• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Desersi. dalam pengartian sesuatu. Penyebutan tindak pidana tersendiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Desersi. dalam pengartian sesuatu. Penyebutan tindak pidana tersendiri"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Desersi

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah sama perihalnya dengan perkataan merupakan referensi dari suatu refrent. Istilah juga seringkali dianggap menjadi perjanjian orang- orang dalam pengartian sesuatu. Penyebutan tindak pidana tersendiri didalam KUHP, begitu dikenal dengan “strafbaarfeit” yang didalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi1 :

a. Perbuatan yang dibperbolehkan oleh hukum b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan pidana d. Tidak pidana e. Delik.

Adapun istilah yang dipergunakan oleh para ahli yakni :

a. Menurut Simons, yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” adalah : Suatu handeling atau tindakan atau perbuatan yang mana diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bertolak belakang denngan hukum (onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.

1 Sianturi S.R , Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2012, hlm.200.

(2)

15

b. Menurut VOS, yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” adalah :

Kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh peraturan atau undang-undang diancam dengan pidana.

c. Menurut Pompe, yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” adalah : Sebuah pelanggaran kaidah (pengagguan ketertiban umum) , yang mana pelaku memiliki kesalahan untuk mana pemidanaan merupakan kewajaran yang ditujukan untuk menciptakan dan menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.2

Jonkers dan Utrecht mengambil sudut pandang tentang rumusan pengertian tindak pidana oleh Simons merupakan yang terlengkap, yakni :

a. Adanya ancaman pidana pada hukum tersebut ; b. Bertolakbelakang terhadap suatu hukum ; c. Pelaku merupakan pelanggar (orang bersalah) ;

d. Pelaku dianggap mampu bertanggungjawab dengan perbuatannya.3 Beberapa pandangan dari para ahli hukum didapatkan rumusan mengenai delik (straafbaarfeit), para ahli hukum memandang tidak ada pemisahan diantara perbuatan dan akibatnya, A.Z. Abidin berpandangan bahwa cara merumuskan delik tersebut sejalan dengan aliran monistis.

Sebagian para ahli hukum lainnya, memberikan pemisahan antara suatu

2 Ibid, hlm.201.

3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1994 hlm. 97

(3)

16

perbuatan dan akibatnya pada salah satu pihak namun pertanggungjawaban pada pihak lain, cara merumuskan delik tersebut sejalan dengan aliran dualistis. Di Inggris memisahkan suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang dan diancam pidana perbuatannya (actus reus) pada salah satu pihak dan suatu pertanggungjawabannya (mens rea) pada pihak lain.4

Dalam kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana di Indonesia sering digunakan istilah delik, akan tetapi penyusun suatu Undang-Undang memberikan rumusan suatu Undang-Undang dengan menggunakan sebutan suatu peristiwa pidana atau suatu perbuatan pidana atau suatu tindak pidana.5

Menurut ahli hukum Moeljatno, yang disebut perbuatan pidana ialah : Suatu tindakan yang bertolakbelakang dengan suatu aturan/hukum, adanya larangan yang disertai ancaman hukuman pidana tertentu, kepada pealaku pelanggar dari aturan tersebut. Poin pentingnya suatu larangan tersebut dituju pada perbuatannya (yakni suatu keadaan atau suatu kejadian yang disebabkan oleh perbuatan orang) lalu ancaman hukum pidananya dituju pada seseorang yang menyebabkan kejadian tersebut.6

Maka dari itu tindak pidana berarti suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan seorang pelaku atau petindaknya dapat dikenakan suatu

4 Ibid, hlm 95.

5 Ibid hlm 72.

6 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1984, hlm. 5

(4)

17

hukuman pidana.7 Tindak pidana adalah pengertian yang mendasar dalam hukum pidana merupakan pula suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Ketika ditinjau secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar Undang- Undang pidana. Oleh karena itu maka wajib setiap perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang harus dihindari dan telah menjadi suatu konsekuensi bagi barang siapa yang melanggar maka akan dikenakan pidana. Karena itu larangan-larangan dan kewajibankewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib hukumnya untuk dicantumkan dalam undang- undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.8 Sesuai dengan sebuah asas hukum pidana “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” yang berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.9

Dapat dibedakan atas tindak pidana dengan delik Comissionis, delik Ommissionem dan delik Comissionis per Ommissionem Commissa: 10

a. Delik Comissioniss

Delik Commissionis merupakan delik yang berwujud suatu tindakan pelanggaran pada suatu larangan/hukum. Contoh : pembunuhan berencana, melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2009, hlm. 59.

