• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuturan dalam bahasa mantra pada upacara pengusiran roh jahat Suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tuturan dalam bahasa mantra pada upacara pengusiran roh jahat Suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

TUTURAN DALAM BAHASA MANTRA

PADA UPACARA PENGUSIRAN ROH JAHAT SUKU MEE

KABUPATEN DEIYAI PROVINSI PAPUA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun Oleh : Yulius Pekei

081224082

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

(Menulis dan belajar adalah napas hidupku )

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk

mendidik orang dalam kebenaran”, (II Timotius 3: 16)

Walau banyak duri, Walau banyak tantangan, Mata Tuhan selalu melihatku, Dan berilah saya hati yang kasih sayang,

Walau ada rintangan, Di jalan kehidupan saya, Mata Tuhan selalu melihat

Dalam setiap langkahku Bergandeng tanganku, Jadilah penunjuk jalan

Menuju harapanku

Karya ilmiah ini kuabdikan kepada : Bapak, Ibu, Kakak sekalian

Yang selalu mewarnai dan meluruskan hatiku Agar disiplin dalam segala hal yang kuhadapi Terima Kasih Kepada Allah, atas

(5)

V

HALAMAN PERSEMBAHAN

(6)
(7)

vii

Yulius Pekei 2013, Tuturan Dalam Bahasa Mantra Pada Upacara Pengusiran Roh Jahat Suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Skripsi S1, PBSID, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dibimbing oleh Dr. B. Widharyanto, M.Pd. dan Drs. J. Prapta Diharja, S. J. M.Hum.

Penelitian ini memiliki empat pokok permasalahan. Pertama, isi tuturan apa sajakah yang disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Kedua, Jenis tindak tutur apa sajakah yang disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Ketiga, makna tuturan apa sajakah yang ingin disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Keempat, daya bahasa apakah yang muncul pada tuturan bahasa mantra pada upacara pengusiran roh jahat suku mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi suatu pelaksanaan upacara pengusiran roh jahat, mengambil gambar urutan pelaksanaan, perekaman tururan pelaksanaan upacara pengusiran roh jahat, pencatatan tuturan kata-kata dalam upacara pengusiran roh jahat, memberi kode agar sumber datanya tetap ditelusuri, wawancara untuk hal yang kurang jelas.

Analisis data dilakukan melalui pencatatan dari rekaman kedalam bahasa tulis, menerjemakan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, mengelompokan kata kata kedalam isi, bentuk, makna kata: menentukan hubungan semantik, hubungan taksonomi dan hubungan kontras dan daya bahasa. Selanjutnya, menganalisis data ditinjau dari etnolinguistik dengan teori Dell Hymes dan Spradley yaitu analisis peristiwa tutur dan etnografi tutur sebagai pelengkap yang selanjutnya digambarkan dalam SPEAKING.

Daya bahasa dapat muncul pada tataran struktur. Daya bahasa direalisasikan melalui tindak tutur direktif, yang terkandung dalam tindak tutur pemimpin upacara pengusiran roh jahat (Kosmas Madai) kepada kelurga si penderita kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Menurut ekstensinya, wacana yang digunakan dalam peristiwa tutur ini verbal dan non verbal.

(8)

viii

Quarterly Evil Deiyai District Mee Province. Purse S1, PBSID, Sanata Dharma University, Yogyakarta. Mentored by Dr. B. Widharyanto, M.Pd. and Drs. J. Prapta Diharja, S. J.,M.Hum.

This study has four principal problems. First, what are the contents of a speech delivered in the ritual expulsion of evil spirits District Mee quarter Deiyai Province. Second, what are the different types of speech acts presented in the expulsion of evil spirits ceremony at District Mee quarter Deiyai Province. Third, what are the different speech meaning conveyed by the ritual expulsion of evil spirits in the quarter Mee District Deiyai Province. Fourth, the force of the language that appears on the spoken language in ritual spells expulsion of evil spirits quarter noodles District Deiyai Province.

The method used in this research is descriptive qualitative method. Data collection techniques used were observation of an execution ritual expulsion of evil spirits, take a picture sequence of execution, recording of performance of rites expulsion of evil spirits, recording spoken words of the ritual expulsion of evil spirits, give the code to remain searchable data sources, interviews for the case less clear.

Data analysis is done by recording from the tape into the writing language, of regional languages in the Indonesian language, words said into content, form, meaning says: determining semantic relationships, taxonomic relationships and contrast relations and its language. Furthermore, analyzing the surveyed data from etnolinguistic by Dell Hymes and Spradley theory that is said and ethnographic analysis of speech events as further described in complementary SPEAKING.

The force of language can emerge in rank structure. Reaction force is realized through speech language directive, contained in the speech act toast families including Treasure Hunt expulsion of evil spirits to the sick person to ask a question sentence. Order to specify the order of sentence, invitation, request, or application. According ekstensy, the discourse used in this speech event of verbal and non verbal.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia dan kasih sayang sehinga penyusunan tugas akhir yang berjudul “Tuturan Dalam Bahasa Manta Pada Upacara Pengusiran Roh Jahat Suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. Skripsi S1, PBSID, Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta”, dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini dilakukan sebagai aplikasi teori yang diterima selama perkuliahan. Penelitian secara khusus menganalisis empat tahap pengusiran roh jahat. Pertama, Teki-Teki Kabu “Tahap Persiapan”. Kedua, Edoga Kabu “Tahap

Pembukaan”. Ketiga, Yupi Kabu “Tahap Pertengahan”. Keempat, Mumai Kabu

“Tahap Akhir”. Keempat tahap tersebut di atas dijabarkan secara rinci isi, bentuk

dan makna tuturan.

Skripsi ini mendokumentasikan bahasa daerah yang semakin punah sesuai dengan perkembangan saman dewasa ini. Penelitian ini diharuskan bermanfaat bagi generasi penerus dan pula perlindungan dari kepunahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan bahasa, budaya dan sastra. Penyusun skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya bantuan dalam berbagai bentuk, baik yang berupa sumbangan pikiran, saran, kritik, motivasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1) Dr. B. Widharyanto, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh sabar dan dedikasi memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

(11)

xi

waktu untuk mendampingi peneliti sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

3) Dosen-dosen PBSID yang telah membagikan ilmu dan membimbing penulis selama belajar di Universitas Sanata Dharma.

4) Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed,Ph.D, yang selalu memantau perkuliahan saya hingga menuliskan Skripsi ini dengan baik.

