FRP menggabungkan antara resin yang diperkuat oleh serat, maka sifat komposit yang dihasilkan merupakan sifat gabungan antara sifat resin sendiri dan sifat serat penguatnya, seperti yang tampak pada gambar berikut:
Gambar 2 Ilustrasi deformasi pada serat, resin dan komposit (Project, Seecom. Composite Engineering Materials)
Serat merupakan bagian penting dalam penyusunan komposit, karena fungsi serat sebagai penguat komponen material dasar (matriks).
Komposit tipe woven adalah komposit yang tidak mudah dipengaruhi pemisahan antar lapisan karena susunan seratnya juga mengikat antar lapisan, tetapi susunan serat memanjangnya yang tidak begitu lurus mengakibatkan kekuatan tidak sebaik tipe continuous fiber. (Gibson, F. R, 1994: 5)
Gambar 3 Woven fiber composite
Serat yang digunakan kali ini adalah serat pisang yang termasuk dalam jenis vascular fibers, berasal dari batang tanaman pisang (Musa x Paridasiaca). Selain mudah diperoleh, serat pisang juga memiliki potensi untuk digunakan bahkan di dalam dunia industri sekalipun. Salah satu family dari tanaman pisang yaitu abaca telah lama digunakan dalam pembuatan uang, kantung teh, dan kertas manila yang terkenal. Bahkan, kekuatan tariknyapun termasuk salah satu yang tertinggi di antara serat-serat alam lainnya.
Tabel 1 Sifat mekanik beberapa jenis serat alam
[Biagiotti Jerico. Mechanical Properties of Same Natural Fibers]
FIBERS TENSILE STRENGTH (MPa) YOUNG MODULUS (MPa)
Cotton 264 - 654 4980 – 10920
Wool 120 – 174 2340 – 3420
Silk 252 – 528 7320 – 11220
Coir 220 6000
Hemp 550 – 900 70000
Flex 300 – 900 24000
Abaca 980 -
Jute 342 – 672 43800
Sisal 444 – 552 -
Ramie 348 – 816 53400
E-Glass 2500 74000
Aramid 2900 134000
Carbon HR 3200 230000
Keluarga besar epoksi resin memiliki beberapa resin berkemampuan tinggi yang tersedia dewasa ini. Epoksi biasanya memiliki sifat mekanik dan ketahanan terhadap pengaruh akibat lingkungan dimana hampir semuanya sesuai untuk aplikasi dalam komponen–komponen pesawat terbang.
Sebagai resin yang terlaminasi, peningkatan kemampuan penyerapan (ahesive) dan ketahanan terhadap air membuat epoksi resin cocok untuk digunakan untuk membuat badan kapal. Di ini epoksi banyak digunakan sebagai material konstruksi utama untuk perahu kemampuan tinggi atau dipakai sebagai pelapis dinding atau pengganti polyester resin atau pelapis gel yang rusak oleh pengaruh air.
Kata epoksi berasal dari grup kimia yang terdiri dari atom oksigen yang diikat dengan dua atom karbon yang sudah diikat dengan cara tertentu. Bentuk epoksi yang paling sederhana adalah struktur cincin dengan tiga anggota yang disebut
“alpha–epoksi” atau “1.2–epoksi”. Struktur kimia yang ideal (Gambar 4) merupakan karakteristik dari molekul epoksi yang paling mudah diidentifikasikan.
Gambar 4. Struktur ideal epoksi yang paling sederhana [Net composites. Epoksi Resin]
Biasanya mudah diidentifikasikan dengan pewarnaan amber atau coklat epoksi resin memiliki baberapa kegunaan. Baik resin dalam bentuk cair dan agen curing memiliki viskositas rendah sehingga mudah diproses. Epoksi resin mudah dan
cepat dicuring pada temperature mulai dari 5oC sampai dengan 150oC, bergantung dengan pemakaian agen curing. Salah satu sifat epoksi yang paling penting adalah kecilnya penyusutan bentuk selama curing untuk mengurangi tegangan dalam.
