• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MARIANA ZAINUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

MARIANA ZAINUN. The Ecotourism Development Strategy of Mount Lumut Protection Forest at Paser District East Kalimantan. Under direction of: RINEKSO SOEKMADI and M. BUCE SALEH.

Mount Lumut Protection Forest has high biodiversity, natural beauty scenery, and unique social culture that ecotourism is potentially to be developed there. The ecotourism development is an alternative of this site utilization that will benefit local community, as well as the government. This research is aimed at identifying internal and external factors of ecotourism development and to generate ecotourism development strategies at Mount Lumut Protection Forest, Paser District East Kalimantan. The research was performed in non-experimental method such as explorative descriptive, observation, and literature study. Mapping of the strategies is based on SWOT analysis throughout purposive sampling at four selected villages around the site, which comprise of 30 respondents at each village. The result revealed the Mount Lumut is appropriate for ecotourism recommendation and development. The SWOT analysis resulted weakness dominancy (-2,00) in internal strategy that was facilities and tourism services unavailability, meanwhile external strategy was dominated by opportunities (2,15) that was society participation eagerness. Both factors put ecotourism development at quadrant 3 (-0,39 ; 1,03) of Matrix Grand Strategy which mean though there was weakness but it also has opportunities to forward ecotourism organization and development at some point. Thus, services and facilities organization should be spotlighted and developed due to the strategy. Community and stakeholders involvement should be devoted in ecotourism development efforts.

(4)

MARIANA ZAINUN. Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan M. BUCE SALEH.

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas 35.350 ha. HLGL mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki cukup tinggi terutama dengan keberadaan flora dan fauna, vegetasi lumut, keindahan alam, (gunung, panorama alam); gejala alam (goa, sungai dan air terjun); serta budaya masyarakat yang unik.

Pengembangan ekowisata ini merupakan alternatif pemanfaatan kawasan agar keberadaannya dapat dirasakan, baik oleh masyarakat sekitarnya dan pemerintah setempat. Diharapkan segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang sifatnya negatif yang dilakukan masyarakat sekitarnya dapat ditekan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan ekowisata dan merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode non experimental yaitu deskriptif eksploratif, observasi dan studi pustaka. Pengambilan sampel masyarakat sekitar dan para stakeholder menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah responden 120 orang, dari 30 orang setiap desa yang dipilih sebagai sampel adalah Desa Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung dan Kasungai. Analisis dilakukan dengan analisis deskriptif dan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan HLGL memiliki potensi sumberdaya alam dan budaya yang potensial untuk dikembangkan sehingga dapat direkomendasikan bagi pengembangan ekowisata. Berdasarkan potensi permintaan dalam menunjang pengembangan ekowisata di HLGL perlu dilakukan penataan kelembagaan dan organisasi, sarana dan prasarana, aksesibilitas dan fasilitas.

(5)

menunjang pengembangan ekowisata. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait utamanya instansi dan pemerintah setempat guna pengembangan di masa mendatang dan menjadi bahan informasi bagi pengambil keputusan untuk pengembangan ekowisata di kawasan HLGL dimasa mendatang.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASER

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MARIANA ZAINUN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Gunung Lumut Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

Nama : Mariana Zainun N I M : E051060261

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Dengan penuh rasa syukur penulis mengucapkan Alhamdulillah atas limpahan rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian dan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih dan rasa penghargaan dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS., sebagai komisi pembimbing atas ketulusannya dalam memberikan bimbingan dan arahannya sejak awal penelitian hingga akhir penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji dan memberi masukan bagi penulisan tesis ini. 3. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu

Pengetahuan Kehutanan.

4. Petrus Gunarso Ph.D., selaku Ketua TBI-Indonesia The Mof Tropenbos Kalimantan Programme, selaku donatur dan fasilitator penelitian ini beserta seluruh stafnya.

5. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser beserta seluruh pegawai Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Bapedalda, Kesbanglimas Kabupaten Paser serta Kesbanglimas Samarindah, yang turut membantu kelancaran penelitian.

6. Bapak Dedi Armansyah (Pak Debang) selaku ketua Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Paser, Pak Jidan selaku ketua adat Dusun Muluy, Pak Semok selaku ketua adat Desa Rantau Layung, Bapak Kepala Desa Swanslutung, Kepala Desa Tiwei, Kepala Desa Rantau Layung serta Kepala Desa Kasungai serta masyarakatnya atas kerjasama yang baik selama kegiatan penelitian. 7. Doa dan terimakasih yang tiada terhingga penulis sampaikan teruntuk kedua

orang tua, semoga ALLAH SWT memberikan balasan kebaikan yang berlimpah segala pengorbanan yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan. Bapak H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu tersayang, dan Kakak Safia, Adik Nur Nila, Nur Oktamin, dan Ahmad Sainun, serta seluruh keluarga besar tercinta atas doa, dukungan semangat dan kasih sayangnya.

8. Bapak H. Kamilun dan Ibu Hj. Maryati Erni terkhusus Kakak Lukman Firdaus, ST., yang memberi doa dan dukungan yang selalu menyertai dan menjadi motivasi bagi penulis.

9. Rekan-rekan IPK angkatan 2006 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.

10. Teman-teman Mega Kost yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu, serta Ilham dan Sufina yang telah memberi dorongan dan semangat, motivasi kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dimana telah ikut membantu dalam penulisan tesis, penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Januari 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Desa Katukobari, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 21 Juni 1982 sebagai putri ke dua dari lima bersaudara dari Ayah H. Sainun La Saangu dan Ibu Hj. Sitti Wa Datu. Menamatkan pendidikan sekolah TK Darma Wanita 1 Mawasangka tahun 1988, dan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Mawasangka tahun 1994. Kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Mawasangka tahun 1997, dan lulus dari SMA Negeri 1 Mawasangka tahun 2000, hingga pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur UMPTN dan akhirnya lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2005.

(12)

Halaman

2.3 Pengembangan Ekowisata... 10

2.4 Ekowisata Sebagai Konsep ... 14

3.3 Tehnik Pengumpulan Data... 19

3.4 Tahap Pengumpulan Data ... 20

3.6.1 Analisis Potensi ODTWA sebagai Pengembangan - Ekowisata ... 22

3.6.2 Analisis Terhadap Masyarakat dan Permintaan Wisata - di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 22

3.6.3 Analisis Strategi Pengembangan... 22

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

4.1 Letak dan Luas ... 26

4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut... 27

4.3 Bentuk Lahan dan Topografi ... 28

4.4 Geologi dan Tanah ... 29

4.5 Iklim ... 30

4.6 Vegetasi... 30

(13)

4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna ... 31

4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat... 33

4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan ... 33

4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat Setempat 34 4.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat ... 35

