i
JURNAL ILMIAH
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN HARGA YANG MERUGIKAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat S-1 Pada
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
LALU FAISAL ARIESTA PRIMADI D1A 016 154
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2020
LEMBAR PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENETAPAN HARGA YANG MERUGIKAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Oleh :
LALU FAISAL ARIESTA PRIMADI D1A 016 154
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
(Prof. Dr. Kurniawan, SH., M.Hum.)
NIP. 19770303 200312 1 001
iii
Tinjauan Yuridis Tentang Penetapan Harga Yang Merugikan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
LALU FAISAL ARIESTA PRIMADI D1A 016 154
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan penetapan harga yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan penyebab terjadinya Penetapan harga penjualan oleh pelaku usaha. Menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan Pendekatan perundang-undangan dan Pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini adalah pengaturan Penetapan harga menjabarkan diantaranya tentang kewenangan KPPU dalam membuat pedoman pelaksanaan, tujuan dibuatnya pedoman pelaksanaan, cakupan dan penjabaran unsur penetapan harga, larangan penetapan harga serta contoh kasus, dan akibat hukum yang ditimbulkan dari penetapan harga. Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan harga oleh pelaku usaha dilihat dari pertimbangan harga subjektif dan obyektif, serta faktor langsung dan tidak langsung.
Kata Kunci : Pengaturan, Penetapan Harga, Faktor Pengaruh.
Juridical Review Of Pricing Inflicting Consumers’ Loss According To The Law No. 5 Of 1999 Of Prohibition Of Monopoly
And Unfair Business Competition
ABSTRACT
This study aims to describe the forbidden pricing according to Law No. 5 of 1999 of Prohibition of Monopoly and Unfair Business Competition and to figure out factors leading to the practice of illicit pricing by traders. This study is a normative one with statute and conceptual approach. According to the Law, it is regulated that KPPU is authorized in compiling and issuing guidelines. These guidelines disclose the pricing from a to z, including pricing indicators, prohibitions, case samples, as well as following legal implication of the pricing.
Factors leading to pricing by traders are reviewed from subjective and objective pricing considerations, as well as direct and indirect factors.
Keywords: Pricing, Monopoly, Unfair Competition.
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian di negara Indonesia harus diarahkan dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terdapat di Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berisi ketentuan bahwa:
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar negara yang harus dijadikan sebagai pedoman di negara Indonesia. Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat sebagai perwujudan dari Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (4). Undang-Undang Persaingan Usaha bahwa ketentuan Pasal 3 menegaskan tujuan pembentukan Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Tujuan dari Undang-Undang Persaingan Usaha mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar, agar
v
pelaku usaha melakukan efisiensi dan mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Fakta yang terjadi untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat di negara Indonesia masih sulit diterapkan, terkait dengan alasan pelaku usaha lebih mementingkan keuntungan semata tetapi tidak memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh semen gresik yang membentuk konsorsiumnya untuk menjadi ditributor yang akan dijual di daerah Jawa Timur. Dimana disini semen gresik menunjuk para pelaku usahanya untuk menjadi pelaku usaha mandiri atau pembeli lepas namun semen gresik telah menetapkan harga jual terlebih dahulu kepada pelaku usahanya dan mewajibkan untuk menjual dengan harga tersebut dan juga para pelaku usaha telah memilih untuk pihak mana saja yang boleh membeli produknya1. Segala bentuk usaha jual beli baik skala kecil dan menengah perlu diketahui berbagai aspek pengelolahan usaha terutama yang berkaitan dengan bagaimana menganalisis harga produk.
Kemudian persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lainnya dengan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan menetapkan harga yang tinggi kepada pembeli yang tidak sesuai dengan batasan harga ecer barang, sehingga merugikan konsumen.
1https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-1124059/semen-gresik-dan-10- distributor-bayar-denda-rp-1-miliar (diakses pada tanggal 16 maret 2020)
Sedangkan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan diantara pelaku usaha karena melihat kondisi pasar yang tidak sehat, disini dapat dilihat bahwa pelaku usaha melakukan usahanya yang tidak bersaing secara sehat dan kompetitif. Persaingan terhadap barang atau produk tersebut dapat saja dilakukan, tetapi harus bersaing dengan sehat dan tidak dibenarkan merugikan penjual yang lain, demikian juga halnya dengan harga pemasaran yang sebenarnya. Namun dalam prakteknya ada pelaku usaha yang melakukan penjualan barang atau produk dengan harga yang dapat merugikan konsumen yang lain.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Penetapan Harga Yang Merugikan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)”. Disini penulis meneliti mengenai bagaimana pengaturan tentang penetapan harga yang dilarang dan apa saja yang menyebabkan terjadinya penetapan harga penjualan yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan penetapan harga dan untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penetapan harga penjualan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dan menggunakan dua macam metode pendekatan, yaitu2 Pendekatan perundang- undangan (Statute Approach) dan Pendekatan konseptual (Conceptual Approach).