Kekuatan penyerapan yang tinggi dan sifat mekanik yang tinggi juga meningkatkan sifat isolator listrik, dan ketahanan kimia yang baik. Epoksi biasanya digunakan sebagai bahan pengikat (adhsives), campuran caulking, campuran pengecoran, sealant, pernis dan cat, juga resin laminasi yang diaplikasikan dalam beberapa industri.
Epoksi resin dibentuk dari rangkaian panjang struktur molekul mirip vinylester dengan titik reaktif pada kedua sisi. Akan tetapi, pada epoksi resin titik reaktif ini bukannya terdiri dari grup ester melainkan terdiri dari grup epoksi. Ketiadaan grup ester berarti resin epoksi memiliki ketahanan yang baik terhadap air.
Molekul epoksi juga menyimpan dua grup cincin pada titik tengahnya yang dapat menyerap baik tekanan maupun temperatur lebih baik dibandingkan grup linier sehingga epoksi resin memiliki ketangguhan, kekakuan, dan ketahanan terhadap panas yang sangat baik.
Gambar berikut manunjukkan suatu struktur kimia ideal dari epoksi resin.
Perhatikan ketiadaannya grup ester dalam ikatan molecular.
Gambar 5. Struktur kimia ideal untuk epoksi [Net composites. Epoksi Resin]
Epoksi berbeda dengan polyester resin dimana epoksi di curing dengan pengeras (hardener) sedangkan polyester mengunakan katalis. Bahan pengeras, biasanya amine, biasanya digunakan untuk meng-curing epoksi dengan reaksi tambahan dimana kedua material diletakan dalam suatu reaksi kimia. Reaksi kimiawi dari
kedua bahan ini biasanya terjadi dimana dua atom epoksi diikat oleh sebuah atom amine. Hal ini akan membentuk struktur komplek molekular tiga dimensi.
Karena molekul amine ikut bereaksi dengan molekul epoksi dalam perbandingan yang tetap (1:1 atau 2:1) sangatlah penting untuk memastikan rasio pencampuran antara resin dan pengeras tepat untuk memastikan reaksi dapat sempurna yang terjadi apabila amine dan epoksi tidak dicampur dengan rasio yang benar, resin atau pengeras yang tidak ikut akan bereaksi akan tertinggal dalam matriks yang akan mempengaruhi hasil akhir setelah dicuring. Untuk membantu pencampuran yang akurat antara resin dengan pengeras, produsen biasanya memformulasi komponen–komponen untuk memberikan rasio sederhana dimana dapat mudah dicapai dengan mengukur volume atau berat dari masing–masing komponen.
METODE PENELITIAN
Hand lay-up atau contact molding adalah proses yang paling tua dan paling mudah untuk membentuk plastik yang diperkuat serat. Serat dan resin ditempatkan pada cetakan dan udara yang terperangkap dihilangkan dengan alat penyapu atau roller (Gambar 6). Lapisan-lapisan serat dan resin ditambahkan sebagai penambah untuk ketebalan. Jika lapisan dengan kualitas tinggi yang diinginkan, gel coat (resin dengan permukaan yang diberi pewarna) ditambahkan pada cetakan sebelum lay-up. Lay-up biasanya dilakukan pada temperatur kamar, tetapi panas bisa digunakan untuk mempercepat curing. Resin yang biasanya digunakan dalam hand lay-up adalah polyesters dan epoxies. Polyesters disukai karena biaya yang rendah, luas penggunaannya, dan kemudahan dalam penanganannya. Sedangkan epoxies lebih mahal dan lebih sukar dalam perumusannya. [Schwartz,: 4)
Gambar 6 Metode hand lay-up
Proses hand lay-up biasanya dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.
a. Persiapan cetakan
Bagian-bagian cetakan dibuat dari cairan pelepas (release film) dipoles di permukaan cetakan.
b. Gel coating
Tahapan ini meliputi pelapisan resin yang nantinya akan menjadi lapisan luar laminate ketika telah terbentuk. Lapisan ini hanya dibutuhkan ketika diinginkan hasil akhir permukaan yang baik.
c. Hand lay-up
Serat dimasukkan. Resin dan hardener (sebagai pengeras) kemudian akan bercampur. Dan untuk memastikan bahwa udara telah dihilangkan, digunakan roller untuk menekan material agar rata dengan cetakan.
d. Finishing
Pada tahap ini komposit dapat sepenuhnya dikeraskan dan dapat dilakukan proses machining.
