• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Tradisi Dhawuhan Ngembang di Desa Cukil Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang T1 152009013 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Tradisi Dhawuhan Ngembang di Desa Cukil Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang T1 152009013 BAB II"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka

1. Kebudayaan

Kebudayaan mencakup pengertian sangat luas. Kebudayaan

merupakan keseluruan hasil kreativitas manusia yang sangat komplek. Di

dalamnya berisi struktur-struktur yang saling berhubungan, sehingga

merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan.

Antropolog Indonesia Koentjaraningrat dalam bukunya. Kebudayaan,

Mentalitet dan Pembangunan yang mengemukakan bahwa budaya manusia

itu mempunyai paling sedikit tiga wujud yaitu:

a. Wujud kebudayaan yang sebagai suatu komplek dan ide-ide,

gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan

sebagainya, wujud ini berada pada alam pikiran dari warga

masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karang-karangan

warga masyarakat yang bersangkutan.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistem

sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia

berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan

(2)

Konsep ahli antropologi, Alfred Ktoeber dan Clyde Kluckhohn,

yaitu kebudayaan terdiri dari pola-pola yang nyata maupun tersembunyi,

dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan

simbol-simbol, yang menjadi hasil-hasil yang tegas dari kelompok-kelompok

manusia; termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia ;

inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan–gagasan tradisional

(yaitu yang diperoleh dan dipilih secara historis) dan khususnya

nilai-nilainya yang tergabung di satu pihak, sistem-sistem kebudayaan dapat

dianggap sebagai hasil-hasil tindakan, di pihak lainnya sebagai

unsur-unsur yang mempengarui tindakan selanjutnya, hal ini sesuai dengan

keyakinan para filsuf yang cenderung untuk menganggap

gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai sebagai inti kebudayaan

Seorang Antropologi yaitu E.B. Tylor dalam tahun 1987 pernah

memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut

(terjemahannya); “Kebudayaan adalah komplek yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh

manusia sebagai anggota masyarakat” Dengan ini perkataan kebudayaan

mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia

sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang

dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yaitu mencakup segala

cara–cara atau pola–pola berfikir, merasakan dan bertindak. (Soerjono

(3)

Adanya kait-mengait diantara unsur-unsur kebudayaan dapat dikatakan

bahwa kebudayan adalah sebagai sistem. Artinya, kebudayaan merupakan

suatu kesatuan organisasi dari rangkaian gejala, wujud, dan unsur-unsur

yang berkaitan satu dengan yang lainnya. (Tri Widiarto dkk, 2000: 10).

Manusia sebagai makhluk berbudaya karena akal dan

kebebasannya, kehendaknya yang membedakan dari binatang, karena

manusia mampu berbicara, berbahasa dan bekerja. Dengan demikian,

kebudayaan adalah dari manusia, hasil karyanya serta dipersembahkan

bagi sesamanya. (Mudji Sutrisno, 1993: 24). Konsep filosofi kebudayaan

biasanya berangkat dari perbedaan antara manusia dan binatang. Binatang

dipahami sebagai gejala alamiah. Dalam pendekatan sosiologi, konsep

kebudayaan dikaitkan dengan masyarakat. Di sini kebudayaan dapat

dirumuskan sebagai cara hidup suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai

cara hidup yang dianut oleh warga masyarakat itu pada umumnya cara

hidup yang dianut bersama dalam masyarakat inilah kebudayaan. Jadi

subyek kebudayaan bukan manusia individu, melainkan masyarakat.

( Pamerdi Giri Wiloso dkk, 1990: 14-15).

Pada hakekatnya unsur kebudayaan yang disebut religi adalah

amat komplek, dan berkembang atas berbagai tempat di dunia. Semua

manusia tahu bahwa akan adanya suatu alam dunia yang tak tampak, yang

ada di luar batas panca indranya dan di luar batas akal. Dunia supranatural

menurut kepercayaan manusia adalah dunia ghaib yang memiliki kekuatan

(4)

Menurut Bakker SJ, (1984: 42 ) Kesosialan sebagai sifat, unsur asas dan

alat yang erat hubungannya dengan kebudayaan.

Pertanyaan yang sering muncul dalam masyarakat adalah ”Apakah

sebenarnya yang mencakup dalam konsep kebudayaan itu ?” Banyak

orang yang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran,

karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan.