2 Amirudin dan Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016
vii
II. PEMBAHASAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persainganusaha.
Hukum ini juga dikenal dengan banyak istilah selain hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum antimonopoli (antimonopoly law) dan hukum antitrust (antitrust law). Namun istilahhukum persaingan usaha telah diatur dan sesuai dengan substansi ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mencakup pengaturan antimonopoli dan persaingan usaha dengan segala aspek-aspeknya yangterkait.3 Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, tentu pengertian hukum persaingan usaha yang demikian itu tidaklah mencukupi. Oleh karenanya, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan dari beberapa ahli hukum persaingan usaha.
Menurut Arie Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, hukum persaingan adalah mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.4 Sedangkan dalam kamus lengkap ekonomi yang ditulis oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, yang dimaksud dengan competition laws (hukum persaingan) adalah5 bagian dari perundang-
3 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 1.
4 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hlm. 1.
5 Christopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Erlangga, Jakarta, 2001, hlm. 418
undangan yang mengatur tentang monopoli, penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan praktik anti persaingan.
Dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang merupakan landasan kebijakan dari hukum persaingan usaha di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa subjek hukumnya adalah pelaku usaha. Sesuai Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dinyatakan:
“pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.
Beberapa pendekatan yang ada dalam penegakan hukum persaingan usaha antara lain pendekatan administratif, perdata, pidana, per sedan rule of reason.
Pendekatan administratif merupakan pendekatan yang paling umum digunakan, yaitu pendekatan dengan penggunaan sarana-sarana administratif untuk mengarahkan tindakan para pelaku usaha agar sejalan dengan ketentuan-ketentuan persaingan usaha. Pendekatan administratif ini dapat tampak dalam berbagai wujud, mulai dari kemungkinan berkonsultasi dengan organ penegak hukum persaingan tentang langkah usaha yang hendak diambil, pemberian izin terhadap suatu langkah usaha, sampai pada pengenaan denda administratif dan sanksi-
ix
sanksi administratif lain atas pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha.6
Kemudian melalui pendekatan perdata. Pendekatan ini memungkinkan seorang pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ketentuan persaingan untuk membayar sejumlah uang kepada pihak-pihak yang secara faktual menderita kerugian akibat pelanggaran tersebut. Pendekatan perdata yang memungkinkan pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi juga menjadi sesuatu yang penting dalam penegakan antitrust law Amerika Serikat. Wise bahkan mencatat bahwa penegakan ketentuan persaingan melalui jalur perdata bisa berperan dalam pembaharuan ketentuan-ketentuan persaingan.7
Pendekatan yang selanjutnya adalah pendekatan pidana. Melalui pendekatan ini negara-negara mengatur bahwa pelanggaran atas ketentuan persaingan usaha tertentu adalah tindakan pidana yang terhadap pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana. Pendekatan pidana ini melibatkan ancaman sanksi pidana yang tegas, sehingga dianggap sebagai pendekatan yang paling represif.
Oleh karena itulah negara-negara cenderung sangat berhati-hati dan benar-benar menempatkan pendekatan ini sebagai “ultimum remedium” (saranaterakhir) dalam penegakan ketentuan persaingan usaha.8
Namun pada umumnya terdapat 2 pendekatan untuk melihat apakah pelaku usaha atau perusahaan diduga telah melakukan pelanggaran undang-undang hukum persaingan usaha atau tidak. Hal ini dilihat melalui:
6 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Cet. II, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.
57.
7Ibid, hlm. 59.
8 Ibid, hlm. 60.
a) Struktur pasar (market structure)9 , misalnya bila perusahaan memiliki pangsa pasar lebih dari indikator yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu 50% untuk 1 pelaku atau 75% untuk 2 pelaku usaha atau lebih.
b) Perilaku (behavior), misalnya melalui tindakan atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dengan pelaku usaha pesaingnya atau tidak, contohnya tindakan jual rugi (predatory pricing)10, perjanjian distributor, dll.11
Pada negara-negara lain yang telah menerapkan hukum persaingan melakukan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada perilaku (behavior) yang bersifat anti persaingan. Hukum persaingan mengenal 2 kriteria pendekatan dalam menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut Perse Illegal (Per se Violations atau Perse Rule) dan Rule of Reason.
Kata “per se” berasal dari bahasa latin berarti by itself; in itself; taken alone; by means of itself; through itself; inherently; in isolation; unconnected with other matter; simply as such; in its own nature without reference to its relation.