Diagram alir dari penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 7. Diagram alir penelitian
MULAI
PEMBUATAN SERAT PISANG
PEMBUATAN CETAKAN
PEMBUATAN SPESIMEN
POST-CURING TERHADAP
SPESIMEN
PENGUJIAN TARIK SPESIMEN
KEKUATAN TARIK
ANALISA DATA DAN KESIMPULAN
SELESAI
Serat pisang yang digunakan dalam pembuatan spesimen diperoleh dari beberapa tanaman pisang di daerah Tembalang, Semarang dan diproses menjadi serat secara manual (Gambar 8).
Gambar 8. Serat yang telah dipotong
Untuk mendapatkan serat pisang bisa diperoleh dari batang pohon pisang tersebut dan masih menggunakan metode secara manual dan masih sangat sederhana, tetapi sangat mudah untuk dilakukan. Tahapan proses untuk mendapatkan serat dari batang pohon pisang yang terdiri dari lapisan-lapisan pelepah pohon pisang berikut, yaitu:
a. memilih dan memotong batang pohon pisang yang diperkirakan sudah tua dan terlihat agak menguning atau kelihatan sudah layu;
b. memilih batang pohon pisang yang masih dalam keadaan yang masih bagus, lembab, dan belum mongering; membersihkan batang dari pelepah-pelepah yang telah rusak dan mengering pada bagian tepi atau bagian paling luar pada batang pohon pisang; memisahkan batang pohon pisang yang terdiri dari lapisan-lapisan pelepah dengan melepaskan tiap lapisan pelepah secara terpisah dari lapisan yang lain;
c. memotong pelepah-pelepah batang pohon sesuai bagian pelepah dengan ukuran-ukuran yang seragam di antara pelepah-pelepah yang satu dengan yang lain ;
d. memsaukkan potongan-potongan pelepah ke dalam air untuk proses perendaman dalam jangka waktu tertentu
e. memisahkan pelepah batang yang sudah kelihatan membusuk dari pelepah yang lain untuk dilakukan proses selanjutnya, yaitu proses pemisahan antar bagian serat yang masih mengelompok menjadi satu bagian..
f. menjepitkan pelepah pisang yang sudah membusuk sebagai hasil dari proses perendaman dengan alat penjepit dan menggeser-geserkannya yang dilakukan secara berulang-ulang hingga serat pelepah batang pohon pisang benar-benar terpisah antara satu dan yang lain.
g. Menjemurnya yang dilakukan di tempat teduh yang tidak terkena sinar matahari secara lansung.
Serat pisang yang dihasilkan berwarna putih atau kuning dan kelebihan serat pisang adalah tidak kaku walaupun sudah dalam kondisi mengering. Serat yang sudah diproses tersebut dipotong dengan panjang sekitar 300 mm dan ditimbang menggunakan timbangan digital.
Untuk memudahkan pemasangan serat sewaktu penganyaman serat, cetakan dibuat dari bahan kaca berbentuk persegi panjang berukuran panjang 250 mm dengan lebar 250 mm dengan tebal masing–masing cetakan 50 mm (Gambar 9), yang dapat dibagi dua (meminjam istilah pengecoran sistem cetakan “male and female”). Cetakan dasar digunakan sebagai landasan buat spesimen, sedangkan cetakan kedua (Gambar 10) digunakan sebagai tempat merekatkan anyaman serat pisang sebagai bahan komposit yang dimaksud.