5) Pihak LPMAK yang setia membiyayai studi dan keperluan lainnya hingga menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

6) Pegawai perpustakaan yang selalu setia melayani.

7) Teman–teman angkatan 2008 yang bersama-sama berjuang dan selalu memberikan motivasi.

8) Martina Keiya dan Yupen Fransiskus Matopai Pekei yang selalu memberikan kasih sayang semangat dan kesabaran yang tulus selama mendampingi penulis berproses.

9) Pastor Yanuarius Matopai You, Pr, memantau dan memberikan motivasi selama berproses penulisan skripsi ini.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Yogyakarta, 02 Juli 2013

(12)

xii

1.6Sistematika Penyajian ………. 8

BAB II LANDASAN TEORI……….. 9

2.1 Penelitian Terdahulu ……….. ……….. 9

2.2 Landasan Teori ………….………... …… 11

2.2.1 Perbedaan Tuturan dan Bahasa ………..…………. 11

2.2.2 Tuturan ……….……….…………... 19

2.2.2.1 Tindak Tutur ………... 20

2.2.2.2Masyarakat Tutur ………..……….…………... 24

(13)

xiii

2.2.2.4Makna Tindak Tutur ………... 28

2.2.2.5Tuturan Dalam Upacara Pengusiaran Roh Jahat………... 28

2.2.2.6Tuturan Dalam Tahap Upacara Pengusiaran Roh Jahat ... 29

(14)

xiv

3.6Teknik Analisis Data ………...….. 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... 72

4.1 Peristiwa Tutur “Tahap Persiapan” Teki-Teki Kabu ……… 72

(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA ………. 138

LAMPIRAN ……… 141

(16)

xvi

6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……….……….. 58

7. Kerangkah Berpikir ……….….….…... 61

8. Desain Penelitian ……….………….…. 66

9. Peristiwa Tutur Tahap Persiapan ……….……….…. 74

10.Hubungan Semantik Kegiatan Persiapan Upacara ………….…….…… 83

11.Taksonomi Sediakan Bahan Makanan ……….… 84

12.Hubungan Kontras “Noya Agiyo Kotu”……….…... 84

13.Peristiwa Tutur Tahap Pembukaan ……….…. 89

14.Hubungan Sematik Kata Ganti Sebutan Keluarga Penderita……… 98

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ……… ………..… 64

2. Pemimpin Sedang Memijit Penderita bertanda Roh

Jahat yang Dirasukinya Keluar ………..…….……….…. 102 3. Pemimpin Sedang Memanah Babi Bertanda Memutuskan Jalan

Antara Penderita dan Roh Jahat…... 103 4. Pemimpin berdiri di samping Keluarga Penderita Bertanda

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka. Kesatuan kebudayaan itu tidak tentukan oleh orang lain melainkan oleh mereka sendiri. Salah satu kebudayaan adalah bahasa. Dengan demikian, bahasa daerah di Papua adalah bahasa yang diwariskan kepada Sang Pencipta untuk dihayati. Namun kenyataanya bahasa Papua kini ambang punah secara alamiah. Kepunahan bahasa daerah Papua terjadi karena masyarakat sendiri tidak menghayati kearifan lokal mereka.

Masyarakat pemakai bahasa terkadang merasa rendah diri seketika menggunakan bahasa ibu mereka. Artinya pengguna bahasa daerah cenderun terpengaruh arus global sehingga tidak lagi mencintai budayanya.“Mereka terkadang menganggap bahasanya ketinggalan zaman. Padahal lebih awal mereka menggunakan bahasa proto (bahasa yang digunakannya sejak lahir).

(19)

mempaktekkan dengan banyak karya mereka yang menggunakan bahasa Biak. Seharusnya bahasa itu sendiri adalah roh, karena manusia membawa pemahaman kepada sesamanya melalui bahasa. Bahasa Daerah di Papua diperkirakan sebanyak 270 yang ditetapkan oleh Badan Pusat Bahasa. “Itu baru dari jumlah, bahasa belum

lagi kalau dilihat dari segi dialektologi yang menyangkut dialek-dialek meski sama bahasa daerahnya.

Spradley (1997) mengemukakan bahwa bahasa tidak semata-mata alat komunikasi bagi manusia yang paling hakiki. Chaer via Jhon, (2004: 1), mengatakan bahwa “bahasa itu mempengaruhi cara bicara, cara bertindak anggota masyarakat supaya apa yang melakukan oleh masyarakat untuk mempengaruhi sifat-sifat bahasa yang memilikinya”.

Suku Mee di Papua adalah salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Deiyai, Paniai, Dogiyai. Suku ini selalu mempraktekkan ritual “pengusiran roh jahat” dalam bahasa Mee disebut “peu eniya epei kamu”. Upacara pengusiran roh jahat yang dilaksanakan dalam empat tahap yakni: (1) Teki-teki kabu “tahap persiapan”, (2) Edoga kabu “tahap pembukaan”, (3) Yupi kabu “tahap pertengahan”, (4) Mumai kabu “tahap akhir”.

Keempat tahap ritual di atas dilaksanakan jika anggota masyarakat tertentu telah dirasuki oleh roh jahat. Kerasukan roh jahat terjadi karena melewati atau menebang pohon di tempat keramat. Gejala kerasukan roh jahat pada badan pelaku seperti perut bengkak, menjadi gila, muka kuning, badan kurus, dsb.

(20)

dihasilkan oleh masyarakat Mee. Tuturan yang dihasilkan dalam mengadakan upacara misalnya; (1) “Doke mei ekina kou” babi itu bawa datang, (2) Mapega wagine koda “Sebab mau memanah”. Tuturan “ikido”. Pengertian “ikido” merupakan kata ganti sebutan orang yang jumlahnya tidak dapat dihitung, dilain pihak “iki” tanpa “do” digambarkan sebutan pada orang yang dapat dihitung. Kata ikido dapat menunjukan salah satu perilaku salin menyebut pada banyak kurangnya keterlibatan dalam kegiatan upacara adat.

Tuturan “mapega” artinya (panah). “Mapega” sangat menentukan

penyembuhan bagi penderita. Panah yang digunakan dalam upacara adalah panah khusus. Ada keyakinan bahwa jika panah kena ayam atau babi kurban maka penderita akan selamat. Sebaliknya, jika panah tidak kena ayam atau babi kurban maka penderita akan tidak selamat.

Tuturan “bodiya dagumai” artinya (pasang api). “Bodiya dagumai” (pasang api) dengan menggunakan korek api ada diyakini sebagian akan mentah. Dengan adanya sebagian mentah ini ada yang diyakini bahwa penderita akan tidak selamat. Sebaliknya, pasang api menggunakan api adat “beko mamo” sangat meyakini bahwa semua akan matang dengan baik.