8 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Adityta Bakti, 1996, hlm. 7.

9 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta : Rineka Cipta, 2018, hlm. 25.

10 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawan Pidana Korporasi, Grafiti Pers, 2007,hlm. 34.

(5)

18 b. Delik Ommissionem

Delik Omissionis merupakan delik yang berwujud suatu tindakan pelanggaran pada suatu perintah. Contoh : mangkir sebagai saksi pada suatu perisdangan.

c. Delik Comissioniss per Ommissionem Commissa

Delik Comissioniss per Ommissionem Commissa merupakan delik yang berwujud pelanggaran pada suatu larangan/hukum, namun bisa diperbuat dengan cara tidak melakukan sesuatu. Contoh: Ibu yang membuat nyawa bayinya melayang karena tidak mau menyusuinya (Pasal 338 dan 340 KUHP).

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Desersi

Sesuai dengan yang kita ketahui bersama seperti pembahasan klasifikasi tindak pidana di atas, bahwa pengertian tindak pidana pada umumnya adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dimana perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-undang yang berlaku (Kitab Undang-Udang Hukum Pidana), selanjutnya seiring adanya perkembangan hukum pidana dibentuk Undang-undang lain yang bersifat khusus yang diberlakukan untuk perbuatan yang dilarangnya secara khusus pula, atau dengan kata lain bahwa adanya suatu penyimpangan yang mana perbuatan yang dilarang tersebut tidak tercantum didalam KUHP yang hingga saat ini masih berlaku, akan tetapi disamping Undang-undang khusus ini diberlakukan terhadap perbuatan khusus tersebut; KUHP masih diberlakukan. Hal ini berdasarkan Adagium “ex specialis derogat legi

(6)

19

generalis” (suatu peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang

umum) artinya selama tidak ada yang mengatur khusus suatu perbuatan tersebut maka berlakulah ketentuan umum sesuai yang telah diatur dalam KUHP. Tindak pidana militer jika ditinjau secara umum dalam KUHPM dapat dibagi menjadi dua bagian yakni :

a. Tindak Pidana Militer Murni

Merupakan perbuatan-perbuatan terlarang atau diharuskan dihindari yang mana pada hakikatnya hanya mungkin disimpangi oleh seorang militer yang karena keadaannya bersifat khusus atau karena adanya kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut dikategorikan sebuah tindak pidana. Disebutkan “pada hakikatnya” dikarenakan dalam uraian tindak pidana itu terdapat perluasan subjek militer itu sendiri.

Contoh tindak pidana militer murni:

1) Anggota militer ketika dalam keadaan perang dengan tanpa adanya usaha mempertahankan atau diharuskan daripadanya secara sengaja menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu pos yang diperkuat kepada musuh (Pasal 73 KUHPM) ;

2) Seorang militer yang dalam keadaan perang dengan sengaja menyeberang ke musuh dengan maksud atau tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada teman-teman dekatnya untuk pergi memihak musuh), maka

(7)

20

pelaku secara jelas telah melakukan desersi (Pasal 87 ayat (1) nomor 1 KUHPM) ;