5.1.3.4 Sarana dan Prasarana Hutan Lindung Gunung- Lumut (HLGL)... 59

5.1.4 Masyarakat Sekitar Kawasan ... 62

5.1.4.1 Karateristik Responden Masyarakat Desa ... 62

5.1.4.2 Persepsi Responden... 64

5.1.4.3 Partisipasi Responden ... 66

5.1.4.4 Saran dan Harapan Responden... 67

5.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sekitar - Kawasan ... 68

5.1.6 Kondisi dan Permasalahan Masyarakat Sekitar - Kawasan ... 69

5.2 Potensi Permintaan Wisata... 71

5.2.1 Permintaan Wisata di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 71

5.3 Strategi Pengembangan Ekowisata ... 72

5.3.1 Analisis SWOT ... 72

5.3.2 Matriks Internal-Eksternal ... 77

5.3.3 Posisi Strategi Pada Matriks Grand Strategi... 79

5.3.4 Rekomendasi Grand Strategi Pengembangan - Ekowisata Pada Kawasan Hutan Lindung Gunung - Lumut (HLGL)... 82

5.3.5 Rekomendasi Strategi Pengembangan Ekowisata pada- Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 83

VI KESIMPULAN DAN SARAN... 87

6.1 Kesimpulan ... 87

(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian... 19 2 Matriks SWOT ... 23 3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan- Ekowisata ... 24 4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan - Ekowisata ... 24 5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan -

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 34 6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung

Gunung Lumut (HLGL)... 34 7 Jumlah Anak Usia Sekolah di Kecamatan-Kecamatan yang ada -

di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Tahun 2006... 36 8 Jumlah Sekolah Pada Tiga Kecamatan di Sekitar Kawasan Hutan -

Lindung Gunung Lumut (HLGL) ... 36 9 Karateristik Responden Masyarakat Desa di Sekitar Kawasan Hutan -

Lindung Gunung Lumut (HLGL) ... 63 10 Persepsi Responden Terhadap Pengembangan Ekowisata di Kawasan-

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 64 11 Partisipasi Responden Terhadap Prospek Pengembangan Ekowisata-

di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL)... 67 12 Kawasan Wisata Sejenis Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) .... 72 13 Faktor Internal ... 77 14 Faktor Eksternal ... 78 15 Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan -

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran... 5

2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata... 11

3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata- Menuju Sustainable Ecotourism... 12

4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata... 12

5 Diagram Hipotetikal... 15

6 Peta Lokasi Penelitian ... 18

7 Model Matriks Grand Strategi... 25

8 Papan Pintu Masuk Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) 27 9 Air Terjun Une Berada di Kaki Gunung Lumut ... 41

10 Pemandangan Lepas... 42

11 Puncak Gunung Lumut ... 44

12 Air Terjun Tiwei ... 45

13 Air Terjun, Muara, dan Liang Nango ... 48

14 Goa Tengkorak... 50

15 Goa Loyang... 51

16 Anggrek di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ... 52

17 Flora di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ... 53

18 Kupu-Kupu di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ... 55

19 Lanjung ... 59

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Paser -

Provinsi Kalimantan Timur ... 93 2 Panduan Wawancara Dengan Pihak Terkait, Kabupaten Paser Provinsi- Kalimantan Timur ... 94 3 Panduan Wawancara Dengan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat-

(18)

1.1 Latar Belakang

Hutan di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat penting karena mencakup sebagian besar wilayah Indonesia dan menjadi paru-paru dunia. Hutan dengan segala potensi yang terdapat di dalamnya merupakan kekayaan yang harus dilestarikan sehingga dapat berguna secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat tanpa merusak ekosistem. Akan tetapi hal ini tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya sebab keberadaan hutan tidak lepas dari kegiatan masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar hutan. Interaksi tersebut sangat kompleks dan tergantung pada beberapa faktor antara lain: adat istiadat dan budaya masyarakat, jenis mata pencaharian, tingkat kesejahteraan penduduk, tingkat pendidikan dan tingkat pertumbuhan penduduk. Faktor lain yang turut mempengaruhi interaksi masyarakat adalah pemaknaan masyarakat terhadap keberadaan hutan.

Dalam konsideran Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa hutan di Indonesia berdasarkan fungsi pokoknya maka hutan di Indonesia dibagi menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Fungsi pokok hutan lindung adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah. Selanjutnya, Pasal 26 ayat 1 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung adalah pemanfaatan untuk wisata alam terutama minat khusus (ekowisata) yang harus dilakukan secara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan.

(19)

yang kewenangannya dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Paser. Pertimbangan utama HLGL berpotensi dijadikan sebagai obyek wisata adalah berbagai obyek daya tarik biofisik yang khas dan unik. Obyek-obyek itu berupa kelimpahan vegetasi lumut, keanekaragaman flora dan fauna, pemandangan alam, aliran sungai dan air terjun. Selain daya tarik tersebut, daya tarik sosial budaya masyarakat sekitarnya juga menjadi obyek ekowisata yang bernilai dan menarik.

Kawasan HLGL yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi di Indonesia, selain sebagai kawasan HLGL juga berperan memberikan manfaat secara ekologis bagi daerah-daerah sekitarnya. Salah satu manfaat tersebut adalah sebagai daerah tangkapan air bagi dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS Telake dan DAS Kendilo. Kedua DAS ini berperan penting bagi sebagian masyarakat Kabupaten Paser, yakni sebagai sumber air bagi kebutuhan masyarakat Tanah Grogot, Muara Komam, Long Iris dan Batu Sopang (Tropenbos International Indonesia 2006).

Selain memberikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian daerah, HLGL juga memungkinkan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan setempat jika pengelolaannya tidak direncanakan secara baik dan melibatkan peran serta dan dukungan aktif masyarakat setempat. Terkait dengan rencana pemanfaatan kawasan HLGL sebagai suatu obyek ekowisata maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui berbagai potensi dan prospek pengembangannya, sehingga dapat disusun strategi pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan ekowisata di HLGL diharapkan tidak bertentangan dengan fungsi utamanya sebagai hutan lindung.

1.2 Perumusan Masalah

(20)

sekitar kawasan memanfaatkan kawasan HLGL sebagai lahan untuk tempat mereka menggantungkan hidupnya.

Dalam upaya pengembangan ekowisata di HLGL diperlukan suatu penelitian terhadap komponen-komponen Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) dan budaya masyarakat sekitarnya agar dapat disusun suatu rencana pengembangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan dengan tetap menjaga status kawasan HLGL sebagai hutan lindung. Dengan demikian diharapkan manfaat ekowisata di kawasan dapat diperoleh secara optimal, yaitu secara ekonomis memberikan keuntungan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar dan secara ekologis, sumber daya alam yang ada tetap dilindungi dan tetap terjamin kelestariannya. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut, “Bagaimana Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur?”.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor intenal dan eksternal pengembangan ekowisata di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

2. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Propvinsi Kalimantan Timur.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelola kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dalam pengembangan ekowisata HLGL Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.

1.5 Kerangka Pemikiran

(21)

di HLGL Kabupaten Paser melalui pengelolaan wisata. Kondisi yang sudah ada yakni bahwa pengembangan ekowisata di kawasan HLGL Kabupaten Paser sampai saat ini masih belum optimal. Meskipun potensi wisata alam kawasan tersebut sangat tinggi dengan kekayaan flora, fauna yang khas dan unik yang didukung oleh kekhasan budaya masyarakat sekitarnya, namun jumlah wisatawan yang berkunjung sangat rendah dan terbatas. Dengan demikian, diperlukannya rumusan strategi pengembangan kawasan tersebut menjadi kawasan bernilai jual wisata yang tinggi tetapi tetap menjaga keaslian lingkungannya.