(21)

Bahasa daerah adalah bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dibina. Pelestarian dan pembinaan tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan jika tidak ada upaya sebelumnya. Upaya sebelumnya yang dimaksud di sini adalah untuk mendokumentasikan bahasa tersebut. Alasan-alasan inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian di bidan ini.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah penelitian yang jelas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Isi tuturan apa sajakah yang disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua?

2. Jenis tindak tutur apa sajakah yang disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua?

3. Makna tuturan apa sajakah yang ingin disampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua? 4. Daya bahasa apakah yang muncul pada tuturan bahasa mantra pada upacara

pengusiran roh jahat suku mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua? 1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(22)

2. Mendeskripsikan jenis tindak tutur yang dituturkan dalam mengadakan upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.

3. Mendeskripsikan makna yang ingin menyampaikan dalam upacara pengusiran roh jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. 4. Mendeskripsikan daya bahasa pada tuturan dalam upacara pengusiran roh

jahat pada suku Mee Kabupaten Deiyai Provinsi Papua. 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat secara teoretis dan praktis, antara lain: 1. Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang ekspresi masyarakat Mee lewat peristiwa tutur dalam upacara pengusiran roh jahat kepada pemerhati bahasa dan budaya. Serta menjadi bahan sumbangan bagi kajian serupa pada masa yang akan datang.

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelestarian bahasa daerah khususnya bahasa suku Mee agar dapat diwariskan kepada generasi ke generasi berikutnya. Penelitian ini untuk memperkaya budaya nasional dan lebih khususnya Daerah Kabupaten yang baru berusia tiga tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten induk Kabupaten Paniai.

1.5 Batasan Istilah

(23)

1) Tuturan adalah wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu, (Kridalaksana, 2008: 248).

2) Ungkapan adalah melahirkan perasaan hati dengan perkataan yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata. Ungkapan adalah “mengunkap” membuka, melingkap “mengungkapkan” melahirkan perasaan hati dengan perkataan, air muka, gerak gerik (KBBI, 2007: 1246).

3) Mantra adalah perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib. Mantra (KBBI, 2007: 713) adalah susunan kata berunsur puisi misalnya rima, irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib yang biasanya mengucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan lain; mantra kejahatan, mantra keselamatan, mantra penawar atau pengobatan.

4) Upacara pengusiran roh jahat adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat setempat. upacara adat adalah upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat (KBBI, 2007: 1250).

5) Mee adalah nama suku suatu kelompok yang tinggal di pedalaman Kabupaten Paniai, Dogiai dan Deiyai. Mee sama dengan “Mene” dalam bahasa suku Moni, artinya “makhluk manusia” yang secara khusus

(24)

6) Makna atau arti merupakan maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (KBBI, 2007: 703).

7) Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya.

8) Direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya.

9) Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya.

10) Deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal

11) Pawang adalah orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti: dukun, penjinak buaya, penjinak ular dsb.

12) Dukun adalah orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-jampi atau yang dimaksud jampi-jampi-jampi-jampi adalah kata–kata atau kalimat yang dibaca atau diucapkan dapat mendatangkan daya gaib (untuk mengobati penyakit dsb).

13) Ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan, memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, prasaan dsb.

14) Etnografi artinya deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup (KBBI, 2007: 309).

(25)

16) Taksonomi adalah klasifikasi unsur bahasa menurut hubungan hierarkis; urutan satuan fonologis atau graumatikal yang dimungkinkan dalam satuan bahasa.

17) Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna.

18) Gaib adalah hal yang tidak kelihatan tersembunyi, tidak nyata. 1.6 Sistematika Penyajian

Pertama-tama, dipaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah. Semuanya itu termasuk dalam bab 1 atau pendahuluan.

Bab 11 atau landasan teori ini diuraikan mengenai Penelitian Terdahulu, Landasan Teori: Perbedaan Tuturan dan Bahasa, Perbedaan Tuturan dan Bahasa; Tuturan: Tindak Tutur, Masyarakat Tutur, Jenis Tindak Tutur, Tuturan Dalam Upacara Pengusiaran Roh Jahat, Tuturan Dalam Tahap Upacara Pengusiaran Roh Jahat. Interpretasi Pragmatik: Referensi, Inferensi, Praangapan; Mantra: Definisi dan Ciri Mantra, Jenis-Jenis Mantra, Daya Bahasa. Upacara Pengusiran Roh Jahat. Suku Mee: Pengertian Suku Mee, Pembaharuan Arti Nama Mee, Penyebaran Suku Mee, Filosofi Hidup Suku Mee (Dou, Gai, Ekowai), Lokasi Penelitian: Sejarah Rukun Tetangga (RT) Eniyauwo, Sistem Kepemimpinan, Penduduk, Mata Pencaharian, Sistem Kepercayaan

(26)
(27)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori ini diuraikan dalam tiga bagian yaitu penelitian terdahulu, landasan teori dan kerangka berpikir. Berikut ini disajikan uraian mengenai ketiga bagian tersebut di atas yakni:

2.1Penelitian Terdahulu

Kajian tentang upacara pengusiran roh jahat dan bahasa daerah suku Mee telah banyak dilakukan sebelumnya, misalnya dari segi antropologi oleh Kudiai (1979) dengan judul Religi Suku Mee. Menyoroti tentang unsur-unsur upacara adat, situasi upacara adat, benda dan alat-alat upacara adat, serta pemimpin upacara adat suku Mee.

Geradus Adii, dalam buku “Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua” menyebutkan kurang labih 53 nama-nama Roh jahat yang dipercaya secara tradisi oleh masyarakat Papua. Dari 18-53 nama-nama roh jahat itu, 18 berasal dari Suku Mee (Adii, 2002:34-36)

Mote (1987) dengan judul “Akal Budi dalam Konsep Pemikiran Manusia Mee” menyoroti tentang delapan jenis Roh Jahat yang diyakini dikalangan suku Mee. Bunay (2000) dengan judul “Mobu dan Aji: Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Pemahaman Orang Mee”. Membeberkan tentang pelaksanaan upacara adat waktu perang, upacara adat waktu sakit, upacara adat waktu kelaparan, upacara adat waktu peresmian.

(28)

upacara pengusiran setan, upacara pencegaan, tentang pemimpin upacara, tata upacara, sarana upacara, larangan dan pantangan.