Dengan singkat kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti konsep itu

memang terlampau sempit. Sebaliknya, banyak para ahli ilmu sosial.

Mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu total

dari pemikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada

nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah

suatu proses belajar. (Koentjaraningrat, 1974: 11).

1. Koentjaraningrat (1974: 19) mendefinisikan kebudayaan sebuah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan belajar. Kata belajar memberi pengertian bahwa amat sedikit

tindakan kehidupan manusia di tengah-tengah masyarakat yang tidak

dilakukan dengan belajar. Memang “kebudayaan”dan “tindakan

kebudayaan” adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh

manusia dengan belajar. Pertumbuhan dan perkembangan

kebudayaan didasarkan pada penalaran, kesengajaan dan pandangan

hidup orangnya. Kebudayaan memiliki sifat-sifat dan gejala-gejala

(5)

memang berubah-ubah dari generasi kegenerasi. Kebudayaan generasi

nenek moyang berbagi dengan kebudayaan kita sekarang.

2. Pengertian Tradisi

Tradisi dalam bahasa latin traditio, “diteruskan atau kebiasaan”,

dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang dilakukan

sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,

biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Hal

yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan

dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya

ini, suatu tradisi dapat punah.

Tradisi merupakan warisan atau norma-norma adat-istiadat,

kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi bukan suatu yang tidak dapat diubah.

Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan

diangkat dalam keseluruhannya. Manusia yang membuatkan ia yang

menerima, ia pula yang menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya

mengapa kebudayaan merupakan cerita perubahan-perubahan manusia

yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah

ada. (Van Reusen, 1992: 115).

Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak

mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi

hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan

tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan

(6)

sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan

efisiennya. Efektifitas dan efisiennya selalu mengikuti perjalanan

perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan

dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efisiennya

rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah

menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan

cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.

Menurut Bastomi (1986: 1) Upacara tradisi adalah kegiatan yang

melibatkan warga masyarakat dalam usaha bersama-sama untuk mencapai

tujuan keselamatan bersama. Berdasarkan dua pengertian di atas maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Upacara tradisi bertujuan untuk menciptakan suasana yang tenang serta

menghindarkan dari bahaya yang akan mengancam di kemudian hari.

b. Upacara tradisi merupakan suatu kegiatan yang di dalamnya

mengandung makna bahwa upacara tersebut harus diikuti dan

dilaksanakan seluruh warga masyarakat tanpa ada rasa terpaksa.

c. Dalam upacara tradisi ini banyak larangan yang tidak boleh dilanggar

oleh masyarakat, karena kalau dilanggar bisa berakibat kematian.

d. Upacara Tradisional tumbuh dan menyebar melalui berbagai sikap

perbuatan manusia terhadap peristiwa tertentu.

Peranan tradisi terutama sangat nampak pada masyarakat pedesaan

walaupun kehidupan tradisi terdapat pula pada masyarakat kota.

(7)

maka sifat masyarakat sepeti itu cenderung tidak berani berspekulasi

dengan alternatif yang baru. Tingkah laku masyarakat selalu pada pola-pola

tradisi yang telah lalu (Bastomi, 1986: 14).

Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional.

Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan

dalam masyarakat. Di dalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir

dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan

norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan

dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. Salah satu tradisi

masyarakat Jawa adalah upacara-upacara adat yang dikemas secara

tradisional yang disebut juga Upacara Tradisional. Upacara Tradisional

merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah

warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat

pendukungnya dengan jalan mempelajarinya (Purwadi, 2005: 1).

3. Upacara Tradisional

Kebudayaan merupakan satu bentuk warisan sosial yang dimiliki

oleh warga masyarakat pendukungnya sebagai suatu warisan kebudayaan

yang mengalami perkembangan selaras perkembangan masyarakat itu

sendiri. Agar supaya di dalam perkembangannya, nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam kebudayaan tidak tenggelam, perlu diupayakan

penanaman nilai–nilai tersebut melalui sarana atau media tertentu. Salah

satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui pengenalan serta

(8)

Salah satu bentuk kebudayaan yang dimiliki dan dikembangkan oleh

masyarakat adalah Upacara Tradisional. Konsep Upacara Tradisional

berkaitan erat dengan keberadaan lingkungan di mana masyarakat

berdiam. Menurut Koentjaraningrat, bahwa seluruh alam diliputi kekuatan

ghaib tertentu yang rupanya berada dalam segala hal. Kekuatan itu

dianggap berada di luar kemampuan dari kesadaran pemikiran manusia.

Sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi yang memerlukan

suatu pengamatan secara ilmiah dan khusus (Koentjaraningrat, 1981: 241).

Menurut Supanto dalam Sunyata (1996: 2) Upacara Tradisional yaitu

kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam mencapai tujuan

keselamatan bersama. Upacara Tradisional merupakan bagian yang

integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud karena fungsi

Upacara Tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan

Upacara Tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat

pendukungnya.

Keberadaan Upacara Tradisional tidak terlepas dari keberadaan

masyarakat pendukungnya, artinya apakah suatu Upacara Tradisional

masih dipertahankan atau tidak tergantung dari masyarakat pendukungnya

itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan terhadap kesakralan

pelaksanaan Upacara Tradisional.

Levi Bruhl mengungkapkan adanya masyarakat yang memiliki

keyakinan bahwa alam diliputi oleh suatu kekuatan ghaib tertentu yang

(9)

dan kesadaran pikiran manusia, tetapi kekuatan tersebut dapat

menyebabkan kebahagiaan atau malapetaka. Untuk mengendalikannya

maka melalui bentuk pelaksanaan upacara yang ada di dalamnya terdapat

ritual-ritual tertentu (Koentjaraningrat 1981: 91).

Upacara Tradisional yang dilaksanakan oleh masyarakat

pendukungnya bertujuan untuk mencapai keselamatan bersama. Dalam

pelaksanaan upacara tersebut berisi ritual-ritual tertentu yang harus

dipatuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat. Adapun keharusan ini

semakin memperkokoh rasa kebersamaan diantara mereka.

Aturan-aturan atau ritual-ritual yang harus dipatuhi dan

dilaksanakan tersebut diwariskan secara turun-temurun, sehingga berperan

melestarikan ketertiban hidup masyarakat itu, kepatuhan yang muncul

untuk taat melaksanakan ritual tidak terlepas dari kesakralan serta daya

magis/ghaib dari pelaksanaan upacara.

Sesuatu yang sakral adakalanya tidak berbentuk pada benda-benda

yang kongkrit, yang sakral biasanya dijadikan sebagai objek atau sarana

penyembahan dari upacara-upacara keagamaan dan diabadikan dalam

ajaran kepercayaan. Dalam ajaran kepercayaan itulah munculnya ritual.

Ritual mengandung makna upacara, yaitu tindakan menurut adat atau

agama (Minsarwati 2002: 28-29). Ritual itu sendiri adalah suatu kegiatan

yang berkaitan dengan mitos yang bertujuan untuk mensakralkan diri dan

(10)

perorangan maupun kolektif menurut ruang dan waktu, serta berdasarkan

konvensi setempat (Zeffry 1998: 98).

Menurut Wallek dan Werren (1995: 243) mitos mengikuti dan

berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan,

cerita yang diperagakan melalui ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual

dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau

mendatangkan keselamatan. Mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai

asal mula alam semesta, nasib dan tujuan hidup.

Dari adanya keharusan mematuhi aturan dalam ritual upacara di

dalam masyarakat pada akhirnya membentuk pranata sosial yang tidak

tertulis. Akan tetapi harus dikenal dan dipatuhi oleh seluruh warga

masyarakat secara turun-temurun. Upacara Tradisional disamping sebagai

pranata sosial berfungsi pula sebagai wahana komunikasi antar sesama

warga dengan dunia ghaib. Komunikasi manusia dengan hal ghaib

dinampakkan dalam simbol-simbol pula, nilai-nilai etis, pesan-pesan

ajaran agama, maupun norma-norma disampaikan kepada seluruh warga.

Dengan demikian Upacara Tradisional dimanfaatkan pula sebagai sarana

sosialisasi kepada warga khususnya generasi muda.