Faktor-faktor dalam manajemen pengembangan ekowisata sebagai berikut: 1. Faktor-faktor supply (ODTWA) berupa potensi biofisik dan budaya

2. Faktor-faktor demand (potensial) berupa permintaan wisata di kawasan HLGL 3. Faktor-faktor penunjang berupa akomodasi, fasilitas, aksesibilitas, dan sarana

prasarana serta dukungan para pihak terkait (stakeholder). Faktor-faktor tersebut dianalisis dengan menggunakan metode SWOT untuk mendapatkan rumusan strategi pengembangan ekowisata.

Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka ruang lingkup penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Inventarisasi potensi ODTWA di kawasan HLGL

2. Analisis terhadap budaya masyarakat lokal yang meliputi karateristik, persepsi, partisipasi, harapan serta motivasi terhadap kegiatan wisata di masa mendatang, dan permintaan wisata di kawasan HLGL terhadap pengembangannya menjadi kawasan ekowisata.

(22)

Untuk mengetahui strategi pengembangan ekowisata HLGL dilakukan analisis SWOT. Secara skematis konsep pemikiran dimaksud disajikan dalam kerangka pikir pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran. Faktor supply

ODTWA HLGL, potensi biofisik dan

budaya

Faktor penunjang aksesibilitas, sarpras dan

dukungan stakeholder

Pengelolaan Ekowisata HLGL

Faktor demand

ANALISIS SWOT

(23)

2.1 Hutan Lindung

Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada mahluk hidup, pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan pada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono 2004).

Adapun kriteria dari kawasan hutan lindung menurut PP No. 44 tahun 2004 pasal 24, dengan memenuhi syarat dibawah ini:

1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih (Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980);

2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapang 40% (empat puluh per seratus) atau lebih;

3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut;

4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dan lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus);

5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan 6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

(24)

pasar setempat serta memperbaiki sarana angkutan dan komunikasi (Mackinon et al. 1993).

Lebih lanjut Avenzora (2004) menyatakan bahwa keberadaan kawasan lindung dapat menjaga kualitas kawasan lindung tersebut dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Karenanya, pengembangan wisata alam di hutan lindung merupakan solusi terbaik untuk mencapai pendapatan daerah optimum bagi Kabupaten.

Tujuan pengelolaan hutan lindung adalah perlindungan kawasan untuk mencegah terjadinya erosi, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan. Prinsip pengelolaan hutan lindung adalah pendayagunaan fungsi hutan lindung untuk kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan dan penangkaran, penyediaan plasma nutfah untuk kegiatan budidaya dan masyarakat setempat, wisata alam, pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan, penelitian dan wisata alam diupayakan sedemikian rupah agar tidak mengurangi luas dan tidak merubah fungsi kawasan (Ngadiono 2004).

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/ Kpts/DJ-VI/1996 meliputi: (1) Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung

meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumber daya air, (2) Pemancangan dan pemeliharaan batas, (3) Perlindungan dan pengamanan

fungsi ekosistem dan kawasan, (4) Rehabilitasi hutan yang rusak, (5) Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan dan (6) Peningkatan peran serta masyarakat (Ngadiono 2004).

(25)

penyelamatan hutan dan lingkungan.

Untuk pengelolaan hutan lindung dapat dibangun sarana-prasarana yang meliputi sarana pokok dan sarana pengembangan pariwisata terbatas. Sarana prasarana pokok pengelolaan hutan lindung meliputi kantor pengelola, pusat informasi, pondok kerja/jaga/penelitian, jalan patroli, menara pengawas kebakaran, plot-plot pengamat erosi, peralatan klimatologi, peralatan pengukur erosi/abrasi dan pengamat air, kandang satwa, peralatan navigasi, peralatan komunikasi, peralatan transportasi, serta peta dasar dan peta kerja. Sarana prasarana untuk pengembangan wisata meliputi pembangunan jalan setapak dan perlengkapan wisata terbatas. Untuk kegiatan pengembangan ekowisata di hutan lindung terdiri dari pelayanan pengunjung, pemanduan dan interpretasi, pusat informasi, toko souvenir (souvenir shop), toilet dan MCK (mandi cuci kakus), pemeliharaan sarana, pemeliharaan kebersihan, hubungan dengan instansi lain dan masyarakat, promosi dan informasi, pengembangan ekowisata, keamanan pengunjung, parkir kendaraan, pelayanan penelitian, operasi radio dan pendidikan staf pengelola (Ngadiono 2004).

2.2 Ekowisata

Ekowisata diperkenalkan pertama kali oleh Ceballos-Lascurain (1983) yang mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kunjungan ke daerah-daerah yang masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan satwa liar serta budaya (baik masa lalu maupun sekarang) yang ada di tempat tersebut.

Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Ceballos-Lascurain setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masing-masing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999).

Hafild (1995) dalam Kesuma (2000), menyatakan bahwa ekowisata mempunyai 3 dimensi, yaitu:

(26)

2. Pendidikan: wisatawan yang mengikuti wisata tersebut akan mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai keunikan biologis, ekosistem dan kehidupan sosial di kawasan yang dikunjungi.

3. Sosial: masyarakat mendapat kesempatan untuk menjalankan kegiatan tersebut.

Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Weber dan Damanik 2006).

Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.

Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood, 1999 dalam Fandelli 2000), menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya, (2) Pendidikan konservasi lingkungan, (3) Pendapatan langsung untuk kawasan, (4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (5) Meningkatkan penghasilan masyarakat, (6) Menjaga keharmonisan dengan alam, (7) Menjaga daya dukung lingkungan dan (8) Meningkatkan devisa buat pemerintah.

Kusler (1991) menyatakan bahwa untuk pengembangan ekowisata perlu didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana seperti jalan, penginapan, transportasi kerjasama pemerintah dengan pihak swasta serta promosi dan publikasi oleh berbagai instansi terkait.

(27)

hasil-hasil kajian dan tuntutan obyektif di lapangan, batasan ekowisata nasional dirumuskan sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta kawasan budaya.

2.3 Pengembangan Ekowisata

Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2002).

Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil kerja sama antara Stakeholders yaitu:

1. Dibangun berdasarkan budaya masyarakat lokal;

2. Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal;

3. Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi kepada penduduk asli;

4. Mengkaji masyarakat lokal;

5. Ada keterkaitan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi;

6. Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil; 7. Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan; dan

(28)

Gambar 2 Alur Pikir Pengembangan Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2003).

Sedangkan keberhasilan ekowisata bergantung pada beberapa hal. Keberhasilan tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor struktural antara lain:

1. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti potensi daerah untuk pengembangan ekowisata, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian lingkungan dan partisipasi penduduk lokal.

2. Faktor eksternal merupakan faktor kunci yang berasal dari luar ekowisata tersebut, seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan penelitian atau pendidikan di wilayah ekowisata untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan masyarakat lokal.