Alua (1993) dalam tulisannya berjudul “Etnografi Iriyan Jaya” menekankan tentang pola hidup masyarakat Mee. Boelaars (1992) dalam tulisannya berjudul “manusia Irian Dauhulu, Sekarang, Masa Depan”, menyoroti tentang polah upacara adat dalam suku Mee.

Dalam bidang Linguistik banyak yang menulis berkaitan dengan suku ini misalnya Dharmojo dkk (1996) pernah menyinggung tentang “Fonologi Bahasa ekagi”. Steltempool (1965) “Woordenlist Nederlans” membeberkan daftar kata terjemahan Bahasa Belanda dan Bahasa Mee. Drabbe (1942) Sprakkunst Van Het Mee menyoroti tentang “Tata Bahasa Mee”. Althur dkk (2001) menyoroti tentang Fonologi Bahasa Ekagi. Steltempool (1969) menulis kamus terjemahan antara Bahasa Mee. Hylkema (1982) menulis kamus Bahasa Mee. Handayani (1995) menulis “tentang Antologi Sastra Lisan Mee”.

(29)

Penelitian-penelitian tersebut belum sampai menggali tentang peranan tuturan-tuturan bahasa dalam upacara pengusiran roh jahat. Penelitian ini lebih terfokus pada tuturan bahasa yang digunakan pada saat upacara kerasukan roh jahat. Tuturan bahasa dilakukan ketika melangar tempat keramat, sehingga penting untuk melakukan penelitian pada bagian ini.

2.2Landasan Teori

2.2.1 Perbedaan Tuturan dan Bahasa

Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina 2004: 30-34) dibedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu, dalam Bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu istilah yaitu Bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak.

(30)

Istilah kedua dari Ferdinand de Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Barangkali dapat dipandankan dengan kata bahasa dalam kalimat, “Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage yang bersifat abstrak , langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage adalah satu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.

Berbeda dengan langage dan langue yang bersifat abstrak, istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret, karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam jenis tindak tutur ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole di sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat. “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken”. Jadi, sekali lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara empiris.

(31)

Dari pembahasan mengenai istilah langage, langue, dan parole di atas terlihat bahwa kata atau istilah bahasa dalam Bahasa Indonesia menanggung beban konsep yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu dapat dipadankan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang berbeda. Beban konsep atau makna yang ditanggung kata bahasa itu, memang sangat berat, karena selain menanggung konsep istilah langage, langue, dan parole itu juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan penggunaan kata bahasa dalam kalimat-kalimat berikut!

a) Sesama aparat penegak hukum haruslah ada kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan.

b) Bahasa militer tak perlu digunakan dalam menghadapi kerusuhan di sana. c) Nyatakanlah rasa cintamu dalam bahasa bunga. Hasilnya pasti lebih baik. d) Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan itu tidak mengetahui bahasa

sang permaisuri telah tiada.

e) Agak sukar juga berbicara dengan orang yang gila-gila bahasa itu.

Kelima kata bahasa di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, maupun parole. Yang pertama berarti „kebijakan, pandangan‟; yang kedua berarti „cara‟; yang ketiga berarti „alat komunikasi‟; yang keempat

berarti „bahwa‟; dan yang kelima berarti „agak‟.

(32)

Satu masyarakat tertentu ini memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual intelligible) barangkali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi, misalnya, penduduk yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan di lereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan dalam satu bahasa, karena mereka masih dapat mengerti dengan alat verbalnya. Mereka dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal. Begitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan yang berada di Semarang dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.

Adanya saling mengerti antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada di Banyumas, Semarang, dan Surabaya, mereka bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan.

(33)

Ketiadaan kesamaan sistem dan subsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti, menandai adanya dua sistem langue yang berbeda. Maka dalam kasus parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan dan di Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah sistem langue, yaitu bahasa Sunda di Garut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.

Dengan demikian kita menyebut dua parole dari dua masyarakat yang berbeda sebagai dua buah bahasa yang berbeda adalah karena tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah berdasarkan kriteria linguistik. Namun, dalam berbagai kasus ada ditemui adanya dua masyarakat bahasa yang saling mengerti, tetapi mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan nama yang berbeda. Misalnya, penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karena secara linguistik ada persamaan sistem dan subsistem di antara kedua parole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya berbahasa Malaysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya berBahasa Indonesia. Maka dalam kasus ini penamaan Bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia bukanlah berdasarkan kriteria linguistik, melainkan berdasarkan kriteria politik.

(34)

berbeda terjadi di daratan Cina. Suku-suku bangsa yang ada di daratan Cina itu tidak dapat berkomunikasi verbal secara lisan karena secara linguistik bahasa-bahasa mereka berbeda. Tetapi secara tertulis mereka dapat berkomunikasi dengan baik, karena sistem tulisan mereka sama yaitu bersifat ideografis. Artinya, setiap huruf melambangkan sebuah konsep atau makna, meskipun wujud bunyinya tidak sama.

Mengikuti peristilahan De Saussure (1961) setiap huruf melambangkan signifie, meskipun signifiannya tidak sama. Dalam kasus bahasa Inggris dewasa ini sudah tampak adannya usaha untuk memberi nama berbeda pada bahasa Inggris yang digunakan penduduk di Inggris, di Amerika, dan di Australia dengan munculnya nama British English, American English, dan Australian English.

Di atas sudah dikemukan bahwa parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan, di Karawang, dan di Bogor adalah berbeda, meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau subsistem di antara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam “Perbedaan” mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini, parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatan sebagai: bahasa Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek Bogor. Begitu juga dalam contoh di atas kita menemukan bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya.

(35)

dari sejumlah idiolek. Namun perlu juga dicatat bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari kedua dialek itu bisa saling mengerti; tetapi secara politis bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda.

Stephen Uliman (dalam Kinayati Djojosuroto 2007: 52-54) menjelaskan perbedaan bahasa dan tutur itu sebagai berikut:

a) Bahasa adalah wahana komunikasi (untuk semua orang dalam suatu masyarakat), dan tutur adalah penggunaan wahana itu oleh seseorang pada suatu kejadian tertentu. Jelasnya, bahasa adalah sandi (kode) sedangkan tutur adalah penyandian (enkode), yaitu penggunaan sandi dengan isi makna tertentu, oleh penutur, yang kemudian didekodekan (ditafsirkan maknannya) oleh pendengar.

b) Bahasa itu masih merupakan sesuatu yang potensial (berupa daya yang tersembunyi), merupakan sistem tanda yang tersimpan di dalam benak (memory) kita, yang siap diaktualisasikan (diwujudkan) dan diterjemahkan ke dalam bunyi-bunyi yang bersifat fisik dalam proses tutor. Jadi, sebenarnya bahasa itu tidak terdiri dari bunyi-bunyi dalam arti fisik, melainkan terdiri dari kesan-kesan bunyi yang tinggal di balik bunyi-bunyi nyata yang kita ujarkan atau kita dengar dari orang lain.