Apabila suatu aktivitas adalah jelas maksudnya dan mempunyai akibat merusak, hakim tidak perlu sampai harus mempermasalahkan masuk akal tidaknya dari peristiwa yang sama (dengan peristiwa yang sedang diadili) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang bersangkutan merupakan pelanggaran hukum persaingan.
Prinsip ini dikenal dengan “per se doctrine”. Per se illegal, yang sering disebut juga per se violation, dalam hukum persaingan usaha adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, misalnya penetapan harga (horizontal price fixing), dianggap secara inheren bersifat anti kompetitif
9 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
10 Tindakan jual rugi adalah menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang bertujuan menyingkirkan pesaing dari pasar dan mencegah masuknya pesaing, diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Predatory_pricing pada 25 September 2019
xi
dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan.12
Suatu pendekatan per-se illegal dalam pengadilan akan dihukum tanpa proses penyidikan yang rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per-se illegal hanya akan dilaksanakan setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial.
Pendekatan per-se illegal ditinjau dari sudut pandang administratif adalah mudah, hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci,yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencarifakta di pasar yang bersangkutan.13
Rule of reason merupakan kebalikan dari per se illegal. 14 Artinya, dibawah rule of reason, untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat antikompetitif, atau kerugian yang nyata terhadap persaingan, dan tidak berupa apakah perbuatan itu tidak adil ataupun melawan hukum. Prinsip hukum per se illegal, antara lain dirumuskan oleh Kaplan, yakni bahwa “hambatan perdagangan dianggap merupakan illegal per se jika secara
12 Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000, hlm. 62-63
13 Devi Meyliana Savitri Kumalasari, Hukum Persaingan Usaha (Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha), Setara Press, Malang, 2013, hlm. 17
14Ibid, hlm. 78
inheren bersifat antikompetitif, tidak ada keuntungan yang dapat diraih darinya, dan tidak ada maksud lain selain menghalangi atau melumpuhkan persaingan.”15
Negara-negara yang telah menerapkan hukum persaingan melakukan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada perilaku (behavior) yang bersifat anti persaingan. Hukum persaingan mengenal 2 kriteria pendekatan dalam menentukan hambatan dalam suatu pasar yaitu dengan pendekatan yang disebut Perse Illegal (Per se Violations atau Perse Rule) dan Rule of Reason.16
Kata “per se” berasal dari bahasa latin berarti by itself; in itself; taken alone; by means of itself; through itself; inherently; in isolation; unconnected with other matter; simply as such; in its own nature without reference to its relation.
Apabila suatu aktivitas adalah jelas maksudnya dan mempunyai akibat merusak, hakim tidak perlu sampai harus mempermasalahkan masuk akal tidaknya dari peristiwa yang sama (dengan peristiwa yang sedang diadili) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang bersangkutan merupakan pelanggaran hukum persaingan.
Prinsip ini dikenal dengan “per se doctrine”. Per se illegal, yang sering disebut juga per se violation, dalam hukum persaingan usaha adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, misalnya penetapan harga (horizontal price fixing), dianggap secara inheren bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan.17
15Ibid, hlm. 63
16 Ibid, hlm. 78
17 Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000, hlm. 62-63
xiii
Suatu pendekatan per se illegal dalam pengadilan akan dihukum tanpa proses penyidikan yang rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per-se illegal hanya akan dilaksanakan setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial.
Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut pandang administratif adalah mudah, hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan.18
Rule of reason merupakan kebalikan dari per se illegal. Artinya, dibawah rule of reason, untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat antikompetitif, atau kerugian yang nyata terhadap persaingan, dan tidak berupa apakah perbuatan itu tidak adil ataupun melawan hukum. Prinsip hukum per se illegal, antara lain dirumuskan oleh Kaplan, yakni bahwa
“hambatan perdagangan dianggap merupakan illegal per se jika secara inheren bersifat antikompetitif, tidak ada keuntungan yang dapat diraih darinya, dan tidak ada maksud lain selain menghalangi atau melumpuhkan persaingan.”19 Jika suatu hambatan termasuk dalam kategori illegal per se, ketidakpatutan dan juga
18 Devi Meyliana Savitri Kumalasari, Hukum Persaingan Usaha (Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha), Setara Press, Malang, 2013, hlm. 17
19 Ibid, hlm. 63
ketidakadilan dari hambatan tersebut telah secara konklusif diasumsikan, tanpa disyaratkan adanya pembuktian.
Perusahaan harus menetapkan harga sesuai dengan nilai yang diberikan dan dipahami pelanggan. Jika harganya ternyata lebih tinggi daripada nilai yang diterima, perusahaan tersebut akan kehilangan kemungkinan untuk memetik laba, jika harganya ternyata terlalu rendah daripada nilai yang diterima, perusahaan tersebut tidak akan berhasil menuai kemungkinan memperoleh laba.