Suatu ritus atau religi terdiri dari suatu kombinasi yang

merangkaikan beberapa tindakan. Ritus dan upacara bukan peristiwa biasa,

tetapi peristiwa yang dilaksanakan dengan emosi keagamaan dan biasanya

(11)

4. Jenis-Jenis Upacara Tradisional

Upacara-Upacara Tradisional yang ada di Indonesia secara garis

besarnya dapat dibagi menjadi:

a. Upacara Tradisional dalam kaitannya dengan alam merupakan upacara

yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap dunia ghaib dan

peristiwa-peristiwa alam.

b. Upacara Tradisional yang berhubungan dengan leluhur. Upacara tradisi

berhubungan erat dengan adanya harapan keselamatan dalam hidupnya,

serta dijauhkan dari gangguan-gangguan makhluk halus dan perbuatan

yang dapat merugikan diri sendiri. (Kamajaya Karkoro,1992: 5).

c. Upacara tradisi yang berkaitan dengan mitos, yaitu upacara tradisi yang

didalamnya mengandung pemujaan terhadap seseorang yang dianggap

memiliki kemampuan di atas kemampuan manusia normal (memiliki

kesaktian).

d. Upacara tradisi yang berkaitan dengan legenda, yaitu legenda yang

dianggap mempunyai daya kemampuan yang hebat atau benar-benar

terjadi di kehidupan masyarakat setempat.

5. Tujuan Upacara Tradisional

Upacara Tradisional yang dilakukan oleh oleh anggota komunitas

baik secara bersama atau individu bertujuan untuk mendapatkan

(12)

Bahwa Upacara Tradisional dilakukan juga secara berkala

mengingatkan warga akan segala norma dan aturan supaya dalam

bertindak tidak menyimpang dari aturan atau norma yang ada dalam

komunitas bersangkutan. Karena jika terjadi penyimpangan, akibat yang

muncul akan menimpa semua anggota masyarakat atau komunitas.

6. Unsur-Unsur Upacara Tradisional

Upacara Tradisional baik yang bersifat religi/keagamaan maupun

adat memiliki unsur atau komponen yang sama. Unsur-unsur yang

terkandung adalah

a. Tempat Upacara

b. Saat Upacara

c. Benda-benda dan alat upacara

d. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

(Koentjaraningrat, 1977: 241).

Upacara yang dilakukan merupakan perbuatan yang keramat, oleh

karena itu unsur/komponen upacara tersebut dianggap keramat. Hal ini

berkaitan erat dengan prinsip yang mendasari dilaksanakan kegiatan

upacara, yaitu manusia diharapkan pada satu kekuatan yang berada di luar

jangkauan kemampuan pikirannya yang memiliki keghaiban.

Di samping empat komponen tersebut diatas, kegiatan upacara

mengandung sebelas unsur perbuatan yaitu:

(13)

Bersesaji merupakan perbuatan untuk menyajikan makanan,

benda-benda dan sebagainya kepada roh-roh nenek moyang atau

makhluk halus lain, dengan tujuan supaya acara tersebut bisa

berjalan dengan lancar. Sesaji ini merupakan sarana dan prasarana

yang penting dalam upacara tradisi yang erat hubungannya dengan

keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang adanya roh-roh

halus.

2) Berkurban

Berkurban merupakan perbuatan-perbuatan penyembelihan

binatang kurban atau manusia, secara upacara. Kadang-kadang ada

maksud bahwa binatang yang disembelih itu disajikan kepada

dewa-dewa, tetapi biasanya dalam perbuatan-perbuatan upacara

serupa itu orang sendirilah yang akan makan binatang yang

dikurbankan itu, dan bukan dewa-dewa. Dengan makan binatang

kurban tadi orang akan memasukkan dewa ke dalam dirinya

sendiri. Upacara berkurban pada manusia sekarang tidak pernah

dilakukan lagi.

3) Berdoa

Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam

berbagai upacara keagamaan di dunia. Doa pada awal mulanya

adalah upacara hormat dan pujian kepada leluhur, biasanya doa

diiringi dengan gerak-gerik dan sikap-sikap tubuh yang pada

(14)

merendahkan diri terhadap para leluhur, dewata, atau terhadap

Tuhan. Kecuali itu juga arah muka atau kiblat pada waktu

mengucapkan doa, merupakan suatu unsur yang amat penting

dalam banyak religi dunia.