(36)

dapat bertindak sebagai alat komunikasi hanya jika bahasa itu secara mendasar sama bagi semua penutur. Bahasa adalah lembaga sosial.

d) Sejalan dengan itu, perbedaan lainnya menyangkut sikap tiap penutur terhadap bahasa dan tutur. Seorang penutur adalah majikan dari tuturnya sendiri. Tutur bergantung kepada penuturnya: apakah ia ingin mengatakannya atau tidak, apa yang hendak dikatakannya, bagaimana ia hendak mengatakannya. Namun, dalam soal bahasa, dia sebenarnya hanyalah seorang penerima (recipient) yang pasif. Ia mengasimilasikan (menguasai, berbaur dengan) bahasanya pada masa awal kanak-kanaknya, dan sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya.

e) Tutur adalah tindak tunggal yang sama sekali terbatas oleh waktu. Tutur yang panjang berlalu dalam hitungan menit, bahkan detik. Begitu sebuah kata keluar dari mulut, maka dia tidak dapat disedot kembali. Sebaliknya, bahasa bergerak lamban sehingga kadang-kadang tampak mandek. Perubahan sedikit demi sedikit, kalau ada, memerlukan waktu panjang, bahkan berabad-abad untuk perubahan bunyi dan tata bahasa. Bahasa adalah gejala sosial yang paling mampu bertahan dibandingkan gejala sosial yang lain. Lebih mudah membunuhnya daripada memecah-mecahkan jenis tindak tutur individualnya (Sapir, 1921).

(37)

bersifat psikologi. Bahasa terjenis tindak tutur dari kesan-kesan bunyi, kata, dan unsur-unsur tata bahasa yang tersimpan dalam benak kita dan tetap tinggal di sana.

2.2.2 Tuturan

Tuturan adalah wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama partisipan dan keadaan tertentu (KBBI, 2007: 1231). Tuturan merupakan sesuatu yang dituturkan atau diujarkan kepada mitra tutur agar mitra tutur menerima maksud dan tujuan yang disampaikan. Tuturan adalah sesuatu yang dituturkan; ucapan, ujaran dalam kehidupan sosial masyarakat. Kridalaksana (2008: 248) tuturan adalah wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu.

Tuturan bahasa daerah adalah bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dibina demi generasi selanjutnya. Pelestarian dan pembinaan tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan jika tidak ada upaya sebelumnya. Upaya yang dimaksud di sini adalah untuk mendokumentasikan ungkapan bahasa dalam upacara pengusiran roh jahat.

(38)

Ada benarnya juga yang disampaikan dalam bukunya Goris Keraf (1985: 23). bahwa “Adapun gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik yang memiliki arsitik yang tinggi”. Ungkapan (KBBI, 2007: 1246) merupakan hasil dari kegiatan “mengungkap” artinya membuka, melingkap. Selanjudnya, “mengungkapkan” melahirkan perasaan hati dengan perkataan, air muka, gerak gerik agar mengetahui yang dimaksudkan.

Gorys Keraf (1985: 21) menyimpulkan “paling penting dari rangkaian kata -kata adalah pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan”. Maksud pengertian adalah makna tersirat dalam kata yang mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya. Sebaliknya, semakin kurang kata yang dikuasai seseorang, semakin dangkal pula ide atau gagasan yang dikuasai seseorang.

(39)

2.2.2.1 Tindak Tutur

Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa yang sifatnya fungsional. Setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto, 1992: 88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal.

Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan jenis tindak tutur dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan jenis tindak tutur dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pembelajar Bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pembelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).

(40)

fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984: 141-142). Brown (1980:195) menyajikan lima belas tindak komunikasi yaitu greeting, complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk dipertentangkan melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.

Menurut Muhammad Rohmadi (2004) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul “How to do Things with words?”. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul “Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language”. Menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud dalam perilaku tindak tutur (fire performance of speech acts).

(41)

seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut dikembangkan oleh Searle pada tahun 1969. Tindak tutur merupakan suatu analisis yang bersifat pokok dalam kajian pragmatik Levinson (dalam Suyono 1990 : 5). Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi yaitu berupa ujaran atau tuturan yang diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik.

Austin (dalam Ibrahim 1992:106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu. Maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu. Sejalan dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa aktivitas tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar.

(42)

sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Di samping melakukan ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan. Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindakan bertutur.

Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

2.2.2.2 Masyarakat Tutur

(43)

(unfully fledge speaker). Selanjudnya, penutur berkompeten (fully fledge speaker) adalah penutur yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam berbagai tindak komunikasi.

Jadi, seorang penutur yang berkompeten memiliki: (1), pengetahuan mengenai gramatika dan kosa kata suatu bahasa, (2), pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbahasa (rules of speaking), (3), pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespons tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, seperti perintah, permohonan, permintaan maaf, ajakan dan sebagainya, (4) bagaimana berbicara secara wajar.

Tabel 1.1 Masyarakat Tutur,

2.2.2.3 Jenis Tindak Tutur

(44)

berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberikan suatu (informasi).

Kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, alimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya. Tindak tutur adalah tindak tutur langsung (speech act). Berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bilah hal ini yang terjadi, terjadi tindak tutur tidak langsung (indirect speech).

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan, tindak tutur tidak literal (nonliteral speech) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana & Rohmadi, 2011: 30”.

Sementara itu Wijana (dalam Rohmadi 2010: 37) Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut:

(45)

tanya. Misalnya, “ambilkan ubi itu!, “adikku gadis yang cantik”, dan “jam berapa sekarang adi?”

2) Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimasudkan oleh penutur. Misalnya, “lantainya kotor” kalimat itu jika diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya bukan saja mengimformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya. 3) Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech) adalah tindak

tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya “motormu bagus, kok”. Penutur sebenarnya ingin menyatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.

(46)

Tabel 2.2 Tindak Tutur

2.2.2.4 Makna tuturan

Makna merupakan arti atau maksud pembicara yang dituturkan dalam jenis tindak tutur kebahasaan (KBBI 2007: 703). Tindak tutur digolongkan menjadi lima jenis oleh Searle (Rohmadi, 2004:32; Rustono, 1999: 39). Kelima jenis itu adalah tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Berikut penjelasan kelimanya.