3. Faktor struktural adalah faktor yang berhubungan dengan kelembagaan, kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan ekowisata.

Potensi objek wisata, sarana dan prasarana, aksesibilitas lokasi wisata serta kualitas pelaku wisata

Prinsip-prinsip

(29)

Ketiga faktor di atas tersebut adalah faktor penentu keberhasilan, tetapi di sisi lain ketiga faktor tersebut juga dapat menjadi kendala bagi pengembangan ekowisata.

Gambar 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Menuju Sustainable Ecotourism (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).

Untuk mencapai ekowisata yang berkelanjutan diperlukan memonitoring dan evaluasi dari pelaksanaan ekowisata. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, monitoring kedalam dilakukan oleh pengelola sendiri sedangkan eksternal dilakukan oleh pihak luar, seperti: masyarakat, LSM dan lembaga independen lainnya (Hidayati et al. 2003).

Gambar 4 Monitoring dan Evaluasi Dalam Ekowisata (modifikasi dari Hidayati et al. 2002).

Faktor Internal:

1. Potensi daerah wisata 2. Pengetahuan operator

ekowisata

(30)

Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam taraf wacana. Hal ini diindikasikan dengan belum terbitnya secara tersendiri peraturan perundangan untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata masih mengacu pada peraturan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan konservasi, seperti dalam hal dan pembangunan sarana-prasarana yang mengikuti ketentuan untuk wisata alam, yaitu: (Hidayati et al. 2003).

1. Sarana-prasarana dibangun di zona pemanfaatan dan tidak boleh melebihi 10% dari luas keseluruhan zona yang ada,

2. Tidak merubah bentang alam, 3. Menggunakan arsitektur setempat,

4. Tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk.

Pengembangan ekowisata berpengaruh positif pada perluasan peluang usaha dan kerja. Peluang usaha dan kerja lahir karena adanya permintaan wisatawan. Dengan demikian kedatangan wisatawan kesuatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pengusaha hotel, wisma homestay, restoran, warung, angkutan, dagang asongan, sarana olah raga, jasa dan lain-lain. Peluang usaha tersebut akan memberikan kesempatan kepada masyarakat hutan untuk bekerja sehingga dapat menambahkan pendapatan untuk menunjang kehidupan rumah tangganya.

Sedangkan dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga mencerminkan dua prinsip lainnya yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata. Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan prilaku seseorang menjadi milik kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Sedangkan prinsip wisata bahwa pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

(31)

karenanya prinsi-prinsip ekowisata harus dipenuhi dalam pengembangan ekowisata.

2.4 Ekowisata Sebagai Konsep

Batasan ekowisata secara nasional dirumuskan oleh kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata Nasional adalah suatu "konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya" (Sekartjakrarini dan Legoh 2004).

Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan didasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu: Pertama, ketergantungan pada kualitas sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kedua, melibatkan masyarakat. Ketiga, meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat, tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kelima, sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan (Wall 1995). Dengan kata lain, ekowisata menawarkan konsep low invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal.

(32)

bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan daerah tujuan wisatawan yang baru (Inskeep 1991).

Peranan pemerintah kemudian mulai terbentuk setelah proses pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukkan kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata.

Untuk dapat melihat gambaran yang lebih utuh mengenai perkembangan sebuah kawasan wisata dapat dilihat pada Gambar 5.

visitasi kawasan baru kontrol lokal pengembangan intitusi

rejuvenation

stagnasi konsolidasi penurunan

pembangunan

eksplorasi keikutsertaan waktu

Sumber: (Cooper et al. 1993).

Gambar 5 Diagram Hipotetikal (tourism area life cycle-TALC).

Untuk dapat melihat dampak dari pengembangan ekowisata terlebih dahulu perlu diperlihatkan hal-hal yang telah teridentifikasi dari perencana pengembangan ekowisata karena hal ini akan menyangkut kelangsungan pertumbuhan kawasan wisata dan juga tentunya akan menyangkut kelangsungan para pelaku wisata yang berada dalam kawasan tersebut, diantaranya:

1. Volume atau jumlah wisatawan

2. Karateristik wisatawan dengan kebutuhannya

3. Tipe dari aktifitas wisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan wisata beserta dengan variasi wisata yang mungkin dilakukan

4. Struktur masyarakat yang berada pada kawasan wisata tersebut 5. Daya dukung lingkungan

6. Kemampuan masyarakat untuk dapat mengadaptasi dari berkembangnya kepariwisataan

(33)

8. Pengelolaan kawasan yang terpadu (Wall 1995).

2.5 Masyarakat Sekitar Hutan

Telah kita ketahui bersama bahwa hutan ialah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lalu. Hutan memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan. Pada awal keberadaan manusia, hutan merupakan tempat bermukim, sekaligus sebagai sumber bahan makanan. Tetapi dengan adanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, fungsi tradisional dari hutan mengalami perubahan yang sangat berarti dengan penekanan pada fungsi ekonomi.

Keberadaan hutan memang membawa makna tersendiri bagi masyarakat terutama masyarakat disekitar kawasan hutan. Hubungan ekologis antara hutan dan manusia erat sekali dan tidak dapat dipisahkan lagi meski dengan kekuatan apapun, karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat bagi sekitar kawasan hutan maupun yang jauh dari jangkauan pengaruh langsungnya (Komar, 1982 dalam Suryadin 1993).

(34)

2.6 Strategi

Strategi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya, konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama 30 tahun terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh Chandler (1962) dalam Rangkuti (2004) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut.

(35)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian berlangsung selama 3 bulan yaitu bulan Maret-Mei 2008.

Penelitian yang dilakukan dibatasi hanya pada desa yang dipilih sebagai sampel adalah Desa Swanslutung (Kecamatan Muara Komam), Desa Tiwei (Kecamatan Long Ikis) dan Desa Rantau Layung serta Desa Kasungai (Kecamatan Batu Sopang). Pemilihan dari empat desa dari tiga kecamatan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa keempat desa merupakan desa yang memiliki akses terdekat menuju kawasan HLGL.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.