Gambar 9. Cetakan yang digunakan
Gambar 10. Spesimen Benda Uji Berdasarkan JIS
Keterangan (satuan mm) A: verall length 175; B :Width at ends 20 ± 0,5;C:
Length of narrow parallel portion 60 ± 0,5; D: Width of narrow parallel portion 10 ± 0,5; E: Radius of fillets (min.) 60; F :Thickness 1 sampai 10; G:
Gauge length 50 ± 0,5; H:Distance between grips 115 ± 5
Gambar 11. Contoh spesimen yang dihasilkan
Epoksi resin yang digunakan adalah tipe general purpose (Bisphenol A- epichlorohydrin) Bakelite EPR 174, Diperoleh dari toko bahan kimia PT Justus Kimia Raya, Jalan Indraprasta Semarang. Dengan data–data spesifikasi epoksi resin yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
a. Viskositas pada 25o C 13.000 + 2.000 mPa .s
b. Nomor Epoksi 22.7 + 0.6 % c. Ekuivalen Epoksi 189 + 5 g/equiv
d. Nilai Epoksi 0.53 + 0.01 equiv /100g
e. Total kandungan klorin < 0.2 % f. Kandungan klorin hydrolysable < 0.05 %
g. Warna < 1 Gardner
h. Densitas pada 25o C 1.17 + 0.01 g/cm3
Tipe serat yang digunakan adalah serat panjang yang dianyam (woven) dengan variasi suhu curing, di mana jumlah serat dalam tiap–tiap spesimen relatif sama.
Fraksi berat
a. Rata – rata massa 1 spesimen tanpa serat = 49 gram
b. Massa serat = 0, 200 gram
c. ρresin = ρr = 1180 kg/ m3 d. ρfiber = ρf = 1500 kg/ m3
Fraksi massa : 0.004
49 2 .
0 
 gram W gram
c c
f
W c
V  
    
 2,66.106
004 1500 . 0
V
V V
V r r f r
f
c         1
V
c 1500V11801
c  
c 
c  
 15002,66106 11801 2,66106
c c
c  
 3.990103 11803.1388103 1180 10
1388 . 3 10
990 .
3  3   3 
  c  c
c  
1180 99914
.
0 c  0052 .
1181
c
Didapat massa jenis komposit : c 1181.0052kg/m3
sehingga , V = 2,66 . 10-6 . ρc . Jadi, V = 2,66 . 10 -6 . 1181.0052 Fraksi Volume : V = 0.00314147 = 0.31 %
Diameter serat pisang yang digunakan pada pengujian adalah 0.2 mm. Untuk mengetahui kekuatan tarik serat pisang kemudian dilakukan pengujian kekuatan tarik menggunakan mesin uji tarik. Dari hasil pengujian tarik didapatkan data sebagai berikut.
Tabel 2. Pengujian Kekuatan Tarik Serat Pisang.
Pengujian Kekuatan Tarik (gram)
1 240
2 320
3 370
Rata – rata 310
sehingga didapatkan kekuatan tarik serat pisang :
σ =
   
 
MPaA
F 96.70
1 . 0
81 . 9 3100 . 0
2 
 
Pemasangan serat dilakukan dengan cara meletakan serat diatas cetakan kaca yang sebelumnya sudah dilapisi perekat untuk memudahkan dalam pemasangan dengan jarak tertentu pada spesimen yang akan dibuat menggunakan jarak 3 mm. Setelah serat tersebut terpasang rapi di atas kaca, maka bagian kaca yang akan bersentuhan dengan resin yang akan dicetak diolesi dengan vaseline/MAA untuk memudahkan dalam pelepasan cetakan dan spesimen.
Gambar 12 Model Woven yang Digunakan
Keuntungan menggunakan model woven ini (Gambar 12) adalah simetris, memiliki stabilitas yang bagus dan porositas yang dapat ditolelir. Akan tetapi,
memiliki sifat mekanis yang lebih rendah bila dibandingkan dengan model woven yang lain.