3) Seorang militer yang menolak atau sengaja tidak taat terhadap suatu perintah dinas, atau seenaknya melampaui perintah sedemikian itu, diancam karena ketidak-taatannya secara sengaja (Pasal 103 ayat (1) KUHPM)

b. Tindak Pidana Militer Campuran

Merupakan perbuatan-perbuatan terlarang atau diharuskan yang pada intinya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lainnya, akan tetapi diatur kembali dalam KUHPM atau dalam undang-undang hukum pidana militer lainnya dikarenakan adanya suatu keadaan khas militer atau karena adanya sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat dari yang semula (disertakan pemberatan) Pasal 52 KUHP. Maksud dari penyertaan pemberatan itu ialah disebabkan ancaman pidana yang ada pada peraturan hukum pada pidana umum tersebut dirasa kurang mencerminkan rasa keadilan, terlebih adanya kekhususan yang melekat pada anggota militer. Contoh: seorang komandan yang diperintah untuk memimpin sebuah peperangan, mengetahui strategi kemenangan peperangan dan sengaja dipersenjatai untuk memimpin dan menjaga keamanan malah memberontak dan menginformasikan ke pihak musuh mengenai strategi tersebut.

Diantaranya yang bersifat khusus adalah Undang-Undang Hukum Pidana Militer, kita ketahui bahwa tindak pidana desersi sebagai

(8)

21

kejahatan atau pelanggaran disiplin perlu merujuk pada tujuan yang tersirat pada Bab III KUHPM (Kejahatan ketidakhadiran tanpa izin) yang pada tingkatan mulanya umum lebih cenderung merupakan perilaku yang dilarang terjadi dalam kehidupan militer. Biasa disebut dengan pelanggaran disiplin militer. Namun, mengingat urgensi dari tujuan yang tersirat dalam Bab III KUHPM, terlebih jika “perilaku yang dilarang terjadi dalam kehidupan militer”, itu dilakukan dalam tingkatan yang lebih tinggi, oleh karena itu penyelesaia/penindakan secara hukum disiplin militer jelas kurang memadai. Maka ia dikategorikan sebagai kejahatan yang diancam dengan pidana sekaligus menjadi alat pemaksa tertinggi (ultimatum remedium)11 sebagai langkah penataan suatu kehidupan berdisiplin. Di dalam menjalankan kedinasan sehari-hari, seorang militer disamping harus berjiwa pancasila, patriot pengawal negara Republik Indonesia, bertindak baik dan sebagainya, maka harus selalu tergambarkan dari sikap dan perilakunya tentang kesiapsiagaannya ditempat ia harus berada. Jika tanpa itu akan menjadi sulit untuk anggota militer menjadi mau dan sanggup melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), desersi merupakan kegiatan penarikan diri untuk selamanya dari suatu kewajiban dinasnya di militer, lari dari bahaya perang, menyeberang menuju musuh atau juga berada/masuk pada dinas mliter pada suatu

11 Sianturi, Op.Cit,hlm.25

(9)

22

kekuasaan/negara lain tanpa dapat dibernarkan melakukannya sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) desersi merupakan tindakan yang termasuk pelanggaran dengan cara melalaikan dengan lari dari dinas atau suatu jabatan berturut-turut tanpa ada izin dari atasan, membelot ke musuh atau berada pada pihak musuh dan desertir merupakan penyebutan untuk pelaku desersi. 12

Berdasarkan keadaannya kejahatannya desersi dikategorikan dalam dua bentuk :13

a. Ketidakhadiran Pada Masa Damai :

Jikalau ketidakhadirannya tidak lebih satu hari maka termasuk dalam peanggaran disiplin yang akan diselesaikan dengan penegakkan kumplin atau hukum disiplin. Penghitungan satu hari adalah 1x24 jam.

Tolak ukur penentuan ketidakhadiran dimulai pada : 1) Ketika tidak mengikuti pelaksanaan apel anggota.

2) Ketika hal-hal lainnya dari saat penting tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan agar melakukan tugas yang dibebankan terhadapnya.

Maka dari itu jika pelanggaran tersebut mecakup syarat sesuai yang tercantum pada Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat

12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 257.

13 Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm 220-221.

(10)

23

diselesaikan secara hukum disiplin (kehadirannya tidak lebih dari 30 hari)

b. Ketidakhadiran Pada Kondisi Perang :

Jikalau ketidakhadirannya selama 4 hari ataupun tidak lebih dari itu maka perbuatan anggota militer tersbut akan dilaksanakan dengan penegakkan hukum disiplin militer, dengan harus pelanggaran tersebut mecakup syarat sesuai dengan hukum disiplin militer akan tetapi apabila melebihi 4 hari penyelesaiannya harus dengan suatu putusan pengadilan militer karena dianggap telah melakukan desersi.