1) Representatif

Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tuturan ini adalah menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan. 2) Direktif

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur jenis ini untuk meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, memerintah, mendesak, memohon, menantang.

(47)

3) Ekspresif

Tindak tutur evaluatif (evaluasi) tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.

4) Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.

5) Deklarasi

Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.

2.2.2.5 Tuturan Dalam Upacara Pengusiaran Roh Jahat

Masyarakat Mee mengenal upacara pengusiran roh jahat yang di dalamnya tergambar perilaku tuturan dalam upacara adat. Terdapat dua jenis tindak tutur tuturan yaitu verbal dan non verbal. Verbal adalah media komunikasi berupa tuturan lisan dari pemimpin upacara kepada mitra tutur.

Jhon You (2004: 40) menarik kesempulan sebagai berikut:

“Wacana non verbal media komunikasinya berupa menggerak-gerakkan satu bagian tubuh kepada mitra tutur. Misalnya tuturan “Andreas (bado bego-bego) ya etete ko: tanimago eniya epeikamu nikeitaita” Andreas sambil goyang-goyang kaki bertanya, pada pukul berapa kita akan mengadakan upacara?. “Markus (benai bego-bego) yaa eteteko ini kamu tai wagi ko migouto yakai daki taitagi ga kouya”. Markus (sambil goyang tangan) menjawab: kita akan mulai upacara ketika pemimpin tiba di sini‟. Pemimpin upacara “bado bego-bego” goyang-goyang kaki dan Markus (benaibego-bego) Markus goyang-goyang tangan. Keyakinan bahwa dengan tuturan verbal akan ketahuan kerasukan setan sedan dialami oleh penderita sehingga kedua penutur dan mitra tutur menanyakan dan menanggapi dengan non verbal”.

(48)

Yosep (2007: 24) pernah menyinggung bahwa “mobu” artinya kenyang. Konsep tuturan “mobu” ini mengandung semua unsur keselamatan yaitu puas, kenyang, aman, tenang, damai, berlimpah dan lain sebagainya. Orang Mee mengalami mobu, seketika menikmati makanan hingga kenyang, hidup dengan aman dan tenang, kebun menghasilkan panen yang berlimpah, jumlah anak laki-laki marga banyak dsb.

2.2.2.6 Tuturan Dalam Tahap Upacara Pengusiran Roh Jahat

Tuturan dalam tahap upacara pengusiaran roh jahat yang di kenal dalam Spratley (1979) Analisis etnografi interview terdiri dari tiga tahap yakni:

1) Analisis domain yang menyatakan hubungan semantik. Analisis domain digunakan untuk menganalisis gambaran objek peneliti secara umum dan utuh tentang objek penelitian tersebut. Kemudian dihubungkan dalam hubungan semantiknya.

2) Anlisis taksonomi terfokus pada domain-domain. Teknik analisis domain memberikan hasil analisis yang luas dan umum, tetapi belum terperinci secara menyeluruh. Apabilah yang diinginkan yaitu suatu hasil dari analisis yang terfokus pada suatu domain atau sub-sub domain tertentu. Peneliti menggunakan teknik analisis taksonomi. Teknik ini terfokus pada domain-domain tertentu kemudian memilih domain tersebut menjadi sub-sub domain yang lebih khusus dan terperinci. Yang umum memiliki satu rumpun yang memiliki kesamaan. Selanjutnya, Analisis taksonomi merupakan analisis yang menjabarkan lebih rinci domain yang dipilih untuk mengetahui struktur internalnya.

(49)

ekspresi bahasa “dalam upacara adat” sekaligus pandangan hidup masyarakat yang menjadi objek penelitian ini.

Mengganalisis tuturan yang mencerminkan budaya masyarakat Mee dengan menggunakan teori Sapir-Whorf, seperti mengatakan kandungan budaya tercermin melalui bahasa (Sapir, 1921, Worf,1956, dalam Chaer dan Agustina, 1995). Hipotesis Sapir-Whorf menunjukan adanya hubungan kegiatan berpikir dan berkomunikasi yang berhubungan dengan perilaku makna diri penutur bahasa ini. Budaya adalah pola pikir yang merupakan sistem kognisi yang keluar lewat bahasa dalam jenis tindak tutur lisan dan tulis (Casson,1981,Folley 1997,Hoijer, 1954).

Pernyataan-pernyataan sesuai dengan pandangan peneliti mengenai makna budaya dalam bahasa yang tercermin dalam upacara pengusiran roh jahat di “meuwodide” (daerah suku Mee) Jhon (2004:34). Hal di atas ini memberikan gambaran tuturan dan pandangan hidup manusianya. Analisis etnografi tutur bertujuan melihat komponen makna yang berhubungan dengan peristiwa tutur yang hakikatnya mencerminkan pola ekspresi hidup dan pandangan terhadap suatu etnik (Spratley,1979).

(50)

tujuan yang ingin capai dalam peristiwa tutur. Act seguence (A) artinya “urutan tindak ujar”, jenis tindak tutur ujar dan isi ujaran kedua hal ini berhubungan dengan eksistensi wacana, media komunikasi, secara pemaparanya. Sifatnya adalah hubungan tindak pidana tutur, jenis tindak tutur pesan dan isi pesan.

Key (K) artinya “kunci”, mengandung pesan-pesan yang dapat ditangkap, misalnya nada, cara dan semangat. Instrumentalities (I) artinya “instrument”, yaitu jenis tindak tutur bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur, apakah lisan atau tulisan dialek atau bahasa baku. Norms of intraction and interpretation (N) artinya “norma intraksi dan interpretasi” mengacu pada norma yang berlaku dalam kelompok sosial pemakai bahasa dalam masyarakat. Genre (G) artinya “gaya” yang mengacu pada jenis tindak tutur penyampaian secara verbal puisi, nasehat, atau cerita dan lain-lain.

Penelitian ini akan menunjukan empat tahap pengusiran roh jahat yakni: (1) “teki-teki Kabu” (tahap persiapan), (2) “edoga kabu” (tahap pembukaan), (3) “yupi kabu” (tahap pertengahhan), (4) “mumai kabu” (tahap akhir).

Keempat tahap di atas ini mengambarkan dalam SPEAKING sebagai berikut:

(1) Peristiwa tutur dalam upacara persiapan terjadi sore hari. Suasana keluarga yang serius. Perintah, pertanyaan, dan tangapan dalam Bahasa Mee dikemukakan dalam upacara adat dan sesuai dengan keberadaannya. Peristiwa tutur berlangsung dalam jenis tindak tutur wacana verbal dan non-verbal.