Spesimen komposit dibuat dengan metode pengecoran hand lay-up dengan langkah–langkah pencetakan berikut.
a. Setelah cetakan bagian dasar yang sudah dilapisi vaseline, materi epoksi resin dituang ke dalam cetakan, di mana perbandingan campuran antara epoksi resin dengan hardenernya berbanding 2 : 1.
b. Penuangan ini harus hati–hati untuk menghindari terbentuknya gelembung–
gelembung udara.
c. Setelah dituang langkah selanjutnya adalah menempelkan cetakan kaca yang ditempeli oleh serat ke atas cetakan bagian dasar.
d. Selanjutnya permukaan serat diratakan dengan roler, yang bertujuan untuk menghilangkan laminasi antara serat dengan epoksi resin juga untuk mengurangi timbulnya gelembung–gelembung udara.
e. Setelah serat dianggap cukup rata, sisa dari materi epoksi resin kemudian dituang ke atas cetakan sampai mencapai ketinggian tertentu yang diinginkan, dalam hal ini mencapai ketinggian 10 mm.
f. Langkah selanjutnya spesimen didinginkan dalam suhu ruangan kurang lebih selama 8 jam, sampai spesimen tersebut benar–benar kering.
g. Setelah kering, spesimen tersebut kemudian dilepas dari cetakan lalu dilakukan proses finishing. Langkah tersebut adalah menghaluskan permukaan spesimen yang masih kasar setelah dilepas dari cetakan. Proses perataan permukaan ini dilakukan dengan mesin pemoles.
Setelah proses pemolesan selesai dan dimensi masing–masing spesimen sudah relatif seragam, maka dilakukan proses curing terhadap material tersebut dengan temperatur 700, 800, 900, 1000 C. Setelah itu didinginkan pada temperatur ruangan pada udara terbuka. Proses post-curing ini dilakukan selama 60 menit. Untuk setiap temperatur post-curing terdapat 3 buah spesimen, sehingga nantinya terdapat 12 spesimen yang mengalami post-curing.
Pengujian dilakukan di Laboratorium Bahan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang. menggunakan mesin uji tarik dengan spesifikasi sebagai berikut:
Merk : Controllab Kapasitas maksimum : 1000 kg
Kecepatan penarikan dapat divariasi dari 1 mm/menit sampai dengan 300 mm/menit. Untuk pengujian ini kecepatan penarikan yang digunakan 2 mm/menit.
Pada mesin (Gambar 13) angka yang ditunjukan oleh display adalah gaya tarik dalam Newton, dimana grafik hasil penarikan dapat langsung dicetak lewat komputer.
σ = A F
keterangan : σ = kekuatan tarik ( MPa ), F = gaya tarik ( Newton ), dan A = luas penampang ( mm2 ).
(a) (b)
Gambar 13 (a) adalah Mesin Uji Tarik dengan Kapasitas Maksimum 1.000 kg, dan (b) adalah ekstensiometer dengan ketelitian 0,05 mm.
HASIL
Tujuan dari dilakukan proses curing adalah memperbaiki sifat–sifat yang dimiliki oleh komposit. Proses curing dilakukan dengan cara memanaskan material benda uji tersebut pada temperatur tertentu, tetapi temperatur tersebut tidak boleh
melebihi glass transition temperature, karena jika melebihi temperatur tersebut akan menyebabkan material tersebut menjadi lunak dan jika temperatur tersebut ditingkatkan lagi material akan menjadi cair (flow). Pada waktu dilakukan curing material mencapai glass transition temperature dimana pada kondisi ini molekul–
molekul resin menerima lebih banyak energi dan meningkatkan pergerakan molekul–molekul tersebut. Molekul–molekul tersebut tersusun ulang dan membentuk ikatan crosslink. Hal ini menyebabkan material menjadi lebih fleksibel. Ketika material tersebut didinginkan maka mobilitas dari molekul akan turun kembali dan menyebabkan material menjadi kaku kembali. Fenomena ini menyebabkan material mengalami peningkatan kekuatan tarik.
Temperatur curing tidak boleh melewati batas melting temperature karena jika telah melebihi temperatur ini maka material akan menjadi leleh dan mencair sehingga berubah menjadi liquid. Untuk komposit yang tanpa mengalami proses perlakuan panas, kekuatan tariknya dapat dilihat pada tabel 3 dan Gambar 14. .