3.2 Metode Pengumpulan Data

(36)

guna mengumpulkan data yang diperlukan. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian

3.3 Tehnik Pengumpulan Data

Pengambilan sampel responden masyarakat dilakukan dengan purposive sampling (sengaja), yaitu anggota masyarakat yang tinggal disekitar kawasan dan memiliki akses terdekat menuju kawasan, merupakan kepala keluarga dan memiliki usaha atau keinginan berusaha dibidang wisata khususnya ekowisata. Pengambilan secara purposive ini diartikan sebagai pengambilan responden sesuai dengan keadaan yang dikehendaki (Nazir 1983). Jumlah pengambilan responden masyarakat secara keseluruhan 120 (seratus dua puluh) orang yang terdiri dari 30

No. Kegiatan Jenis Data Sumber Data

1. Jenis atraksi ODTWA, budaya masyarakat yang mendukung kegiatan ekowisata yang ada di kawasan tersebut

2. Identifikasi faktor pendukung seperti akomodasi, fasilitas, aksesibilitas dan sarpras

3. Kondisi biologis untuk flora dan fauna

4. Demand wisata

5. Persepsi stakholder dan masyarakat tentang kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

6. Identifikasi Rencana pengembangan ekowisata yang

1. Keadaan umum kawasan HLGL, yang terdiri dari letak, luas wilayah, status kawasan, kondisi iklim, curah hujan, suhu, topografi, tanah, kondisi geologi, kelerengan, dan hidrologi

2. Profil desa yang ada di sekitar kawasan HLGL

3. Profil HLGL yang ada didalam HLGL (Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisarta dan Budaya)

4. Peraturan Perundang-undangan dan kegiatan yang mendukung ekowisata di HLGL

3 Analisis Data 1. Analisis Deskriptif 2. Analisis SWOT

Hasil observasi Studi Literatur

(37)

(tiga puluh) orang pada setiap desa, dari empat desa dengan tiga kecamatan yang menjadi sampel. Untuk wawancara mendalam dilakukan kepada pihak-pihak yang berkompoten dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menyusun strategi pengembangan ekowisata. Adapun yang dipilih sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah pengelola kawasan HLGL, TBI-Indonesia, dan sejumlah dinas serta institusi terkait di Kabupaten Paser yakni Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bappeda, Bapedalda, dan Masyarakat sekitar kawasan. Purposive sampling dapat dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu yang disarankan pada tujuan penelitian. Sedangkan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kondisi masyarakat sekitar HLGL Kabupaten Paser dilakukan wawancara terhadap beberapa perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum.

1.4 Tahap Pengumpulan Data

(38)

1.4.1 Studi Pustaka atau Literatur

Studi pustaka adalah kegiatan mengumpulkan berbagai data penunjang meliputi laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, peraturan perundangan, peta dan bentuk publikasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Data yang dikumpulkan terutama mengenai kondisi umum kawasan HLGL saat ini.

3.4.2 Pengamatan Lapangan

Pengamatan langsung di lapangan atau observasi merupakan metode pengumpulan data pokok yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi potensi wisata dilokasi penelitian. Unsur-unsur yang diamati antara lain pengamatan terhadap flora dan fauna, gejala alam serta keunikannya dan akomodasi, aksesibilitas, infrastruktur serta fasilitas, kearifan lokal, kegiatan spiritual dan budaya serta adat istiadat dari masyarakat sekitar.

3.4.3 Wawancara

Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan kuesioner, dengan sasaran masyarakat yang terdapat di kawasan HLGL. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan data pokok di lapangan, yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lanjut mengenai kawasan penelitian dan kesiapan pengelola dan berbagai pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan ekowisata di kawasan HLGL. Data sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuesioner berisi pertanyaan mengenai (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, asal desa, karateristik, persepsi dan partisipasi. Selain itu, wawancara dan penyebaran kuesioner juga diberikan kepada stakeholders yang terkait dengan kegiatan penelitian ini.

1.5 Pengolahan Data

(39)

yang dapat digali di Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur.

3.6 Analisis Data

Metode analisis data adalah metode analisis deskriptif. Data yang diperoleh dikumpulkan, diolah dengan cara tabulasi data dan kemudian dianalisis sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

3.6.1 Analisis potensi ODTWA sebagai pengembangan ekowisata

Analisis potensi pada kawasan HLGL Kabupaten Paser yang berhubungan dengan sumberdaya alam hayati (flora dan fauna), keindahan alam, adat istiadat, budaya, sarana dan prasarana penunjang. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui potensi sumberdaya di HLGL Kabupaten Paser.

3.6.2 Analisis terhadap masyarakat dan permintaan wisata di kawasan HLGL

Analisis terhadap masyarakat ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat atas rencana pengelolaan dan permintaan wisata di kawasan HLGL terhadap kegiatan pengembangan ekowisata dengan keadaan umum HLGL Kabupaten Paser. Analisis ini meliputi: karakteristik persepsi, partisipasi, motivasi dan saran serta harapan masyarakat setempat.

1.6.3 Analisis Strategi Pengembangan

(40)

Matriks SWOT yang akan digunakan untuk analisis ini, disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Matriks SWOT

Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportunities) SO WO

Ancaman (Threats) ST WT

Dalam matriks analisis SWOT pada Tabel 2, akan dihasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategi untuk membuat rencana pengembangan ekowisata kawasan HLGL. Keempat set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, adalah: 1. Strategi SO : strategi ini dibuat berdasarkan jalan pemikiran untuk

memanfaatkan seluruh kekuatan guna merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2. Strategi ST : strategi di dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.

3. Strategi WO : strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Analisis ini merupakan suatu strategi pengembangan ekowisata yang sesuai dengan harapan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat lokal secara berkelanjutan.

Formulasi strategi ini disusun berdasarkan analisis yang diperoleh dari penerapan model SWOT dengan tahap-tahap yang dilakukan untuk menyusun strategi sebagai berikut:

a. Penentuan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) di dalam menyusun strategi pengembangan ekowisata

b. Penentuan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) di dalam menyusun strategi pengembangan ekowisata

(41)

Tabel 3 Rangkuman Matriks Internal Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan Ekowisata

Faktor Internal Bobot Rating Skor Keterangan

1 2 3 4 5

1. Kekuatan 2. Kelemahan

Jumlah

Tabel 4 Rangkuman Matriks Eksternal Peluang dan Ancaman Pengembangan Ekowisata

Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan

1 2 3 4 5

1. Peluang

2. Ancaman

Jumlah

Untuk pengisian Tabel, baik tabel internal maupun tabel eksternal (Tabel 3 dan Tabel 4) dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Melakukan pengisian di dalam kolom 1 (berbagai peluang dan ancaman dan kekuatan dan kelemahan).

2. Melakukan pembobotan pada kolom 2, dengan skala mulai dari angka 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting). Semua bobot jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00.

3. Melakukan rating pada kolom 3, dengan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor).

4. Pada kolom 4 akan diperoleh nilai tertimbang yang merupakan hasil perkalian bobot dengan rating. Faktor tersebut merupakan penetapan skor (scooring) untuk menjawab hasil bobot dikalikan dengan rating.

5. Memberikan komentar atau catatan pada kolom 5 mengenai alasan dipilihnya faktor tersebut.

(42)

Strategi di gunakan untuk menentukan apakah pihak yang berkepentingan (pengelola) akan memanfaatkan posisi yang kuat atau mengatasi kendala yang ada.

Sel 3 Sel 1

Sel 4 Sel 2

Gambar 7 Model Matriks Grand Strategi. Keterangan :

Sel 1 = Mendukung strategi yang agresif, konsep strategi pada sel ini adalah pengembangan ekowisata pada segmen tertentu secara intensif dan lebih luas.

Sel 2 = Mendukung strategi diversifikasi seperti pengembangan berbagai paket wisata dengan pola partisipasi.

Sel 3 = Mendukung strategi turn around dengan orientasi putar haluan. Salah satu strategi yang diajukan adalah dengan membuka kerjasama dengan seluruh stakeholder dan memberikan berbagai intensif.