(51)

mengungkapkan upacara ini. Sesuai dengan ekstensinya peristiwa tutur berlangsung dalam jenis tindak tutur wacana verbal dan non-verbal.

(3) Peristiwa tutur dalam upacara pertengahhan berlangsung siang hari. Suasana keluarga yang serius. Perintah, keluhan, permohonan, pemberitahuan pertanyaan dan tangapan dalam Bahasa Mee diutarakan dalam upacara ini. Sesuai dengan ekstensi wacana yang digunakan dalam peristiwa tutur yang bersifat verbal dan non-verbal.

(4) Peristiwa tutur dalam upacara tahap akhir terjadi siang hari dalam suasana keluarga yang serius. Perintah, tangapan dan pertanyaan dalam Bahasa Mee yang mengemukakan dalam upacara ini. Peristiwa tutur berlangsung dalam wacana verbal dan nonverbal.

2.2.3 Interpretasi Pragmatik

(52)

1) Prinsip Interpretasi lokal yaitu mengharuskan pendengar untuk melihat konteks yang terdekat. Misalnya, seorang pendengar dipersilahkan untuk menutup jendela, maka dia harus menutup jendela yang ada paling dekat dengan dirinya.

2) prinsip interpretasi analogi yaitu mengharuskan pembaca atau pendengar menginterpretasikan suatu teks atau tuturan berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. misalnya, seorang mahasiswa yang mau ikut rapat justru melihat ketua rapatnya masih berada di kantin. Lalu dia bertanya “lho kok masih di sini mas”?, kemudian dijawab “biasa jam karet” mahasiswa yang tadi membuat kesimpulan dari pengalaman yang pernah dialaminya bahwa setiap ada rapat sudah biasa waktunya “molor”.

Untuk menginterpretasikan interaksi antara penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar harus diperhatikan fenomena-fenomena pragmatiknya. Fenomena pragmatik sering juga disebut dengan piranti pragmatik yaitu unsur-unsur pragmatik yang dapat menjembatangi pemahaman segala sesuatu yang dibicarkan oleh penulis dan pembaca (Kartomiharjo,1989: 5; Siswo; 1995). Fenomena-fenomena pragmatik dijabarkan sebagai berikut:

2.2.3.1Referensi

(53)

dalam referensi adalah titik temu terhadap sesuatu yang diacu oleh suatu pembicaraan agar tidak terjadi salah tafsir atau salah pengertian.

Misalnya; A: Tadi pagi saya melihat Andi di kebun B: Saya juga melihatnya

Kata (saya) pada contoh kalimat yang pertama mengacu pada A, sedangkan kata “saya” pada kalimat yang kedua mengacu pada B.

Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca. Senada dengan pernyataan Djajasudarma (1994:51) bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Pernyataan demikian dianggap tidak berterima karena pemakai bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang paling tahu referensi bahasa yang diujarkanya.

(54)

2.2.3.2Inferensi

Setelah membicarakan refrensinya dalam bahasa juga terdapat kata ujaran inferensinya. Pendapat Kartomiharjo (dalam Rohmadi 2010: 58) pendengar atau pembaca belum tentu paham atau mengerti terhadap ujaran yang diucapkan oleh penulis sehingga pembaca atau pendengar hanya dapat mendengar suatu interpretasi melalui kesimpulan-kesimpulan dari ujaran penulis.

Contoh: A: adik-adik sangat senang ketika Yuli membagi-bagikan bekal makana. B: sayang gudegnya sedikit basi

Selanjudnya, ujaran di atas akan lebih jelas jika dijembatani inferensi sebagai berikut:

- Bekal makanan yang dibawa oleh Yuli lauknya gudeg komplit

- Inferensi di atas akan lebih mudah dimengerti oleh orang Jawa tengahh Yogyakarta karena gudeg komplit adalah makan khas Yogyakarta.

Sebuah pekerjaan bagai pendengar atau pembaca yang terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Menurut (George Yule 2006: 28) Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi. Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh seorang penulis “pembicara” (George Yule 2006: 28).

(55)

perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;

(1) Inferensi Langsung, inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari premisnya.

Contoh:

Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju baru, kadonya lagi belum ada”.Maka inferensi dari ungkapan tersebut:

bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya. Contoh:

Pohon yang ditanam pak Budi setahun lalu hidup. dari premis tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.

(2) Inferensi tak langsung, inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih premis. Proses akal budi memjenis tindak tutur sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.

Contoh: a : Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan. b : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.

Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut misalnya (C) berikut ini. c : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.

(56)

a : Saya melihat ke dalam kamar itu. b : Plafonnya sangat tinggi.

Sebagai missing link diberikan inferensi, misalnya: c : kamar itu memiliki plafon

2.2.3.3Praanggapan

Praanggapan Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam angapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.

Menurut George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.

Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat jenis tindak tutur bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-jenis tindak tutur bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

(57)

tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :

a : “Aku sudah membeli bukunya Pak Pranowo kemarin” b : “Dapat potongan 30 persen kan”?

Contoh: percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.

Gorge Yule (2006:46) mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual. 1) Presuposisi Esistensial

Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaangapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.

a. Orang itu berjalan b. Ada orang berjalan 2) Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit b. Dia sakit

(58)

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai jenis tindak tutur praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.

a. Dia berhenti merokok b. Dulu dia biasa merokok a. Mereka mulai mengeluh

b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh 4) Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

Contoh:

a. Saya membayangkan bahwa saya kaya b. Saya tidak kaya

5) Presuposisi Struktural

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.

Contoh:

a. Di mana Anda membeli sepeda itu? b. Anda membeli sepeda

(59)

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.

a. Seandainya saya kaya b. Bukan saya kaya 2.2.4 Mantra

Masalah kesusastraan di Indonesia tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat penduduknya. Dengan pertimbangan ini, peneliti telah melakukan pelaksanaan penelitian sastra Mee pada saat upacara adat untuk mendokumentasikanya. Pada bagian ini peneliti bermaksud untuk menjabarkan definisi dan ciri mantra, dan jenis mantra. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 2.2.4.1 Definisi dan Ciri Mantra

Mantra terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia yang hidup dalam masyarakat. Mantra juga berhubungan dengan sikap religious manusia. Bahasa mantra adalah perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka dsb. Mantra juga merupakan susunan kata berunsur puisi misalnya rima, irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2007:713).