Tabel. 3. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700 C
Variasi Komposit Tanpa Pemanasan
1 28.18 Mpa
2 30.00 Mpa
3 32.14 MPa
Rata – rata 30.106 MPa
26 27 28 29 30 31 32 33
TEGANGAN TARIK (MPa)
1 2 3
VARIASI
Tanpa Pemanasan
Gambar 14. Grafik kekuatan tarik komposit tanpa pemanasan
Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 70oC (Tabel 4), dan dilakukan variasi waktu pemanasan sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan.
Tabel. 4. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700C
variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 700C
1 28.18 Mpa 34.54 Mpa
2 30.00 Mpa 31.818 Mpa
3 32.14 MPa 35.576 MPa
Rata – rata 30.106 MPa 33.979 MPa
0 5 10 15 20 25 30 35 40
TEGANGAN TARIK (MPa)
1 2 3
VARIASI
Tanpa Pemanasan
Pemanasan 70 derajat celcius
Gambar .15. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 700 C
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 700 C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk komposit setelah proses pemanasan 700 C adalah sebagai berikut.
% 86 . 12
% 106 100
. 30
873 .
% 3 106 100
. 30
106 . 30 979 .
33   
 
 
x x
Proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 80oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan ( Tabel 5 dan Gambar 16) .
Tabel. 5. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 800 C
variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 800C
1 28.18 Mpa 37.383 Mpa
2 30.00 Mpa 45.918 Mpa
3 32.14 MPa 34.545 Mpa
Rata – rata 30.106 MPa 39.282 Mpa
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
TEGANAGAN TARIK (MPa)
1 2 3
VARIASI
Tanpa pemanasan
Pemanasan 80 derajat celcius
Gambar 16. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 800C
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 800C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk komposit setelah proses pemanasan 800C adalah sebagai berikut:
% 04 . 30
% 106 100
. 30
176 .
% 9 106 100
. 30
106 . 30 282 .
39   
 
 
x x
Yang dimaksud dengan proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 90oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan (Tabel 6 dan Gambar 17).
Tabel. 6 Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 900 C
variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 900C
1 28.18 Mpa 42.857 Mpa
2 30.00 Mpa 43.636 Mpa
3 32.14 MPa 37.391 Mpa
Rata – rata 30.106 MPa 41.294 Mpa
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
TEGANGAN TARIK (MPa)
1 2 3
VARIASI
Tanpa pemanasan
Pemanasan 90 derajat celcius
Gambar 17. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 900C
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 900 C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk komposit setelah proses pemanasan 900C adalah sebagai berikut:
% 16 . 37
% 106 100
. 30
188 .
% 11 106 100
. 30
106 . 30 294 .
41   
 
 
x x
Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 100oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan (Tabel 7 dan Gambar 18).
Tabel. 7. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 1000 C
variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 1000C
1 28.18 Mpa 45.454 Mpa
2 30.00 Mpa 40.00 Mpa
3 32.14 MPa 41.228 MPa
Rata – rata 30.106 MPa 42.227 MPa
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
TEGANGAN TARIK (MPa)
1 2 3
VARIASI
Tanpa pemansan
Pemanasan 100 derajat celcius
Gambar 18. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 1000C
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 1000 C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa pemanasan. Besarnya peningkatanrata-rata kekuatan tarik maksimum untuk komposit setelah proses pemanasan 1000C adalah sebagai berikut ( Tabel 8, 9, 10, dan Gambar 19).
% 26 . 40
% 106 100
. 30
121 .
% 12 106 100
. 30
106 . 30 227 .