Namun, jika ditinjau dari tindak pidananya desersi terbagi dalam tiga macam :14

a. Desersi Karena Tujuan (Pasal 87 ayat (1) KUHPM):

1) Menghindari Kewajiban Dinas Militer

Anggota militer yang lari dan menarik diri selamanya pada keawajiban dinas milliternya. Maksud dari selamanya ialah ia tidak ada niat akan melaksanakan dinas militer kembali/tempat ia bertugas.

Semisal ia mengambil kontrak pada kerjaan lain disuatu perusahaan.

Dapat dibuktikan juga dari pembicaraan niat pelaku kepada teman dekatnya, sebelum ia tertangkap petugas.

2) Menghindar Dari Kondisi Bahaya Perang

14 Ibid, hlm 222-223.

(11)

24

Permisalan dengan adanya suatu kasus di Papua yang sering terjadi teror oleh kelompok separatis bersenjata. Sedangkan kala itu di Surabaya tempat Mayor (Mar) X bertugas di Kesatuan Marinir baik baik saja. Namun ketika ia telah mendengar desas-desus bahwa dalam kurun waktu dekat itu ia akan diperintah untuk memimpin batalyon membantu menangani kasus di Papua. Maka satu minggu sebelum pelaksanaan pengiriman ia kabur. Maka Mayor (Mar) X telah bisa dijerat dengan Pasal ini ;

3) Menyeberangi Lokasi Menuju Musuh Tanpa Izin maupun Perintah Dapat dibuktikan juga dengan perbuatan perginya dari ucapan yang telah ia sampaikan kepada teman dekatnya. Jika belum sampai pada tujuannya maka tetap dapat dibuktikan dengan fakta tersebut.

Jika perginya ia telah sampai pada tujuan maka akan dikenakan Pasal 89 ke1 KUHPM juncto Pasal 78 KUHP ;

4) Masuk Ke Dinas Militer Asing Tanpa Dibernarkan maupun Izin maupun Perintah

Buku Ke-1 KUHPM pada Bab VII telah menjelaskan pengertiannya.Dapat dikaitkan dengan masuknya seorang anggota militer ke suatu organiasi terlarang yang mengancam kedaulatan negara dalam rangka bermaksud untuk memperkuat pasukan tersebut (misal : bajak laut) . Diperjelas dengan jelas “tanpa dibenarkan” ini dimaksud karena ada kemungkinan lain seorang anggota memang diberi perintah untuknya melakukan hal tersebut.

(12)

25

b. Desersi Karena Waktu (Pasal 87 ayat (1) nomor 2 KUHPM):

1) Ketidakhadiran dikarenakan kesalahannya lamanya kebih dari 30 hari pada keadaan damai;

2) Ketidakhadiran dikarenakan kesalahannya lamanya kebih dari 4 hari pada keadaan perang;

3) Tidak hadir dengan tanpa izin karena sengaja, lamanya lebih dari 30 hari masa damai dan 4 hari masa perang.

c. Desersi Sebagai Akibat (Pasal 87 ayat (1) nomor 3 KUHPM).

Garis besarnya berkaitan dengan pengertian yang tercantum pada Pasal 85 ayat 2 KUHPM diperkuat ada unsur kesengajaan dari pelaku atau petindak.

B. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Tindak Pidana Desersi secara In Absentia

1. Proses Penyelesaian Perkara Desersi secara In Absentia

Secara harfiah makna In absentia diambil dari bahasa Latin yang bermakna "ketidakhadiran". Menurut Abdul Rahman Saleh, S.H rancangan in absentia merupakan rancangan yang mana seorang terdakwa sudah

dipanggil untuk menghadap secara patut dan sah namun tetap tidak hadir di muka persidangan tanpa alsan yang patut dan sah pula , oleh karenanya akan dilaksanakan pemeriksaan tanpa dihadiri oleh pelaku/terdakwa.15

15 Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm 208

(13)

26

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali jika dalam hal undang-undang menentukan lain.16 Selebihnya KUHAP tidak secara rigid mengatur tentang perkara in absentia terkecuali pada pelanggaran lalu lintas yang diatur dalam Pasal 196 ayat (1), Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Kemungkinan dilakukan kepada perkara lain dimungkinkan dari Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang mana terhadap perkara pidana diterapkan atau diberlakukan ketentuan- ketentuan sesuai KUHAP dengan pengecualian berkenaan ketentuan khusus acara pidana tersebut yang termaktub pada undang-undang tertentu.