(60)

Menurut Sudjiman (dalam Yusri Yusuf dkk 2001: 8) pemilihan kata dalam mantra dilakukan dengan cara lebih selektif, intensif, dan serius. Selanjutnya, pembaca mantra bukan sembarangan orang, ia harus orang yang paling suci, paling tahu tentang kekuatan supernatural dan yang paling berpengalaman (biasanya dikaitkan dengan usia) dari jenis tindak tutur mantra itu kemudian muncul puisi. Menurut Yusuf dkk (2001: 9) awalnya, mantra dan puisi itu mempunyai kesamaan dalam beberapa hal yaitu (1) berupa ungkapan yang terikat, (2) dipaparkan secara lisan, dan (3) disampaikan (diucapkan) oleh orang-orang tertentu.

Menurut Waluyo (1987: 8) dapat dirangkum dalam beberapa ciri-ciri pokok dari mantra, yakni: (1) Pemilihan kata saksama, (2) bunyi-bunyi diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (3) banyak dipergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; dan (4) jika dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis. Bunyi tersebut diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantra secara keras.

(61)

apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi Tuhan atau roh.

Mantra sering kali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantra itu. Yang di maksud pawang yaitu orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, penjinak ular dll (KBBI, 2007: 839). Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, ekspresi wajah, dan sebagainya. Menurut (KBBI, 2007: 839) mantra pitangan adalah mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya. Suku Mee juga selalu mengekspresikan bahasa mantra melalui upacara adat.

2.2.4.2 Jenis-Jenis Mantra

Menurut (Yusuf dkk 2001: 13) mantra dapat dibedakan atas beberapa jenis berdasarkan isinya yaitu:

1) mantra pengampunan;

2) mantra kutukan (kepada objek atau orang tertentu); 3) mantra keberkahan pada upacara tertentu;

4) mantra obat-obatan;

5) mantra untuk mendapatkan kekebalan atau kekuatan;

6) mantra untuk mendapatkan daya pengasih, pemanis, atau penggila; 7) mantra untuk menimbulkan rasa benci.

(62)

1) mantra permohonan kepada dewa atau Tuhan; 2) mantra penunduk roh halus;

3) mantra penunduk manusia; 4) mantra penunduk binatang; 5) mantra penunduk tumbuhan; 6) mantra penunduk gejala alam.

Menurut Soedjijono (dalam Yusuf dkk 2001: 14) mantra diklarifikasikan sebagai berikut:

1) mantra yang ditujukan kepada Tuhan, roh, dan makluk halus dengan tujuan mendapat sesuatu, antara lain: (a) keselamatan; (b) kekayaan; (c) kekebalan; (d) ketrampilan.

2) mantra yang ditujukan pada magis dengan tujuan memiliki sesuatu, antara lain: (a) charisma; (b) kawaskitan; (c) daya tarik; (d) Kesakitan; (e) Kekuatan fisik.

Pada masa lalu semua jenis mantra hidup di tengah-tengah masyarakat, tetapi pada masa kini di daerah tertentu hanya ada beberapa jenis mantra saja misalnya, di Papua mantra untuk melakukan kutukan, mantra kesembuhan, mantra keselamatan. Dewasa ini kebanyakan mantra ditujukan untuk mendapatkan penyembuhan, terutama yang berhubugan dengan gangguan mental dan pengusiran roh jahat yang dirasuki pada manusia.

2.2.5 Daya Bahasa

(63)

“Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa ternyata mampu memunculkan daya

bahasa”. Daya bahasa terdapat dalam tataran bunyi, bentuk kata, struktur,

leksikon, terutama pilihan kata dan wacana. Pranowo (2009: 132-138)

menyatakan bahwa daya bahasa dapat digali melalui enam tataran yaitu:

1) Daya bahasa terdapat dalam tataran bunyi. Bunyi bahasa dapat menunjukan

daya bahasa yang berbeda-beda. Kata yang mengandung daya bahasa yang

berkadar makna kecil, seperti “cicit”, “kecil”, muskil, kerikil, dll.

2) Daya bahasa dapat di gali melalui tataran bentuk kata. Kata-kata yang tidak

berafiks kadan kadan yustru memiliki daya bahasa yang lebih kuat ketika dipakai dibandingkan dengan kata berafiks. Misalnya, kata “babat” lebih kuat

daya bahasanya dibandingkan dengan kata “membabat”.

3) Daya bahasa digali melalui sinonim kata. Kata satu dengan kata lain

sinonimnya memiliki daya bahasa yang berbeda beda, seperti kata “mati atau

“meninggal” memili daya bahsa yang bersifat nomal.

4) Daya bahasa dapat muncul pada tataran struktur. Daya bahasa pada tataran

struktur memiliki kadar pesan yang berbeda antara struktur kalimat satu dengan struktur kalimat yang lain. Perhatikan contoh dibawah ini:

a. Aku memberi sepotong kue untuk pengemis yang kelaparan.

b. Sepotong kue yang kelaparan aku berikan untuk pengemis yang kelaparan.

5) Daya bahasa pada wacana dapat muncul ketika kesatuan makna

mengungkapkan kesatuan pesan. Pesan yang terungkap dari kesatuan makna tersebut muncul dalam bentuk wacana.

Gambar

Tabel 1.1 Masyarakat Tutur,
Tabel 2.2 Tindak Tutur
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Klien
Table 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hak ulayat dan yang serupa itu (tanah warga) dari masyarakat hukum adat, adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: pertama, larangan nikah satu suku di Komunitas Masyarakat Melayu Suku Ampu terjadi karena a masih tertanamnya kepercayaan bahwa orang

Hal ini sangat disayangkan karena pada penelitian ini Saweru dikategorikan sebagai bahasa yang berbeda dengan perolehan penghitungan dialektometri sebear >90%

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Peneliti berusaha menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap subjek penelitian yang berupa lirik lagu-lagu campursari

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan sapaan kekerabatan dalam tuturan masyarakat Kabupaten Batu Bara, Provinsi

Pada penelitian ini, peneliti akan mencoba menemukan prinsip komunikasi yang relevan dengan kondisi dilapangan sesuai dengan apa yang peneliti dapatkan dari hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengadaan pegawai baru dilaksanakan dengan cukup baik sesuai alokasi dan jumlah yang dibutuhkan namun masih kurang optimal

Namun pada kenyataannya masih sering dijumpai pelanggaran terhadap pandangan Leech ini, terlebih pada saat guru menerangkan materi dalam proses pembelajaran seperti halnya yang