42   
 
 
x x
Tabel 8. Hasil Pengujian Tarik Spesimen Dengan Serat Woven
No PERLAKUAN
HASIL UJI TARIK
(Newton) A
( mm2 )
σ ( MPa )
Rata - rata ( MPa ) 1
Non perlakuan
3100 110 28.18
30.106
2 3300 110 30.00
3 3600 112 32.14
4
Pemanasan 70oC
3800 110 34.54
33.979
5 3500 110 31.818
6 3700 104 35.576
7
Pemanasan 80oC
4000 107 37.383
39.282
8 4500 98 45.918
9 3800 110 34.545
10
Pemanasan 90oC
4500 105 42.857
41.294
11 4800 110 43.636
12 4300 115 37.391
13
Pemanasan 100oC
5000 110 45.454
42.227
14 4400 110 40.00
15 4700 114 41.228
Tabel 9. Hasil Pengujian Tarik Spesimen Tanpa Serat
No PERLAKUAN HASIL UJI TARIK (Newton)
A ( mm2 )
σ ( MPa )
Rata - rata ( MPa ) 1
Non perlakuan
2800 100 28.00
30.081
2 3000 105 28.57
3 3300 98 33.67
4
Pemanasan 70oC
3000 100 30.00
32.231
5 3400 105 32.38
6 3500 102 34.31
7
Pemanasan 80oC
3800 105 36.19
37.063
8 4000 110 36.36
9 4250 110 38.63
10
Pemanasan 90oC
4000 116 34.48
39.518
11 4200 104 40.38
12 4500 103 43.68
13
Pemanasan 100oC
4500 108 41.66
42.825
14 4600 105 43.80
15 4300 100 43.00
Tabel 10. Hasil Pengujian Serat Pisang
NO SPESIMEN F ( kgf ) R (mm) σ
( MPa )
Rata – rata ( MPa ) 1
Serat Pisang
0.240 0.10 74.94
97.84
2 0.320 0.10 99.92
3 0.380 0.10 118.66
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
TEGANGAN TARIK (MPa)
Non perlakuan
70 80 90 100
PEMANASAN (DERAJAT CELCIUS)
tanpa serat serat woven
Gambar 19. Grafik Kekuatan Tarik Spesimen Tanpa Serat dengan Spesimen Menggunakan Serat Woven
Perhitungan kekuatan tarik komposit (TS)c secara teoritis
(TS)m = Rata – rata kekuatan tarik matriks = 30.081 MPa (TS)f = Rata – rata kekuatan tarik serat pisang 97.84 MPa (TS)c = (TS)m . V m + (TS)f . V f
= (30.081 MPa ).(0.9911) + (97.84 MPa). (0.0089)
= 29.81 + 0.8707
= 30.680 MPa
PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian ternyata didapatkan rata–rata kekuatan tarik yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil perhitungan secara teoritis. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Secara teori komposit dengan serat panjang yang di anyam (woven) dapat menyalurkan tegangan atau beban yang diterima ke sepanjang serat. Akan tetapi, dalam penerapannya hampir tidak mungkin terjadi karena a) tidak setiap serat dalam anyaman komposit memiliki kekuatan tarik optimum yang sama dan b) tidak pernah didapat dalam kenyataan bahwa setiap serat ketika menerima tegangan akan mendapatkan tegangan yang sama untuk serat masing – masing.
Beberapa serat bisa mendapatkan tegangan yang berlebih (highly stressed) dan serat lain tidak menerima tegangan sama sekali ( unstressed ).
Dalam pembuatan komposit menggunakan proses hand lay-up, porus yang terbentuk ditengah–tengah spesimen dapat dikurangi, dengan menggunakan alat penyapu atau roller, tetapi sisa–sisa porus yang tersisa tersebut terjebak disisi bagian atas dari spesimen tersebut, sehingga menyebabkan spesimen tidak memiliki keseragaman kekuatan pada setiap sisinya.
Dari tabel-tabel dapat dilihat bahwa pada spesimen yang mendapatkan perlakuan panas sampai. 700C, 800C, dan 1000C, material tersebut mengalami peningkatan kekuatan tarik karena telah mencapai glass transition temperature, menyebabkan mobilitas molekul meningkat cukup berarti, molekul–molekul dalam komosit bergerak secara kontinyu dan tersusun. Dengan melakukan curing juga terjadi penambahan jumlah ikatan cross-link pada komposit sehingga meningkatkan sifat mekaniknya.
Dari hasil pengujian komposit ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian spesimen matriks tanpa serat, di mana hasilnya dapat dilihat pada grafik-grafik di atas. Di sini terlihat perbedaan kekuatan tarik rata-rata antara spesimen tanpa serat
dengan spesimen komposit dengan serat pisang tidak begitu signifikan. Hal ini disebabkan antara lain karena kurang besarnya volume serat pisang yang digunakan sehingga untuk selanjutnya dapat digunakan komposisi serat yang lebih besar.