Maka dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diatur secara khusus Pasal 143 bahwa perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud di KUHPM, yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta telah dilakukan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah tetapi tidak hadir disidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.17 Maka rumusan substansi Pasal 143 memberikan persyaratan persidangan desersi dapat dilakukan secara in absentia ,yakni:

a. Batas waktu berkas perkara adalah 6 (enam) bulan dihitung tanggal pelimpahan ke pengadilan ;

16 Pasal 196 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana

17 Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

(14)

27

b. Telah dipanggil ke persidangan sebanyak 3 (tiga) kali ;

Jika persyaratan tersebut telah diupayakan maka dapat dilaksanakan terhadap perkara desersi yang penyelidikannya dilakukan in absentia.

Namun, dalam kasus lain ditemukan bahwa terdakwa tidak ada di muka persidangan karena telah bertempat tinggal di negara lain atau sengaja lari ke negara lain, maka karena hal itu pula tidak dapat semata-mata ditangkap ketika sudah diketaui dengan jelas dimana ia tinggal mengingat ada hukum yang berlaku pada negara tersebut. Dalam kasus lain ketika terdakwa telah ditangkap namun berhasil melarikan diri kembali, maka penyidik diharuskan melakukan pengankapan kembali. Dalam hal terdakwa sakit dan pada akhirnya belum bisa menghadiri sidang, maka diberi kesempatan hingga ia sembuh. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa hakim harus memastikan bilamana sudah dilakukan prosedur pemanggilan secara berturut-turut dan sah kepada terdakwa. Maka jika telah dilaksanakan tiga kali secarat berturt dan terdakwa tetap tidak hadir maka akan ditetapkan pesidangan secara in absentia oleh hakum.

2. Durasi Penyelesaian Tindak Pidana Desersi secara In Absentia

Ada dua rujukan mengenai durasi penyelesaian tindak pidana desersi secara in absentia pertama merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi pedoman yang dipegang teguh oleh institusi Pengadilan Militer dalam menjalankan acara peradilan militer. Jika dalam peradilan umum dikenal KUHAP sebagai pedoman dalam beracara

(15)

28

di peradilan maka secara singkat dapat diartikan Undang-Undang No.31 tahun 1997 ini menjadi hukum acara pidana militer itu sendiri sebagai hukum formal didalamnya. Pertimbangan untuk menetapkan pengaturan kembali susunan dan kekuasaan pengadilan dan oditurat di lingkungan peradilan militer, hukum acara pidana militer dan hukum acara tata usaha militer dalam suatu undang-undang ini termaktub dalam konsiderannya.18 Durasi penyelesaian perkara dalam tindak pidana desersi adalah 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, sesuai apa yang termaktub pada Pasal 143 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 :

“Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Pidana Militer, yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketmukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadiranya terdakwa”19.

Kedua, durasi penyelesaian perkara in absentia dengan merujuk SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamang Agung Tahun 2017 sebagai Pendoman Pelaksaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyatakan pada rumusan hukum kamar militer pada poin kelima menjelaskan mengenai penyelesaian perkara desersi in absentia dalam kurun waktu paling lama 5 (lima) bulan, setelah dipanggil sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah dan patut di Pengadilan Militer :

18 Undang-Undang Nomor 3I tahun 1997 tentang Peradilan Militer

19 ibid

(16)

29

“Persidangan perkara desersi in asbentia perlu ditentukan batas waktu paling lama 5 (lima) bulan, setelah dipanggil sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah dan patut, setelah diperoleh kepastian bahwa terdakwa tidak kembali lagi ke kesatuan berdasarkan surat keterangan dari komandan kesatuan, untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta mewujudkan ketertiban administrasi personil militer di kesatuan”