Sel 4 = Mendukung strategi defensif, dengan meningkatkan pelayanan pengunjung.

Berbagai Peluang

Kelemahan Internal

Kekuatan Internal

(43)

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) berada dalam Wilayah Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Seacara geografis, kawasan ini terletak diantara 1160 02’ 57’’-1160 50’ 41’’ Bujur Timur dan 010 13’ 08’’ dan 010 45’ 33’’ Lintang Selatan, dengan memiliki luas kawasan sebesar 35.350 ha. Secara administratif pemerintahan, kawasan ini berada di Wilayah HLGL mencakup kedalam empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Muara Komam, Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Batu Sopang, dan Kecamatan Long Kali, dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur (Simorangkir 2006).

Batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) menurut BPPS Kabupaten Paser 2007; Dinas Kehutanan Kalimantan Timur 2002. Sebelah Utara : Desa Kepala Telake Kecamatan Long Kali

Sebelah Timur : Desa Muara Lambakan Kecamatan Long Kali, Desa Belimbing dan Desa Tiwei, masuk Kecamatan Long Ikis, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa Pinang Jatus, masuk Kecamatan Batu Sopang

Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung yang mencakup masuk pada Kecamatan Batu Sapong

Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa Prayon, Desa Longsayo, dan Desa Swanslutung yang meliputi wilayah Kecamatan Muara Komam.

(44)

Gambar 8 Papan Pintu Masuk Kawasan HLGL.

4.2 Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan lindung yang berada di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak diarah timur laut Tanah Grogot ibukota Kabupaten Paser yang berjarak kurang lebih ± 84 km dari Penajam Paser Utara. Suatu kawasan hutan yang telah didiami oleh masyarakat Paser dan masyarakat Dayak Paser secara turun temurun dan mencapai 13 generasi. Dinamakan Gunung Lumut karena tumbuhan lumut tersebar secara melimpah pada batang pepohonan maupun permukaan batu-batuan yang ada di kawasan gunung tersebut. Secara tradisional wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (hak ulayat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dengan 1 dusun berada dalam kawasan di tiga kecamatan. Batas antar hak ulayat di kawasan tersebut menggunakan sarana-sarana alam yakni daerah aliran sungai atau perbukitan, seperti sungai pias, sungai tiwei, sungai Muluy, dan kasunge (Saragih 2004, diacu dalam Irma Nur Hayati 2006).

(45)

26 Januari-16 Maret 1986 dilakukannya penataan batas-batas wilayah kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, dan dikukuhkan oleh menteri Kehutanan RI tanggal 5 Januari 1987 dengan luas kawasan 35.350 Ha, berdasarkan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan (Departemen Kehutanan Kalimantan Timur 1986 dan 2002. Hingga saat ini kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut berada dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur (Surbakti 2006).

Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Paser yaitu pada tahun 1986, 1990 dan 2003, dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575 meter.

Kawasan HLGL dewasa ini dipandang sebagai salah satu kawasan yang mempunyai potensi wisata. Kondisi hutannya dipandang masih asli, dengan ditemukannya pula berbagai macam flora dan fauna serta berbagai obyek wisata lainnya seperti air terjun, sungai, dan pemandangan alam puncak Gunung Lumut di kawasan ini ditemukan pula pemukiman tradisional suku muluy. Dengan potensi wisata ini maka pihak dinas pariwisata Kabupaten Paser merencanakan untuk mengelolahnya sebagai daerah tujuan wisata minat khusus ekowisata, terutama untuk wisata penelitian (Dinas Pariwisata Kabupaten Paser 2008).

4.3 Bentuk Lahan dan Topografi

Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan daratan berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam enam subsistem lahan, yaitu: 1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian

barat, mempunyai pola drainase trellis;

2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola drainase dendritik;

3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis;

(46)

5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut kebarat daya, mempunyai pola drainase karstik; dan

6. Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat dibagian utara, mempunyai pola drainase rectangular.

Keadaan topografi kawasan tersebut bergelombang sedang sampai berat. Sungai-sungai yang terdapat didaerah ini adalah sungai anjur, sungai kendilo, sungai kasunge, sungai muluy, dan sungai prayan. Secara umum kawasan HLGL memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8%) dan bergelombang (8-15%), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 ha (45.18%) dan (19.69%) yaitu dengan luas 1.160 ha. Ciri fisiknya berupa wilayah berbukit-bukit sampai berlereng terjal dengan udara yang sangat sejuk. Wilayah HLGL memiliki ketinggian tempat lebih dari 400 meter dari permukaan laut dengan memiliki ketinggian puncak Gunung Lumut 1.233 m dpl dengan kemiringan 450 puncak gunung lumut selalu diselimuti kabut dan suhu udara sangat dingin yang menyebabkan kondisi kawasan HLGL selalu basah. Di puncak gunung lumut terdapat hamparan batu-batuan yang membentuk relief yang menarik.

4.4 Geologi dan Tanah

Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur (1981), keadaan geologi kawasan HLGL minimal tersusun dari tiga formasi buatan yakni Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed (batuan paleogen, pra tersier, tak dibedakan dan batuan basah). Berdasarkan Peta Repprot atau jenis tanah (1983) terdapat 2 jenis tanah utama, yaitu Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi batuan sedimen yang mengandung mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari dua kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults (Pribadi et al. 2005).

(47)

4.5 Iklim

Berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, kawasan HLGL memiliki tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika (nilai Q : 0,00) (klasifikasi Schmidh dan Ferguson, 1951). Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan dengan nilai: 0,33 (agak basah) dan 1,00 (agak kering). Temperatur udara berkisar antara 240C-270C dan kelembaban 80%-90%. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut, sedang musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup dari arah timur.

4.6 Vegetasi

Keanekaragaman ekosistem di kawasan HLGL sangat tinggi dan keadaan vegetasi hutannya masih baik dan relatif utuh. Kondisi umum vegetasi dikawasan HLGL tergolong hutan hujan tropis yang didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari suku Dipterocarpaceae, antara lain meranti merah (Shorea spp) keruing (Dipteracarpus spp), bangkirai (Shorea laevis), meranti putih (Shorea spp), kapur (Dryobalanops spp), ulin (Eusideroxylon zwagerii), sungkai (Peronema canescens).

4.7 Hidrologi

(48)

adalah Sungai Kendilo dengan anak Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya di jumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0,5 km-2,0 km diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan dan sebagainya.

4.8 Keanekaragaman Flora dan Fauna

Pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai sampai dengan pohon. Jenis Sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya juga termasuk sarang burung walet (Aipassa 2004).

(49)

tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea), tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis), dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan atau juga (babi, kijang, musang, kukang, macan dahan, dan masih banyak lagi), Untuk jenis mamalia primata diantaranya berbagai jenis satwa liar kelompok mamalia yang ada, selain monyet hitam, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah (Presbytis rubicunda), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus), dan dijumpai pula jenis primata yakni Owa/kelawot (Hylobates meulleri).