4) Makan bersama

Makan bersama merupakan suatu unsur perbuatan bersama

yang amat penting dalam upacara religi dan agama di dunia. Dasar

pemikiran itu rupa-rupanya mencari hubungan dengan dewa-dewa,

dengan cara mengundang dewa-dewa pada suatu pertemuan makan

bersama. Dalam kehidupan beberapa suku bangsa di Indonesia

yang beragama Islam, upacara kenduri atau slametan merupakan

suatu unsur yang amat penting dalam upacara keagamaan.

5) Menari

Menari seringkali merupakan suatu unsur penting dalam

banyak upacara keagamaan, jalan pikiran yang berada di belakang

perbuatan ini rupanya memaksa alam bergerak. Dari banyak suku

bangsa yang memiliki kepercayaan bahwa gerak alam bukan

merupakan hak yang mutlak. Seperti tubuh manusia, gerak alam

bisa sekonyong-konyong berhenti dan alam berhenti berarti alam

binasa. Apabila matahari tidak terbit lagi, apabila guntur dan petir

tidak menggelegar lagi, apabila hujan tidak turun lagi, maka alam

(15)

besar supaya alam tidak berhenti, dan orang memaksa alam untuk

bergerak dengan jalan menari.

6) Berprofesi (berpawai)

Berprofesi merupakan suatu perbuatan yang amat umum

dalam banyak religi di dunia. Dalam proses seringkali dibawa

benda-benda keramat seperti: patung dewa-dewa,

lambang-lambang, benda-benda pusaka yang sakti dan sebagainya, dengan

maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-benda itu

bisa memberi pengaruh kepada keadaan tempat tinggal manusia

dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu, upacara

pawai sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama,

tetapi yang dilakukan dengan cara lain ialah mengusir makhluk

halus, hantu, dan segala kekuatan yang menyebabkan penyakit

serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia, tidak dengan

memakai benda sakti melainkan memakai benda nyanyian keramat,

mantra-mantra, teriak dengan bunyi-bunyi yang keras.

7) Upacara Seni Drama

Kekuatan kepada orang-orang untuk tahan kepada

penderitaan yang akan datang. Contoh dari permainan seni drama

di Indonesia yang berfungsi sebadai upacara keagamaan adalah

seni drama Calonarang di Bali, yang menceritakan seorang wanita

dukun sihir jahat bernama Calonarang yang suka menyebarkan

(16)

drama tersebut oleh orang Bali mempunyai efek yang keramat,

yang dapat menolak penyakit. Seni drama seringkali mempunyai

arti suci dari mitologi atau kitab suci. Kegiatan mendramakan

beberapa peristiwa dari kehidupan tokoh-tokoh keramat atau

dewa-dewa itu, rupanya bisa menimbulkan suatu suasana keramat juga.

Yang seolah-olah bisa memberi dan bencana yang datang

mengancam desa.

8) Berpuasa

Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam

hampir semua religi dan agama diseluruh dunia. Dasar pikiran

yang ada dibelakang perbuatan yang bisa macam-macam, misalnya

membersihkan diri atau menguatkan batin dengan penderitaan.

Berpuasa dalam berbagai religi dilakukan untuk waktu satu bulan

atau lebih secara berulang, dengan masa antara yang singkat,

misalnya satu kali dalam seminggu atau juga berupa penghindaran

atau pantangan tetap terhadap beberapa makanan tertentu.

9) Intoxikasi

Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk

memabukkan atau menghilangkan kesadaran diri pada pelaku

upacara . Dengan demikian para pelaku upacara sering melihat

bayangan atau khayalan. Suatu cara intoxikasi yang amat banyak

dipakai adalah dengan minum semacam obat bius yang diambil

(17)

10)Bertapa

Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang

mempunyai konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jasmani.

Demikian ada pendirian kalau hasrat nafsu jasmani dari manusia

itu bisa ditelan, maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci.

Sebenarnya jalan pikiran ini sering merupakan suatu latar belakang

dari berpuasa, sehingga berpuasa itu bisa disebut suatu bentuk yang

lunak dari bertapa. Sebaliknya dalam beberapa agama, usaha

mengabaikan jasmaniah bisa mencapai bentuk-bentuk yang amat

extreme sehingga orang melakukan berbagai perbuatan menyakiti

tubuh sendiri, dengan maksud seolah-olah merusak tubuh itu.