C. Tinjauan Umum tentang Peradilan Militer

1. Pengertian Militer

Militer dari segi Bahasa Yunani “Milies” diartikan sebagai seseorang yang dipersenjatai dan dilatih untuk siap melakukan perperangan atau pertempuran sebagai kewajiban untuk memelihara pertahanan dan keamanan suatu negara.20 Jika pengertian militer secara formil dapat ditemukan dalam Pasal 45,46, 47 dan 49 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934 Nomor.167) yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947.

Pasal 45

a. Angkatan Darat dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangan (nasional).

b. Angkatan Laut dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangan (nasional).

c. Angkatan Udara dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangan (nasional).

d. Dalam waktu perang, mereka yang dipanggil menurut Undang- undang untuk turut serta melaksanakan pertahanan atau pemeliharaan keamanan dan ketertiban. 21

Pasal 46

20 Faisal , Op.Cit.hlm 13.

21 KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer)

(17)

30

(1) Yang dimaksud dengan Militer adalah:

Ke-1 : Mereka yang berikatan dinas sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut.

Ke-2 : Semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib, sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada diluar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99, dan 139 KUHPM.

(2) Kepada setiap militer harus diberitahukan bahwa mereka tunduk kepada tata tertib militer. 22

Pasal 47

Barang siapa yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan dalam pasal diatas. 23

Pasal 49

(1) Termasuk juga dalam pengertian militer:

Ke-1 : Bekas militer yang digunakan dalam suatu dinas militer.

Ke-2 : Komisaris-komisaris militer wajib yang berpakaian seragam, setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu.

Ke-3 : Pensiunan perwira anggota dari suatu peradilan militer (luar biasa), setiap kali mereka melakukan dinas demikian. 24

Hukum militer secara khusus hanya berlaku bagi seorang militer dan angkatan perang yang pada hakikatnya mengatur tentang bagaimana kehidupan militer yang seharusnya dijalankan. Meskipun bersifat khusus namun bagi seorang militer dan angkatan perang tersebut tidak menghapus ketentuan pidana yang telah termaktub dalam KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) sesuai dengan adagium “ex specialis derogat legi

22 ibid

23 ibid

24 ibid

(18)

31

generalis” (suatu peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang

umum) yang mana mengesampingkan tidak berarti menghapuskan. Maka bagi seorang militer dan angkatan perang berlaku (KUHP dan KUHPM) serta juga beberapa peraturan disiplin militer yang diatur secara tersendiri.

2. Peradi1an Mi1iter dan Susunan Peradi1an Mi1iter

Dalam sejarah Indonesia Peradilan Milter telah ada sejak kemerdekaan.

Memiliki sejarah panjang mengenai penamaannya, sempat bernama Peradilan Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan pada akhirnya Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara menjadi konsideran peraturan yang pertama kali dikeluarkan mengenai hal ini, menjelaskan bagaimana urgensi dalam pembentukan pengadilan tersendiri diluar pengadilan umum.

Beberapa alasan diperlukannya atau menjadi urgensi dibentuknya pengadilan militer, yaitu :

a. Adanya tugas utama yang krusial untuk melindungi, membela dan mempertahankan negara beserta keutuhan dan kedaulatannya, dilakukan dengan kekuatan dan perang sesuai kebutuhan;

b. Diperlukan struktur organisasi khusus dan perhatian serta pendidikan khusus sehubungan dengan tugas-tugas penting dan sulit Tentara Nasional Indonesia ; dan

c. Diperbolehkannya menggunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya; dan

(19)

32

d. Diperlukan peraturan-peraturan dan juga norma-norma hukum yang lebih keras, berat, dan khas dibanding hukum umum yang didukung oleh sanksi pidana yang berat pula dengan tujuan pengawasan dan pengendalian kepada setiap anggota militer agar besikap dan bertindak