Owa/kelawot ditemukan pada beberapa habitat tertentu, khususnya komunitas hutan primer. Jenis ini merupakan jenis yang peka terhadap ganggoan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut. Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawot (Hylobates muelleri).

(50)

4.9 Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Ditinjau dari struktur masyarakat wilayah kawasan HLGL sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan di tiga kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai Pias, Sungai Tiwei, Sungai Muluy, Sungai Kasunge (Saragih 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung yang bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. (Wahyuni, at al. 2004).

4.9.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan

(51)

Tabel 5 Jumlah Penduduk yang Mendiami Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

Kecamatan/desa

luas

wilayah Penduduk Jumlah

L P

Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

Desa-desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan HLGL adalah Swanslutung, Tiwei, Rantau Layung, Kasungai. Kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut relatif rendah. Hal ini terlihat dari luas wilayah desa serta jumlah penduduknya, seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Kepadatan Penduduk Desa-Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

No. Nama Desa Luas Wilayah (km2)

Jumlah Penduduk Ruang gerak person (person/km2) Sumber : Statistik Kabupaten Paser tahun 2006.

4.9.2 Mata Pencaharian dan Ekonomi Masyarakat setempat

(52)

digunakan secara turun temurun (bersifat tetap). Setiap rumah tangga memiliki lahan pertanian dengan luas antara 1-2 hektar.

Selain mempunyai sumber hidup dari bertani lahan kering, mereka juga memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai hasil hutan disekitarnya. Misalnya, dengan menjual buah-buahan durian hutan, madu, rotan, menjual daging hasil berburuh hewan hutan (daging kijang) dan mendulang emas pada sungai-sungai yang ada di sekitarnya.

Sebagian kecil masyarakat menggeluti pekerjaan lain seperti pegawai negri sipil, karyawan perusahaan, pedagang, buruh, tukang ojek sepeda motor, pengelolah rumah makan dan pengrajin souvenir. Secara umum, rata-rata pendapatan per kapita masyarakat setempat 750 ribu rupiah/bulan.

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan, baik itu dari wilayah hutan lindung (HL) maupun dari hutan di sekitar HA (Hutan adat). Obat-obatan dan upacara adat, masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan protein hewani dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

1.9.3 Kondisi Pendidikan Masyarakat

(53)

Tabel 7 Jumlah anak usia sekolah di kecamatan-kecamatan yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tahun 2006

Kecamatan

jumlah anak SD

Jumlah anak usia SLTP (13 - 15 thn)

Jumlah anak usia SLTA (15 - 19 thn)

Sumber : Kabupaten Paser Dalam Angka, 2007, (data diolah)

Berdasarkan Tabel 7, tampak bahwa untuk anak usia SLTP dari total 4053 anak terdapat 18,01% anak tidak sekolah. Sedangkan untuk anak usia SLTA, dari total 7768 anak terdapat 83,51% anak tidak sekolah. Dari data ini, tampak bahwa partisipasi sekolah untuk anak usia SLTA sangat rendah. Khusus untuk Kecamatan Muara Komam, dari 1045 anak usia SLTA tidak ada satu orang pun yang sedang mengikuti pendidikan di tingkat SLTA.

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, anak-anak usia SLTP lebih dominan menyelesaikan pendidikannya sampai di tingkat SLTP, bahkan tidak menamatkan jenjang pendidikan tersebut. Mereka lebih memilih meninggalkan bangku pendidikan dan menggeluti dunia kerja sebagai buruh dan petani. Hal ini terjadi karena, pertama sarana pendidikan (sekolah) yang masih kurang (Tabel 8). Kedua, jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi sekolah relatif jauh, bahkan ada yang harus menyeberangi sungai. Sedangkan untuk jarak tempuh dengan menggunakan sarana angkutan darat, hal ini terbentur dengan tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai. Ketiga, anak-anak cenderung dilibatkan secara aktif untuk mencari nafkah keluarga (bertani).

Tabel 8 Jumlah sekolah pada tiga kecamatan di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut

(54)

Fokus perhatian kajian untuk kondisi pendidikan masyarakat sekitar kawasan HLGL lebih diarahkan terhadap anak-anak usia SLTP dan SLTA. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak pada rentang usia tersebut merupakan kelompok masyarakat potensial untuk berpartisipasi dalam dinamika dan kebijakan pembangunan daerah.

4.9.4 Suku, Agama dan Potensi Seni Budaya Masyarakat

Masyarakat Kabupaten Paser pada umumnya yang mendiami daerah-daerah di sekitar kawasan HLGL khususnya, dikenal memiliki berbagai aneka potensi seni budaya etnik. Potensi seni budaya itu berupa tari-tarian daerah, nyanyian, alat musik khas daerah, serta berbagai upacara ritual adat khas. Tarian daerah terdiri dari Tari Ronggeng Paser, Tari Rembara, Tari Jepen Muslim, Tari Jepen Daya Taka atau Gintur (Gantar), Tari Singkir, Tari Nuyo, dan Tari Belian. Alat musik khas berupa alat musik Tari Belian, petikan gambus Muara Adang. Sedangkan lagu-lagu daerah berupa lagu-lagu yang dilanturkan untuk mengiringi tari-tarian.

Selain memiliki potensi seni tarian dan musik etnik, masyarakat setempat juga memiliki berbagai upacara adat. Jenis upacara itu adalah Kedari yang dilaksanakan ketika ada orang yang dituakan di kampung tersebut meninggal dunia, serta upacara Belian (untuk menyambut tahun pertanian serta syukuran seusai panen).

(55)

shalawat. Sebagai salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat Paser adalah upacara Belian. Upacara tradisional ini dilakukan secara turun-menurun oleh masyarakat dan biasa digunakan oleh masyarakat Paser untuk pengobatan atau untuk membayar hajat.

Mayoritas masyarakat Paser berasal dari Suku Paser dan menganut agama Islam. Kehidupan masyarakat setempat sangat dipedomani oleh hukum adat, yang mengatur mengenai prilaku hidup keseharian (misalnya perkawinan, kematian) dan berbagai upacara ritual lainnya. Khusus di Desa Rantau Layung, berlaku hukum adat yang mencantumkan larangan bagi masyarakat untuk menebang dan mengambil pohon buah seperti durian, lahung, rambutan, serta mengambil madu dari pohon Bangris (Compassia sp.) yang dikenal sebagai habitat Lebah madu (Sabara 2006).

(56)

5.1 Potensi Penawaran Wisata

5.1.1 Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA)

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi dan budayanya untuk pengembangan ekowisata. Potensi penawaran ekowisata HLGL yaitu obyek wisata yang memiliki daya tarik dan keunikannya, seperti potensi biofisik dan potensi budaya. Keindahan panorama alam, keanekaragaman flora, fauna dan ekosistem yang beragam serta tantangan medan yang kerap manjadi daya tarik tersendiri, juga keragaman budaya masyarakat sekitar kawasan adalah aset potensial bagi kawasan HLGL untuk pengembangan ekowisata. Penawaran ekowisata merupakan suatu bentuk ekologi dan estetika alami dengan berbagai bentuk ekosistem yang dimiliki oleh suatu kawasan HLGL. Potensi ini menjadi obyek wisata yang ditawarkan kepada masyarakat umum (Tropenbos International Indonesia 2006).