Contoh dalam berbagai sekte agama Hindu misalnya:

- Tidur di atas paku

- Makan makanan yang basi

- Duduk berhari-hari dalam air yang tingginya mencapai leher.

- Menggantungkan diri dengan kepala bawah dan sebagainya.

11)Bersemedi

Bersemedi adalah berbagai macam perbuatan serba religi

yang bertujuan memusatkan perhatian si pelaku maksudnya atau

kepada hal-hal yang suci, untuk hal ini ada beberapa macam cara

khusus, yang terutama dalam berbagai sekte dari agama Hindu

(18)

Terutama kaum Yogin merupakan ahli dalam teknik-teknik

memusatkan pikiran, dengan berbagai macam sikap duduk, cara

menguasai nafas dan sebagainya, Semuanya dengan maksud untuk

membuat rohani suci dengan cara pemusatan pikiran tadi

(Koentjaraningrat, 1977: 251-157).

7. Komponen-Komponen Upacara Tradisional

Dalam masyarakat Jawa Upacara Tradisional biasanya melibatkan

tokoh agama setempat sehingga Upacara Tradisional dapat diartikan

sebagai upacara keagamaan. Ada empat komponen yang ada dalam upacara

keagamaan menurut Koenjaraningrat (1992: 141-142) yaitu:

a. Tempat Upacara

Sesuatu yang keramat biasanya berada di tempat yang khusus dan

tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan tidak boleh

sembarang tempat upacara. Mereka harus hati-hati dan memperhatikan

berbagai macam larangan dan pantangan. Tempat upacara dapat terletak

di suatu tempat pusat kota. Tempat yang dipakai untuk melakukan

upacara-upacara mengenai desa dan dianggap sebagai pusat dari seluruh

kota.

b. Saat-saat Upacara

Saat-saat upacara biasanya dirasa sebagai saat yang genting dan

penuh dengan bahaya ghaib, karena berhubungan langsung dengan

dunia ghaib. Jadi dapat berakibat kemasukan roh. Dalam kehidupan

(19)

kelahiran, waktu bayi dipotong rambutnya, waktu bayi pertama

menginjak tanah, waktu anak ditusuk telinganya, waktu haid, waktu

sunat, waktu pubertas, waktu perkawinan dan waktu kematian.

Roh orang yang sudah meninggal itu dipandang sebagai pelindung

yang kuat. Artinya, pelindung dapat memberikan pertolongan dan

bantuan kepada orang-orang yang masih hidup. Roh orang yang sudah

meninggal tersebut dapat dibangunkan dan didatangkan oleh seorang

syaman. Cara mendatangkan roh tersebut dilakukan dengan diiringi

nyanyian, pujian, sajian-sajian dan doa. Kehadiran roh yang sudah

meninggal tersebut diharapkan dapat memberikan pertolongan dan

bantuan atau berkah terhadap mereka yang masih hidup (Sri Mulyono,

1979: 53).

Ada pula waktu-waktu genting yang timbul karena bahaya

misalnya wabah penyakit menular, bencana alam, atau waktu-waktu ada

peperangan. Segala bahaya itu sering dianggap oleh orang berpangkal

pada suatu peristiwa dalam dunia ghaib sehingga manusia mencoba

menolak segala macam bahaya tersebut dengan bermacam-macam

upacara yang bermaksud mencari hubungan dengan dunia ghaib.

Saat-saat upacara juga disertai dengan ritual pemanggilan roh dan di tempat

yang dianggap angker. Agar dapat menarik roh-roh yang berdiam di

tempat-tempat angker maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa

tumpeng, kemenyan, bunga mawar, pisang dan lain-lain. Sesaji

(20)

kekuatan makhluk halus yang “mbahureksa” (diam di tempat tersebut)

seperti lelembut, demit dan jin agar tidak mengganggu keselamatan,

ketentraman dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan, serta untuk

memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang “mbahureksa”

agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya

yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarga (Clifford

Geertz, 1981: 28).

c. Benda-benda Upacara

Benda-benda upacara merupakan alat yang dipakai dalam

menjalankan upacara keagamaan. Alat-alat itu bisa berupa alat-alat

seperti wadah atau tempat sajian, sendok, pisau dan lainnya. Bendera

dan senjata juga sering digunakan untuk sajian. Alat-alat upacara yang

lazim digunakan adalah patung-patung yang berfungsi sebagai lambang

dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tempat upacara. Benda

upacara bisa juga dari tumbuhan atau hasil panen. Misalnya pisang,

daun pisang, buah-buahan, ada juga dari hewan, yang sering digunakan

untuk upacara yaitu ayam atau bisa disebut ingkung.