Dari dasar-dasar itu juga yang menjadikan diperlukan adanya badan peradilan tersendiri. Namun perlu diperhatikan pula badan peradilan yang memiliki kemampuan untuk memberi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di tubuh Tentara Nasional Indonesia .25 Peraturan tentang peradilan militer termaktub pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.26

Pengaturan mengenai penyatuan badan peradilan baik pada lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara di bawah Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam implementasinya pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkup Peradilan Militer meliputi :

a. Pengadi1an Mi1iter (Di1mi1)

Pada hakikatnya sesuai dengan Pasal 40 UndangUndang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ia berwewenang baik memeriksa,

25 Faisal, Op.Cit.,hlm 31.

26 Sudiknno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta : Cahaya Atma Puslaka,, 2010 hlm.194- 195.

(20)

33

mengadili serta memutus dalam perkara tingkat pertama perkara pidana yang pelakunya saat bertindak memiliki pangkat Kapten kebawah.27 b. Pengadi1an Mi1iter Tinggi (Dilmi1ti)

Pada hakikatnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ia berwewenang baik memeriksa, mengadili serta memutus dalam perkara tingkat pertama dan banding : 1) Dalam Tingkat Pertama :

a) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas.28

b) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata

2) Dalam Tingkat Banding :

a) Memeriksa serta memutus perkara yang diajukan upaya hukum banding dari putusan Pengadilan Militer pada daerah hukumnya.

b) Memeriksa serta memutus perkara tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan pada daerah hukumnya.

c. Pengadi1an Mi1iter Utama (Di1mi1tama)

Pada hakikatnya sesuai dengan Pasal 42 serta 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ia berwewenang baik memeriksa, mengadili serta memutus dalam perkara

27 https://dilmilti3-surabaya.go.id/sejarah-peradilan-militer/diakses pada tanggal 26 Desember 2021 pukul 21.41 wib

28 Ibid hlm.93

(21)

34 1) Dalam Tingkat Pertama :

Sebagai pemeriksa dan pemutus seluruh sengketeta kewenangan : a) Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum

Pengadilan Militer Tinggi yang berbeda;

b) Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan

c) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.

2) Dalam Tingkat Banding :

Memeriksa serta memutus perkara yang diajukan upaya hukum banding dari putusan Pengadilan Militer Tinggi pada daerah hukumnya.

Dalam hal lainnya, Pengadilan Militer Utama juga memiliki weewenangan untuk memutuskan ketika terjadi beda pendapat antara Papera dan Otmil mengenai perlu atau tidaknya suatu perkara tersebut dilimapahkan ke Pengadilan atau tidak. Di1miltama juga memiliki tugas tersendiri berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan terkait :

1) Pelaksanaan peradilan di keseluruhan lingkungan Pengadilan Militer.

2) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada seluruh hakim militer dalam melaksanakan tugasnya.

3) Member teguran maupun suatu petunjuk kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi. 29

29 ibid

(22)

35

d. Pengadi1an Mi1iter Pertempuran

Pada hakikatnya pengadilan ini adalah suatu yang spesial daripada kesemua pengadilan yang ada di lingkungan Pengadilan. Berwenang memeriksa dan memutus tingkat pertama dan terakhir suatu perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer selama dalam masa pertempuran. Dia berada di dalam medan pertempuran dan karenanya bersifat berpindah-pindah sesuai dengan lokasi pertempuran (mobile).

Dalam pelaksanannya pendapat hakim bisa menjadi alat bukti, dan juga diperkenankan tidak dapat menghadirkan alat bukti karena adanya ketidakmungkinan untuk menghadirkannya.

(23)

36

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Diproyeksikan pada tahun 2025, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah lansia terbesar di dunia. Gigi memiliki fungsi untuk pengunyahan, berbicara, dan

Di bagian berikutnya, secara parsial juga ternyata kecemasan siswa juga ti- dak berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil belajar siswa, yang arti- nya semakin

terdahulu menggunakan metode sensus karena dilakukan pada seluruh populasi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah.. metode

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

D pada post sectio caesarea hari pertama didapatkan data sebagai berikut: klien mengatakan nyeri dibagian luka bekas operasi, klien mengatakan nyeri seperti disayat-sayat

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)