Pengamatan lapangan menunjukan bahwa bentuk estetika lanskap tersebut terdapat di kawasan HLGL. Ekosistem hutan hujan tropis dengan keanekaragaman dan keunikan hayatinya menjadi faktor lanskap utama. Pohon-pohon yang berdiri tegak dengan dedaunan yang rindang disertai dengan tumbuhan lumut di seluruh tubuh pepohonan maupun di permukaan batu-batuan, pesona angrek hitam hutan, keanekaragaman flora dan fauna, sungai dan air terjun yang ada di sekitarnya, komunitas suku etnik Paser dengan berbagai legenda budaya yang menyertainya merupakan daya tarik tersendiri untuk dikemas dan ditawarkan pada masyarakat umum.

(57)

sedangkan pintu masuk tiga desa lainnya yaitu merupakan lokasi wisata alam, berupa air terjun, sungai, goa dan budaya masyarakat sekitar kawasan HLGL.

5.1.1.1 Pintu Masuk Swanslutung

Pintu masuk Swanslutung melalui Dusun Muluy yang masuk dalam Desa Swanslutung, Kecamatan Muara Komam yang dapat ditempuh melalui jalan darat dan laut dari Balikpapan, Tanah Grogot, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan); dengan jenis kendaraan yang dapat digunakan yaitu kendaraan pribadi roda dua (motor) dan roda empat (mobil). Aksesibilitas menuju pintu masuk Swanslutung cukup mudah dengan kombinasi jalan pengerasan, tanah berbatu. Pintu masuk Swanslutung yang memiliki akses terdekat dengan Bandara Udara Sepinggan di Balikpapan.

Swanslutung dapat ditempuh dengan kendaraan umum dari Balikpapan menuju pelabuhan Kariangau, pintu masuk ini melalui jalur Balikpapan-Kariangau-Penajam Paser Utara-Simpang Lombok dengan jarak tempuh ± 122 km atau ± 6 jam perjalanan. Setelah Simpang Lombok, untuk menuju ke Desa Swanslutung Dusun Muluy berjarak ± 58 km dari Simpang Lombok dengan waktu tempuh ± 1 jam perjalanan yang memiliki akses untuk menuju puncak Gunung Lumut dengan menggunakan kendaraan pribadi, ojek dan atau ikut numpang mobil RKR (PT. Rizky Kacida Reana) yang terkadang lewat, apabila menggunakan kendaraan pribadi melalui jalur yang sama Desa Swanslutung Dusun Muluy dengan jarak tempuh ± 180 km, maka memerlukan waktu ± 6 jam perjalanan. Swanslutung juga dapat dilalui untuk menuju Tanah Grogot maupun Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

(58)

kawasan yang ada di sekitarnya. Perjalanan dari Simpang Lombok menuju Desa Swanslutung Dusun Muluy akan disuguhi pemandangan hamparan perkebunan kelapa sawit seluas ± 2.500 ha milik PTPN XIII yang telah ada sejak 1980-an, pertambangan batu bara PT. Kideco, serta gugusan pegunungan di sepanjang jalan menuju kawasan HLGL.

Kawasan HLGL memiliki kondisi jalan pengerasan, tanah berbatu menuju lokasi mempunyai tantangan tersendiri bagi pengunjung yang menyenangi tantangan. Untuk menuju puncak gunung lumut dari Dusun Muluy sepanjang jalur tersebut, pengunjung akan menjumpai beberapa objek wisata alam di antaranya sebagai berikut:

a. Air Terjun Une

Sumber daya alam pendukung di dalam kawasan HLGL adalah air terjun Une. Masyarakat Desa Swanslutung khususnya Dusun Muluy sudah menggunakan air terjun Une sebagai alat untuk pembangkit listrik mereka dari Turbin. Air terjun ini letaknya di kaki gunung lumut, memiliki suasana yang alami dengan bentang alam yang unik, ketinggiannya yang mencapai ± 5 meter dan airnya tidak langsung terjun melainkan menempel di permukaan batu, karena jatuh sambil menempel ini akan membentuk ukiran-ukiran pada permukaan batu yang dilalui dan cukup menarik untuk dilihat (Gambar 9).

(59)

a.Sungai Anjur

Sungai Anjur terdapat di depan Gunung Lumut, yang mengalir melintasi jalan menuju ke kawasan Gunung Lumut dan dikelilingi lingkungan hutan yang masih alami, maka pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer pegunungan disekitar sungai tersebut. Sungai ini memiliki luas ± 5 m dengan debit air sedang berarus tenang.

c. Pemandangan Lepas

Pemandangan alam lepas puncak Gunung Lumut, memperlihatkan suatu keindahan bentang alam, yang memiliki daya tarik wisata alam pegunungan dengan kondisi hutan yang masih alami dan lebat tidak saja menyebabkan kondisi udara yang sejuk, akan tetapi berpotensi juga sebagai arena petualangan yang terlihat seperti pada (Gambar 10).

Gambar 10 (a dan b) Pemandangan Puncak Gunung Lumut.

a.Puncak Gunung Lumut

Gunung Lumut berada dalam kawasan HLGL. Untuk mencapai Gunung Lumut, pengunjung akan menikmati pemandangan hutan sekunder dan primer. Dalam perjalanan dari Sungai Anjur menuju puncak Gunung Lumut, pengunjung akan menjumpai banyak hal seperti atraksi satwa liar berupa perjumpaan secara langsung maupun tidak langsung (jejak, suara, bekas cakaran, sisa makanan dan feses). Satwa liar yang dapat dijumpai diantaranya Owa kelawot, Babi hutan, Kijang (Payau), sarang Landak, Bajing ekor tegak, Beruang madu dan burung Enggang serta kupu-kupu. Sedangkan keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di Gunung Lumut, Puak Empulu/Engkuning (Baccaurea tetandra Merr.), Mnspon

Gambar

Gambar 5  Diagram Hipotetikal (tourism area life cycle-TALC).
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1  Jenis Data yang Diperlukan Dalam Penelitian
Tabel 2 Matriks SWOT
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANTARA KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN DENGAN KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG S A U K. SEROASARKAN KONDlSl

menyusun tesis yang berjudul " Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Illegal logging Di Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur

Nilai tersebut berarti keanekaragaman jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Gunung Ambawang termasuk dalam kategori sedang.Hasil analisa data di kawasan

Upaya yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Illegal logging di Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur ... Peraturan

Nilai tersebut berarti keanekaragaman jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Lindung Gunung Ambawang termasuk dalam kategori sedang.Hasil analisa data di kawasan

Dari ke-4 (empat) jalur pengamatan yang dilakukan di kawasan Hutan Lindung Gunung Raya Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon yang mendominasi

Dari ke-4 (empat) jalur pengamatan yang dilakukan di kawasan Hutan Lindung Gunung Raya Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon yang mendominasi

Bahan yang digunakan adalah “Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan Skala 1 : 250.000”,”Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan s/d tahum 2016