Menurut Kotler dan Keller, perusahaan atau pelaku usaha dapat mengharapkan salah satu dari lima tujuan utama melalui penetapan harga, yaitu:
bertahan hidup (survival), laba saat ini yang maksimum (maximum curent profit), pangsa pasar yang maksimum (maximum market share), pemerahan pasar yang maksimum (maximum market skimming), pemimpin dalam kualitas (product quality leadership), dan tujuan lain (other objectives).
Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak semua pelaku usaha menjalankan usahanya dengan benar, penetapan harga yang awalnya boleh dilakukan mengalami pergeseran fungsi menjadi sesuatu yang dilarang karena melanggar aturan-aturan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan harga sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Bab III Bagian Kedua tentang Penetapan Harga, diantaranya mulai dari Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8.
Pengaturan Penetapan harga khususnya diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan pedoman pelaksanaan dan penjabarannya
xv
dijelaskan di dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menjabarkan tentang kewenangan KPPU dalam membuat pedoman pelaksanaan, tujuan dibuatnya pedoman pelaksanaan, cakupan dan penjabaran unsur penetapan harga, larangan penetapan harga serta contoh kasus, dan akibat hukum yang ditimbulkan dari penetapan harga.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan harga oleh pelaku usaha dapat dilihat dari dua pertimbangan, yaitu pertimbangan subyektif dan pertimbangan obyektif. Pertimbangan harga subjektif adalah faktor pertimbangan penetapan harga yang didasarkan pada pertimbangan diri penjual dan hanya berlaku untuk produk, waktu, serta kualitas tertentu. Sedangkan pertimbangan obyektif adalah suatu faktor penetapan harga yang didasari oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya serta berlaku untuk sebagian besar produk dan dimana produk yang bersangkutan tersebut dijual. Secara garis besar faktor yang secara langsung adalah harga bahan baku, biaya produksi, biaya pemasaran, peraturan pemerintah, dan faktor lainnya, sedangkan faktor yang tidak langsung namun erat dengan penetapan harga adalah antara lain yaitu harga produk sejenis yang djual oleh para pesaing, pengaruh harga terhadap hubungan antara produk subtitusi dan produk komplementer, serta potongan untuk para penyalur dan konsumen.
III. PENUTUP Simpulan `
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan yang peneliti kaji sebagai berikut :
1. Penetapan harga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jo. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menjabarkan tentang kewenangan KPPU dalam membuat pedoman pelaksanaan, tujuan dibuatnya pedoman pelaksanaan, cakupan dan penjabaran unsur penetapan harga, larangan penetapan harga serta contoh kasus, dan akibat hukum yang ditimbulkan dari penetapan harga.
2. Penyebab terjadinya penetapan harga oleh pelaku usaha dapat dilihat dari dua pertimbangan, yaitu pertimbangan subyektif dan pertimbangan obyektif. Pertimbangan harga subjektif adalah faktor pertimbangan penetapan harga yang didasarkan pada pertimbangan diri penjual dan hanya berlaku untuk produk, waktu, serta kualitas tertentu. Sedangkan pertimbangan obyektif adalah suatu faktor penetapan harga yang didasari oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya serta berlaku untuk sebagian besar produk dan dimana produk yang bersangkutan tersebut dijual.
Secara garis besar faktor yang secara langsung adalah harga bahan baku,
xvii
biaya produksi, biaya pemasaran, peraturan pemerintah, dan faktor lainnya, sedangkan faktor yang tidak langsung namun erat dengan penetapan harga adalah antara lain yaitu harga produk sejenis yang djual oleh para pesaing, pengaruh harga terhadap hubungan antara produk subtitusi dan produk komplementer, serta potongan untuk para penyalur dan konsumen.
Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa saran yang peneliti sampaikan, yaitu:
1. Diharapkan pemerintah membuat peraturan secara tegas, jelas, dan khusus yang mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan akibat dari penetapan harga dan melaksanakan pedoman pelaksanaan yang telah dibuat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan sebaik-baiknya.
2. Diharapkan andil pemerintah dalam mensosialisasikan aturan tersebut agar warga masyarakat Indonesia yang awam akan hukum bisa lebih paham tentang praktek-praktek usaha yang tidak sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016
Andi Fahmi Lubis dkk., Hukum Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta, 2017
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Cet. II, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004
Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000
Christopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Erlangga, Jakarta, 2001
Devi Meyliana Savitri Kumalasari, Hukum Persaingan Usaha (Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha), Setara Press, Malang, 2013
Indonesia, Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN No.33 Tahun 1999 dan Tambahan LN No. 3817
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, Kencana, Jakarta, 2012 https://www.kppu.go.id/id
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-1124059/semen-gresik-dan- 10-distributor-bayar-denda-rp-1-miliar (diakses pada tanggal 16 maret 2020)