Ingkung ini berupa ayam kampung yang dimasak utuh dan diberi

bumbu opor, kelapa dan daun salam. Ingkung ini melambangkan bayi

yang belum dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan

apa-apa atau masih suci, atau dimaknai sikap pasrah dan menyerah atas

kekuasaan Tuhan. Orang Jawa mengartikan kata “ingkung” dengan

(21)

Ubarampe ingkung dimaksudkan untuk menyucikan orang yang

punya hajat maupun tamu yang hadir pada upacara selametan tersebut.

d. Peserta Upacara

Pemimpin upacara dalam berbagai religi dan suatu bangsa di dunia

biasanya dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pendeta, dukun, dan

syaman. Pendeta adalah orang yang karena sesuatu pendidikan yang

lama menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka

upacara keagamaan. Syaman adalah sebuah istilah yang juga sering

dipakai untuk menamakan dukun, tetapi istilah tersebut dipakai untuk

golongan dukun yang memimpin upacara khusus (Purwadi, 2005: 47).

Dalam masyarakat Jawa peserta upacara tradisi biasanya warga sekitar

yang dipimpin oleh kepala desa setempat dan dibantu oleh doa modin

atau pemuka agama setempat.

B. Penelitian Yang Relevan

Triani Paramita Kumala Devi, Skripsi. Dengan Judul Pengaruh Tradisi

Nyadran Makam Terhadap Nilai-Nilai Sosial Budaya di Desa Padaan

Kecamatan Pabelan Kab. Semarang. Skripsi ini membahas tentang Upacara

Tradisional yang berkembang dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yang

dilakukan secara turun temurun. Salah satu tradisi di Jawa yang dilaksanakan

sampai sekarang adalah nyadran. Nyadran merupakan Tradisi di masyarakat

Padaan, Kecamatan Pabelan, Kab Semarang, yang biasanya dilaksanakan pada

(22)

arwah leluhur. Peserta inti pelaksanaan Tradisi Nyadran yaitu masyarakat Desa

Padaan dan sekitarnya.

Hasil penelitiannya adalah masih terdapat Upacara Tradisional nyadran di

Desa Padaan ternyata warga tetap melestarikan upacara tersebut dan terwujudnya

nilai-nilai yang terkandung dalam Upacara Tradisional nyadran, yaitu terciptanya

sikap kegotong-royongan ketentraman, kebersamaan dan kerukunan warga di

Desa Padaan.

Lain hal dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian ini mengkaji

secara antropologi, namun ada keunikan menyangkut kebiasaan masyarakat

(ritual) di Desa Cukil. Melalui kebiasaan inilah penulis menggali, mengkaji, dan

menganalisa makna ritual tersebut.

C. Kerangka Berfikir\

Cipta, Rasa, karsa

Manusia Kebudayaan

Upacara Dhawuhan

Tradisi

Religi Simbol

Pelestarian

Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Prioritas agenda penelitian dalam program penanggulangan HIV dan AIDS perlu didasarkan pada pemahaman bahwa sebuah program memiliki tiga fungsi pokok 29 : (1)

Organisasi masyarakat sipil memiliki peran kunci dalam penanggulangan AIDS dalam penyediaan layanan, pendidikan masyarakat dan advokasi kebijakan yang kondusif bagi populasi

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Bagi calon penyedia barang/jasa yang belum mempunyai user ID dan password dapat memperolehnya dengan cara melakukan registrasi secara online pada website : lpse.bangka.go.id,

[r]

[r]

4 This is equivalent to the weighted average of the estimates for each stratum, with weights equal to the population shares of each stratum... Implementation Report for

D.4 In fiscal year [insert last complete fiscal year] , when this establishment exported goods directly, how many days did it take on average from the time this establishment‘s