Terjadi penurunan kekuatan tarik rata-rata untuk spesimen komposit dengan pemanasan 1000C apabila dibandingkan dengan spesimen matrik tanpa serat dapat difahami karena terdapat hasil spesimen dengan nilai yang bervariasi sehingga menghasilkan nilai rata-rata yang kurang memuaskan. Nilai yang bervariasi ini disebabkan antara lain kesalahan pada proses pengujian spesimen dan kemungkinan terdapat cacat pada spesimen hasil pengecoran.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Kekuatan tarik maksimum yang terjadi pada komposit yang mengalami proses post-curing pada temperatur 1000 C sebesar 42.82 MPa, sehingga terjadi peningkatan kekuatan tarik sebesar 40.26% apabila dibandingkan dengan komposit tanpa pemanasan. Kekuatan tarik yang terjadi pada komposit terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan tarik dua material penyusunnya.
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu porositas yang cukup tinggi pada komposit, kondisi serat yang kurang seragam, terjadinya delaminasi antara serat dan matriks, dan ikatan permukaan yang rendah antara serat dengan matriks.
Saaran yang dapat diberikan sehingga dicapai hasil yang lebih baik adalah sebagai berikut. Sebaiknya dilakukan penelitian tentang cara pemisahan serat pisang yang lebih baik, sehingga didapatkan serat pisang yang lebih seragam dan bisa digunakan untuk produksi dalam jumlah yang relatif lebih besar. Dalam proses penganyaman serat harus sedemikian teliti sehingga tidak ada serat yang putus, atau terlalu kendur sehingga akan mempengaruhi dalam hasil uji tarik. Dalam pembuatan spesimen, perlu diperhatikan untuk menjaga ketelitian mulai dari penyiapan alat dan bahan, pembuatan spesimen, hingga uji tarik, yang bertujuan
agar diperoleh hasil yang lebih baik. Proses pengecoran dengan proses hand lay- up harus dilakukan dengan hati–hati untuk menghindari terjadinya porus pada spesimen yang dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik. Hendaknya dalam proses finishing atau pengamplasan terhadap spesimen dilakukan sehalus mungkin dan ukuran spesimen perlu diperhatikan keseragamannya agar tidak terjadi kegagalan pada permukaan spesimen dan didapatkan spesimen yang seragam.
Oleh karena itu perlu dilakukan post-curing dengan rentang variasi temperatur yang lebih kecil lagi agar diperoleh nilai temperatur yang maksimal dan perlu dilakukan pengujian terhadap komposit yang memiliki jumlah serat yang lebih banyak untuk mengetahui nilai kekuatan tarik yang maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah SWT yang telah meridhai dan merahmati penulis sehingga berhasil dalam penulisan karya ilmiah ini. Tak lupa pula saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam tulisan ini yang dapat membantu dalam tulisan ini. Semoga Allah SWT senantiasa membantu pemulis dengan penuh rahmat dan karuniaNya kepada kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, Nurcahyo Herwin, 2004 Pengaruh Temperature Curing Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Serat Bamboo Fiber Reinforced Plastic.
Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.
Encarta Microsoft, 2000. Fiber. http://www.encarta.msn.com/, US.
Encarta Microsoft, 2000.“Plastic. http://www.encarta.msn.com/, US.
Gibson, F Ronald, 1994. Plastics Engineering, Second Edition, pergamon Press,UK.
Korompis, Bernard, 2005. Pengaruh Temperature Curing Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Unsaturated Polyester Resin Yang Diperkuat Serat Pisang.
Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.
1. Laporan Praktikum metalurgi Fisik, 2000, Jurusan teknik Mesin Universitas Diponegoro Semarang.
2. Matthews, FL, 1999, “Compositre Material : Engineering and Science”, Woodhead Publishing Limited, England.
3. van vlack, L. H, 1983, “Ilmu dan Teknologi Bahan”, Edisi ke-4, Erlangga.